Anda di halaman 1dari 12

TUGAS

UJIAN AKHIR SEMESTER

Disusun guna memenuhitugas mata kuliah Ulumul hadis

Dosen Pengampu : Prof.Dr.Hj.Siti Mujibatun, M.Ag

Disusun Oleh :

Ahmad Nur Fatikhin (1805036045

PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN WALISONGO SEMARANG

2018
PENDAPAT ULAMA TENTANG PENGAMALAN HADITS DHA’IF

1. Hadits Dha’if Tidak Boleh Diamalkan Secara Mutlak

Sebagian ulama tidak membolehkan pengamalan hadits dha’if secara mutlak, baik dalam
masalah hukum syari’, aqidah, fadhoil amal, atau pun hanya sekedar untuk berhati-hati. Mereka
adalah Imam Yahya bin Main, Abu Bakr iburul Arabi, Bukhori, Muslim1, Asy Syihab Al Khofaji
dan Al Jalal Ad Diwani2.

Dalam pembahasan ini, tidak satupun kitab yang mencantumkan penjelasan Imam
Bukhori dan Muslim yang melarang pengamalan hadits dha’if. Imam Muslim sendiri sangat
mencela perowi yang sengaja menebarkan hadits dha’if, terlebih kepada para awam. Beliau
mewajibkan periwayatan dari para tsiqot yang terkenal kejujuran dan amanahnya, sehingga rowi
berhati-hati dari riwayat ahli bid’ah dan tidak meriwayatkan kecuali shohih saja. Imam Muslim
sangat berpegang teguh dengan hadits:

3
َ‫ث َي َرى أَنَّهُ َكذِّبٌ فَ ُه َو أ َ َحد ُ الكَا ِّذ ِّبيْن‬ َ ‫َم ْن َحد‬
ٍ ‫َّث َعنِّي ِّب َح ِّد ْي‬

Barang siapa menceritakan suatu hadits tentangku yang ia anggap bahwa (hadits) itu suatu
kedustaan maka ia termasuk salah satu dari pada pendusta.

Al-Qosimi menukilkan penuturan Ibnu Hazm dari kitab Al-Milawan Nihal sebagai
berikut :

‫ق‬ َّ ‫ إِّالَّ أَ َّن فِّى ال‬: ‫ب أ َ ْو كَافَّةٌ َع ْن كَافَّ ٍة أ َ ْو ثِّقَةٌ َع ْن ثِّقَ ٍة َحتَّى يَ ْبلُغَََ اِّلَى النَّبِّي ِّ صلى هللا عليه و سلم‬
ِّ ‫ط ِّر ْي‬ ِّ ‫ق َوال َم ْغ ِّر‬ ِّ ‫َما نَقَلَهُ أ َ ْه ُل ال َم ْش ِّر‬
ُ‫ص ِّد ْيقُهُ َوالَ األ َ ْخذ‬ ٍ ْ‫َر ُجالً َمجْ ُر ْو ًحا بِّ ِّكذ‬
ُ ‫ فَ َهذَا يَقُ ْو ُل بِّ ِّه بَ ْع‬.‫ب ا َ ْو َغ ْفلَ ٍة ا َ ْو َمجْ ُه ْو ِّل ال َحا ِّل‬
ْ َ ‫ض ال ُم ْس ِّل ِّميْنَ َوالَ يَ ِّحل ِّع ْندَنَا ال َق ْو ُل بِّ ِّه َوالَ ت‬
4
ُ‫ْئ ِّم ْنه‬
ٍ ‫شي‬
َ ‫ِّب‬

”Apa-apa yang dinukil oleh penduduk timur dan barat atau keseluruhan mereka, atau seorang
tsiqot dari tsiqot yang lain hingga sampai (berakhir) pada Nabi saw. Kecuali jika dalam
sanadnya (ada) seorang rowi yang tercatat karena kedustaan, kelalaian, atau tidak diketahui
1
Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 113
2
Abdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 3
3
Muslim, Shahih Muslim bisyarhin Nawawi, hlm. 9
4
Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 113

2
keadaanya. Maka ini dinyatakan oleh sebagain muslimin (kebolehan pengamalan), sedangkan
menurut kami tidak halal pernyataan dengannya (hadits yang dinukil). Pembenahannya, dan
tidak pula pengambilan sedikitpun darinya.”

Maksudnya ; Ibnu Hazm menyatakan bahwa sebagian muslimin membolehkan pengamalan


hadits yang dinukil oleh seluruh rowi atau seorang tsiqot dan seterus hingga berakhir pada Nabi,
selagi hadits itu tidak terdapat rowi pendusta, lalai, atau tidak diketahui keadaannya. Menurut
beliau, bila memang hadits itu dha’if maka tidak boleh diamalkan secara mutlak.

2. Hadits Dha’if Diamalkan dengan Syarat Tertentu

Diantara ulama ada yang membolehkan secara mutlak, maksudnya tidak ada batasan pada
hadits dha’if yang boleh diamalkan, baik hadits itu berhubungan dengan aqidah, hukum syari’,
dadkoil amal, dsb. Semuanya boleh, dengan syarat : tidak ada satupun dalil shahih mengenai
suatu bab kecuali hadits dha’if tersebut dan tidak ditemukan dalil yang menyelisihinya. Pendapat
ini disandarkan kepada Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad karena kedua imam tersebut
mengatakan bahwa hadits dha’if lebih baik dari pada pendapat ulama.5

Imam As Suyuthi berpendapat bahwa hadits dha’if juga diamalkan dalam masalah hukum
untuk sekedar berhati-hati.6

3. Hadits Dha’if Hanya Diamalkan dalam Fadhoil Amal dengan Syarat Tertentu

Imam An Nawawi, Syaikh Ali Al-Qori, dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitani menukilkan
kesepakatan jumhur ulama dan fuqoha atas pendapat yang membolehkan pengamalan hadits
5
Abdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 3
6
Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 116

3
dha’if dalam fadhoil amal. Pendapat itulah yang dijadikan pedoman bagi para imam, termasuk
mereka: Imam Ibnu Hajar Al Asqolani, Imam Al Luknawi, Imam Ahmad, Abu Zakariya, dan
Ibnu Mahdi.7

Imam Ahmad menuturkan pendapat beliau sebagi berikut:

8
‫ساه َْلنَا‬ َ َ‫شدَّدْنَا َو إِّذَا َر َو ْينَا فِّى الف‬
َ َ ‫ضائِّ ِّل َونَحْ ِّوهَا ت‬ َ ‫اِّذَا َر َاو ْينَا فِّى ال َحالَ ِّل َوال َح َر ِّام‬

Apabila kami meriwayatkan (hadits) dalam masalah halal dan harom kami bersikap tegas, dan
jika kami meriwayatkan (hadits) dalam fadhoil dan semisalnya kami bermudah-mudah.9

Meskipun begitu, pembolehan dalam hal ini tidak berlaku secara mutlak, masih ada beberapa
ketentuan yang harus di perhatikan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh ibnu Hajar, ketentuan-
ketentuan itu adalah:

1. Hadits tersebut tidak terlalu dha’if. Yang termasuk sangat dha’if adalah mungkar, matruk,
dan maudlu’
2. Amalan yang ada dalam hadits itu berasaskan suatu hadits maqbul
3. Tidak berkeyakinan bahwa hadits tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat,
bahkan hanya diniatkan untuk sekedar berhati-hati.1011

Dalam kitab Qowaidut Tahdits, Imam Hakim menuturkan pendapat Abu Zakariya Al Anbari;
beliau mengatakan:

7
bdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 3
8
Abdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 1
9
Abdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 3
10
Maksud bermudah-mudahan adalah sikap tidak begitu memperdulikan atau meremehkan cela rowi dalam
sanadnya.
11
Berhati-hati (‫ )احتاط‬maksudnya : berjaga-jaga bila ternyata hadits tersebut benar dari rosul saw maka ia telah
menunaikan haknya (hak hadits untuk diamalkan) atau jika ternyata tidak benar, maka tidak ada dosa bagi yang
mengamalkan.

