Anda di halaman 1dari 8

A. Landasan Filosofis -I'z-mrnsslr.

a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti
’bhineka tunggal ika’. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya
merupukan kekuyaan bangsa yang, temp menjunjung tinggi persatuan dun kcsatuan dulam Negaru
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

b. Pandangan Agama (khususnya Islam) antura lain ditegaskan bahwa : (l) manusia dilahirkan dalam
keuduan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3)
Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu scndiri (4) manusia diciptakan berbeda-
beda untuk saling silnturahmi (‘inldusif’).

c. Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk
hidup layak.

hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan

Berbicara tentang filosofis pendidkan inklusifdi Indonesia, tidak luput dari {llosofi bangsa Indonesia itu
sendiri. Sebagai bangsa yang berlandaskan

A. Landasan Filosofis -I'z-mrnsslr.

a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti
’bhineka tunggal ika’. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya
merupukan kekuyaan bangsa yang, temp menjunjung tinggi persatuan dun kcsatuan dulam Negaru
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

b. Pandangan Agama (khususnya Islam) antura lain ditegaskan bahwa : (l) manusia dilahirkan dalam
keuduan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3)
Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu scndiri (4) manusia diciptakan berbeda-
beda untuk saling silnturahmi (‘inldusif’).

c. Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk
hidup layak.

hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan

Berbicara tentang filosofis pendidkan inklusifdi Indonesia, tidak luput dari {llosofi bangsa Indonesia itu
sendiri. Sebagai bangsa yang berlandaskan

15

Pancasila, kita dituntut untuk dapat mengusung tinggi norma Bhinneka Tunggal Ika, baik secara tekstual
maupun kontekstual.

Adapun kaitan antara filosofl Indonesia dan pendidikan inklusif adalah landasan negara menuntut kita
untuk dapat mengemban tugas sebagai khalifah Tuhan dalam bidang pendidikan inklusif. Sebagai sesama
makhluk di dunia, manusia harus saling menolong, mendorong, dan memberi motivasi kepada semua
potensi kemanusiaan yang ada pada diri setiap peserta didik, termasuk anak berkebutuhan khusus
(ABK). Hal ini dilakukan agar ABK dapat mengembangkan potensinya dengan optimal dan mampu
meningkatkan kualitas kemandiriannya. Suasana tolong menolong seperti yang dikemukakan di atas
dapat diciptakan melalui suasana belajar dan kerjasama yang silih asah, silih asih, dan silih asuh (saling
mencerdaskan, saling mencinta, dan saling tenggang rasa).

Filosofi Bhinneka Tunggal Ika f, Pendidikan mengajak kita untuk meyakini bahwa di

dalam diri manusia bersemayam potensi InklUSIf kemanusiaan yang bila dikembangkan membiasakan
melalui pendidikan yang baik dan benar hidup dalam
dapat berkembang tak terbatasLLl Dan, perlu diyakini pula bahwa potensi itu pun ada pada diri setiap
ABK. Karena, seperti halnya ras, suku, dan agama di tanah Indonesia, keterbatasan pada ABK maupun
keunggulan pada anak

perbedaan ' '

pada umumnya memiliki kedudukan yang sejajar.

Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa keterbatasan ABK tidak dapat dijadikan alasan untuk
menjadikan pendidikan bersifat segregatif dan eksklusif, sehingga pendidikan untuk ABK harus
dipisahkan dengan anak pada umumnya. Karena dengan adanya pendidikan inklusif yang terintegrasi,
peserta didik dapat saling bergaul dan memungkinkan terjadinya saling belajar tentang perilaku dan
pengalaman masing-masing.

Sebagai bangsa beragama, penyelenggaraan pendidikan juga tidak dapat dipisahkan dengan nilai
keagamaan. Terlebih, interaksi yang terjadi dalam lingkup pendidikan tidak dapat dipisahkan dari hakikat
manusia sebagai makhluk sosial. Keberadaan manusia sebagai mankhuk sosial ini

disinggung dalam Al-Quran yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama
lain agar dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan.

Keberadaan peserta didik yang membutuhkan layanan khusus adalah manifestasi hakikat manusia
sebagai individu yang harus berinteraksi dengan tujuan berbuat kebaikan. Kembali pada kaliamat di awal
paragraf ini, dapat kita temukan bahwa terdapat kesamaan antara pandangan filosofis dan agama
tentang hakikat manusia. Hal ini dikarenakan keduanya merujuk pada kebenaran yang hakiki, yakni
Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dengan adanya titik temu antara landasan fllosofi dan landasan
religi diharapkan dapat menjadi landasan dalam pemanfaat penyelenggaraan pendidikan, khususnya
pendidikan inklusif.

