Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Jantung Bawaan


2.1.1. Definisi
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang dibawa sejak
lahir, karena sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada
akhir kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung sudah lengkap; jadi kelainan
pembentukan jantung terjadi pada awal kehamilan. Penyebab PJB seringkali tidak
bisa diterangkan, meskipun beberapa faktor dianggap berpotensi sebagai penyebab.
Faktor-faktor ini adalah: infeksi virus pada ibu hamil (misalnya campak Jerman atau
rubella), obat-obatan atau jamu-jamuan, alkohol.4
Faktor keturunan atau kelainan genetik dapat juga menjadi penyebab
meskipun jarang, dan belum banyak diketahui. Misalnya sindroma Down
(Mongolism) yang acapkali disertai dengan berbagai macam kelainan, dimana PJB
merupakan salah satunya. Merokok berbahaya bagi kehamilan, karena berpengaruh
terhadap pertumbuhan bayi dalam kandungan sehingga berakibat bayi lahir prematur
atau meninggal dalam kandungan.4

2.1.2. Anatomi Jantung


Jantung terdiri dari 4 ruangan. Atrium kiri dan kanan dibagian atas. Ventrikel
kiri dan kanan terletak dibagian bawah. Ventrikel kiri merupakan rauang yang
terbesar.katup jantung dapat membuka dan menutup sedemikian rupa sehingga darah
hanya dapat mengalir dalam satu arah. 4 katup tersebut yaitu: Katup tricuspid, katup
pulmonal, katupmitral dan katup aorta.5
Darah dari tubuh masuk ke atrium kanan. Darah dalam tubuh mengandung
kadar Oksigen rendah dan harus menambah oksigen sebelum kembali ke dalam
tubuh. Darah dari atrium kanan masuk ke ventrikel kanan melalui katup tricuspid.
Darah kemudian dipompa oleh ventrikel kanan ke paru-paru melewati katup pulmonal
kemudian diteruskan oleh arteri pulmonal ke paru-paru untuk mengambil
oksigen.Darah yang sudah bersih yang kaya oksigen mengalir ke atrium kiri melalui
vena pulmonalis. Dari atrium kirii darah mengalir ke ventrikel kiri melewati katup
mitral. Ventrikel kiri kemudian memompa darah keseluruh tubuh melalui katup aorta
dan diteruskan oleh pembuluh aorta keseluruh tubuh.bersih Dari tubuh kemudian
darah yang dari tubuh dengan kadar oksigen yang rendah karena telah diambil oleh
sel-sel tubuh kembali ke atrium kanan dan begitu seterusnya.5

Gambar 1. Anatomi Jantung Normal

2.1.3. Etiologi
Penyakit jantung congenital dapat mempunyai beragam penyebab. Penyebab-
penyebabnya termasuk faktor lingkungan (seperti bahan-bahan kimia, obat-obatan
dan infeksi-infeksi), penyakit-penyakit tertentu ibu, abnormalitas chromosome,
penyakit-penyakit keturunan (genetic) dan faktor-faktor yang tidak diketahui
(Idiopathic).6
Faktor-faktor lingkungan kadang-kadang yang bersalah. Contohnya, jika
seorang ibu mendapat German measles (rubella) selama kehamilan, maka infeksinya
dapat mempengaruhi perkembangan jantung dari bayi kandungannya (dan juga organ-
organ lainnya). Jika ibunya mengkonsumsi alkohol selama kehamilan, maka fetusnya
dapat menderita fetal alcohol syndrome (FAS) termasuk PJB. 6
Exposure terhadap obat-obatan tertentu selama kehamilan dapat juga
menyebabkan PJB. Satu contoh adalah retinoic acid (nama merek Accutane) yang
digunakan untuk jerawat(acne). Contoh-contoh lain adalah obat-obat anticonvulsant,
terutama hydantoins (seperti Dilantin) dan valproate. 6
Penyakit-penyakit tertentu pada ibu dapat meningkatkan risiko
mengembangkan PJB pada fetus. Bayi-bayi dari wanita dengan diabetes mellitus,
terutama pada wanita-wanita yang gula darahnya kurang optimal terkontrol selama
kehamilan, berisiko tinggi mendapat PJB. Dan wanita yang mempunyai penyakit
keturunan phenylketonuria (PKU) dan tidak berada pada special dietnya selama
kehamilan, bertendensi juga mempunyai bayi dengan PJB. 6
Kelainan chromosome dapat menyebabkan penyakit jantung congenital
(chromosome mengandung materi genetic, DNA). Pada kira-kira 3% dari seluruh
anak-anak dengan PJB dapat ditemukan kelainan chromosome. 6

2.1.4. Klasifikasi
Berdasarkan penampilan fisik, PJB secara garis besar dibagi atas 2 kelompok,
yakni PJB tidak biru (asianosis) dan PJB biru (sianosis). Berdasarkan kelainan
anatomis, PJB secara garis besar dibagi atas 3 kelompok, yakni: 4
A. Stenosis
Adanya penyempitan (stenosis) atau bahkan pembuntuan pada bagian tertentu
jantung, yakni: katup atau salah satu bagian pembuluh darah di luar jantung.
Penyempitan ini menimbulkan gangguan aliran darah dan membebani otot jantung.
Pada kasus-kasus dengan penyempitan yang berat, aliran darah ke bagian tubuh
setelah area penyempitan akan sangat menurun, bahkan terhenti sama sekali pada
pembuntuan total. 4
1. Stenosis katup pulmonal
Terjadi pembebanan pada jantung kanan, yang pada akhirnya berakibat
kegagalan jantung kanan. Makna istilah ini bukanlah jantung gagal berdenyut,
melainkan jantung tak mampu memompakan darah sesuai kebutuhan tubuh dan
sesuai jumlah darah yang kembali ke jantung. Tanda gagal jantung kanan adalah:
pembengkakan kelopak mata, tungkai, hati dan penimbunan cairan di rongga perut.
Penanganan medis yang dapat dilakukan: pelebaran katup dengan balon (Balloon
Pulmonal Valvotomy = BPV). 4

