Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Virus dengue merupakan penyebab penyakit demam berdarah dengue (DBD)
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Demam
Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius di banyak
daerah tropis dan subtropis di dunia dan tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat
dan Karibia. Penyakit yang ditimbulkan oleh virus dengue paling banyak terjadi di Asia
Tenggara dengan bentuk yang paling berbahaya yaitu DBD dan sindrom syok dengue
(SSD). Indonesia merupakan wilayah endemis dengan penyebaran yang terjadi di seluruh
wilayah (Yulfi, 2006).
Virus dengue termasuk kelompok arthropod borne virus (arbo virus), genus
Flavivirus, dan famili Flaviviridae. Perbedaan virus dengue didasarkan atas perbedaan
antigennya yang dibagi menjadi 4 serotipe yaitu : DEN 1, DEN2 , DEN 3 dan DEN 4.
Keempat serotipe virus ini terdapat di Indonesia dan dilaporkan bahwa serotipe virus
DEN 3 yang paling sering menimbulkan wabah. Infeksi virus dengue telah ada di
Indonesia sejak abad ke-18. Pada saat itu infeksi virus ini merupakan penyakit ringan
yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi pertama kali ditemukan di Filipina
pada tahun 1952, infeksi virus dengue menimbulkan manifestasi yang berat yaitu demam
berdarah dengue dan selanjutnya dapat menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia
pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya. Sejak saat itu penyakit tersebut
menyebar ke seluruh daerah dengan jumlah kasus yang cenderung meningkat setiap
tahun (Depkes, 2006).
Infeksi virus dengue ditularkan melaui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
albopictus. Kedua nyamuk ini terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali pada
tempat-tempat yang berada di ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut
(Depkes, 2004). Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor utama virus dengue karena
hidupnya di dalam dan disekitar rumah, sedangkan Aedes albopictus hidupnya di daerah
perkebunan sehingga lebih jarang kontak dengan manusia. Jika virus dengue berada
dalam tubuh nyamuk maka virus tersebut akan tetap berada dalam tubuh nyamuk
sepanjang hidupnya sehingga dapat menularkan virus dengue selama hidupnya.

1
Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk. Sebelum nyamuk menghisap
darah, nyamuk akan mengeluarkan air liur agar darah yang dihisap tidak membeku.
Bersama air liur inilah virus dengue ditularkan ke orang lain. Sebelumnya virus telah
bereplikasi dalam kelenjar ludah nyamuk selama 8-12 hari. Selain itu nyamuk Aedes
memiliki waktu hidup yang cukup panjang yaitu sekitar 15-65 hari sehingga penularan
masih bisa terjadi. Setelah virus masuk ke dalam tubuh seseorang, virus akan memasuki
periode inkubasi selama 3-14 hari. Selama itu virus akan bereplikasi di dalam sel target
yaitu sel dendritik dan belum menunjukkan serangan. Infeksi pada sel target
mengakibatkan pembentukan respon imun seluler dan humolar terhadap infeksi virus
pertama dan berikutnya (Siregar, 2004).
Virus dengue dapat menyebabkan dua tipe infeksi yaitu primer dan sekunder.
Infeksi primer terjadi jika demam akut yang dikenal sebagai demam dengue (dengue
fever) yang akan hilang setelah kira-kira tujuh hari setelah terbentuk respon imun
komplek. Infeksi sekunder lebih berat dan menyebabkan demam berdarah dengue (DBD)
atau sindrom syok dengue (SSD) (Guzman, 2002).
Gambaran klinis penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue ini sering
tidak khas, karena dapat menyerupai penyakit-penyakit yang lain seperti flu, demam
tifoid, demam chikungunya, leptospirosis, malaria dan berbagai penyakit lainnya.
Manifestasi klinis akibat infeksi virus dengue ini dapat menimbulkan gejala yang
bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimptomatik), demam ringan yang tidak
spesifik, demam dengue atau bentuk yang lebih berat yaitu demam berdarah dengue
(DBD) dan sindrom syok dengue (SSD).
Pada umumnya diagnosis penyakit dengue sulit ditegakkan pada beberapa hari
pertama sakit karena gejala yang muncul tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan
penyakit lainnya. Pemeriksaan laboratorium sebagai salah satu penunjang dalam
penegakan diagnosis infeksi virus dengue juga telah mengalami perkembangan yang
cukup signifikan. Mulai dengan pemeriksaan isolasi virus dengue, pemeriksaan PCR
dengue, hingga pemeriksaan cepat seperti IgG/IgM Dengue dan yang terbaru NS1 Ag
Dengue. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai macam pemeriksaan untuk mendeteksi
keberadaan virus dengue dan mengetahui serotipe pada virus dengue.