4
‫ب‬ ٍ ‫ ال َخ َب ُر َو َردَ لَ ْم يُ َح ِّر ْم َحالَالً َولَ ْم ي ُِّح َّل َح َرا ًما َولَ ْم ي ُْو ِّجبْ ُح ْك ًما َو َكانَ فِّى ت َ ْر ِّغ ْي‬: ‫س ِّم ْعتُ ا َ َبا زَ ك َِّريَّا ال َع ْن َب ِّرى َيقُ ْو ُل‬
ٍ ‫ب اَ ْو ت َْر ِّه ْي‬ َ
ُ ُ ‫ض َع ْنهُ َوت‬
‫س ْو ِّه َل ِّفى ُر َوا ِّت ِّه‬ َ ‫أ ُ ْغ ِّم‬
12

Aku mendengar Abu Zakariya Al Anbari menyatakatan: khabar yang datanya tidak
mengharamkan yang halal, tidak menghalalkan yang hara, tidak mewajibkan suatu hukum dan
pula keberadaannya itu dalam hal targhib (penyemangatan) atau tarhib (intimidasi), dibiarkan
dan dimaafkan (cacat) para rawinya.

 Pendapat saya tentang pengamalan hadist dhaif

Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut saya hadis yang dhaif adalah hadis yang lemah,
karena asal usulnya yang dipertanyakan dan kemungkinan juga hadist nya bukan berasal dari
nabi Muhammad, namun apabila hadis ini diamalkan dalam konteks kebaikan lantas kenapa
tidak asalkan tidak melaggar ketentuan ketentuan yang berlaku diatas hukum hukum islam,dan
kita harus pintar pintar dalam menelaah hadist yang hendak kita amalkan dan mempertimbngkan
baik buruknya hadit dhaif tersebut.

12
Al-Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 114

5
CONTOH HADIST TENTANG PEMAHAMAN HADIST SECARA
TEKTUAL DAN KONTEKTUAL

1. Pemahaman Hadist Secara Tekstual

Berarti bahwa segala sesuatu yang tersurat pada redaksi (matan) hadis dipahami sesuai
dengan makna lughawi-nya. Cakupan makna dan kandungan pesan yang ingin disampaikan
oleh hadis dapat ditangkap oleh pembaca hanya dengan membaca teks (kata-kata) yang
terdapat di dalamnya.Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pemahaman hadis dengan
cara seperti ini dapat dikategorikan sebagai salah satu pendekatan pemahaman hadis yang
paling sederhana dan mendasar. Karena hanya dengan membaca lafaz hadis dan memahami
makna lughawi-nya pembaca dapat menarik pemahaman dan gagasan ide yang dimiliki
hadis.

Contoh hadis tersebut ialah hadis yang menjelaskan tentang “perang itu adalah siasat”,
seperti berikut:

َ ‫ قَا َل‬- ‫ رضى هللا عنه‬- َ‫َّللاِ أ َ ْخبَ َرنَا َم ْع َم ٌر ع َْن َه َّم ِام ب ِْن ُمنَ ِب ٍه ع َْن أ َ ِبى ه َُري َْرة‬
- ‫س َّمى النَّ ِب ُّى‬ َ ‫َح َّدث َ َنا أَبُو بَك ِْر ْبنُ أَص َْر َم أَ ْخبَ َرنَا‬
َّ ‫ع ْب ُد‬
13
‫ب ُخ ْدعَة‬ َ ‫ ا ْلح َْر‬- ‫صلى هللا عليه وسلم‬

Artinya:"Abu Bakar bin Ashram telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah telah mengkabarkan kepada
kami, Ma’mar telah mengkabarkan kepada kami dari Hammam bin Munabbih dari Abu
Hurairah Ra, Rasulullah Saw. berkata:”Perang itu adalah siasat".

Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa
setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal
serta tidak terikat oleh tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat
apa saja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama saja dengan menyatakan takluk
kepada lawan tanpa syarat. 14

13
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismȃ’ȋl al-Bukhȃriy, Op. Cit., h. 579. Kitab: Al-Jihȃd, Bab: al-Harb Khad’ah,
Hadis no. 3029
14
Syuhudi Ismail, Op.Cit., h. 1

6
Contoh Hadist Tekstual :

‫عن ابي بكره قل لقد نفعني هللا بكلمه سمعتها من رسول هللا ص ما ايام الجمل ماكدت ان الحق باصحاب‬
‫الجمل فاقاتل معهم قل لما بلغ رسول هللا ص م ان بعد اهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسري قل عليه الصاله‬
)‫والسلم لن يفلح قوم ولو اامر هم امراه(روه بحري‬

“Diriwayatkan dari Abu Bakar, (ia berkata) : “sungguh, Allah telah member manfaat
kepadaku lantaran kalimat yang aku dengar dari Rasulluah SAW pada perang jamal, ketika aku
hamper terjebak ikut perang jamal.” Selanjutnya ia berkata, “ketika berita bahwa Persia telah
mengangkat puteri Irsa sebagai ratu, hal itu sampai pada Rasul kemudian beliau bersabda : “tidak
akan sejahtera sebuah bangsa yang menyerahkan segala urusannya kepada seorang wanita”. (HR
Al-Bukhari).15

Dipahami secara tekstual hadist ini melarang perempuan menjadi pemimpin. Hampir seluruh
fuquha yang melarang keterlibatan seorang perempuan menjadi pemimpin mengacu pada hadist
ini sebagai dalil. Dibelakang itu, mereka memberikan argument penguat bahwa perempuan
adalah makhluk yang kurang akalnya, tidak kuat fisiknya, dan labil mentalnya. Karena itu,
ditutup peluang bagi kaum wanita untuk menempati jabatan kepemimpinan dalam segala bidang
yang mengurusi orang banyak.

15
Dr Kh A.Malik Madani, Politik Berpayung Fiqih, (Yogyakarta : PT Pustaka Pesantren, 2010), hlm 16.

7
2. Pemahaman Hadist Secara Kontekstual

Pemahaman hadis dengan menggunakan pendekatan kontekstual yang dimaksud


di sini adalah memahami hadis-hadis Rasulullah Saw. dengan memperhatikan dan
mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya
hadis-hadis tersebut atau dengan perkataan lain, dengan memperhatikan dan mengkaji
konteksnya.16
Ada dua cara yang dapat digunakan dalam memahami hadis dengan pendekatan
kontekstual, yaitu:
a. Analisis terhadap kata-kata yang terdapat dalam teks
b. Situasi yang ada hubungannya dengan kejadian.
Menurut Said Agil Husin al-Munawar terdapat beberapa pendekatan pemahaman
hadist kontekstual anatara lain:
 Pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan
antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-
determinasi sosial dan situasi historis kultural yang mengitarinya.
 Pendekatan sosiologis adalah memahami hadis Rasulullah Saw. dengan mengkaji
kondisi dan situasi masyarakat saat munculnya hadis tersebut. 17
 Pendekatan antropologis yaitu dengan memperhatikan terbentuknya hadis pada
tataran nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia.
 Pendekatan psikologis, dimana dengan pendekatan ini memahami hadis
Rasulullah Saw. dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan
psikis Nabi Saw. dan masyarakat, khususnya sahabat yang dihadapi Nabi Saw.
yang turut melatarbelakangi munculnya hadis. 18

16
Istilah konteks mengandung arti: 1) bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah
kejelasan makna, 2) situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Lihat: Tim Penyusun, Kamus Besar,
Op.Cit., h. 458
17
Buchari M. Op,Cit, h. 183
18
Maizudin, Op.Cit., h. 118

