Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN DAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


ILEUS PARALITIK
I. Definisi
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya)
aliran normal isi usus sepanjang saluran usus.Obstruksi usus terdiri dari akut dan
kronik, partial atau total. Obstruksi usus biasanya mengenai kolon sebagai akibat
karsinoma dan perkembangannya lambat.Sebagian dasar dari obstruksi justru
mengenai usus halus. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang
memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin
tetap hidup. Ada dua tipe obstruksi, yaitu:
1. Mekanis (Ileus Obstruktif)
Suatu penyebab fisik menyumbat usus dan tidak dapat diatasi oleh
peristaltik.Ileus obstruktif ini dapat akut seperti pada hernia stragulata atau
kronis akibat karsinoma yang melingkari. Misalnya intusepsi, tumor polipoid
dan neoplasma stenosis, obstruksi batu empedu, striktura, perlengketan, hernia
dan abses.
2. Neurogenik/Fungsional (Ileus Paralitik)
Obstruksi yang terjadi karena suplai saraf otonom mengalami paralisis dan
peristaltik usus terhenti sehingga tidak mampu mendorong isi sepanjang usus.
Contohnya amiloidosis, distropi otot, gangguan endokrin seperti diabetes
mellitus, atau gangguan neurologis seperti penyakit parkinson.
II. Etiologi
Walaupun predisposisi ileus biasanya terjadi akibat pasca bedah abdomen,
tetapi ada faktor predisposisi lain yang mendukung peningkatan risiko terjadinya
ileus, diantaranya sebagai berikut :
1. Sepsis.
2. Obat-obatan (misalnya : opioid, antasid, coumarin, amitriptyline,
chlorpromazine).
3. Gangguan elektrolit dan metabolik (misalnya hipokalemia, hipomagnese-mia,
hipernatremia, anemia, atau hiposmolalitas).
4. Infark miokard.
5. Pneumonia.
6. Trauma (misalnya : patah tulang iga, cedera spina).
7. Bilier dan ginjal kolik.
8. Cedera kepala dan prosedur bedah saraf.
9. Inflamasi intra abdomen dan peritonitis.
10. Hematoma retroperitoneal.
Ileus pada pasien rawat inap ditemukan pada : (1) proses intraabdominal
seperti pembedahan perut dan saluran cerna atau iritasi dari peritoneal (peritonitis,
pankreatitis, perdarahan); (2) sakit berat seperti pneumonia, gangguan pernafasan
yang memerlukan intubasi, sepsis atau infeksi berat, uremia, dibetes ketoasidosis, dan
ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hiperkalsemia, hipomagnesemia,
hipofosfatemia); dan (3) obat-obatan yang mempengaruhi motilitas usus (opioid,
antikolinergik, fenotiazine). Setelah pembedahan, usus halus biasanya pertama kali
yang kembali normal (beberapa jam), diikuti lambung (24-48 jam) dan kolon (48-72
jam).
Ileus terjadi karena hipomotilitas dari saluran pencernaan tanpa adanya
obstruksi usus mekanik. Diduga, otot dinding usus terganggu dan gagal untuk
mengangkut isi usus. Kurangnya tindakan pendorong terkoordinasi menyebabkan
akumulasi gas dan cairan dalam usus. Meskipun ileus disebabkan banyak faktor,
keadaan pascaoperasi adalah keadaan yang paling umum untuk terjadinya ileus.
Memang, ileus merupakan konsekuensi yang diharapkan dari pembedahan perut.
Fisiologisnya ileus kembali normal spontan dalam 2-3 hari, setelah motilitas sigmoid
kembali normal. Ileus yang berlangsung selama lebih dari 3 hari setelah operasi dapat
disebut ileus adynamic atau ileus paralitik pascaoperasi.
Sering, ileus terjadi setelah operasi intraperitoneal, tetapi mungkin juga terjadi
setelah pembedahan retroperitoneal dan extra-abdominal. Durasi ter-panjang dari
ileus tercatat terjadi setelah pembedahan kolon. Laparoskopi reseksi usus dikaitkan
dengan jangka waktu yang lebih singkat daripada reseksi kolon ileus terbuka.
Konsekuensi klinis ileus pasca operasi dapat mendalam. Pasien dengan ileus
merasa tidak nyaman dan sakit, dan akan meningkatkan risiko komplikasi paru. Ileus
juga meningkatkan katabolisme karena gizi buruk. Secara keseluruhan, ileus
meningkatkan biaya perawatan medis karena memperpanjang rawat inap di rumah
sakit. Penyakit/keadaan yang menimbulkan ileus paralitik dapat diklasi-fikasikan
seperti yang tercantum dibawah ini:
1. Neurogenik. Pasca operasi, kerusakan medulla spinalis, keracunan ureter,
iritasi persarafan splanknikus, pankreatitis.