B. LandasanYuridis --> Ar-rlcum} 5010., ("I’m


Berdasarkan kesepakatan UNESCO di Salamanca, Spanyol, pada 1994, ditetapkan bahwa pendidikan di
seluruh dunia harus dilaksanakan secara kekhususan atau inklusif. Dalam kesepakatan tersebut dikatakan
bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (education for all). Dengan ini dapat kita simpulkan bahwa
hak individu dalam menerima pendidikan tidak dibatasi oleh perbedaan warna kulit, ras, suku, dan
agama. Pun itu hak pendidikan untuk diterima oleh individu berkebutuhan khusus maupun individu yang
normal pada umumnya.

Dengan diselenggarakannya pelayanan pendidikan inklusif, pendidikan bagi individu berkebutuhan


khusus dapat diintegrasikan untuk keperluan pendidikan (education), bukan untuk keperluan
pembelajaran (instruction). Melalui cara inilah, para individu berkebutuhan khusus dapat dipergaulkan
dengan individu normal pada umumnya.

Bertolak belakang dengan kesepakatan UNESCO 1994 mengenai keharusan pelaksanaan pendidikan
inklusif, pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 yang belum direvisi, terdapat berbagai jenis
layanan Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang segregatif. Namun pada 201 1, Direktur PLB berinisiatif untuk
memulai pelaksanaan pendidikan inklusif. Setelah itu, menyusullah Direktorat Ienderal Pendidikan Tinggi
untuk mengikuti

dan mendukung inisiatifDirektur PLB, terutama dalam penyelenggaraan LPTK.

Dikarenakan keterlambatan perubahan perundang-undangan pendidikan di Indonesia, perkembangan


pendidikan di Indonesia pun berjalan dengan lambat. Dengan demikian, kesepakatan UNESCO 1994
tentang keharusan pelaksanaan pendidikan inklusif dapat mendukung landasan (ilosofls, religi, dan
keilmuan diharapkan dapat mengubah arah pendidikan yang segregatif menjadi inklusif (dengan
kekhususan).

Berdasarkan landasan-landasan di atas, pendidikan inklusif adalah pendidikan yang didasari oleh
semangat merangkul semua kalangan peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan inklusif
mengedepankan sikap menghargai setiap individu peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan
yang sesuai dengan setiap karakter, kemampuan, dan keterbatasannya. Sehingga, pendidikan inklusif
menjadi jembatan dari perbedaan yang ada di antara setiap individu peserta didik.

Stainback (1980) mengemukakan bahwa sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang
menampung semua murid di kelas yang sama. Sekoluh ini menyediakan program pendidikan yang layak,
menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan
dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil.

Sehingga dapat dipahami bahwa pendidikan inklusif adalah suatu sistem yang mengedepankan
pemberian perhatian menyeluruh kepada peserta didik, baik dari segi fasilitas, proses belajar, konten
pembelajaran, clan cara guru mendidik sesuai dengan kapasitas, kemampuan, dan ketidakmampuan
yang dlmiliki peserta didik. Dengan demikian, secara sederhana pendidikan inklusif dapat dikatakan
sebagai program pendidikan berkeadilan, bukan penyamarataan.

C. Landasan Pedagogik

Landasan pedagogis tercermin dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang berisi bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi
peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis dan bertanggung jawab. Ini berarti peserta
didik yang berkelainan atau dalam hal ini ABK pun juga dibentuk melalui pendidikan menjadi warga
negara yang demokratis clan bertanggung jawab, yaitu individu yang menghargai perbedaan dan
berpartisipasi dalam masyarakat sesuai batas kemampuan optimalnya.

Dalam rangka mencapai tujuan ',

pendidikan nasional, maka saat ini Pendldlkan pandangan dalam penegakan diagnosis mklusnf dilakukan
perubahan. Dikemukakan menciptakan Tarmetlflsyah (239;:3911bah3v? “Diagnfslis sebuah seperx yang 1
en an 1 masa au menyebabkan anak-anak diberi label. perbedaan Akibatnya guru memfokuskan pada
menlad'sesuatu keterbatasan yang disebabkan oleh yangindah dan kecacatannya.” Dengan begitu ABK
dengan m en I adikan diagnosis medis yang sama dipandang ,

. . . . . . sebagal harus dlberlkan pendldlkan yang samaDl "


sisi lain, labelisasi kecacatan menimbulkan kekuatan pendidikan ABK menjadi dispesialisasikan

dan dieksklusifkan, sehingga kebanyakan guru kehilangan pemahaman yang holistik tentang ABK, dan
pada akhirnya guru tidak menggunakan pendekatan holistik dalam pengajarannya. Namun kini disadari
bahwa ABK dengan diagnosis yang sama dipandang dapat diberikan pendidikan yang berbeda-beda,
karena pada dasarnya setiap ABK mempunyai kebutuhan pendidikan yang berbeda. Guru akan berusaha
melakukan asesemen terhadap ABK untuk mendapatkan informasi apa yang dapat dilakukan dan senang
dilakukan ABK tersebut, dengan demikian akan

terbuka peluang untuk menemukan potensi pendidikan ABK sesuai dengan kebutuhannya.

Seiring dengan perubahan pandangan terhadap ABK, terdapat tumutan dalam penggunaan konsep-
konsep dalam proses pembelajaran. Konsep penempatan diri ABK sebagai pusat perhatiun bukan
kecacatannya,

l9

sehingga bukan anak yang menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan melainkan sistem pendidikan
yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan anak. Berdasarkan hal tersebut diadakannya perubahan
dalam sistem layanan pendidikan, yaitu Special need educatian bukan lagi special education, sehingga
layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan konsep, yaitu difokuskan pada kebtuhan dan potensi ABK
bukan pada hambatan yang disebabkan oleh kecacatannya. Tuntutan konsep lainnya yaitu, kecacatan
dan keunggulan bukanlah hal yang dapat memisahkan ABK dengan anak pada umumnya sebagai peserta
didik untuk mendapatkan pendidikan secara bersama-sama. Semakin tinggi keyakinan bahwa setiap anak
sebagai insan manusia dapat dididik, sekaligus dapat mendidik, serta saling mendidik sesamanya
membuat semakin tinggi pula kesadaran bahwa pendidikan untuk semua anak dapat diselenggarakan
dalam sistem dan lingkungan yang sama. Konsep-konsep tersebut dapat diterapkan melalui pendidikan
inklusif.

D. Landasan Religius

Pendidikan inklusif telah diakui dan diterima kalangan agama Islam. Dalam konsepsi Islam, sebenarnya
telah mengamanatkan bahwa kita tidak boleh membeda-bedakan perlakuan terhadap mereka yang
cacat, hal ini dapat kita simak dalam Al’Quran, yaitu : Surat An Nur ayat (61) “Tidak ada halangan bagi
orang bum, tidak (pula) bagi orangpincang, tidak (pula) bagi orang sakit dan tidak (pula) bagi dirimu
sendiri, makan (bersamasama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah
ibu-ibumu, di rumah 5audara-5audaramu...”.

Dalam ayat tersebut menyiratkan makna bahwa Allah SWT tidak membeda-bedakan kondisi, keadaan
dan kemampuan seseorang dalam kehidupan sehari-hari, sehingga sangat jelas bahwa sebagai
ciptaanNya, setiap manusia harus menerima adanya perbedaan sebagai anugrah maha pencipta., ada
laki-laki ada perempuan, ada yang cacat dan ada yang tidak cacat. Dengan demikian inklusi adalah titrah
yang harus menjadi kewajiban manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan dengan penuh kasih
sayang.

g...w-I-o

._ ___.-...._._.w w-H-*.~

E. Landasan Psikologis

Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang didasari semangat terbuka untuk merangkul semua kalangan
dalam pendidikan. Pendidikan Inklusi merupakan Implementasi pendidikan yang berwawasan multikural
yang dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menhargai orang lain yang berbeda
suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian f151k maupun psikologis.

Tujuan luhur pendidikan inklusi yang berdasar pada keunikan setiap individu termasuk dalam tahapan
perkembangannya sejalan sekali dengan paham pada ilmu psikologi yang disemua referensinya
menekankan bahwa setiap individu akan tubuh dan berkembang sesuai dengan ritme serta karakteristik
khas masing-masing.

F. Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di Negara-negara barat sejak l980-an, namun penelitian
yang berskala besar yang dipelopori oleh the National Academy of Science (AS). Hasilnya menunjukkan
bahwa klasiflkasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak effective
dan diskriminatit‘. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya
diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982).
Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan
penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker,
Wang, dan Walberg, 1994/1995)

Prisoner (2003) yang melakukan survey pada kepala sekolah tentang sikap mereka terhadap pendidikan
inklusif menemukan bahwa hanya satu dari lima sekolah tersebut yang memiliki sikap postif tentang
penerapan pendidikan inklusif. Dalam suatu penelitian menemukan bahwa guruguru dalam sekolah
inklusif lebih memiliki sikap positif terhadap peran guru inklusi dan dampaknya daripada guru pada
sekolah regular. Meyer (2001) mengatakan bahwa siswa yang memiliki kecacatan yang cukup ditemukan
untuk memiliki keberhasilan yang lebih besar manakala mereka

21

memperoleh pendidikan dalam lingkungan yang menerima mereka khususnya yang berkaitan dengan
hubungan social dan persahabatan mereka dengan masyarakamya.

Beberapa penehti kemudian melakukan meta analisis (analisis lanjut) mas basil bunyak penelitian
sejenis. Husil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dam Kuvule U980) terhadap 50 buah penelitian, Wang
dan Baker (1985 1986) terhadap 11 buah penelitian dan Baker (1994) terhadap

13 buah penelitian memmjukkan bahwa pendidikan inklusi berdampak positif, balk terhadap
perkembangan akademik maupun sosial anak

penyandang disabilitas dan teman sebayanya.

Anda mungkin juga menyukai