Budaya Masayrakat Muna Dalam Mengamalkan Sila-Sila Pancasila
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Salah satu satu pengamalan atau penerapan sila pertama ini yaitu percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusian yang adil dan beradap. Budaya masayrakat muna dalam mengamalkan sila-ila pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa terlihat bahwa sejak dahulu kalah masayarakat muna masih barba (belum mengenal peradaban) sebenarnya telah mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan itu berupa kegaipan alam semesta. Mereka mengganggap bahwa jika mampu menegosiasi kekuatan lain itu hidupnya akan terbantu oleh alam semesta. Sebaliknya jika tidak mampu bernegosiasi dengan alam semesta hidupnya akan celaka. Itulah sebabnya masayrakat muna berusaha menyatukan alam semesta degan dirinya. Mereka meyakini bahwa alam semesta juga berada dalam dirinya. Dirinya adalah gambaran alam semesta, karena segala sesuatu terdapat dalam dirinya. Masayrakat muna selalu mengusahakan keseimbangan dan keharmonisan antara sesame masayrakat muna. Keharmonisan ini mengarahkan pada ketentraman hidup. Sikap demikian dirangkai dengan prinsip rukun. Rukun adalah tindakan untuk mencapai harmoni social. Dengan cara ini hubungan sosial menjadi tentram dan dan kondisi budaya tidak akan goncang, karena keseimbangan diri dengan alam semesta terjaga. Bahkan rukun menjadi dasar keseimbangan emosi, sehingga tidak terjadi konflik dan tercapai perdamayan. Berikut beberapa contoh budaya masayrakat muna dalam kaitanya degan pengamalan nilai-nilai sila Ketuhanan Yang Maha Esa : a. Budaya Selamatan Untuk Ibu Yang Sedang Hamil dan Selamatan Kelahiran Anak Pada masa kehamilan, pada umunya masayrakat muna melaksanakan kegitan taridisi kasumbu (penyuapan) yang dimanah kegitan ini dilaksanakan setelah beberapa bulan upacara perkawinan belansung pada saat itu si istri mulai nampak hamil tua maka diadakan upacara kasambu/penyuapan. Upacara ini dilaksanakan sekali dalam perkawinan yaitu ketika menanti kelahiran bayi pertama pada saat kandungan istri berumur 7 bulan, tardisi ini bertujuan untuk menolak bala (bencana, kesialan, kesulitan hidup) agar anak yang di dalam kandungan ibunya tidak mendapat gangguan dari roh-roh halus sehingga dapat lahir dengan selamat serta memohon keselamatan pada tuhan bagi anak yang dikandung agar pada saat kelahiran bayi tidak ada hambatan. Secara harfiah, kesambu berarti mengisi, dimana dalam pesta kesambu ini, diharapkan agar anak yang lahir tidak ada kekurangan serta memiliki intelegensia yang tinggi, budi pekerti yang baik serta membawa kabahagiaan untuk keluarga terutama kepada kedua orang tuanya. Sedangkan tradisi kelahiran bagi masayrakat muna antara lain : barasanggi (doa selamat), dimana acara ini dilaksanakan atau diselengarakan ketika bayi berumur 7 hari. Tradisi ini bertujuan untuk memohon keselamatan pada Tuhan bagi bayi yang belum lama lahir. Selain itu juga terdapat kegiatan Kampua (pemotongan rambut) dimanah di selenggarakan ketika anak atau bayi itu sudah berumur 44 hari yang ditandai dengan pemotongan bulu rambut kepala pada tiga tempat yaitu ubun-ubun dan kedua pelipisnya dekat telinya. Alat pemotongnya biasanya digunaan gunting atau pisau silet yang terlebih dahulu dicelupkan kedalam air kelapa muda yang lubangnya dimodel dengan bintang segi lima, kemudian diikuti dengan pembacaan berzanji bersama dan taburan bunga. Acara ini dilakukan bertujuan untuk memperkenalkan anak pertama kalinya pada tanah atau bumi, degan maksud anak tersebut mampu berdiri sendiri dalam menempuh kehidupan dan diharapkan anak tersebut dalam menghadapi hidupnya tidak dihinggapi penyakit dan hidup secara wajar dan sehat. b. Budaya Kangkilo dan Katoba Kangkilo berarti suci atau pensucian dan katoba berarti “taubat”. Kangkilo dilaksanakan dalam rangka mensucikan diri anak yang telah sampai berumur tujuh tahun atau lebih yang ditandai dengan pemotongan sebagian dari alat kelamin anak, yang dalam ajaran Islam disebut “pengkhitanan atau pengislaman”. Setelah acara kangkilo dilanjutkan dengan acara katoba, dimana sianak diajarkan dan dituntut mengucapkan dua kalimat syahadat dan sekaligus diajarkan pokok- pokok ajaran akhlak baik kepada Allah swt maupun kepada sesama manusia serta kepada makhluk-makhluk ciptaan lainnya, namun dalam proses pemberian nasehat tersebut yang lebih dominan adalah aspek-aspek ajaran syariat Islam. c. Budaya Ritual kaago – ago (Ritual Pencegah Penyakit) Ritual kaago-ago yang merupakan ritual pencegahan penyakit yang dilaksanakan sebelum pergantian musim, yaitu sebelum memasuki musim barat dan sebelum memasuki musim timur. Menurut pengetahuan orang Muna, pergantian musim dapat menyebabkan penyakit. Penyakit yang dimaksud adalah nomaigho nekawea (berasal dari angin). Mereka beranggapan bahwa penyakit yang berasal dari angin disebabkan oleh makhluk halus berupa jin dan setan. Untuk mengantisipasi penyakit yang selalu menimpa manusia sebelum pergantian musim itu, maka mereka melakukan ritual kaago-ago. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyakit yang selalu menimpah manusia, dan untuk menguatkan kejiwaan, sehingga dapat menjalankan kembali aktivitasnya secara normal. Ritual kaago-ago merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan sejak nenek moyang mereka dan sampai sekarang masih tetap dipertahankan, terutama oleh masyarakat petani pedesaan. Pelaksanaan ritual ini melibatkan banyak orang, yang berasal dari berbagai strata atau golongan sosial pada orang Muna. Sebagai suatu ritual yang sifatnya kemasyarakatan, tentunya dapat menghabiskan biaya dan tenaga yang cukup banyak. Namun demikian, mereka tidak mempermasalahkan hal itu, karena tujuan mereka melaksanakan ritual ini adalah untuk mendapatkan kesehatan yang lebih baik. Sebagai suatu pengetahuan dan kepercayaan, tentunya ritual kaago-ago memiliki fungsi dalam kehidupan orang Muna, mengenai pentingnya pelaksanaan ritual kaago-ago sebagai ritual pencegahan penyakit, sehingga sampai saat ini masih tetap dipertahankan. Inti dari upacara Ritual kaago-ago ini berupa doa untuk memohon perlindungan pada tuhan dari ancaman-ancaman berbahaya serta memohon agar selalu dijaukan dari penyakit. d. Budaya Acara Sengkahoowu dan Kafontasu Acara sengkahoowu adalah merupakan pesta panen yang dilakukan setelah selesai panen jagung, yang merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Wale-ale. Pesta panen ini merupakan syukuran atas jerih payah mereka dalam mengelolah kebun yang bertujuan meminta perlindungan dari makhluk gaib agar tidak mengganggu tanamannya baik yang telah dipanen maupun belum sehingga tidak terjadi kelaparan. Sedangkan acara kafontasu dilaksanakan pada awal penanaman. Sebelum para petani menanami kebunnya maka diawali dengan pembacaan mantra atau sesajian oleh seorang pawang dengan tujuan agar usaha mereka dapat berhasil dan terhindar dari serangan hama yang dapat merusak tanaman mereka. 2. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab Jika dilihat dari struktur kalimatnya, sila kedua Pancasila ini tersusun atas tiga ide besar, yaitu: manusia, adil, dan beradab. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab adalah suatu kesadaran akan hakekat manusia sebagai pribadi yang membutuhkan pribadi lain sehingga pribadi tersebut berlaku bijaksana terhadap dirinya dan sesama serta selalu digerakkan oleh nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia Budaya Pengamalan Sila Ke Dua Pancasila Pada Masayrakat Muna Suatu nilai universal tidak akan bisa terlaksana tanpa memandang locus kontekstualnya. Maksudnya sebuah nilai harus “beradaptasi” dengan suatu wilayah dimana nilai tersebut akan dihidupi. nilai-nilai dalam sila kedua juga harus menyesuaikan diri dengan iklim dimana sila itu akan dijalankan. Nilai-nilai Pancasila akan lebih tepat dan efektif jika masuk melalui budaya, karena pada dasarnya Pancasila pun berasal dari budaya. Di sinilah letak adaptasi nilai-nilai Pancasila terhadap locus kontekstual masyarakat di kabupaten muna jika demikian, melalui budaya apa saja nilai-nilai ini bisa masuk? a. Budaya Pokadulu Pokadulu artinya adalah kerjasama. Budaya Pokadulu merupakan suatu budaya yang terdapat unsur system kerjasama atau gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat muna bagi setiap orang yang sudah dewasa dan mampu bekerja untuk membantu masyarakat yang bercocok tanam pada suatu wilayah atas dasar keikhlasan dan kemauan sendiri, tanpa ada tekanan dan paksaan dari orang lain. Budaya ini masih tenar dilaksanakan oleh masyarakat muna contohnya di Desa Oelongko Kecamatan Bone. Masyarakat Desa Oelongko pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani yakni petani jagung dan sebagian kacang-kacangan. Dalam sistem pertanian masyarakat yang berada di lokasi ini menerapkan budaya Pokadulu sebagai media untuk memperkokoh persatuan masyarakat karena dapat memperlancar nilai perekonomian dengan terciptanya pola kerja sama masyarakat. b. Budaya Tolong Menolong (Kaseise) Masyarakat Muna budaya gotong royong/tolong-menolong secara umum dikenal dengan budaya Pokadulu, yaitu dilakukan pada kegiatan pembangunan rumah, bercocok tanam, dan perkawinan Selain itu, pada masyarakat Muna khususnya di Desa Oelongko mempunyai kebudayaan tolong menolong lainnya yaitu kebudayaan Kaseise yang diterapkan hanya pada Pelaksanaan hari pelepasan kematian (Poalo) dengan hari-hari yang telah ditentukan yaitu dari hari pertama Poalo sampai pada hari ke tujuh. Kebudayaan Kaseise adalah bentuk tolong- menolong temasuk didalamnya gotong-royong dan juga kerjasama. Bentuk tolong-menolong dalam budaya Kaseise ini adalah pemberian uang kepada keluarga yang meninggal dunia dengan tujuan meringankan beban ekonomi pada keluarga tersebut. Budaya Kaseise memang sudah sedikit memudar di wilayah perkotaan, karena pada umumnya masyarakat perkotaan lebih bersifat individual dan juga tidak saling mengenal karena banyak masyarakat pendatang atau bukan penduduk asli Muna. Akan tetapi di Desa Oelongko, Kecamatan Bone masilah sangat kental, budaya Kaseise di Desa Oelongko dari tahun ke tahun selalu meningkat. Masyarakat memiliki antusias yang cukup tinggi dalam hal tolong-menolong. Masyarakat disana memiliki rasa simpati dan empati yang tinggi, mereka tak segan untuk saling membantu karena masyarakatnya di Desa Oelongko masih sangat kekeluargaan. Kebudayaan Kaseise inilah yang mereka bentuk dan mempunyai banyak manfaat dan untuk kehidupan masyarakat terkhusus dalam kondisi ekonomi atau kondisi keuangan. Dengan adanya kebudayaan tolong meolong (Kaseise) dalam pelaksanaan hari pelepasan (Poalo) secara ekonomi dapat terbantu bagi keluarga yang meninggal dunia, dalam hal ini adalah acara pelaksanaan hari pertama Poalo, hari ketiga Poalo (Itolu), Patai, dan hari ketujuh Poalo (Ifitu). Dengan adanya kebudayaan tolong menolong (Kaseise) yang terdapat dalam Poalo ini dapat membantu meringankan beban keluarga yang meninggal dunia dalam hal melancarkan pelaksanaan hari pelepasan kematian (Poalo), ketika pelaksanaan hari pelepasan kematian (Poalo) diadakan seacar besarbesaran maka keluarga-keluaga akan berkumpul dan bisa menjalin silaturahim kembali, karna dalam acara tersebut menyebatrkan undangan untuk keluarga, selain silaturahim bersama keluarga, dengan adanya acara tersebut dapat memberikan manfaat silaturahim pada warga masyarakat dalam desa dan warga masyarakat desa-desa tetangga. b. Budaya Minum Kameko Kameko yang biasa dikenal degan pongasi Kameko berasal dari kata nomeko artinya manis, Kameko artinya pemanis atau produk minuman khas tradisional masyarakat muna secara turun temurun yang diproduksi dari tandan mayang pohon aren setiap pagi dan sore hari. Biasanya disajikan dalam acara- acara adat seperti : katandugho (pembayaran mahar adat kepada mempelai perepuan), dalam acara ini minuman kameko merupakan suguhan istimewa, ketika minuman ini disuguhkan ini menunjukan bahwa antara kedua bela pihak yang bermusyawarah sudah mencapai kata mufakat. Suguhan kameko dalam budaya muna biasanya dikonsumsi dengan adab- adab tertentu mulai adab duduk, adab distribusi dan adab cara minum harus beretika. Misalnya untuk adab duduk dengan cara duduk bersila membentuk lingkaran wujud kebersamaan oleh para orang tua dan tokoh-tokoh adat. Suguhan kameko ini mengandung arti sebagai media perekat hubungan keakraban yang sarat makna mengantarkan cerita silahturahmi lebih indah dan berwarna juga tidak ada paksaan bagi yang tidak minum untuk bergabung. 3. Persaatuan Indonesia 4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan a. Budaya Bidang Hukum Adat Budaya hokum adat adalah suatu kebiasaan masyarakat yang telah diwarisi secara turun temurun yang mengandung aturan dan memiliki kewibawaan yang kuat dan melebihi kewibawaan hukum formal. Sama halnya dengan masyarakat Wale-ale. Hukum adat sangat dihargai sehingga apapun yang telah dikatakan atau diputuskan oleh hukum adat seluruh masyarakat wajib mematuhinya. Pelanggaran terhadap hukum adat dapat dikenakan sangsi yang harus diterima oleh masyarakat tanpa ada bantahan. Sangsi tersebut misalnya pengasingan dalam pergaulan masyarakat atau denda. Pelanggaran dalam proses perkawinan seperti seorang laki-laki merampas pinangan orang lain maka ia diwajibkan untuk membayar denda atau mengembalikan segala perongkosan peminang pertama atau membayar mahar dua kali lipat. Selain itu terdapat pula peraturan yang ada hubungannya dengan akhlak dan dikenakan sangsi sosial bagi pelakunya seperti mamasuki rumah orang lain yang penghuninya seorang wanita, bernyanyi di jalan pada waktu tengah malam, mengucapkan kata-kata kotor, memegang tubuh wanita dan perbuatan lainnya yang sifatnya tidak terpuji. Selain itu terdapat pula peraturan yang ada hubungannya dengan akhlak dan dikenakan sangsi sosial bagi pelakunya seperti mamasuki rumah orang lain yang penghuninya seorang wanita, bernyanyi di jalan pada waktu tengah malam, mengucapkan kata-kata kotor, memegang tubuh wanita dan perbuatan lainnya yang sifatnya tidak terpuji. b. Budaya Hukum Adat Perkawinan Suku Muna Perkawinan dalam masyarakat Muna sangat unik yang berbeda dengan Suku lainnya di Indonesia. Sistem perkawinan ini telah ada semenjak dahulu kala sebelum masuknya agama Islam di Muna. Setelah datangnya Islam dan diterimanya agama ini oleh seluruh rakyat Muna, sistem perkawinan yang dahulunya tetap tidak berubah terutama yang berhubungan dengan masalah mahar (mas kawin). Yang berubah hanyalah proses ijab kabul-nya saja yang mengikuti ajaran Islam sebagai perkawinan dalam Islam. 