2. Metabolik. Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia),
uremia, komplikasi DM, penyakit sistemik seperti SLE, sklerosis multiple.
3. Obat-obatan. Narkotik, antikolinergik, katekolamin, fenotiazin, antihistamin.
4. Infeksi/ inflamasi. Pneumonia, empiema, peritonitis, infeksi sistemik berat
lainnya.
5. Iskemia usus.
III. Patofisiologi
Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari terangsangnya
sistem saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam traktus
gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang
ditimbulkan oleh sistem parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan pengaruhnya
melalui dua cara : pada tahap yang kecil melalui pengaruh langsung norepineprin
pada otot polos (kecuali muskularis mukosa, dimana ia merangsangnya), dan pada
tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik dari noreepineprin pada neuron-neuron
sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan yang kuat pada sistem simpatis dapat
menghambat pergerakan makanan melalui traktus gastrointestinal.
Hambatan pada sistem saraf parasimpatis di dalam sistem saraf enterik akan
menyebabkan terhambatnya pergerakan makanan pada traktus gastro intestinal,
namun tidak semua pleksus mienterikus yang dipersarafi serat saraf parasimpatis
bersifat eksitatorik, beberapa neuron bersifat inhibitorik, ujung seratnya
mensekresikan suatu transmitter inhibitor, kemungkinan peptide intestinal vasoaktif
dan beberapa peptide lainnya.
Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa
memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau
fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi paralitik dimana peristaltic dihambat
dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat,
kemudian intermitten, dan akhirnya hilang. Perubahan pato-fisiologi utama pada
obstruksi usus adalah lumen usus yang tersumbat secara progresif akan tergang oleh
cairan dan gas (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen,
yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena
sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari ke sepuluh.
Tidak adanya absorbs dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat.
Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber
kehilangan utama cairan dan elektrolik.
Pengaruh atas kehilangan ini adalah penyempitan ruang cairan ekstrasel yang
mengakibatkan syok-hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi
jaringan dan asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan
lingkaran setan penurunan absorbs cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam
usus. Efek local peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan
permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorbsi toksin-toksin bakteri kedalam rongga
peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia.
Pada obstruksi mekanik simple, hambatan pasase muncul tanpa disertai
gangguan vaskuler dan neurologic. Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus,
dan udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian
usus proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorbs
membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi edema dan kongesti.
Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus dan progresif
akan mengacaukan peristaltic dan fungsi sekresi mukosa dan meningkatkan risiko
dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan kematian.
IV. Pohon masalah

Illeus paralitik
V. Manifestasi klinis
Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung (abdominal
distention), anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah mungkin ada, mungkin pula tidak
ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan keluhan
perut kembung pada ileus obstruksi.
Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak disertai nyeri
kolik abdomen yang paroksismal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi
abdomen, perkusi timpani dengan bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat
tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan tidak
enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan nyeri
lepas negatif). Apabila penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang
ditemukan adalah gambaran peritonitis.
Gejala klinisnya,yaitu :
1. Distensi yang hebat tanpa rasa nyeri (kolik).
2. Mual dan mutah.
3. Tak dapat defekasi dan flatus, sedikitnya 24-48 jam.
4. Pada palpasi ringan perut, ada nyeri ringan, tanpa defans muskuler.
5. Bising usus menghilang.
6. Gambaran radiologis : semua usus menggembung berisi udara.
VI. Komplikasi ileus paralitik
1. Nekrosis usus.
2. Perforasi usus dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi terlalu lama pada
organ intra abdomen.
3. Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehingga terjadi
peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.
4. Sepsis infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan
cepat.
5. Syok dehidrasi terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
6. Abses sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi.
7. Pneumonia aspirasi dari proses muntah.
8. Gangguan elektrolit, refluk muntah dapat terjadi akibat distensi abdomen.
Muntah mengakibatkan kehilangan ion hidrogen dan kalium dari lambung,
serta menimbulkan penurunan klorida dan kalium dalam darah.