2. Stenosis katup aorta


Terjadi pembebanan pada jantung kiri, yang pada akhirnya berakibat
kegagalan jantung kiri, yang ditandai oleh: sesak, batuk kadang-kadang
dahak berdarah (akibat pecahnya pembuluh darah halus yang bertekanan tinggi di
paru). Penanganan yang dapat dilakukan: pelebaran katup dengan balon (Balloon
Aortic Valvotomy = BAV). 4
3. Atresia katup pulmonal
Pada kasus ini katup pulmonal sama sekali buntu, sehingga tak ada
aliran darah dari jantung ke paru. Pasien hanya dapat bertahan hidup bila
pembuluh darah duktus arteriosus tetap terbuka (yang mengalirkan darah
dari pembuluh aorta ke pembuluh darah paru). 4
Biasanya pembuluh ini akan menutup pada minggu pertama kehidupan
bayi,dan bila itu terjadi akan berakibat fatal. Untuk mempertahankan duktus
arteriosus tetap terbuka, diperlukan obat: Prostaglandin E-1. Namun
obat ini sifatnya hanya sementara, dan harus segera diikuti dengan tindakan
bedah. 4

4. Coarctatio aorta
Pada kasus ini area lengkungan pembuluh darah aorta mengalami
penyempitan. Bila penyempitannya parah, maka sirkulasi darah ke organ tubuh di
rongga perut (ginjal, usus dll), serta tungkai bawah sangat berkurang, dan kondisi
pasien memburuk. Seperti halnya pada atresia katup pulmonal, pada Coarctatio Aorta
yang berat Prostaglandin E-1 perlu diberikan untuk mempertahankan pembukaan
duktus arteriosus. Untuk selanjutnya, tindakan pelebaran dengan balon atau
pembedahan perlu dilakukan. 4

Gambar 2. Coarctatio aorta


B. Defect
Adanya lubang pada sekat pembatas antar ruang jantung (septum),
sehingga terjadi aliran pirau (shunt) dari satu sisi ruang jantung ke ruang sisi lainnya.
Karena tekanan darah di ruang jantung sisi kiri lebih tinggi dibanding sisi kanan,
maka aliran pirau yang terjadi adalah dari kiri ke kanan. Akibatnya, aliran darah paru
berlebihan/banjir (contoh: ASD = Atrial Septal Defect/ lubang di sekat serambi, VSD
= Ventricular Septal Defect/ lubang di sekat bilik). Aliran pirau ini juga bisa terjadi
bila pembuluh darah yang menghubungkan aorta dan pembuluh pulmonal tetap
terbuka (PDA = Patent Ductus Arteriosus). 4
Karena darah yang mengalir dari sirkulasi darah bersih ke sirkulasi
darah kotor, maka penampilan pasien tidak biru (asianosis). Namun, beban yang
berlebihan pada jantung akibat aliran pirau yang besar dapat menimbulkan gagal
jantung kiri maupun kanan. Tanda-tanda aliran darah paru yang berlebih adalah:
debaran jantung kencang, cepat lelah, sesak nafas, pada bayi sulit menyusu,
pertumbuhan terganggu, sering batuk panas (infeksi saluran nafas bagian bawah).4
Dalam kondisi seperti tersebut diatas, perlu diberikan obat-obatan yang
bermanfaat untuk mengurangi beban jantung, yakni obat diuretik
(memperlancar kencing) dan obat vasodilator (pelebar pembuluh darah). 4

1. Atrial Septal Defect (ASD)


ASD adalah terdapat lubang di sekat serambi. Lubang ASD kini dapat ditutup
dengan tindakan non bedah : Amplatzer Septal Occluder (ASO), yakni memasang alat
penyumbat yang dimasukkan melalui pembuluh darah di lipatan paha. Namun
sebagian kasus tak dapat ditangani dengan metode ini, dan memerlukan pembedahan.
4

Gambar 3. Atrial Septal Defect


2. Ventricular Septal Defect (VSD)
VSD adalah terdapatnya lubang di sekat bilik. Pada VSD tertentu dapat
ditutup dengan tindakan non bedah menggunakan penyumbat Amplatzer, namun
sebagian besar kasus memerlukan pembedahan. 4

Gambar 4. Ventricular Septal Defect

3. Patent Ductus Arteriosus (PDA)


Pada PDA pembuluh penghubung aorta dan pembuluh darah paru terbuka.
PDA juga dapat ditutup dengan tindakan non bedah menggunakan penyumbat
Amplatzer, namun bila PDA sangat besar tindakan bedah masih merupakn pilihan
utama. PDA pada bayi baru lahir yang premature dapat dirangsang penutupannya
dengan menggunakan obat Indomethacine. 4

Gambar 5. Patent Ductus Arteriosus

C. Malposisi
Pembuluh darah utama jantung keluar dari ruang jantung dalam posisi tertukar
(pembuluh darah aorta keluar dari bilik kanan sedangkan pembuluh darah
pulmonal/paru keluar dari bilik kiri). Kelainan ini disebut transposisi arteri besar
(TGA = Transposition of the Great Arteries). Akibatnya darah kotor yang kembali ke
jantung dialirkan lagi ke seluruh tubuh, sehingga terjadi sianosis/biru di bibir, mukosa
mulut dan kuku. Bayi dapat bertahan hidup bila darah kotor yang mengalir ke seluruh
tubuh mendapat pencampuran darah bersih melalui PDA atau lubang di salah satu
sekat jantung (ASD/VSD). 4

Gambar 6. Transposition of the Great Arteries

Seringkali TGA tak disertai lubang sekat dan pasien sangat biru (darah
yang mengalir ke seluruh tubuh sebagian besar adalah darah kotor). Dalam keadaan
demikian, dapat dibuat lubang di sekat serambi melalui metode non bedah yang
disebut Balloon Atrial Septostomy (BAS). Sementara menunggu persiapan untuk
melakukan prosedur ini, PDA yang bermanfaat untuk menjamin pencampuran darah
bersih perlu dipertahankan, yakni dengan memberikan Prostaglandin E-1. 4
Namun semua ini hanya bersifat sementara, bila kondisi pasien membaik,
operasi untuk menukar posisi pembuluh darah yang terbalik ini perlu
dilakukan. 4
Disamping kelainan pada anatomi jantung, PJB juga dapat menyangkut
kelainan pada pusat listrik jantung beserta sistim hantarannya. Pusat
jantung yang lemah atau adanya blok pada sistim hantaran listrik jantung, berakibat
denyut jantung/nadi yang pelan, sehingga tak mencukupi kebutuhan sirkulasi tubuh.
Untuk itu perlu pemasangan alat pacu jantung (pacemaker). Pada anak yang sudah
cukup besar pemasangan pacu jantung dapat dilakukan tanpa bedah, namun pada bayi
masih diperlukan pembedahan. 4
Tetralogi Falot
Tetralogi Fallot merupakan penyakit jantung bawaan biru (sianotik) yang
terdiri dari empat kelainan, yaitu:
 Defek septum ventrikel (lubang diantara ventrikel kiri dan kanan)
 Stenosis katup pulmoner (penyempitan pada katup pulmonalis)
 Transposisi aorta
 Hipertrofi ventrikel kanan (penebalan otot ventrikel kanan). (word. Tetralogi
falot). 7

Gambar 7. Tetralogi Falot

2.2. Atrial Septal Defect


2.2.1. Definisi
Defek Septum Atrium (DSA) merupakan keadaan dimana terjadi defek pada
bagian septum antar atrium sehingga terjadi komunikasi langsung antara atrium kiri
dan kanan.Defek Septum Atrium dapat terjadi di bagian manapun dari septum atrium,
tergantung dari struktur septum atrium yang gagal berkembang secara normal.1
Secara anatomis DSA dibagi menjadi DSA primum, sekundum, tipe sinus
venosus, dan tipe sinus koronarius. Pada DSA primum terdapat defek pada bagian
bawah septum atrium, yaitu pada septum atrium primum. Selain itu, pada DSA
primum sering pula terdapat celah pada daun katup mitral. Kedua keadaan tersebut
menyebabkan pirau dari atrium kiri ke kanan dan arus sistolik dari ventrikel kiri ke
atrium kiri melalui celah pada katup mitral (regurgitasi mitral). Pada tipe sinus
venosus defek septum terletak di dekat muara vena kava superior atau inferior dan
sering disertai dengan anomali parsial drainase vena pulmonalis, yaitu sebagian vena
pulmonalis kanan bermuara ke dalam atrium kanan. Pada tipe sinus koronarius defek
septum terletak di muara sinus koronarius. Pirau pada DSA sinus koronarius terjadi
dari atrium kiri ke sinus koronarius, baru kemudian ke atrium kanan. Pada kelainan
ini dapat ditemukan sinus koronarius yang membesar.2,3

Gambar 8. Anatomi jantung normal (A) dan jantung dengan ASD (B)

Pada DSA sekundum terdapat lubang patologis pada fosa ovalis. Defek
septum atrium sekundum dapat tunggal atau multipel (fenestrated atrial septum).
Defek yang lebar dapat meluas ke inferior sampai pada vena kava inferior dan ostium
sinus koronarius, ataupun dapat meluas ke superior sampai pada vena kava
superior.2,3

2.2.2. Etiologi
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa penyakit jantung kongenital banyak
disebabkan oleh interaksi kompleks antara faktor genetik dengan faktor lingkungan
(paparan terhadap zat teratogen). Abnormalitas genetik dapat disebabkan oleh mutasi
gen tunggal (single gene mutation) dan kelainan kromosomal (delesi, trisomi,
monosomi). Kelainan kromosomal yang sering menyebabkan DSA diantaranya
sindrom Turner (45X), sindrom Down (trisomi 21), serta sindrom Miller Dieker (delesi 17p).
Namun demikian perlu diingat bahwa banyak kelainan kromosomal lainnya yang
dapat menyebabkan penyakit jantung kongenital, meskipun tidak spesifik
menyebabkan kelainan tertentu. Kelainan jantung pada sindrom Down merupakan
kelainan yang paling jelas mekanismenya karena melibatkan anomali struktur yang
berasal dari bantalan endokardium (termasuk sekat atrioventrikular dan
katup jantung). Teratogen merupakan faktor lingkungan yang paling berperan dalam
menyebabkan penyakit jantung kongenital, termasuk di antaranya DSA. Telah
diketahui bahwa pajanan terhadap infeksi rubella kongenital, diabetes gestasional,
alkohol, thalidomide, asam retinoat dapat menyebabkan terjadinya penyakit jantung
kongenital pada anak.5,6

2.2.3. Klasifikasi
DSA dapat digolongan menjadi empatgolongan,yakni:1
a. Defek septum atrium sekundum merupakan tipe yang tersering
(80%). Pada defek septum atrium sekundum terdapat lubang patologis di tempat fossa
ovalis. Defek dapat berukuran kecil sampai sangat besar sehingga mencakup sampai
sebagian besar septum.Akibatnya terjadi pirau dari atrium kiri ke atrium
kanan, dengan beban volume di atrium dan ventrikel kanan.
b. Defek s e p t u m a t r i u m p r i m u m merupakan jenis kedua terbanyak
dari defek septum atrium. Pada defek septum primum terdapat celah pada
bagian bawah septum atrium, yakni pada septum atrium primum.
Disamping itu, sering pula terdapat celah pada daun katup mitral.
c. Defek sinus venosusterletak didekat muara vena kava superior
atau vena kava inferior dan seringkali disertai dengan anomali parsial
drainase vena pulmonalis, yakni sebagian vena pulmonalis bermuara ke
dalam atrium kanan.
d. Defek disinus koronarius defek terdapat di muara sinus koronarius. Pirau
dari kiri ke kanan yang terjadi adalah dari atrium kiri ke sinus koronarius, baru
kemudian ke atrium kanan.