1. Pemilihan jodoh Sebelum melakukan pelamaran kadang kala orang tua sering memilihkan jodoh untuk anaknya, namun hal ini sudah tidak di jumpai lagi dalam kalangan masyarakat suku Muna.pada hakekatnya pemilihan jodoh ini orang tua bercita-cita agar anaknya dapat kawin degan seorang yang cocok dan disenaginya.oleh karana itu sebelum orang tua mengambil keputusan terhadap jodoh anaknya,terlebih dahulu mereka megadakan penilain kepada perempuan yang akan dilamar. Penilayan ini tidak hanya dilakukan oleh orang tua,tetapi peranan kaum kerabat sangat menetukan pula yang menjadi ukuran penilaian adalah kecantikan,keturunan,agamanya,kekayaan,budi pekerti,serta ahlaknya. Apabila seorang laki-laki bermaksud melangsungkan perkawinan hal tersebut oarng tua merundingkan degan kaum kerabat dan anak yang bersangkutan. 2. Pertunagan (Kangkorano ajati) Perkawina timbul setelah adanya persetujuan antaran kedua belah pihak calon pengatin untuk selanjutnya melangsungkan perkawinan. Dan persetujuan ini di capai oleh kedua belah pihak setelah terlebih dahulu melakukan lamaran yang bisanya oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pertemuan yang pertama kalinya untuk membicarakan kehendak mengadakan perkawinan ini di daerah Muna di namakan (katangka) yang mengandung arti permintaan dalam bentuk pernyataan kehendak dari suatu pihak kepada lain untuk maksud mengadakan (ingin melaksakan) ikatan perkawinan sudah memberikan kepada pihak perempuan. Pertunagan baru mengikat apabilah dari pihak laki-laki (pihak yang meminang) sudah memberikan kepada pihak perempuan (pihak yang di pinang) sudah ad tanda pengikat yang kelihatan yang disebut (singkaru) dalam arti cincin Tanda pengikat yang dimaksud diberikan kepada keluarga pihak perempuan atau kepada orang tua pihak perempuan atau kepada bakat mempelai perempuan itu sendiri yang di pinang. Tanda lamaran itu biasanya dapat berupah : Sirih pinang - Sejumlah uang (mas kawin, uang adat) - Bahan pakaian - Makanan matang - Perhiasan,dan - Hasil perkebunan Tanda lamaran tersebut disampaikan oleh juru bicara pihak pelamar kepada pihak yang dilamar dengan bahasa dan peribahasa adat, yang indah, sopan, santun, dan penuh hormat dengan memperkenalkan para anggota rombongan yang datang, hubungan kekerabatan satu persatu dengan calon mempelai pria. Begitu pula juru bicara dari pihak wanita yang dilamar akan menyatakan penerimaannya dengan bahasa dan peribahasa adat. Setelah selesai kata-kata sambutan kedua belah pihak maka barang-barang tanda lamaran itu diteruskan kepada tokoh-tokoh adat, keluarga/kerabat wanita, kemudian kedua belah pihak mengadakan perundingan tentang hal-hal sebagai berikut : Besarnya uang jujur (uang adat, dan mas kawin). Besarnya uang permintaan (biaya perkawinan) dari pihak wanita. Bentuk perkawinan dan kedudukan suami isteri setelah perkawinan. Perjanjian-perjanjian perkawinan Kedudukan harta perkawinan. Acara dan upacara adat perkawinan. Waktu dan tempat upacara. Tidak semua acara dan upacara perkawinan tersebut dilaksanakan oleh para pihak yang akan melaksanakan perkawinan, hal ini tergantung pada keadaan, kemampuan dan masyarakat adat yang bersangkutan. Pada masyarakat suku Muna dalam upacara adat perkawinan Nampak sekali sifat atau ciri khususnya seperti halnya pada masyarakat Tongkuno. Pada masyarakat suku Muna dikenal beberapa tahapan dalam proses pelaksanaan adat perkawinan yaitu pemilihan jodoh, pertunangan, peminangan, kawin. 3. Pelamaran Bila ada persetujuan dapatlah dilakukan pelamaran, sebaliknya bila orang tua tidak setuju sedangkan anak yang bersangkutan sangat menginginkannya dapatlah terjadi perkawinan lari (Pofileigho). Dalam kebudayaan Muna, kawin lari(Pofileigho) masih sering di gunakan apabila mempelai pria mempunyai keterbatsan ekonomi untuk melamar mempelai wanita. Pada tahapan ini langkah pertama yang dilakukan setelah adanya kesepakatan dari pihak laki-laki, yaitu menghungi orang tua pihak perempuan bahwa mereka akan berkungjung kerumah orang tua perempuan melalui jugur bicara adat. Setelah itu bila orang tua perempuan bersedia untuk menerima kedatangan mereka, keluarga pihak laki-laki bersama juru bicara adanya berkunjung kerumah orang tua perempuan tersebut dengan membawa sebuah bungkusan yang merupakan “kabintingia” (talang kecil persegi empat). Terjadinya suatu perkawinan dalam masyarakat Muna pada dasarnya mempunyai suatu proses dan upacara tertentu yang harus dan mutlak untuk dilaksanakan sebab telah menjadi ketentuan hukum adat perkawinan dan telah menjadi tradisi masyarakat Muna. Dalam proses pelaksanaan di deerah Muna tidak dapat dianggap rame dan harus di taati karena perkawinan itu. Dalam menghadapi perkawinan baik pihak calon suami istri maupaun keluarga kedua belah pihak ada dua jalan yang harus ditempuh yaitu: Selamat atau mati” dan juga dalam membicarakan adat perkawinan mudah tetapi sulit, tetapi mudah (momuda maka nohali, nohali maka nomuda)” yang artinya mudah tapi mahal mahal tapi mudah. Sebelum dilangsukan prosesi perkawinan dalam masyarakat Muna sering juga di kenal dengan istilah uang pinang atau bisa di sebut degan kasih naik uang mahar dan yang menanyakan uang mahar terdebut adalah dari kelurga pihak perempuan dan bentuk uang mahar tersebut tergantung dari strata mana pihak perempuan berasal atau dari golongan mana pihak perempuan berasal. Dalam masyarakat Muna di kenal dengan 4 golongan yang berbedah-bedah nilai uang maharnya seperti : 1. Golongan kaomu, Golongan kaomu (La ode) menikahi golongan kaomu (Wa ode) atau golongan bawahnya, maharnya senilai 20 boka (saat ini 1 boka bernilai Rp.24.000) 2. Golongan walaka atau golongan sara, jika golongan walaka menika degan golongan kaomu maka maharnya senilai 35 boka. Akan tetapi kalau menikah dengan golongan walaka juga maharnya bernilai 10 boka 10 suku (1 suku bernila 0,25 boka jadi 10 boka 10 suku sekitar 12,5 boka) akan tetapi golongan sara-kaomu maharnya adalah 15 boka. Golongan sara kaomu (perempuan sara-kaomu) artinya ayahnya golongan walaka sememtara ibunya golongan kaomu. 3. Golongan anangkolaki, Jika golongan anangkolaki menikahi golongan kaomu, maka maharnya adalah 75 boka. Jika menikahi golongan walaka maharnya adalah 35 boka akan tetapi jika menikahi golongan anangkolaki juga atau dibawahnya maharnya adalah 7 boka 2 suku ( atau 7,5 boka). 4. Golongan maradika, Jika golongan mardika menikahi golongan kaomu maharnya adalah 2 x 75 boka jika menikahi golongan walaka maharnya adalah 75 boka jika menikahi anangkolaki maharnya 7 boka 2 suku (7,5 boka) 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia 1. Budaya Tradisi Khabanti Kantola Kabhanti kantola merupakan salah satu seni tradisi lisan dalam masyarakat Muna yang tertua dan terancam punah. Tradisi ini merupakan salah satu bentuk kesenian rakyat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kabhanti termasuk karya yang banyak jumlahnya yang meliputi: Kabhanti kantola, Kabhanti gambusu, dan Kabhanti modero. Kabhanti dalam ilmu folklore dapat dikategorikan sebagai jenis folksong, yaitu nyanyian rakyat berupa pantun berbalasan dengan berbagai varian atau tipe khas dari masing-masing daerah atau suku bangsa. Eksistensi tradisi Kabhanti kantola di Kabupaten Muna masih bertahan sampai dengan saat ini. Hanya saja minat dan perhatian masyarakat terhadap tradisi ini tampaknya mulai berkurang. Dalam praktiknya, tradisi kabhanti kantola dipertunjukkan oleh dua kelompok penyanyi; lakilaki dan perempuan. jumlah anggota dalam kelompok tidak terbatas tergantung pada kesepakatan bersama. Baju yang dikenakan dalam perhelatan—jika pada dekade dahulu menggunakan pakaian adat Muna lengkap baik dari kelompok laki-laki dan perempuan, maka pada perhelatan kali ini sudah ada unsur akulturasi budaya, pakaian Muna dipadukan dengan baju kebaya modern-dan Jas/jacket sebagai simbol pakaian nasional, dan jilbab dan songko- sebagai simbol pakaian muslim, dan sarung Muna mbiabia sebagai simbol identitas pakaian orang Muna. Rupanya hibridisasi budaya tidak terelakan dalam kehidupan masyarakat Muna, termasuk dalam momen penting pertujukkan tradisi lokal. Di dalam budaya Kabhanti Kantola mengandung beberapa makna dan nilai- nilai yang berkatan degan sila-sila pancasila yaitu sebagai berikut: 1. Nilai kebersamaan, Makna kebersamaan ini penting karena dalam syair-yair pantun Kabhanti Kantola sering mengandung kritikan tajam yang bisa saja melukai hati seseorang atau sekelompok orang, sehingga prinsip-prinsip kebersamaan harus ditegaskan dibagian awal syair kabhanti sebagai pengikat tingkah laku selama berlangsungnya acara tersebut. Jika dimaknai lebih jauh, makna kebersamaan sesungguhnya sebagai respon terhadap pergeseran- pergeseran sosial yang terjadi dalam masyarakat Muna dewasa ini. Paham individualis yang menguat sering dikontraskan dengan lunturnya kebersamaan. Individualisme berarti karakter individu atau tindakan yang merdeka, bebas atau mandiri, sebagai lawan dari kerjasama atau kolektif. Individualisme adalah penekanan pada kemampuan diri sendiri di atas kelompok atau Negara, bertolak belakang dengan faham kebersamaan dalam prinsip indonesia dan pokadulu dalam prinsip orang Muna. 2. Etika dalam berpolitik, Makna ini sesungguhnya masih berkaitan dengan pedoman hidup dapoia-piara, dapoadja-adhati, dapoangka-angka tao yang mengandung makna saling menyayangi, saling menghargai, dan saling menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat Muna. 3. Pendidikan dan Kesetaraan Gender, Pentingnya pendidikan dan kesetaraan akses antara laki-laki dan perempuan menjadi perhatian. Pada kehidupan masa lalu posisi perempuan selalu tidak dipertimbangkan dalam urusan pendidikan, namun kondisi seperti ini tidak berlangsung lama. Desakan ekonomi dan perkembangan pemikiran manusia telah mengubah pola berpikir mengenai pentingnya peran perempuan dalam kemajuan ekonomi rumahtangga maupun pembangunan bangsa. Simbol Kartini dalam teks di atas menunjukkan munculnya sebuah kesadaran baru di masyarakat, khususnya kaum perempuan untuk meningkatkan kualitas dirinya agar bisa berpartisipasi dalam roda pembangunan bangsa. b. Budaya Kematian