VI. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
a. Foto polos abdomen 3 posisi
Dengan posisi terlentang dan tegak (lateral dekubitus) memper-
lihatkan dilatasi lengkung usus halus disertai adanya batas antara air
dan udara atau gas (air-fluid level) yang membentuk pola bagaikan
tangga, posisi setengah duduk untuk melihat Gambaran udara cairan
dalam usus atau di luar usus, misalnya pada abses, Gambaran udara
bebas di bawah diafragma, Gambaran cairan di rongga pelvis atau
abdomen bawah.
b. Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema
Mempunyai suatu peran terbatas pada pasien dengan obstruksi usus
halus. Pengujian Enema Barium terutama sekali bermanfaat jika suatu
obstruksi letak rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos
abdomen. Pada anak-anak dengan intussuscepsi, pemeriksaan enema
barium tidak hanya sebagai diagnostik tetapi juga mungkin sebagai
terapi.
c. CT–Scan
Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos abdomen
dicurigai adanya strangulasi. CT–Scan akan mempertunjukkan secara
lebih teliti adanya kelainan-kelainan dinding usus, mesenterikus, dan
peritoneum. CT–Scan harus dilakukan dengan memasukkan zat
kontras kedalam pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini dapat
diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi.
d. USG
Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyebab dari
obstruksi.
e. MRI
Walaupun pemeriksaan ini dapat digunakan, tetapi tehnik dan kontras
yang ada sekarang ini belum secara penuh mapan. Teknik ini
digunakan untuk mengevaluasi iskemia mesenterik kronis.
f. Angiografi
Angiografi mesenterik superior telah digunakan untuk men-diagnosis
adanya herniasi internal, intussuscepsi, volvulus, malrotation, dan
adhesi.
2. Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis mungkin menunjukkan adanya strangulasi, pada urinalisa
mungkin menunjukkan dehidrasi. Analisa gas darah dapat mengindikasikan
asidosis atau alkalosis metabolic.
VII. Penatalaksanaan
1. Konservatif
a. Penderita dirawat di rumah sakit.
b. Penderita dipuasakan
c. Kontrol status airway, breathing and circulation.
d. Dekompresi dengan nasogastric tube.
e. Intravenous fluids and electrolyte
f. Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.
2. Farmakologis
a. Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob.
b. Analgesik apabila nyeri.
3. Operatif
a. Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai dengan
peritonitis.
b. Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric untuk
mencegah sepsis sekunder atau rupture usus.
c. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik
bedah yang disesuaikan dengan hasil explorasi melalui laparotomi.
IX. Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
1. Identitas
Biodata klien yang penting meliputi nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku dan gaya hidup.
2. Riwayat Kesehatan
 Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan klien pada saat
dikaji. Pada umumnya akan ditemukan klien merasakan nyeri
pada abdomennya biasanya terus menerus, demam, nyeri tekan
dan nyeri lepas, abdomen tegang dan kaku.
 Riwayat kesehatan sekarang
Mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien mencari
pertolongan, dikaji dengan menggunakan pendekatan PQRST :
P : Apa yang menyebabkan timbulnya keluhan.
Q :Bagaiman keluhandirasakan oleh klien, apakah hilang,
timbul atau terus- menerus (menetap).
R : Di daerah mana gejala dirasakan
S : Keparahan yang dirasakanklien dengan memakai skala
numeric1 s/d 10.
T :Kapankeluhan timbul, sekaligus factor yangmemperberat
dan memperingan keluhan.
 Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien sebelumnya pernah mengalami penyakit pada
sistem pencernaan, atau adanya riwayat operasi pada sistem
pencernaan.
 Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang
sama dengan klien.
3. Pemeriksaan fisik
 Status kesehatan umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan
pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan
anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas,
bagaimana mood pasien.
 Sistem pernafasan
Peningkatan frekuensi napas, napas pendek dan dangkal
 Sistem kardiovaskuler
Takikardi, pucat, hipotensi (tanda syok)
 Sistem persarafan
Tidak ada gangguan pada sistem persyarafan
 Sistem perkemihan
Retensio urine akibat tekanan distensi abdomen, anuria/oliguria,
jika syok hipovolemik
 Sistem pencernaan
Distensi abdomen, muntah, bising usus meningkat, lemah
atau tidak ada, ketidakmampuan defekasi dan flatus.
 Sistem muskuloskeletal
Kelelahan, kesulitan ambulansi
 Sistem integumen
Turgor kulit buruk, membran mukosa pecah-pecah (syok)
 Sistem endokrin
Tidak ada gangguan pada sistem endokrin
 Sistem reproduksi
Tidak ada gangguan pada sistem reproduksi
b. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
gangguan absorbsi nutrisi.
3. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
4. Resiko infeksi berhubungan denganperforasi dinding usus
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut berhubungan NOC : NIC :
dengan:  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Agen injuri (biologi, kimia,  pain control, termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
fisik, psikologis), kerusakan  comfort level kualitas dan faktor presipitasi
jaringan  Observasi reaksi nonverbal dari
Setelah dilakukan tinfakan keperawatan selama …. ketidaknyamanan
Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, menemukan dukungan
mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk  Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
mengurangi nyeri, mencari bantuan) nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan kebisingan
menggunakan manajemen nyeri  Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
dan tanda nyeri) intervensi

 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang  Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas

 Tanda vital dalam rentang normal dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
 Tidak mengalami gangguan tidur  Tingkatkan istirahat
 Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan
antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Risiko infeksi NOC : NIC :
 Immune Status  Pertahankanteknikaseptif
Faktor-faktor risiko :  Knowledge : Infection control  Batasipengunjung bila perlu
- Prosedur Infasif  Risk control  Cucitangansetiapsebelum dan
- Kerusakan jaringan dan sesudahtindakankeperawatan
peningkatan paparan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama……  Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
lingkungan pasien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil: pelindung
- Malnutrisi  Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi  Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai
- Peningkatan paparan  Menunjukkan kemampuan untuk mencegah dengan petunjuk umum
lingkungan patogen timbulnya infeksi  Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
- Imonusupresi  Jumlah leukosit dalam batas normal infeksi kandung kencing
- Tidak adekuat pertahanan  Menunjukkan perilaku hidup sehat  Tingkatkan intake nutrisi
sekunder (penurunan Hb,  Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam  Berikan terapi antibiotik
Leukopenia, penekanan batas normal  Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
respon inflamasi) lokal
- Penyakit kronik  Pertahankan teknik isolasi k/p
- Imunosupresi
- Malnutrisi  Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
- Pertahan primer tidak kemerahan, panas, drainase
adekuat (kerusakan kulit,  Monitor adanya luka
trauma jaringan,  Dorong masukan cairan
gangguan peristaltik)  Dorong istirahat
 Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
 Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap
4 jam
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Resiko ketidakseimbangan NOC : NIC :
nutrisi lebih dari  Nutritional Status : food and Fluid Intake Weight Management
kebutuhan tubuh  Nutritional Status : nutrient Intake  Diskusikan bersama pasien mengenai
Berhubungan dengan :  Weight control hubungan antara intake makanan, latihan,
Intake yang berlebihan peningkatan BB dan penurunan BB
terhadap kebutuhan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ….  Diskusikan bersama pasien mengani kondisi
metabolisme tubuh Ketidak seimbangan nutrisi lebih teratasi dengan medis yang dapat mempengaruhi BB
kriteria hasil:  Diskusikan bersama pasien mengenai
 Mengerti factor yang meningkatkan berat badan kebiasaan, gaya hidup dan factor herediter yang
 Mengidentfifikasi tingkah laku dibawah kontrol dapat mempengaruhi BB
klien  Diskusikan bersama pasien mengenai risiko
 Memodifikasi diet dalam waktu yang lama yang berhubungan dengan BB berlebih dan
untuk mengontrol berat badan penurunan BB
 Penurunan berat badan 1-2 pounds/mgg  Dorong pasien untuk merubah kebiasaan
 Menggunakan energy untuk aktivitas sehari hari makan
 Perkirakan BB badan ideal pasien
Nutrition Management
 Kaji adanya alergi makanan
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
pasien.
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein
dan vitamin C
 Berikan substansi gula
 Yakinkan diet yang dimakan mengandung
tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan yang terpilih ( sudah
dikonsultasikan dengan ahli gizi)
 Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan
makanan harian.
 Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
 Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
 Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan
nutrisi yang dibutuhkan
Weight reduction Assistance
 Fasilitasi keinginan pasien untuk menurunkan
BB
 Perkirakan bersama pasien mengenai
penurunan BB
 Tentukan tujuan penurunan BB
 Beri pujian/reward saat pasien berhasil
mencapai tujuan
 Ajarkan pemilihan makanan
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Hipertermia NOC: NIC :
Berhubungan dengan : Thermoregulasi  Monitor suhu sesering mungkin
- penyakit/ trauma  Monitor warna dan suhu kulit
- peningkatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan  Monitor tekanan darah, nadi dan RR
metabolisme selama………..pasien menunjukkan :  Monitor penurunan tingkat kesadaran
- aktivitas yang Suhu tubuh dalam batas normal dengan kreiteria hasil:  Monitor WBC, Hb, dan Hct
berlebih  Suhu 36 – 37C  Monitor intake dan output
- dehidrasi  Nadi dan RR dalam rentang normal  Berikan anti piretik:
 Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada  Kelola Antibiotik
pusing, merasa nyaman  Selimuti pasien
 Berikan cairan intravena
 Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
 Tingkatkan sirkulasi udara
 Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
 Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
 Catat adanya fluktuasi tekanan darah
 Monitor hidrasi seperti turgor kulit,
kelembaban membran mukosa)
DAFTAR PUSTAKA

Ahern, Wilkinson. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.


Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi.
2012-2014. Jakarta: Salemba Medika.
Price, Sylvia. 2003 . Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai