Anda di halaman 1dari 14

Budaya Masayrakat Muna Dalam Mengamalkan Sila-Sila Pancasila

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


Salah satu satu pengamalan atau penerapan sila pertama ini yaitu percaya
dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing menurut dasar kemanusian yang adil dan beradap.
Budaya masayrakat muna dalam mengamalkan sila-ila pancasila
Ketuhanan Yang Maha Esa terlihat bahwa sejak dahulu kalah masayarakat muna
masih barba (belum mengenal peradaban) sebenarnya telah mengakui adanya
kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan itu berupa kegaipan alam semesta. Mereka
mengganggap bahwa jika mampu menegosiasi kekuatan lain itu hidupnya akan
terbantu oleh alam semesta. Sebaliknya jika tidak mampu bernegosiasi dengan
alam semesta hidupnya akan celaka. Itulah sebabnya masayrakat muna berusaha
menyatukan alam semesta degan dirinya. Mereka meyakini bahwa alam semesta
juga berada dalam dirinya. Dirinya adalah gambaran alam semesta, karena segala
sesuatu terdapat dalam dirinya. Masayrakat muna selalu mengusahakan
keseimbangan dan keharmonisan antara sesame masayrakat muna. Keharmonisan
ini mengarahkan pada ketentraman hidup. Sikap demikian dirangkai dengan
prinsip rukun. Rukun adalah tindakan untuk mencapai harmoni social. Dengan
cara ini hubungan sosial menjadi tentram dan dan kondisi budaya tidak akan
goncang, karena keseimbangan diri dengan alam semesta terjaga. Bahkan rukun
menjadi dasar keseimbangan emosi, sehingga tidak terjadi konflik dan tercapai
perdamayan.
Berikut beberapa contoh budaya masayrakat muna dalam kaitanya degan
pengamalan nilai-nilai sila Ketuhanan Yang Maha Esa :
a. Budaya Selamatan Untuk Ibu Yang Sedang Hamil dan Selamatan
Kelahiran Anak
Pada masa kehamilan, pada umunya masayrakat muna melaksanakan
kegitan taridisi kasumbu (penyuapan) yang dimanah kegitan ini dilaksanakan
setelah beberapa bulan upacara perkawinan belansung pada saat itu si istri mulai
nampak hamil tua maka diadakan upacara kasambu/penyuapan. Upacara ini
dilaksanakan sekali dalam perkawinan yaitu ketika menanti kelahiran bayi
pertama pada saat kandungan istri berumur 7 bulan, tardisi ini bertujuan untuk
menolak bala (bencana, kesialan, kesulitan hidup) agar anak yang di dalam
kandungan ibunya tidak mendapat gangguan dari roh-roh halus sehingga dapat
lahir dengan selamat serta memohon keselamatan pada tuhan bagi anak yang
dikandung agar pada saat kelahiran bayi tidak ada hambatan.
Secara harfiah, kesambu berarti mengisi, dimana dalam pesta kesambu
ini, diharapkan agar anak yang lahir tidak ada kekurangan serta memiliki
intelegensia yang tinggi, budi pekerti yang baik serta membawa kabahagiaan
untuk keluarga terutama kepada kedua orang tuanya.
Sedangkan tradisi kelahiran bagi masayrakat muna antara lain :
barasanggi (doa selamat), dimana acara ini dilaksanakan atau diselengarakan
ketika bayi berumur 7 hari. Tradisi ini bertujuan untuk memohon keselamatan
pada Tuhan bagi bayi yang belum lama lahir. Selain itu juga terdapat kegiatan
Kampua (pemotongan rambut) dimanah di selenggarakan ketika anak atau bayi itu
sudah berumur 44 hari yang ditandai dengan pemotongan bulu rambut kepala
pada tiga tempat yaitu ubun-ubun dan kedua pelipisnya dekat telinya. Alat
pemotongnya biasanya digunaan gunting atau pisau silet yang terlebih dahulu
dicelupkan kedalam air kelapa muda yang lubangnya dimodel dengan bintang segi
lima, kemudian diikuti dengan pembacaan berzanji bersama dan taburan bunga.
Acara ini dilakukan bertujuan untuk memperkenalkan anak pertama kalinya pada
tanah atau bumi, degan maksud anak tersebut mampu berdiri sendiri dalam
menempuh kehidupan dan diharapkan anak tersebut dalam menghadapi hidupnya
tidak dihinggapi penyakit dan hidup secara wajar dan sehat.
b. Budaya Kangkilo dan Katoba
Kangkilo berarti suci atau pensucian dan katoba berarti “taubat”. Kangkilo
dilaksanakan dalam rangka mensucikan diri anak yang telah sampai berumur
tujuh tahun atau lebih yang ditandai dengan pemotongan sebagian dari alat
kelamin anak, yang dalam ajaran Islam disebut “pengkhitanan atau pengislaman”.
Setelah acara kangkilo dilanjutkan dengan acara katoba, dimana sianak diajarkan
dan dituntut mengucapkan dua kalimat syahadat dan sekaligus diajarkan pokok-
pokok ajaran akhlak baik kepada Allah swt maupun kepada sesama manusia serta
kepada makhluk-makhluk ciptaan lainnya, namun dalam proses pemberian
nasehat tersebut yang lebih dominan adalah aspek-aspek ajaran syariat Islam.
c. Budaya Ritual kaago – ago (Ritual Pencegah Penyakit)
Ritual kaago-ago yang merupakan ritual pencegahan penyakit yang
dilaksanakan sebelum pergantian musim, yaitu sebelum memasuki musim barat
dan sebelum memasuki musim timur. Menurut pengetahuan orang Muna,
pergantian musim dapat menyebabkan penyakit. Penyakit yang dimaksud adalah
nomaigho nekawea (berasal dari angin). Mereka beranggapan bahwa penyakit
yang berasal dari angin disebabkan oleh makhluk halus berupa jin dan setan.
Untuk mengantisipasi penyakit yang selalu menimpa manusia sebelum pergantian
musim itu, maka mereka melakukan ritual kaago-ago. Hal ini dilakukan untuk
mencegah penyakit yang selalu menimpah manusia, dan untuk menguatkan
kejiwaan, sehingga dapat menjalankan kembali aktivitasnya secara normal.
Ritual kaago-ago merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan sejak nenek
moyang mereka dan sampai sekarang masih tetap dipertahankan, terutama oleh
masyarakat petani pedesaan. Pelaksanaan ritual ini melibatkan banyak orang, yang
berasal dari berbagai strata atau golongan sosial pada orang Muna. Sebagai suatu
ritual yang sifatnya kemasyarakatan, tentunya dapat menghabiskan biaya dan
tenaga yang cukup banyak. Namun demikian, mereka tidak mempermasalahkan
hal itu, karena tujuan mereka melaksanakan ritual ini adalah untuk mendapatkan
kesehatan yang lebih baik. Sebagai suatu pengetahuan dan kepercayaan, tentunya
ritual kaago-ago memiliki fungsi dalam kehidupan orang Muna, mengenai
pentingnya pelaksanaan ritual kaago-ago sebagai ritual pencegahan penyakit,
sehingga sampai saat ini masih tetap dipertahankan. Inti dari upacara Ritual
kaago-ago ini berupa doa untuk memohon perlindungan pada tuhan dari
ancaman-ancaman berbahaya serta memohon agar selalu dijaukan dari penyakit.
d. Budaya Acara Sengkahoowu dan Kafontasu
Acara sengkahoowu adalah merupakan pesta panen yang dilakukan setelah
selesai panen jagung, yang merupakan salah satu makanan pokok masyarakat
Wale-ale. Pesta panen ini merupakan syukuran atas jerih payah mereka dalam
mengelolah kebun yang bertujuan meminta perlindungan dari makhluk gaib agar
tidak mengganggu tanamannya baik yang telah dipanen maupun belum sehingga
tidak terjadi kelaparan. Sedangkan acara kafontasu dilaksanakan pada awal
penanaman. Sebelum para petani menanami kebunnya maka diawali dengan
pembacaan mantra atau sesajian oleh seorang pawang dengan tujuan agar usaha
mereka dapat berhasil dan terhindar dari serangan hama yang dapat merusak
tanaman mereka.
2. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Jika dilihat dari struktur kalimatnya, sila kedua Pancasila ini tersusun atas
tiga ide besar, yaitu: manusia, adil, dan beradab. Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab adalah suatu kesadaran akan hakekat manusia sebagai pribadi yang
membutuhkan pribadi lain sehingga pribadi tersebut berlaku bijaksana terhadap
dirinya dan sesama serta selalu digerakkan oleh nilai-nilai luhur budaya bangsa
Indonesia
Budaya Pengamalan Sila Ke Dua Pancasila Pada Masayrakat Muna
Suatu nilai universal tidak akan bisa terlaksana tanpa memandang locus
kontekstualnya. Maksudnya sebuah nilai harus “beradaptasi” dengan suatu
wilayah dimana nilai tersebut akan dihidupi. nilai-nilai dalam sila kedua juga
harus menyesuaikan diri dengan iklim dimana sila itu akan dijalankan.
Nilai-nilai Pancasila akan lebih tepat dan efektif jika masuk melalui
budaya, karena pada dasarnya Pancasila pun berasal dari budaya. Di sinilah letak
adaptasi nilai-nilai Pancasila terhadap locus kontekstual masyarakat di kabupaten
muna jika demikian, melalui budaya apa saja nilai-nilai ini bisa masuk?
a. Budaya Pokadulu
Pokadulu artinya adalah kerjasama. Budaya Pokadulu merupakan suatu
budaya yang terdapat unsur system kerjasama atau gotong royong yang dilakukan
oleh masyarakat muna bagi setiap orang yang sudah dewasa dan mampu bekerja
untuk membantu masyarakat yang bercocok tanam pada suatu wilayah atas dasar
keikhlasan dan kemauan sendiri, tanpa ada tekanan dan paksaan dari orang lain.
Budaya ini masih tenar dilaksanakan oleh masyarakat muna contohnya di Desa
Oelongko Kecamatan Bone. Masyarakat Desa Oelongko pada umumnya bermata
pencaharian sebagai petani yakni petani jagung dan sebagian kacang-kacangan.
Dalam sistem pertanian masyarakat yang berada di lokasi ini menerapkan budaya
Pokadulu sebagai media untuk memperkokoh persatuan masyarakat karena dapat
memperlancar nilai perekonomian dengan terciptanya pola kerja sama
masyarakat.
b. Budaya Tolong Menolong (Kaseise)
Masyarakat Muna budaya gotong royong/tolong-menolong secara umum
dikenal dengan budaya Pokadulu, yaitu dilakukan pada kegiatan pembangunan
rumah, bercocok tanam, dan perkawinan Selain itu, pada masyarakat Muna
khususnya di Desa Oelongko mempunyai kebudayaan tolong menolong lainnya
yaitu kebudayaan Kaseise yang diterapkan hanya pada Pelaksanaan hari pelepasan
kematian (Poalo) dengan hari-hari yang telah ditentukan yaitu dari hari pertama
Poalo sampai pada hari ke tujuh. Kebudayaan Kaseise adalah bentuk tolong-
menolong temasuk didalamnya gotong-royong dan juga kerjasama. Bentuk
tolong-menolong dalam budaya Kaseise ini adalah pemberian uang kepada
keluarga yang meninggal dunia dengan tujuan meringankan beban ekonomi pada
keluarga tersebut.
Budaya Kaseise memang sudah sedikit memudar di wilayah perkotaan,
karena pada umumnya masyarakat perkotaan lebih bersifat individual dan juga
tidak saling mengenal karena banyak masyarakat pendatang atau bukan penduduk
asli Muna. Akan tetapi di Desa Oelongko, Kecamatan Bone masilah sangat kental,
budaya Kaseise di Desa Oelongko dari tahun ke tahun selalu meningkat.
Masyarakat memiliki antusias yang cukup tinggi dalam hal tolong-menolong.
Masyarakat disana memiliki rasa simpati dan empati yang tinggi, mereka tak
segan untuk saling membantu karena masyarakatnya di Desa Oelongko masih
sangat kekeluargaan.
Kebudayaan Kaseise inilah yang mereka bentuk dan mempunyai banyak
manfaat dan untuk kehidupan masyarakat terkhusus dalam kondisi ekonomi atau
kondisi keuangan. Dengan adanya kebudayaan tolong meolong (Kaseise) dalam
pelaksanaan hari pelepasan (Poalo) secara ekonomi dapat terbantu bagi keluarga
yang meninggal dunia, dalam hal ini adalah acara pelaksanaan hari pertama
Poalo, hari ketiga Poalo (Itolu), Patai, dan hari ketujuh Poalo (Ifitu).
Dengan adanya kebudayaan tolong menolong (Kaseise) yang terdapat
dalam Poalo ini dapat membantu meringankan beban keluarga yang meninggal
dunia dalam hal melancarkan pelaksanaan hari pelepasan kematian (Poalo),
ketika pelaksanaan hari pelepasan kematian (Poalo) diadakan seacar besarbesaran
maka keluarga-keluaga akan berkumpul dan bisa menjalin silaturahim kembali,
karna dalam acara tersebut menyebatrkan undangan untuk keluarga, selain
silaturahim bersama keluarga, dengan adanya acara tersebut dapat memberikan
manfaat silaturahim pada warga masyarakat dalam desa dan warga masyarakat
desa-desa tetangga.
b. Budaya Minum Kameko
Kameko yang biasa dikenal degan pongasi Kameko berasal dari kata
nomeko artinya manis, Kameko artinya pemanis atau produk minuman khas
tradisional masyarakat muna secara turun temurun yang diproduksi dari tandan
mayang pohon aren setiap pagi dan sore hari. Biasanya disajikan dalam acara-
acara adat seperti : katandugho (pembayaran mahar adat kepada mempelai
perepuan), dalam acara ini minuman kameko merupakan suguhan istimewa,
ketika minuman ini disuguhkan ini menunjukan bahwa antara kedua bela pihak
yang bermusyawarah sudah mencapai kata mufakat.
Suguhan kameko dalam budaya muna biasanya dikonsumsi dengan adab-
adab tertentu mulai adab duduk, adab distribusi dan adab cara minum harus
beretika. Misalnya untuk adab duduk dengan cara duduk bersila membentuk
lingkaran wujud kebersamaan oleh para orang tua dan tokoh-tokoh adat.
Suguhan kameko ini mengandung arti sebagai media perekat hubungan
keakraban yang sarat makna mengantarkan cerita silahturahmi lebih indah dan
berwarna juga tidak ada paksaan bagi yang tidak minum untuk bergabung.
3. Persaatuan Indonesia
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan Perwakilan
a. Budaya Bidang Hukum Adat
Budaya hokum adat adalah suatu kebiasaan masyarakat yang telah diwarisi
secara turun temurun yang mengandung aturan dan memiliki kewibawaan yang
kuat dan melebihi kewibawaan hukum formal. Sama halnya dengan masyarakat
Wale-ale. Hukum adat sangat dihargai sehingga apapun yang telah dikatakan atau
diputuskan oleh hukum adat seluruh masyarakat wajib mematuhinya. Pelanggaran
terhadap hukum adat dapat dikenakan sangsi yang harus diterima oleh masyarakat
tanpa ada bantahan. Sangsi tersebut misalnya pengasingan dalam pergaulan
masyarakat atau denda. Pelanggaran dalam proses perkawinan seperti seorang
laki-laki merampas pinangan orang lain maka ia diwajibkan untuk membayar
denda atau mengembalikan segala perongkosan peminang pertama atau
membayar mahar dua kali lipat. Selain itu terdapat pula peraturan yang ada
hubungannya dengan akhlak dan dikenakan sangsi sosial bagi pelakunya seperti
mamasuki rumah orang lain yang penghuninya seorang wanita, bernyanyi di jalan
pada waktu tengah malam, mengucapkan kata-kata kotor, memegang tubuh
wanita dan perbuatan lainnya yang sifatnya tidak terpuji.
Selain itu terdapat pula peraturan yang ada hubungannya dengan akhlak
dan dikenakan sangsi sosial bagi pelakunya seperti mamasuki rumah orang lain
yang penghuninya seorang wanita, bernyanyi di jalan pada waktu tengah malam,
mengucapkan kata-kata kotor, memegang tubuh wanita dan perbuatan lainnya
yang sifatnya tidak terpuji.
b. Budaya Hukum Adat Perkawinan Suku Muna
Perkawinan dalam masyarakat Muna sangat unik yang berbeda dengan
Suku lainnya di Indonesia. Sistem perkawinan ini telah ada semenjak dahulu kala
sebelum masuknya agama Islam di Muna. Setelah datangnya Islam dan
diterimanya agama ini oleh seluruh rakyat Muna, sistem perkawinan yang
dahulunya tetap tidak berubah terutama yang berhubungan dengan masalah mahar
(mas kawin). Yang berubah hanyalah proses ijab kabul-nya saja yang mengikuti
ajaran Islam sebagai perkawinan dalam Islam.
1. Pemilihan jodoh
Sebelum melakukan pelamaran kadang kala orang tua sering memilihkan
jodoh untuk anaknya, namun hal ini sudah tidak di jumpai lagi dalam kalangan
masyarakat suku Muna.pada hakekatnya pemilihan jodoh ini orang tua bercita-cita
agar anaknya dapat kawin degan seorang yang cocok dan disenaginya.oleh karana
itu sebelum orang tua mengambil keputusan terhadap jodoh anaknya,terlebih
dahulu mereka megadakan penilain kepada perempuan yang akan dilamar.
Penilayan ini tidak hanya dilakukan oleh orang tua,tetapi peranan kaum kerabat
sangat menetukan pula yang menjadi ukuran penilaian adalah
kecantikan,keturunan,agamanya,kekayaan,budi pekerti,serta ahlaknya.
Apabila seorang laki-laki bermaksud melangsungkan perkawinan hal
tersebut oarng tua merundingkan degan kaum kerabat dan anak yang
bersangkutan.
2. Pertunagan (Kangkorano ajati)
Perkawina timbul setelah adanya persetujuan antaran kedua belah pihak
calon pengatin untuk selanjutnya melangsungkan perkawinan. Dan persetujuan ini
di capai oleh kedua belah pihak setelah terlebih dahulu melakukan lamaran yang
bisanya oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pertemuan yang pertama
kalinya untuk membicarakan kehendak mengadakan perkawinan ini di daerah
Muna di namakan (katangka) yang mengandung arti permintaan dalam bentuk
pernyataan kehendak dari suatu pihak kepada lain untuk maksud mengadakan
(ingin melaksakan) ikatan perkawinan sudah memberikan kepada pihak
perempuan.
Pertunagan baru mengikat apabilah dari pihak laki-laki (pihak yang
meminang) sudah memberikan kepada pihak perempuan (pihak yang di pinang)
sudah ad tanda pengikat yang kelihatan yang disebut (singkaru) dalam arti cincin
Tanda pengikat yang dimaksud diberikan kepada keluarga pihak perempuan atau
kepada orang tua pihak perempuan atau kepada bakat mempelai perempuan itu
sendiri yang di pinang. Tanda lamaran itu biasanya dapat berupah :
Sirih pinang
- Sejumlah uang (mas kawin, uang adat) - Bahan pakaian
- Makanan matang - Perhiasan,dan
- Hasil perkebunan
Tanda lamaran tersebut disampaikan oleh juru bicara pihak pelamar
kepada pihak yang dilamar dengan bahasa dan peribahasa adat, yang indah, sopan,
santun, dan penuh hormat dengan memperkenalkan para anggota rombongan yang
datang, hubungan kekerabatan satu persatu dengan calon mempelai pria. Begitu
pula juru bicara dari pihak wanita yang dilamar akan menyatakan penerimaannya
dengan bahasa dan peribahasa adat. Setelah selesai kata-kata sambutan kedua
belah pihak maka barang-barang tanda lamaran itu diteruskan kepada tokoh-tokoh
adat, keluarga/kerabat wanita, kemudian kedua belah pihak mengadakan
perundingan tentang hal-hal sebagai berikut :
 Besarnya uang jujur (uang adat, dan mas kawin).
 Besarnya uang permintaan (biaya perkawinan) dari pihak wanita.
 Bentuk perkawinan dan kedudukan suami isteri setelah perkawinan.
 Perjanjian-perjanjian perkawinan
 Kedudukan harta perkawinan.
 Acara dan upacara adat perkawinan.
 Waktu dan tempat upacara.
Tidak semua acara dan upacara perkawinan tersebut dilaksanakan oleh
para pihak yang akan melaksanakan perkawinan, hal ini tergantung pada keadaan,
kemampuan dan masyarakat adat yang bersangkutan. Pada masyarakat suku Muna
dalam upacara adat perkawinan Nampak sekali sifat atau ciri khususnya seperti
halnya pada masyarakat Tongkuno. Pada masyarakat suku Muna dikenal beberapa
tahapan dalam proses pelaksanaan adat perkawinan yaitu pemilihan jodoh,
pertunangan, peminangan, kawin.
3. Pelamaran
Bila ada persetujuan dapatlah dilakukan pelamaran, sebaliknya bila orang
tua tidak setuju sedangkan anak yang bersangkutan sangat menginginkannya
dapatlah terjadi perkawinan lari (Pofileigho). Dalam kebudayaan Muna, kawin
lari(Pofileigho) masih sering di gunakan apabila mempelai pria mempunyai
keterbatsan ekonomi untuk melamar mempelai wanita. Pada tahapan ini langkah
pertama yang dilakukan setelah adanya kesepakatan dari pihak laki-laki, yaitu
menghungi orang tua pihak perempuan bahwa mereka akan berkungjung kerumah
orang tua perempuan melalui jugur bicara adat. Setelah itu bila orang tua
perempuan bersedia untuk menerima kedatangan mereka, keluarga pihak laki-laki
bersama juru bicara adanya berkunjung kerumah orang tua perempuan tersebut
dengan membawa sebuah bungkusan yang merupakan “kabintingia” (talang kecil
persegi empat).
Terjadinya suatu perkawinan dalam masyarakat Muna pada dasarnya
mempunyai suatu proses dan upacara tertentu yang harus dan mutlak untuk
dilaksanakan sebab telah menjadi ketentuan hukum adat perkawinan dan telah
menjadi tradisi masyarakat Muna. Dalam proses pelaksanaan di deerah Muna
tidak dapat dianggap rame dan harus di taati karena perkawinan itu. Dalam
menghadapi perkawinan baik pihak calon suami istri maupaun keluarga kedua
belah pihak ada dua jalan yang harus ditempuh yaitu: Selamat atau mati” dan juga
dalam membicarakan adat perkawinan mudah tetapi sulit, tetapi mudah (momuda
maka nohali, nohali maka nomuda)” yang artinya mudah tapi mahal mahal tapi
mudah.
Sebelum dilangsukan prosesi perkawinan dalam masyarakat Muna sering
juga di kenal dengan istilah uang pinang atau bisa di sebut degan kasih naik uang
mahar dan yang menanyakan uang mahar terdebut adalah dari kelurga pihak
perempuan dan bentuk uang mahar tersebut tergantung dari strata mana pihak
perempuan berasal atau dari golongan mana pihak perempuan berasal. Dalam
masyarakat Muna di kenal dengan 4 golongan yang berbedah-bedah nilai uang
maharnya seperti :
1. Golongan kaomu, Golongan kaomu (La ode) menikahi golongan kaomu (Wa
ode) atau golongan bawahnya, maharnya senilai 20 boka (saat ini 1 boka
bernilai Rp.24.000)
2. Golongan walaka atau golongan sara, jika golongan walaka menika degan
golongan kaomu maka maharnya senilai 35 boka. Akan tetapi kalau menikah
dengan golongan walaka juga maharnya bernilai 10 boka 10 suku (1 suku
bernila 0,25 boka jadi 10 boka 10 suku sekitar 12,5 boka) akan tetapi
golongan sara-kaomu maharnya adalah 15 boka. Golongan sara kaomu
(perempuan sara-kaomu) artinya ayahnya golongan walaka sememtara ibunya
golongan kaomu.
3. Golongan anangkolaki, Jika golongan anangkolaki menikahi golongan
kaomu, maka maharnya adalah 75 boka. Jika menikahi golongan walaka
maharnya adalah 35 boka akan tetapi jika menikahi golongan anangkolaki
juga atau dibawahnya maharnya adalah 7 boka 2 suku ( atau 7,5 boka).
4. Golongan maradika, Jika golongan mardika menikahi golongan kaomu
maharnya adalah 2 x 75 boka jika menikahi golongan walaka maharnya adalah
75 boka jika menikahi anangkolaki maharnya 7 boka 2 suku (7,5 boka)
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
1. Budaya Tradisi Khabanti Kantola
Kabhanti kantola merupakan salah satu seni tradisi lisan dalam masyarakat
Muna yang tertua dan terancam punah. Tradisi ini merupakan salah satu bentuk
kesenian rakyat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kabhanti termasuk
karya yang banyak jumlahnya yang meliputi: Kabhanti kantola, Kabhanti
gambusu, dan Kabhanti modero. Kabhanti dalam ilmu folklore dapat
dikategorikan sebagai jenis folksong, yaitu nyanyian rakyat berupa pantun
berbalasan dengan berbagai varian atau tipe khas dari masing-masing daerah atau
suku bangsa. Eksistensi tradisi Kabhanti kantola di Kabupaten Muna masih
bertahan sampai dengan saat ini. Hanya saja minat dan perhatian masyarakat
terhadap tradisi ini tampaknya mulai berkurang.
Dalam praktiknya, tradisi kabhanti kantola dipertunjukkan oleh dua
kelompok penyanyi; lakilaki dan perempuan. jumlah anggota dalam kelompok
tidak terbatas tergantung pada kesepakatan bersama. Baju yang dikenakan dalam
perhelatan—jika pada dekade dahulu menggunakan pakaian adat Muna lengkap
baik dari kelompok laki-laki dan perempuan, maka pada perhelatan kali ini sudah
ada unsur akulturasi budaya, pakaian Muna dipadukan dengan baju kebaya
modern-dan Jas/jacket sebagai simbol pakaian nasional, dan jilbab dan songko-
sebagai simbol pakaian muslim, dan sarung Muna mbiabia sebagai simbol
identitas pakaian orang Muna. Rupanya hibridisasi budaya tidak terelakan dalam
kehidupan masyarakat Muna, termasuk dalam momen penting pertujukkan tradisi
lokal.
Di dalam budaya Kabhanti Kantola mengandung beberapa makna dan nilai-
nilai yang berkatan degan sila-sila pancasila yaitu sebagai berikut:
1. Nilai kebersamaan, Makna kebersamaan ini penting karena dalam syair-yair
pantun Kabhanti Kantola sering mengandung kritikan tajam yang bisa saja
melukai hati seseorang atau sekelompok orang, sehingga prinsip-prinsip
kebersamaan harus ditegaskan dibagian awal syair kabhanti sebagai pengikat
tingkah laku selama berlangsungnya acara tersebut. Jika dimaknai lebih jauh,
makna kebersamaan sesungguhnya sebagai respon terhadap pergeseran-
pergeseran sosial yang terjadi dalam masyarakat Muna dewasa ini. Paham
individualis yang menguat sering dikontraskan dengan lunturnya
kebersamaan. Individualisme berarti karakter individu atau tindakan yang
merdeka, bebas atau mandiri, sebagai lawan dari kerjasama atau kolektif.
Individualisme adalah penekanan pada kemampuan diri sendiri di atas
kelompok atau Negara, bertolak belakang dengan faham kebersamaan dalam
prinsip indonesia dan pokadulu dalam prinsip orang Muna.
2. Etika dalam berpolitik, Makna ini sesungguhnya masih berkaitan dengan
pedoman hidup dapoia-piara, dapoadja-adhati, dapoangka-angka tao yang
mengandung makna saling menyayangi, saling menghargai, dan saling
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat Muna.
3. Pendidikan dan Kesetaraan Gender, Pentingnya pendidikan dan kesetaraan
akses antara laki-laki dan perempuan menjadi perhatian. Pada kehidupan masa
lalu posisi perempuan selalu tidak dipertimbangkan dalam urusan pendidikan,
namun kondisi seperti ini tidak berlangsung lama. Desakan ekonomi dan
perkembangan pemikiran manusia telah mengubah pola berpikir mengenai
pentingnya peran perempuan dalam kemajuan ekonomi rumahtangga maupun
pembangunan bangsa. Simbol Kartini dalam teks di atas menunjukkan
munculnya sebuah kesadaran baru di masyarakat, khususnya kaum perempuan
untuk meningkatkan kualitas dirinya agar bisa berpartisipasi dalam roda
pembangunan bangsa.
b. Budaya Kematian

Anda mungkin juga menyukai