2
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui beberapa metode pemeriksaan Dengue

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Virus Dengue
Virus penyebab demam Dengue termasuk arbovirus (arthropod – borne viruses),
merupakan virus kedua yang dikenal menyebabkan penyakit pada manusia. Virus ini
merupakan anggota keluarga dari Flaviviridae. Virus dengue dewasa terdiri dari genom
asam ribonukleat berserat tunggal yang dikelilingi oleh nukleokapsid dengan diameter
sekitar 30 nm. Nukleokapsid ini dikelilingi oleh selubung lemak dengan ketebalan
sekitar 10 nm. Diameter keseluruhan virion tersebut kira-kira 50 nm. Protein virus
dengue terdiri dari protein C untuk kapsid dan core, protein M untuk membran, protein
E untuk selubung dan protein NS untuk protein non struktural (Danny, 1999).
Berdasarkan sifat antigen dan sekuen genetic terdapat 4 variasi serotipe virus
dengue yaitu DENV-1 hingga DENV-4. Struktur antigen keempat serotipe tersebut
sangat mirip satu dengan yang lain, tetapi antibodi terhadap masing-masing serotipe
tidak saling memberikan perlindungan silang. Setiap virus terdiri dari pita tunggal
ribonucleic acid (RNA) dengan Panjang 10700 basa. Polirotein tunggal tersebut
diproduksi dari satu untai terbuka protein yang diperoleh melalui pembelahan protein
dan protease viral. Genome virus mengkode tiga protein struktural (capsid [C], pre-
membrane [preM/M], dan envelope [env]), serta tujuh protein non-struktural yaitu
(NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5).Protein struktural dan non-struktural
tersebut mempunyai perannya masing-masing. Glikoprotein env dan protein M yang
tidak terglikosilasi berperan dalam membentuk dua lapisan permukaan lipid yang
menyelubungi struktur nukleokapsid DENV.Protein env berperan penting dalam
pengikatan reseptor dan penyatuan membran sebagai imunogen utama dalam proses
terjadinya infeksi DENV. Protein tersebut juga mempunyai area terbanyak yang
bereaksi dengan antibodi penetralisir. Nukleokapsid dibentuk oleh protein C dan pita
RNA tunggal (Zulkifli, Hilman dkk., 2013).
Komposisi virion terdiri dari 6% RNA, 66% protein, 9% karbohidrat, dan 17%
lipid. Protein envelope (E) dan protein membran (M) menempel dalam lapisan lipid
pada C-terminal yang hidrofobik (Teo and Wright, 1997).

4
Gambar 1. Struktur Virus Dengue
Protein C adalah protein pertama yang dibentuk pada waktu translasi genom
virus. Berat molekulnya kira-kira 13.500, kaya asam amino lisin dan arginin sehingga
protein C bersifat basa. Karena sifatnya itu protein C mampu berinteraksi dengan RNA
virion. Selain itu pada ujung karboksilnya, protein C terdiri dari rangkaian asam amino
hidrofobik yang memungkinkan ia menempel pada membran sebelum dipecah oleh
signalase pada ujung protein prM. Pada akhirnya, ujung hirofobik protein C dilepas
oleh enzim protease yang dikode gen virus sesaat menjelang morfogenesis virion.
Protein C merupakan salah satu protein flavivirus yang conserved, walaupun masih
kurang conserve dibanding protein structural lain.
Protein prM adalah glikoprotein dengan berat molekul 22.000 dan pecah menjadi
protein M dan glikoprotein lain menjelang morfogenesis lengkap virion. Pemecahan
ini tampaknya merupakan hal kritis bagi morfogenesis karena pemecahannya diikuti
segera dengan naiknya titer virus aktif. Protein E di dalam sel terinfeksi dapat berada
dalam bentuk heterodimer antara prM-E. Protein E berat molekulnya 51.000 – 60.000
dan dalam virion berada dalam bentuk homotrimer. Dalam rangkaian asam aminonya,
protein E mempunyai 12 gugus sistein yang membentuk enam ikatan disulfida.
Melihat konfigurasinya, pada protein E terdapat tiga kelompok epitop yang terpisah
yaitu epitop A, B dan C. Empat serotipe virus dengue (1 hingga 4) bagiannya kira-kira
60% - 74% merupakan residu asam amino gen E merupakan pembeda antara serotipe
yang satu dengan yang lainnya dan menyebabkan reaksi antibody.

5
2.2 Epidemiologi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang
paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan
atau dengue shock syndrome (DSS), ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae.
albopictus yang terinfeksi. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus
dengue yang termasuk ke dalam family Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari
serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 (Aryu Candra. 2010).
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik
bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak, 90%
di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu
terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan
jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih.14 Pada
tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara
bermakna dibandingkan tahun 2004
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18 seperti yang dilaporkan
oleh David Bylon, dokter berkebangsaan Belanda. Saa Virus Dengue termasuk
arbovirus (arthropod – borne viruses), famili Flaviviridae. Perbedaan virus dengue
didasarkan atas perbedaan antigennya yang dibagi menjadi 4 serotipe yaitu : DEN 1,
DEN2 , DEN 3 dan DEN 4. itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang
dikenal sebagai penyakit demam lima hari, kadang juga disebut sebagai demam sendi
(knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam 5
hari disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala (Aryu Candra. 2010).
Demam berdarah dengue di Indonesia pertama kali dicurigai terjangkit di
Surabaya pada tahun 1968, tetapi kepastian virologiknya baru diperoleh pada tahun
1970. Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yaitu nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor primer dan Aedes polynesiensis, Aedes
scutellaris serta Aedes(Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder, selain itu juga terjadi
penularan transsexual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan serta
penularan transovarial dari induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan virus
dengue melalui transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang

6
berasal dari penderita asimptomatik. Dari beberapa cara penularan virus dengue,yang
paling tinggi adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti.19 Masa inkubasi
ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi
intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti dengan respon imun
(Aryu Candra. 2010).
Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya munculnya
kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus
dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinkan untuk tumbuh dan
berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain itu, dipengaruhi faktor predisposisi
diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah,
pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan terhadap
penyakit, dan lainnya (Aryu Candra. 2010).

2.3 Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama
mungkin memberi gejala sebagai demam dengue. Reaksi yang amat berbeda akan
tampak bila seseorang mendapat infeksi yang berulang dengan tipe virus dengue yang
berlainan. Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang
masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan anti-
body dependent enhancement (ADE).
Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan bahwa, bila seseorang
mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses
kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang
lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus
dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody
heterologous yang terbentuk pada infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan
infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan
cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi,
yang berakibat terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue (Aryu
Candra.2010 ).
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa hari
dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue

7
destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena infeksi
virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolic (Aryu Candra.
2010).
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat menyebabkan bermacam-macam
keadaan yang tidak menimbulkan gejala, demam ringan yang tidak spesifik, demam
dengue (DD) atau bentuk yang lebih berat yaitu demam berdarah dengue (DBD) dan
sindrom syok dengue (SSD). Gejala yang umum terjadi pada penderita demam dengue
adalah demam tinggi mendadak, nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri
otot, tulang atau sendi, mual, muntah, dan timbul ruam berbentuk makulopapular. Ruam
muncul pada awal penyakit (1-2 hari) kemudian akan hilang tanpa menimbulkan bekas
dan selanjutnya akan timbul ruam merah halus pada hari ke 6 atau ke 7 terutama pada
daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan
leukopeni, kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Pada masa penyembuhan dapat
disertai rasa lesu yang berkepanjangan terutama pada orang dewasa. DD dapat juga
disertai perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri atau hemoragi. DD yang
disertai perdarahan harus dibedakan dengan DBD, dimana pada DD tidak dijumpai
kebocoran plasma.
Gejala DBD ditandai dengan adanya demam tinggi mendadak selama 2-7 hari
disertai muka kemerahan, sakit kepala, nyeri otot, tulang atau sendi, mual, muntah, dan
anoreksia. Biasanya juga ditemukan nyeri perut terutama di daerah epigastrium. Bentuk
perdarahan yang sering ditemukan adalah uji tourniqet positif, kulit mudah memar dan
perdarahan pada bekas suntikan. Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase
demam, pada ssat itu terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba, sering disertai dengan
gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat ringannya. Pada pemeriksaan darah
selalu ditemukan trombositopeni dan hemokonsentrasi. Hemokonsentrasi terjadi karena
kebocoran plasma, dinilai dengan peningkatan nilai hematokrit. Penurunan jumlah
trombosit yang disertai peningkatan hematokrit biasanya terjadi pada saat suhu turun
atau sebelum syok terjadi.
Sindrom syok dengue (SSD) adalah manifestasi klinis demam berdarah dengue
yang disertai tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Syok biasanya terjadi antara hari ke 3
sampai hari ke 7. Penderita mula-mula gelisah, kemudian jatuh ke dalam syok yang

8
ditandai dengan gejala berupa kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-
lemah, tekanan nadi ≤20 mmHg dan hipotensi. Dengan diagnosis dini dan penggantian
cairan yang adekuat, syok dapat segera diatasi (Depkes, 2006).

2.4 Pemeriksaan Laboratorium Infeksi Virus Dengue


Pemeriksaan laboratorium untuk infeksi virus dengue ada yang bersifat spesifik
dan non-spesifik. Pemeriksaan yang bersifat spesifik diantaranya adalah isolasi virus /
identifikasi virus, dan pemeriksaan serologi (Uji hambatan hemaglutinasi (HAI), anti
dengue IgM dan IgG. Pemeriksaan non spesifik diantaranya, pemeriksaan hematologi
dan radiologi (Kurniawati M. 1996). Isolasi dan identifikasi virus mempunyai nilai
ilmiah tertinggi karena penyebab infeksi dapat dipastikan. Namun, virus Dengue relatif
labil terhadap suhu dan faktor-faktor fisiko kimiawi tertentu, dan masa viraemia sangat
singkat sehingga keberhasilan cara ini sangat tergantung kepada kecepatan dan
ketepatan pengambilan bahan,pengolahan dan pengirimannya. Isolasi dapat dilakukan
pada nyamuk, biakan sel atau bayi mencit. Waktu yang diperlukan cukup lama yaitu 7 -
14 hari, sehingga tidak dapat digunakan untuk panduan terapi. Di samping itu biayanya
relative mahal dan hanya dapat dilakukan oleh laboratorium tertentu saja (Danny,
1999.)
Deteksi antigen adalah mencari bagian tertentu dari virus Dengue yang
menimbulkan penyakit baik yang berupa peptida ataupun asam nukleat. Metode yang
digunakan bisa immunofluorecence, mmunoperoxydase, atau polymerase chain reaction
( PCR ). Metode PCR lebih sensitive karena dapat mendeteksi antigen yang sangat
sedikit dalam darah dan dalam waktu yang relative singkat. Viremia yang terjadi dalam
waktu singkat sebelum antibodi terbentuk sudah dapat diketahui. Metode
reversetranscription PCR sangat sensitif dan spesifik sekali dan dapat mendeteksi
viremia oleh virus Dengue pada hari kedua demam . Namun, karena biaya yang mahal,
dan hanya laboratorium tertentu yang menggunakan metode diagnosis molekuler ini
sehingga tidak dijadikan panduan terapi bagi semua kasus yang menyangkut masyarakat
luas.
Tes serologi merupakan jenis pemeriksaan yang paling sering dilakukan. Uji
serologis yang klasik adalah uji hambatan hemaglutinasi, uji pengikatan komplemen

9
dan uji netralisasi (Danny, 1999). Uji yang lebih modern adalah enzyme linked
immunosorbent assay ( ELISA ), immunoblot dan immunochromatography.
Untuk diagnosis cepat pada fase akut sehingga dapat dijadikan panduan terapi
telah dikembangkan metode ELISA, immunoblot dan immunochromatography. Metode
ELISA biasanya menggunakan plat yang dilapisi antibodi poliklonal yang umumnya
diperoleh dengan menyuntik virus Dengue pada mencit dan diambil serumnya. Antibodi
ini akan menangkap antigen Dengue baik dalam bentuk kompleks dengan antibodi (Ig
M atau IgG) atau sendiri, tanpa ikatan apa-apa. IgM atau Ig G yang tertangkap akan
dideteksi dengan anti human Ig M dari serum kelinci yang telah dilabel dengan enzim.
Keberadaan enzim tersebut akan diperlihatkan dengan menggunakan sistem substrat-
kromogen. Immunoblot, merupakan pengembangan dari ELISA agar lebih praktis, di
mana plat ELISA diganti dengan kertas nitroselulose yang telah di blot dengan antigen
virus (Danny, 1999).
Belakangan ini makin berkembang metode diagnostik serologis dari infeksi
Dengue, terutama dalam hal kecepatan dan kepraktisannya. Metode
immunochromatography terhadap IgG dan IgM anti Dengue. Serum pasien yang
tersangka terinfeksi virus Dengue, yang mungkin mengandung IgM atau IgG anti
Dengue, akan diikat secara spesifik oleh anti human IgM atau IgG yang dalam hal ini
berperan sebagai fase padat pada membran nitroselulose. Antibodi IgM atau IgG dari
serum akan bereaksi pula dengan suatu kompleks yang terdiri dari antigen Dengue dan
gold labelled antiDengue monoclonal antibody; yang kemudian akan memberi tanda
perubahan warna.
Pada beberapa tahun terakhir, pemeriksaan molecular berbasis genomic virus
RNA dengan menggunakan reverse transcription PCR modifikasi RT PCR, Real Time
PCR, dan metode amplifikasi isothermal yang telah berperan penting untuk
menengakkan diagnosis virus dengue selama stadium akut. Dibandingkan dengan
metode isolasi virus dan metode serologi, Teknik molekular lebih cepat, lebih sensitive,
dan spesifik dan dapat membedakan bermacam – macam serotype virus dengue dan
dapat memberikan data epidemiologi pada distribusi serotype virus.
Saat ini telah dikembangkan metode diagnostik yang lebih kompleks yaitu tehnik
molekular dan metode serologi yang digunakan pada sebagian besar laboratorium

10
dengan mendeteksi adanya virus dengue. Setelah terjadinya onset penyakit, virus dapat
dideteksi selama minggu pertama pada serum, plasma, sirkulasi sel darah merah, dan
organ lainnya. Selama fase awal tehnik yang umum dilakukan untuk melakukan
diagnosis adanya infeksi virus dengue dengan cara isolasi virus, deteksi asam nukleat
virus, dan deteksi antigen viral. Pemeriksaan antibodi anti-Virus dengue adalah yang
paling sering dilakukan selama 7 hari pertama. Kekurangan dari pemeriksaan serologi
adalah ketidakmampuan untuk membedakan serotipe virus dengue yang menginfeksi
dan antibodi yang potensial untuk terjadinya reaksi silang dengan flavivirus.

11
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Metode PCR


PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan suatu prosedur yang efektif untuk
melakukan pelipatgandaan (amplifikasi) DNA. Proses ini mirip dengan proses replikasi
DNA dalam sel. Amplifikasi ini menghasilkan lebih dari sejuta kali DNA yang asli. Hasil
pelipatgandaan segmen DNA ini menyebabkan segmen DNA yang dilipatgandakan
tersebut mudah dideteksi karena konsentrasinya tinggi. Pendeteksian dilakukan dengan
metode pemisahan molekul berdasarkan berat molekulnya yang disebut dengan
elektroforesis menggunakan gel agarosa (Sudjaji, 2008). Proses pelipatgandaan DNA
pada PCR meliputi tiga tahapan utama yaitu denaturasi, annealing, dan ekstensi. Proses
denaturasi bertujuan untuk melepaskan rantai ganda DNA menjadi dua rantai tunggal
DNA. Poses denaturasi DNA dilakukan dengan cara menaikkan suhu sampai 95˚C.
Sebelum proses denaturasi ini, biasanya diawali dengan proses denaturasi inisial untuk
memastikan rantai DNA telah terpisah sempurna menjadi rantai tunggal. Setelah proses
denaturasi dilanjutkan dengan proses annealing atau pemasangan 2 rantai primer pada
kedua rantai DNA tersebut. Rantai primer berfungsi sebagai pancingan awal dalam
pelipatgandaan segmen DNA. Rantai primer terdiri dari 18-24 deret basa nukleotida
pengode DNA (adenin, guanin, timin, dan sitosin) dan biasanya dapat dipasangkan
dengan DNA yang akan dideteksi. Proses pemasangan primer dengan DNA yang akan
dideteksi ini membutuhkan suhu optimum sesuai kebutuhan primer tersebut. Biasanya
dengan cara menurunkan suhu antara 37-60˚C. Setelah itu dilanjutkan dengan proses
ekstensi atau perpanjangan. Pada proses ini deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang
sebelumnya telah ditambahkan dalam pereaksi, menyebabkan primer yang tadinya hanya
18 sampai 24 deret basa nukleotida akan memperoleh tambahan basa nukleotida yang
terdapat di dNTP dan kemudian menjadi sepanjang segmen DNA yang dilipatgandakan
itu. Proses ini dibantu oleh adanya enzim DNA polimerase dan enzim ini bekerja
optimum pada suhu 72˚C. dNTP merupakan kumpulan 4 jenis basa nukleotida (A, G, T
dan S) yang terikat pada 3 gugus fosfat dan masing-asing berdiri bebas sampai enzim
DNA polimerase mengkatalis pengikatannya pada primer. Setelah siklus PCR berakhir,
proses final ekstension dilakukan selama 5-15 menit pada suhu yang sama dengan proses

12
ekstensi untuk menjamin semua rantai tunggal DNA telah penuh terbentuk. Ketiga proses
pada PCR ini dilakukan berulang-ulang sampai jumlah kelipatan segmen DNA sesuai
dengan yang dibutuhkan (Sopian, 2006).
Pada metode PCR biasa sumber sampel yang digunakan adalah DNA yang
diekstrak dari sel atau jaringan. Sedangkan pada RT-PCR sampel yang digunakan bukan
DNA melainkan RNA. RNA merupakan asam ribonukleat rantai tunggal, sedangkan
DNA adalah asam ribonukleat rantai ganda. Ciri khas RNA adalah tidak terdapat gugus
basa timin (T) melainkan diganti oleh urasil (U). Pada metode RT-PCR hal yang harus
dilakukan pertama kali adalah mengubah RNA menjadi DNA dengan menggunakan
enzim reverse transcriptase, yang disebut dengan komplemen DNA (cDNA). Dalam hal
ini disintesis cDNA dari perpasangan antara gugus basa U dan A, serta G dan C. Dari
cDNA inilah dilipatgandakannya segmen DNA yang mirip urutan basa nukleotidanya
dengan RNA, hanya U terganti kembali ke T. Karena adanya penambahan proses sintesis
cDNA, maka tahapan pada proses PCR bertambah pula. Tahap pertama terjadi proses
annealing untuk memasangkan primer untuk memperpanjang segmen cDNA. Setelah
terbentuk segmen cDNA ini, baru kemudian masuk ke proses PCR seperti biasanya
(Sopian, 2006).
RT-PCR terbagi atas one step and two step RT-PCR. One step lebih
menguntungkankarena lebih cepat, simpel, dan resikokontaminasinya rendah dari pada
two step RTPCR.
Tahap RT PCR terdiri dari :
1. Manajemen sampel : Sampel dapat diperoleh dari hasil isolasi virus ataupun dari
serum pasien akut. Virus yang akan langsung diperiksa disimpan pada suhu -4˚C atau -
8˚C untuk pemeriksaan kurang dari 24 jam. Namun jika lebih dari 24 jam dilakukan
penyimpanan sampel -70˚C.
2. Ekstraksi RNA : RNA dipisahkan dari dari sampel serum atau isolasi virus
dengan menggunakan suatu kit yang mempunyai carrier dan dapat mengikat RNA
sehingga hasil ekstraksi RNA tersebut dapat digunakan. Ekstraksi RNA yang telah
direhidrasi dapat disimpan pada suhu -70˚C.
3. RT-PCR : Pemeriksaan ini diawali dengan mengubah RNA membentuk cDNA
dengan enzim reverse transkriptase.Terdapat beberapa jenis enzim reverse transkriptase

13
yang diketahui. Setelah terbentuk cDNA dilakukan PCR dengan langkah denaturasi,
annealing primer dan ekstensi. Dari RNA menjadi cDNA dilakukan pada suhu 50˚C
selama 30 menit. Sedangkan denaturasi pada suhu 94˚C selama 15 menit dilanjutkan
dengan anneling pada suhu 58˚C 1 menit dan ekstensi 58˚C selama 1 menit.
4. Deteksi dan karakterisasi : Untuk mengetahui hasil amplifikasi dilakukan
elektroforesis pada gel agarose 2% dengan menggunakan ethidium bromida dan diperiksa
di UV transluminator untuk dibandingkan dengan marker (Gurukumar, 2009).
Baik PCR konvensional atau Real time RT-PCR lebih banyak digunakan yang one
step, karena pada sekali pemeriksaan dapat digunakan untuk mendeteksi 4 jenis serotipe
virus dengue. Selain itu metode ini lebih spesifik dan tidak terjadi reaksi silang antara
sesama flavivirus ataupun dengan alfaviridae (Cristina, 2011).
Elektroforesis, merupakan teknik pemisahan makromolekul (asam nukleat atau
protein) dalam suatu campuran di bawah pengaruh medan listrik. Prinsip kerja
elektroforesis yaitu pergerakan partikel-partikel yang bermuatan berdasarkan kecepatan
migrasi partikel tersebut dalam suatu medan listrik. Partikel tersebut bergerak dari kutub
negatif (anion) menuju kutub positif (kation). Elektroforesis dapat menggunakan gel
agarosa, poliakrilamid, atau agarosa poliakrilamid (Brown, 1999).
Elektroforesis menggunakan gel agarosa merupakan metode standar untuk
pemisahan, identifikasi, dan pemurnian fragmen DNA. Gel garosa dibuat dengan cara
melelehkan agarosa dalam buffer dengan pemanasan yang selanjutnya dituangkan dalam
cetakan serta dibiarkan sampai dingin. Setelah gel mengeras kemudian diberikan medan
listrik pada kedua ujungnya, maka DNA yang bermuatan negatif pada pH netral akan
bergerak ke anoda. Molekul DNA yang lebih besar akan bergerak lebih lambat karena
terjadi gesekan yang lebih besar. Untuk mendeteksi adanya DNA, sebelum dimasukkan
dalam gel agarosa,terlebih dahuludiwarnai dan kemuadian dapat dilihat adanya pita
molekul pada gel agarosa jika diletakkan di atas cahaya ultraviolet. Pita molekul ini
menandakan adanya segmen DNA (Sudjaji, 2006).
Untuk menentukan jenis serotipe virus dengue yang telah diamplifikasi maka
dilakukan elektroforesis. Cara melakukan elektroforesis adalah sebagai berikut :
Gel agarose 2% dibuat dengan cara : 10 ml 1X TAE buffer dicampur dengan 100 ml
aquades (pengenceran 10x), lalu 50 ml larutan 1X TAE buffer tersebut dicampurkan

14
dengan 1 gram agarose. Kemudian dipanaskan dalam microwave sampai mendidih,
selanjutnya ditambahkan 1:1000 SYBER safe-TM dan tuang dalam cetakan agarose gel
yang telah disediakan dengan jumlah sumuran (well) sesuai dengan yang diinginkan.
Setelah gel agarose mengeras, kemudian dimasukkan ke dalam tangki (chamber)
elektroforesis yang berisi 1X TAE buffer. Kemudian 5-10 μl hasil PCR dicampur dengan
1 μl blue juice 2X dan dimasukkan ke dalam sumur pada gel agarose, lalu dimasukkan
secara berturut-turut 10 μl marker, 5-10 μl kontrol positif dan 5-10 μl kontrol negatif pada
sumur-sumur berikutnya. Kontrol positif adalah hasil amplifikasi PCR yang berisi master
mix yang dicampur dengan RNA virus DEN 1 dan kontrol negatif adalah hasil
amplifikasi PCR yang berisi master mix yang dicampur dengan nucleus free water.
Power supply kemudian dinyalakan pada posisi 100 V, 400 mA dan waktu 40 menit
selanjutnya DNA akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif.
Setelah dilakukan elektroforesis, gel agarose dimasukkan ke dalam alat gel imaging
untuk melihat hasil amplifikasi RNA virus dengue yang dilakukan dengan teknik RT-
PCR. Pita molekul yang terlihat pada gela garose menandakan adanya segmen DNA,
kemudian pita DNA tersebut dibandingkan dengan pita yang ada pada kontrol positif dari
marker.

3.2 Metode Serologi


Uji serologi yang belakangan ini telah dikembangkan ialah metode
imunokromatografi, karena dapat menemukan antibodi IgM dan IgG antidengue
menggunakan serum tunggal dalam waktu singkat, caranya mudah dan cepat (15 sampai
30 menit), praktis serta sederhana. Uji tersebut memiliki keandalan diagnostik dengan
sensitivitas 100% diinfeksi primer dan 93,3% di infeksi sekunder.
IgG/IgM Dengue adalah rapid test yang muncul lebih dulu dibanding NS1 Ag
Dengue, pemeriksaan ini mendeteksi adanya antibodi terhadap virus dengue. Ada dua
antibodi yang dideteksi yaitu Imunoglobulin G dan Imunoglobulin M, dua jenis antibodi
ini muncul sebagai respon tubuh terhadap masuknya virus ke dalam tubuh penderita.
Imunoglobulin G akan muncul sekitar hari ke-4 dari awal infeksi dan akan
bertahan hingga enam bulan pasca infeksi. Atas dasar itulah maka antibodi ini
menunjukkan kalau seseorang pernah terserang infeksi virus dengue, setidaknya dalam
enam bulan terakhir. Imunoglobulin M juga diproduksi sekitar hari ke-4 dari infeksi
15
dengue, tetapi antibodi jenis ini lebih cepat hilang dari tubuh. Adanya Imunoglobulin M
dalam tubuh seseorang menandakan adanya infeksi akut dengue atau dengan kata lain 5
menunjukkan kalau penderita sedang terkena infeksi virus dengue. Sensitivitas dan
spesifitas pemeriksaan ini cukup tinggi dalam menentukan adanya infeksi virus dengue.
Pemeriksaan Non Struktural 1 (NS1) ditujukan untuk mendeteksi virus dengue
lebih awal. Virus dengue memiliki 3 protein structural dan 7 protein non structural. NS1
adalah glikoprotein non structural yang diperlukan untuk kelangsungan hidup virus.
Pemeriksaan NS1 Ag yang berarti nonstructural-1 antigen adalah pemeriksaan
yang mendeteksi bagian tubuh virus dengue sendiri. Karena mendeteksi bagian tubuh
virus dan tidak menunggu respon tubuh terhadap infeksi maka pemeriksaan ini dilakukan
paling baik saat panas hari ke-0 hingga hari ke -4, karena itulah pemeriksaan ini dapat
mendeteksi infeksi virus dengue bahkan sebelum terjadi penurunan trombosit. Setelah
hari keempat kadar NS1 antigen ini mulai menurun dan akan hilang setelah hari ke-9
infeksi. Angka sensitivitas dan spesifisitasnya pun juga tinggi. Bila ada hasil NS1 yang
positif menunjukkan kalau seseorang “hampir pasti‟ terkena infeksi virus dengue.
Sedangkan kalau hasil NS1 Ag dengue menunjukkan hasil negatif tidak menghilangkan
kemungkinan infeksi virus dengue dan masih perlu dilakukan observasi serta
pemeriksaan lanjutan.
Keuntungan mendeteksi antigen NS1 yaitu untuk mengetahui adanya infeksi
dengue pada penderita tersebut pada fase awal demam, tanpa perlu menunggu
terbentuknya antibodi.

 Prinsip pemeriksaan dengue NS1 rapid


Ketika serum / plasma / wholeblood pasien yang mengandung Dengue NS1 Ag
diteteskan pada lubang sampel , dengue NS1 Ag sebagai antigen akan bereaksi dengan
anti-dengue NS1 Ag yang dilapisi pada strip sebagai antibodi membentuk kompleks
antigen – antibodi yang akan bergerak di sepanjang membran secara kromatografi
menuju daerah T yang dilapisi oleh antibodi spesifik terhadap virus dengue membentuk
kompleks antibodi – antigen – antibodi yang akan menghasilkan garis pada strip.

16
 Prinsip pemeriksaan Anti-Dengue IgG / IgM
Ketika serum / plasma / wholeblood pasien yang mengandung anti dengue IgG /
IgM diteteskan pada lubang sampel, antidengue IgG / IgM akan bereaksi dengan
rekombinan virus dengue yang terdapat dalam membran , membentuk kompleks antigen
– antibodi kemudian kompleks antigen – antibodi tersebut akan bermigrasi sepanjang
membran kemudian akan mengikat antibodi dengue IgG / IgM yang spesifik yang
terletak pada daerah “ M “ dan “T” membentuk kompleks antibodi – antigen – antibodi
sehingga akan menghasilkan garis.
Pada tiap uji mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Saat ini
yang menjadi pilihan adalah IgG/IgM Dengue dan NS1 Ag Dengue karena akurasinya
yang bagus, kecepatan selesai hasil yang cepat, mudahnya cara pemakaian serta biaya
yang relatif murah dibanding pemeriksaan yang lain.
Dengan demikian kita dapat segera melakukan terapi suportif dan pemantauan
pasien . Hal ini tentunya akan mengurangi risiko komplikasi seperti demam berdarah
dengue dan dengue shock syndrome yang dapat berakibat kematian.

17
BAB IV
KESIMPULAN
Pemeriksaan virus dengue sangat diperlukan untuk mendeteksi virus dengue pada fase
awal untuk mencegah terjadinya kematian pada pasien. Selain itu juga dapat bermanfaat untuk
mengetahui penyebaran dan epidemiologi daerah tertentu. Pemilihan pemeriksaan pada infeksi
virus dengue harus memperhatikan kepentingan test dilakukan, apakah untuk kepentingan
diagnosis klinik, survey epidemiologi, pengembangan vaksin serta dengan mempertimbangkan
fasilitas laboratorium dan sumber daya manusia yang tersedia, biaya serta sampel yang ada.
Metode diagnostik dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi membutuhkan teknologi tinggi
yang lebih komplek dan tehnik pembacaan yang baik, meskipun metodenya cepat namun harus
juga diperhatikan spesifisitas dan sensitifitas pada tingkat kesulitan pengerjaannya. Metode
Isolasi virus dan Deteksi asam nukleat merupakan pemeriksaan yang intensif, akurat dan mahal
namun lebih spesifik dibandingkan dengan deteksi antibodi dengan metode serologi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Gurukumar KR, Priyadarshini D, Patil JA. Metodology : Development real time PCR for
detection dan quantitation of Dengue Virus. Virology Jurnal. 2009.

Cristina D, Pranav P, Sonja L. Molecular Diagnosis of Flavivirruses. Future Virology. 2011

Sudjaji. 2008. Bioteknologi Kesehatan. Yogyakarta : Kaniskus.

Aryati. 2010. Manfaat Tes Dengue Stick IgM dan IgG pada Demam Berdarah Dengue.
Surabaya. Universitas Airlangga.

Guzman MG, Kouri G. Dengue: Update. Lancet Infect Dis. 2002

Yufli, H. 2006. Persistency of Transovarian Dengue Virus in Aedes aegypti

Siregar, A.F. 2004. Epidemiologi dan Pemberantasab Demam berdarah Dengu di Indonesia.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara.

Retno Ety Setyowati, Aryati, Prihatini, M.Y. Probohoesodo. 2006. Evaluasi Pemeriksaan
Imunokromatografi Untuk Mendeteksi Antibodi IgM dan IgG Demam Berdarah Dengue
Anak. Surabaya. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Aryu Candra. 2010. Demam Berdarah Dengue : Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Resiko
Penularan. Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Danny Wiradharma. 1999. Diagnosis cepat demam berdarah dengue. Trisakti. Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti.

19

Anda mungkin juga menyukai