2.2.4. Patofisiologi
Penyebab dari penyakit jantung kongentinal DSA ini belum dapat dipastikan,
banyak kasus mungkin terjadi akibat aksi teratogen yang tidak diketahui dalam
trisemester pertama kehamilan saat terjadi perkembangan jantung janin.Dimana
struktur kardiovaskuler terbentuk.Adanya defek septum atrium akan membuat darah
dari atrium kiri dapat masuk ke atrium kanan melalui defek sekat ini. Aliran ini tidak
deras karena perbedaan tekanan pada atrium kiri dan kanan tidak begitu besar
(tekanan pada atrium kiri 6 mmHg sedangkan pada atrium kanan 5 mmHg) .Adanya
aliran darah menyebabkan penambahan beban pada ventrikel kanan, arteri
pulmonalis, kapiler paru-paru dan atrium kiri. Bila shunt besar, maka volume darah
yang melalui arteri pulmonalis dapat 3-5 kali dari darah yang melalui aorta. Dengan
bertambahnya volume aliran darah pada ventrikel kanan dan arteri pulmonalis, maka
akan terjadi kenaikan tekanan, sehingga tahanan katup arteri pulmonalis meningkat
dan terjadi perbedaan tekanan sekitar 15 -25 mmHg. Akibat adanya perbedaan
tekanan ini, timbul suatu bising sistolik (jadi bising sistolik pada ASD merupakan
bising dari stenosis relatif katup pulmonal). Pada valvula trikuspidalis juga ada
perbedaan tekanan, sehingga disini juga terjadi stenosis relatif katup trikuspidalis
sehingga terdengar bising diastolik.7,8
Karena adanya penambahan beban yang terus menerus pada arteri pulmonalis,
lama kelamaan akan terjadi kenaikan tahanan pada arteri pulmonalis dan akibatnya
akan terjadi kenaikan tekanan ventrikel kanan yang permanen. Arah shunt pun bisa
berubah menjadi dari kanan ke kiri sehingga sirkulasi darah sistemik banyak
mengandung darah yang rendah oksigen akibatnya terjadi hipoksemi dan sianosis.9,10
Derajat pirau dari atrium kiri ke atrium kanan tergantung pada besarnya defek,
komplians relatif ventrikel kanan dan resistensi relatif vaskular pulmonal. Pada defek
yang besar, sejumlah darah yang teroksigenasi (dari vena pulmonal) mengalir dari
atrium kiri ke atrium kanan, menambah jumlah darah vena yang masuk ke atrium
kanan (venous return). Total darah tersebut kemudian dipompa oleh ventrikel kanan
ke paru. Aliran darah balik dari paru ke atrium kiri akan terbagi menjadi dua, yaitu ke
atrium kanan melalui defek dan ke ventrikel kiri. Pada defek yang besar, rasio aliran
darah pulmonal dibandingkan sistemik (Qp/Qs) dapat berkisar antara 2:1 sampai 4:1.3
Gejala asimtomatis pada bayi dengan DSA terkait dengan resistensi paru yang
masih tinggi dan struktur ventrikel kanan pada masa awal kehidupan, yaitu dinding
otot ventrikel kanan yang masih tebal dan komplians yang kurang, sehingga
membatasi pirau kiri ke kanan. Seiring dengan bertambahnya usia, resistensi vaskular
pulmonal berkurang, dinding ventrikel kanan menipis dan kejadian pirau kiri ke
kanan melalui DSA meningkat. Peningkatan aliran darah ke jantung sisi kanan akan
menyebabkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan serta dilatasi arteri pulmonalis.
Resistensi vaskular pulmonal tetap rendah sepanjang masa anak-anak, meskipun
dapat mulai meningkat saat dewasa dan menyebabkan pirau yang berlawanan dan
terjadi sianosis.3

2.2.5. Diagnosis
Defek Septum Atrium sekundum lebih sering terjadi pada perempuan dengan
rasio 2:1 antara perempuan dan pria. Defek septum atrium (DSA) sering tidak
terdeteksi sampai dewasa karena biasanya asimptomatik dan tidak memberikan
gambaran diagnosis fisik yang khas. Walaupun angka kekerapan hidup tidak seperti
normal, cukup banyak yang bertahan hidup sampai usia lanjut.1
a. Gejala klinis
Penderita DSA sebagian besar menunjukkan gejala klinis sebagai berikut:10,11
 Detak jantung berdebar-debar (palpitasi)
 Sering mengalami infeksi saluran pernapasan
 Dispneu (kesulitan dalam bernapas)
 Sesak napas ketika melakukan aktivitas
Dispneu d’effort dan atau kelelahan ringan adalah gejala awal yang paling
sering ditemui.Pada bayi kurang dari 1 tahun jarang sekali memperlihatkan tanda-
tanda gagal jantungkongestif yang mengarah pada defek atrium yang
tersembunyi.1,10,11Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik:
 Denyut arteri pulmonalis dapat diraba di dada
 Pemeriksaan dengan stetoskop menunjukkan bunyi jantung yang
abnormal. Dapat terdengar murmur akibat peningkatan aliran darah yang melalui
katup pulmonalis.
 Tanda-tanda gagal jantung
 Jika shunt-nya besar,murmur juga bisa terdengar akibat peningkatan
aliran darah yang mengalir melalui katup trikuspidalis.
Pada pemeriksaan DSA terdapat suara splitting yang menetap pada S2. Tanda
ini adalah khas pada patologis DSA dimana defek jantung yang tipe lain tidak
menyebabkan suara splitting pada S2 yang menetap. Sianosis jarang ditemukan,
kecuali bila defek besar atau common atrium, defek sinus koronarius, kelainan
vaskular paru, stenosis pulmonal, atau bila disertai anomali Ebstein.1,10

b. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk DSA ini dapat dilakukan dengan beberapa
cara,antara lain:1,10,11
 Foto Thoraks
Foto thoraks standar dapat sangat membantu diagnosis defek septum atrium.
Pada pasien dengan defek septum atrium dengan pirau yang bermakna, foto thoraks
AP menunjukkan atrium kanan yang menonjol, dan dengan konus pulmonalis yang
menonjol. Pada foto AP biasanya tampak jantung yang hanya sedikit membesar dan
vaskularisasi paru yang bertambah sesuai dengan besarnya pirau, seperti pada defek
septum ventrikel, vaskularisasi paru tampak meningkat bila Qp/ Qs > 2:1.
 Elektrokardiografi
Gambaran EKG penting dalam membantu diagnosis defek septum sekundum.
Elektroardiogram menunjukkan pola RBBB pada 95% kasus defek septum sekundum,
yang menunjukkan terdapatnya beban volume ventrikel kanan. Pada defek septum
atrium deviasi sumbu QRS ke kanan (right axis deviation) yang membedakannya
dari defek septum atrium primum yang menunjukkan deviasi sumbu (left axis
deviation). Dapat juga terjadi blok AV derajat 1 (pemanjangan interval PR) terdapat
pada 10% kasus defek sekundum. Hipertrofi ventrikel kanan cukup sering ditemukan,
akan tetapi pembesaran atrium kanan jarang tampak.
 Ekokardiografi
Dengan menggunakan ekokardiografi trans torakal (ETT) dan Doppler
berwarna dapat ditentukan lokasi defek septum, arah pirau, ukuran atrium dan
ventrikel kanan, keterlibatan katup mitral misalnya prolaps yang memang sering
terjadi pada DSA.
Ekokardiografi trans esophageal (ETE) sangat bermanfaat bila,dengan cara ini
dapat dilakukan pengukuran besar defek secara presisi, sehingga dapat membantu
dalam tindakan penutupan DSA perkutan, juga kelainan yang menyertai.
 Kateterisasi jantung
Dengan tersedianya alat ekokardiografi dan doppler, terdapat 2 hal penting
dalam diagnosis dan penatalaksanaan defek septum atrium. Pertama, lebih banyak
pasien dengan defek septum sekundum yang diagnosisnya dapat ditegakkan pada
masa bayi dan anak kecil. Kedua, diagnosis anatomik dan fisiologis yang akurat
dengan ekokardiografi dan doppler memungkinkan kateterisasi jantung., kateterisasi
hanya dilakukan apabila terdapat keraguan akan adanya penyaki penyerta atau
hipertensi pulmonal.
Apabila dilakukan pada kateterisasi jantung defek septum sekundum tanpa
komplikasi ditemukan tekanan ventrikel kanan dan arteri pulmonalis yang normal
atau sedikit meningkat. Terdapat pula kenaikan saturasi oksigen di atrium kanan.
Perlu dicari kemugkinan terdapatnya kelainan lain misalnya stenosis pulmonal atau
anomali parial drainase vena pulmonalis.

2.2.6. Tatalaksana
Menutup DSA pada masa kanak-kanak bisa mencegah terjadinya kelainan
yang serius di kemudian hari.Pada beberapa anak, DSA dapat menutup spontan tanpa
pengobatan.Jika gejalanya ringan atau tidak ada gejala, tidak perlu dilakukan
pengobatan.Jika lubangnya besar atau terdapat gejala, dilakukan pembedahan untuk
menutup DSA. Pengobatan pencegahan dengan antibiotik sebaiknya diberikan setiap
kali sebelum penderita menjalani tindakan pencabutan gigi untuk mengurangi risiko
terjadinya endokarditis infektif.10,11
Pada DSA dengan rasio left to right shunt lebih besar dari 2:1 perlu dilakukan
tindakan operasi untuk mengkoreksi keadaan tersebut. Ada 2 jenis tindakan operasi
yang digunakan untuk melakukan koreksi pada DSA ini, yaitu:10
 Bedah jantung terbuka
 Amplatzer septal occlude (ASO)
ASO merupakan alat dengan cakram ganda yang dapat mengembang sendiri
(self expandable), terbuat dari kawat nitinol berdiameter 0,004-0,0075 inci yang
teranyam kuat menjadi dua cakram dengan pinggang penghubung 3-4 mm. Di
dalamnya terdapat lapisan dakron terbuat dari benang polyester yang dapat
merangsang trombosis sehingga lubang/hubungan antara atrium kiri dan kanan akan
tertutup sempurna. Tindakan pemasangan ASO telah mendapat persetujuan dari
American Food and Drug Administration (FDA) pada bulan Desember 2001. Di
Indonesia, tindakan ASO mulai dilakukan pada tahun 2002.
Kriteria pasien DSA yang akan dilakukan pemasangan ASO, antara lain :
1. DSA sekundum
2. Diameter kurang atau sama dengan 34 mm
3. Flow ratio lebih atau sama dengan 1,5 atau terdapat tanda-tanda beban
volume pada ventrikel kanan
4. Mempunyai rim posterior minimal 5 mm dari vena pulmonalis kanan
5. Defek tunggal dan tanpa kelainan jantung lainnya yang memerlukan
intervensi bedah
6. Muara vena pulmonalis normal ke atrium kiri
7. Hipertensi pulmonal dengan resistensi vaskuler paru (Pulmonary Artery
Resistance Index = PARI) kurang dari 7 - 8 Wood Unit
8. Bila ada gagal jantung, fungsi ventrikel (EF) harus lebih dari 30%.
Pada dewasa sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk keluhan, umur,
ukuran dan anatomi defek, adanya kelainan yang menyertai, tekanan arteri pulmonal
serta resistensi vascular paru. Indikasi penutupan DSA:1
 Pembesaran jantung foto toraks, dilatasi ventrikel kanan,kenaikan
arteri pulmonalis 50% atau kurang dari tekanan aorta, tanpa mempertimbangkan
keluhan.
 Adanya riwayat iskemik transient atau stroke pada DSA atau foramen
ovale persisten.

2.2.7. Komplikasi
Komplikasi yang akan timbul jika tidak dilakukan penutupan defek adalah
pembesaran jantung kanan dan penurunan komplians ventrikel kanan, aritmia, dan
kemungkinan untuk menyebabkan penyakit vaskular paru obstruktif. Sindroma
eisenmenger adalah keadaan pirau kanan ke kiri parsial atau total pada pasien dengan
defek septum akibat perubahan vaskular paru. Pada defek septum yang menyebabkan
pirau dari kiri ke kanan, peningkatan alirah darah ke paru menyebabkan perubahan
histologis pada pembuluh darah paru. Hal ini menyebabkan tekanan darah di paru
meningkat, sehingga pirau berbalik arah menjadi dari kanan ke kiri. Gejala yang
timbul berupa sianosis, dyspnea, lelah dan disritmia. Pada tahap akhir penyakit, dapat
timbul gagal jantung, nyeri dada, sinkop dan hemoptisis.
Beberapa komplikasi menyertai tindakan penutupan defek septum, baik trans-
kateter atau melalui pembedahan. Komplikasi mayor, yaitu komplikasi yang perlu
penanganan segera antara lain kematian, dekompensasi hemodinamik yang
mengancam nyawa, memerlukan intervensi bedah, dan lesi fungsional atau anatomi
yang permanen akibat tindakan kateterisasi. Komplikasi yang dapat timbul dari
tindakan pembedahan antara lain aritmia atrial, blok jantung. Komplikasi lain yang
berhubungan dengan alat-alat oklusi transkateter adalah embolisasi yang kadang
memerlukan pembedahan ulang, aritmia, trombus. Komplikasi yang jarang terjadi
adalah efusi perikardial, transient ischemic attack,dansudden death.10

2.2.8. Prognosis
Secara umum, prognosis defek septum sekundum pada masa anak-anak dapat
dikatakan baik.Pada sebagian besar kasus meskipun tidak dioperasi pasien dapat
melakukan aktivitasnya dengan normal ataupun hampir normal. Masalah akan timbul
pada dekade ke-2 hingga ke-3. Hipertensi pulmonal dapat terjadi dalam kurun waktu
tersebut. DSA meskipun tidak membahayakan tapi perlu mendapatkan perhatian
khusus karena selama puluhan tahun tidak menunjukkan keluhan dalam
perjalanannya, tetapi dalam waktu sangat pendek terutama dengan timbulnya
hipertensi pulmonal akan mengarah dalam suatu keadaan klinis yang berat.
Timbulnya fibrilasi atrium dan gagal jantung merupakan gejala yang berat. 10
Setelah penutupan DSA pada waktu anak-anak, ukuran jantung akan kembali
pada ukuran normal pada waktu 4-6 bulan. Setelah dilakukan penutupan, tidak ada
permasalahan yang timbul dengan aktivitas fisik dan tidak ada batasan apapun dalam
aktivitas. Yang harus dilakukan adalah melakukan perawatan secara berkaladengan
seorang ahli kardiologi yang telah merawatnya.10 Prognosis penutupan DSA akan
sangat baik dibanding dengan pengobatan medikamentosa. Pada kelompok umur 40
tahun ke atas harus dipertimbangkan terjadinya aritmia atrial, apalagi bila sebelumnya
telah ditemui adanya gangguan irama.1
2.3. Sindrom Nefrotik
2.3.1. Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine
sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL), edema, dan
dapat disertai hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik,
antara lain :
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4 mg/m2 LBP/jam)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥40 mg/m2 LBP/jam) selama 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥2 kali dalam 6 bulan
pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid
diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini
terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan
prednisone dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

2.3.2. Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain.
Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik
primer adalah sindrom nefrotik kongenital, salah satu jenis sindrom nefrotik yang
ditemukan sejak anak itu lahir atau usia dibawah 1 tahun.
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik
idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis :sindrom
nefrotik kelainan minimal, glomerulonephritis proliferative (mesangial proliferation),
dan glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga gangguan ini dapat mewakili 3
penyakit berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa; dengan kata lain, ketiga
gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal.
Klasifikasi
 Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Pada 85% dari kasus sindrom nefrotik pada anak, glomerulus terlihat
normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel mesangial dan
matriksnya. Penemuan pada mikroskop immunofluorescence biasanya negatif,
dan mikroskop elektron hanya memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot
processes (podosit) pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM
berespon dengan terapi kortikosteroid.
 Glomerulonephritis proliferative (Mesangial proliferation)
Pada 5% dari total kasus sindrom nefrotik ditandai dengan adanya
peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks pada pemeriksaan mikroskop
biasa. Mikroskop immunofluorescence dapat memperlihatkan jejak 1+ IgM
mesangial dan/atau IgA. Mikroskop elektron memperlihatkan peningkatan dari
sel mesangial dan matriks diikuti dengan menghilangnya sel podosit. Sekitar
50% pasien dengan lesi histologis ini berespon dengan terapi kortikosteroid.
 Glomerulosklerosis fokal segmental (Focal segmental
glomerulosclerosis/FSGS)
Pada kasus 10% dari kasus sindrom nefrotik, glomerulus memperlihatkan
proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental pada pemeriksaan dengan
mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence menunjukkan adanya IgM
dan C3 pada area yang mengalami sklerosis. Pada pemeriksaan dengan
mikroskop elektron, dapat dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft
disertai dengan kerusakan pada lumen kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat
terlihat pula pada infeksi HIC, refluks vesicoureteral, dan penyalahgunaan
heroin intravena. Hanya 20% pasien dengan FSGS yang berespon dengan terapi
prednisone. Penyakit ini biasanya bersifat progresif, pada akhirnya dapat
melibatkan semua glomeruli, dan menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir
(end stage renal disease) pada kebanyakan pasien.
 Glomerulonefritis membrano proliferative (GNMP)
Ditandai dengan penebalan membrane basalis dan proliferasi seluler
(hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN. Dengan mikroskop cahaya, MBG
menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial dan suatu penambahan
matriks mesangial. Perluasan mesangium berlanjut ke dalam kumparan kapiler
perifer, menyebabkan reduplikasi membrane basalis (“jejak-trem” atau kontur
lengkap). Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi
streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik. Ada MPGN tipe I dan
tipe II.
 Glomerulopati membranosa (GM)
Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara
morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada MBG. Jarang ditemukan pada
anak-anak. Mengenai beberapa lobus glomerulus, sedangkan yang lain masih
normal. Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrane basalis
yang terlihat baik dengan mikroskop cahaya maupun elektron.

2. Sindrom nefrotik sekunder


Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab
yang sering dijumpai adalah :
 Penyakit metabolic atau kongenital : diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema
 Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS
 Toksin dan allergen : logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular
 Penyakit sistemik imunologik : lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schinlein, sarkoidosis
 Neoplasma : tumor paru, penyakit hodgin, tumor gastrointestinal

2.3.3. Patofisiologi
 Protenuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal
dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian
kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas
membrana basalis glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama
yang dieksresikan dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal
membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang
untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama
berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan
muatan listrik (change barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang
tersebut ikut terganggu. Selain konfigurasi molekul protein juga
menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria dibedakan
menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang
keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari
molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein
yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas
proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.

 Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin
dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.

 Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke
jaringan intestitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik
plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia dan ginjal
melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air.
Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi
juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema
semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat
sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan
ginjal akan menambah retensi natrium dan edema akibat teraktivasinya
sistem Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi
hormone aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk
mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis)
menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan
konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau resistensi
vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan
kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan
ekskresi natrium.

 Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density
lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini
disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme
di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik.

2.3.4. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang
menyeluruh dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan
dimulai dari daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian
menghilang, digantikan oleh edema di daerah pretibial pada sore hari.
Anak biasanya dating dengan keluhan edema ringan, dimana awalnya terjadi
di sekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada mulanya diduga
sebagai gangguan alergi karena pembengkakan periorbital yang menurun dari hari ke
hari. Seiring waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan asites, efusi pleura,
dan edema genital. Anoreksia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering terjadi.
Hipertensi dan hematuria jarang ditemukan. Differensial diagnosis untuk anak dengan
edema adalah penyakit hati, penyakit jantung kongenital, glomerulonefritis akut atau
kronis, dan malnutrisi protein.
Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil dan
bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema interstisial
dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemukan, seperti
efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi anasarka, sampai ke skrotum
atau daerah vulva.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan,
lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umunya normal atau rendah, namun
21% pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya sementara, terutama pada
pasien yang pernah mengalami deplesi volume intravaskuler berat. Keadaan ini
disebabkan oleh sekresi rennin berlebihan, sekresi aldosteron, dan vasokonstriktor
lainnnya, sebagai respon tubuh terhadap hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan
minimal (SNKM) dan glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) jarang ditemukan
hipertensi yang menetap. Dalam laporan ISKDC (Internasional Study of Kidney
Disease in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria mikroskopik,
15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum
darah yang bersifat bersementara. Pasien sindrom nefrotik perlu diwaspadai sebagai
gejala syok dikarenakan kekurangan perfusi ke daerah splanchnik atau akibat
peritonitis.
Diagnosis banding antara lain Diabetic Nephropathy, Light Chain-Associated
Renal Disorders, Focal Segmental Glomerulosclerosis, Glomerulonephritis
akut/kronis, HIV Nephropathy, IgA Nephropathy.

2.3.5. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
 Urinalisis dan bila perlu biakan urin
 Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/
kreatinin pada urin pertama pagi hari
 Pemeriksaan darah antara lain
o Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
trombosit, hematokrit, LED)
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
o Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara
klasik atau dengan rumus Schwartz
o Titer ASTO
o Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus
Sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA
(Ana nuclear antibody) dan anti ds-DNA

Indikasi biopsi ginjal :


- Sindrom Nefrotik dengan hematuri nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan
ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun
- Sindrom Nefrotik resisten steroid
- Sindrom Nefrotik dependen steroid

2.3.6. Penatalaksanaan
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya, sebaiknya
penderita di rawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan
evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi bagi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan uji Mantoux.
Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan
tuberculosis (OAT). Perawatan pada sindrom nefrotik relaps dilakukan bila disertai
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan
dengan kemampuan pasien.
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang dianggap
kontra indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerolus.
Sehingga cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (Recommended
Daily Allowances) yaitu 2gram/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menyebabkan
malnutrisi energy protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam
(1-2gram/hari) hanya diperlukan jika anak menderita edema.
a. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in
Children) pengobatan inisial pada sindrom nefrotik dimulai dengan pemberian
prednisone dosis penuh (full dose) 60 mg/m2 LPB/hari (maksimal 80mg/hari), dibagi
dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung berdasarkan
berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednisone dalam dosis penuh
inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian steroid dalam 2 minggu
pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah
pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada remisi pada 4 minggu pertama,
maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40mg/m 2
LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah
makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid. (Gambar 1)

b. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien, tetapi
pada sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% diantaranya
mengalami relaps sering. Skema pengobatan relaps dapat dilihat di gambar 2, yaitu
diberikan prednisone dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan
dengan prednisone dosis alternating selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik yang
mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian
prednisone, terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran napas atas.
Bila ada infeksi, diberikan antibiotic 5-7 hari dan bila setelah pemberian antibiotic
kemudian proteinuria menghilang, tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak
awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps, dan
diberi pengobatan relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial,
sangat penting, karen dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan
relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien
dapat dibagi dalam beberapa penggolongan, yaitu :
1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)
3. Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid
diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini
terjadi 2 kali berturut-turut.

c. Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid


Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid ada 4 pilihan,
yaitu :
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian Levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin (pilihan terakhir)

Selain itu perlu dicari focus infeksi, seperti tuberculosis, infeksi di gigi atau
cacingan. Bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik relaps sering/dependen
steroid, setelah mencapai remisi dengan prednisone dosis penuh, diteruskan dengan
steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/ bertahap 0,2mg/kgBB
sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5mg/kgBB
alternating. Dosis ini disebut threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan,
kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir
prednisone 0,5mg/kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1mg/kgBB secara
alternating.
Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu), dialnjutkan dengan prednisone alternating 40
mg/m2 LPB/hari dan imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid 2-
3 mg/kgBB/hari) dosis tunggal selama 8 minggu

Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi


(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan
dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infuse 1x sebulan
selama 6 bulan berturut-turut dan prednisone alternating 40 mg/m2
LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednisone di-tapering-off
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan
0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering-off 2 bulan).
Atau
prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari
dosis tunggal selama 12 minggu dan prednisone alternating 40
mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednisone di-
tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama
tapering-off 2 bulan).
d. Pengobatan Sindrom Neftrotik Resisten Steroid
1. Siklofosfamid
Sebagai alkylating agent, siklofosfamid bersifat sitotoksik dan imunosupresif.
Siklofosfamid menunjukan kemampuan memperpanjang masa remisi dan
mencegah kambuh sering. Indikasi penggunaan siklofosfamid yaitu bila terjadi
kegagalan mempertahankan remisi dengan menggunakan terapi prednisone
tanpa menyebabkan keracunan steroid. Siklofosfamid diberikan 3
mg/kgBB/hari sebagai dosis tunggal selama 12 minggu. Terapi prednisone
selang sehari tetap diberikan selama penggunaan siklofosfamid ini.
Selama pemberian siklofosfamid perlu diperhatikan efek samping yang
mungkin terjadi antara lain : leucopenia, gangguan gastrointestinal, infeksi
varicella disseminate, sistisis hemoragik, alopesia, keganasan, azoospermia,
dan infertilitas. Selama terapi dengan siklofosfamid, kadar leukosit perlu
diperiksa setiap minggu, dan pengobatan perlu dihentikan dahulu bila kadar
leukosit menjadi ≤ 5000/mm3.

2. Klorambusil
Klorambusil efektif bila dikombinasikan dengan terapi steroid dalam
menginduksi remisi pada penderita ketergantungan steroid dan kambuh sering.
Dosis yang umumnya digunakan adalah 0,2 mg/kgBB/hari selama 8-12
minggu.

3. Levamisol
Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmentik. Obat ini juga
mempengaruhi fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya, tetapi sifatnya
memberikan stimulasi terhadap sel T. Dosis levamisol 2,5 mg/kgBB diberikan
selang sehari selama 4-12 bulan.

4. Siklosporin
Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi dicapai dengan
steroid. Umumnya terapi ini digunakan bila siklofosfamid kurang efektif.
Dosis awal yang digunakan yaitu 5 mg/kgBB/hari.
Dalam penggunaannya, kadar dalam darah perlu dikontrol karena memberikan
efek nefrotoksik. Siklosporin dapat menyebabkan kelainan histologist bahkan
pada penderita yang ginjalnya normal sekalipun. Efek samping lain yang
sering ditemukan yaitu hipertrikosis, hyperplasia gusi, gejala gastrointestinal,
dan hipertensi.

e. Penderita lama (pengobatan relaps)


 Relaps tidak frekuen : prednisone 2mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis, diberikan
3 hari sampai ada remisi. Dilanjutkan dosis intermitten dibagi dalam 3 dosis
selama 4 minggu.
 Relaps frekuen : berikan prednisone dosis penuh sampai remisi, kemudian
dilanjutkan sitostatika atau imunosupresen, siklofosfamid atau klorampusil
bersama-sama dengan prednisone dosis intermiten selama 8 minggu.

f. Penderita rawat jalan


 Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menimbang berat badan, mengukur tinggi
badan, tekanan darah, dan pemeriksaan tanda-tanda lainnya
 Pemeriksaan penunjang yang harus dievaluasi adalah urin rutin, darah tepi,
kadar urin serta kreatinin darah 3-6 bulan sekali tergantung pada situasi
Terapi yang dilakukan pada penderita rawat jalan antara lain remisi
total (tanpa terapi), remisi parsial/rest protein 1+ tanpa obat, proteinuria +/++
tanpa edema dan disertai gejala infeksi, berikan antibiotika (ampisillin atau
amoksisillin) 3-5 hari. Bila tetap ada proteinuria maka dianggap sebagai
relaps.

g. Pengobatan tambahan
 Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik, furosemid 1-
2mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral
 Edema menetap, berikan albumin (IVFD) 0,5-1g/kgBB atau plasma 10-20
ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid i.v. 1 mg/kgBB/kali
Mengatasi renjatan yang diduga karena hipoalbuminemia (1,5g/dL) berikan
albumin atau plasma darah
2.3.7. Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik
terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka
panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun menunjukan
hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada glomerulosklerosis, 25%
menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada sebagian besar lainnya disertai
penurunan fungsi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bernstein D. Congenital heart disease. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,


Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 1878-81.
2. 2. Soeroso S, Sastrosoebroto H. Penyakit jantung bawaan non-sianotik. Dalam:
Sastroasmoro S, Madiyono B, penyunting. Buku ajar kardiologi anak. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 1994. h. 203-13.
3. Ghanie A. Penyakit jantung congenital pada dewasa. In: Sudoyo AW dkk (ed).
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta: BP FKUI, 2007.
1641-8.
4. Gessner IH. Atrial septal defect, ostium secundum. 10 November 2008.
http://medscape.com [diakses tanggal: 22 Juni 2013].
5. Friedman WF, Child JS. Congenital heart disease in the adult. In: Harrison’s
principles of internal medicine. 2001. New York: McGraw-Hill.
6. Gatzoulis MA, Swan L, Therrien J, Pantely GA. Adult congenital heart
disease: a practical guide. 2005. Oxford: Blackwell publishing ltd.
7. Popelova J, Oechslin E, Kaemmerer H, Sutton M. Congenital heart disease in
adults. 2008. United kingdom:informa healthcare.
8. Hasan R, Alatas H (ed). Penyakit jantung bawaan. In: Buku ajar ilmu
kesehatan anak. Jilid II. Jakarta : BP. FKUI. 2007. 705-18.
9. Atrial septal defect. http://kidshealth.org/parent/medical/heart/asd.html
[diakses tanggal 22 Juni 2013]
10. Rigatelli G, Cardaioli P, Hijazi ZM. Contemporary clinical management of
atrial septal defects in theadult. 12 Desember 2007. http://medscape.com
[diakses tanggal 22 Juni2013].
11. Himpunan bedah toraks kardiovaskular Indonesia. Atrial septal defect. 31
Desember 2009. http://www.bedahktv.com/index.php?/e-Education/Jantung-
Anak/Atrial-Septal-Defect.html [diakses tanggal 22 Juni 2013].
12. Nasution AH. Anastesi pada atrial septal defect (ASD). 22 Mei 2009.
http://anestesi.usu.ac.id/sari-pustaka/16-anestesi-pada-atrial-septal-defect-asd-
oleh-dr-akhyar-h-nasution-span.html [diakses tanggal 23 Juni 2013].

Anda mungkin juga menyukai