8
Contoh hadist kontekstual :

‫ت َر ُج ٍل ِم ْن‬ ِ ‫س ِد ع َْن بُ َكي ٍْر ا ْل َج َز ِري ِ ع َْن أَنَ ٍس قَا َل ُكنَّا فِي بَ ْي‬َ َ ‫س ْه ِل أ َ ِبي ْاْل‬
َ ‫ش ع َْن‬ ُ ‫َح َّدثَنَا َو ِكي ٌع َح َّدثَنَا ْاْل َ ْع َم‬
‫علَ ْي ُك ْم‬
َ ‫ْش َولَ ُه ْم‬ ٍ ‫ب فَقَا َل ْاْلَئِ َّمةُ ِم ْن قُ َري‬
ِ ‫ف فَأ َ َخذَ ِب ِعضَا َد ِة ا ْلبَا‬
َ َ‫سلَّ َم َحتَّى َوق‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ص ِار فَ َجا َء النَّ ِب ُّي‬ َ ‫ْاْل َ ْن‬
‫ع َدلُوا َوإِذَا عَا َهدُوا َوفَّ ْوا فَ َم ْن لَ ْم يَ ْفعَ ْل ذَ ِلكَ ِم ْن ُه ْم‬
َ ‫ست ُ ْر ِح ُموا َر ِح ُموا َوإِذَا َح َك ُموا‬
ْ ‫ق َولَ ُك ْم ِمثْ ُل ذَ ِلكَ َما إِذَا ا‬ ٌّ ‫َح‬
ََ19‫اس أَجْ َم ِعين‬ َّ ُ‫فَعَلَ ْي ِه لَ ْعنَة‬
ِ َّ‫َّللاِ َوا ْل َم ََلئِ َك ِة َوالن‬

Artinya:" Waki’ telah menceritakan kepada kami, A'masy telah menceritakan kepada kami dari
Sahl Abi al-Asad dari Bukair al-Jazariy dari Anas berkata:”kami berada di rumah salah
seorang Anshar, lalu Nabi Saw. datang, kemudian berdiri membelakangi pintu lalu
bersabda:"Pemimpin itu dari suku Quraisy, dan mereka mempunyai hak atas kamu sekalian dan
kamu juga mempunyai hak atas mereka. Dalam beberapa hal mereka dituntut untuk berlaku
santun, maka mereka berlaku santun. Jika mereka berjanji, mereka tepati. Kalau ada dari
kalangan mereka yang tidak berlaku demikian, maka orang itu akan memperoleh laknat dari
Allah, malaikat dan umat manusia seluruhnya".

Ibnu Hajar al-'Asqalaniy telah membahas hadis tersebut secara panjang lebar. Dikatakan

bahwa tidak ada seorang ulama pun kecuali dari kalangan Mu'tazilah dan Khawarij yang

membolehkan jabatan kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy.

Dalam sejarah memang telah ada para penguasa yang menyebut diri mereka sebagai khalifah,

padahal mereka bukanlah dari suku Quraisy. Menurut pandangan ulama, sebutan khalifah

tersebut tidak dapat diartikan sebagai kepala negara (al-imȃmah al-'uzhma).20

Menurut al-Qurthubiy, kepala negara disyaratkan harus dari suku Quraisy. Sekiranya

pada suatu saat orang yang bersuku Quraisy tinggal satu orang saja, maka dialah yang berhak

menjadi kepala negara.21

19
Ahmad bin Hanbal, Op. Cit., juz. 20, h. 249. Hadis no. 12900
20
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalȃniy, Op. Cit., h. 526-536
21
Ibid, h. 118

9
Contoh Hadist Kontekstual :

‫المؤمن ياكل في معي واحد والكافر ياكل في سبعة امعاء‬

“orang yang beriman itu makan dengan satu usus(perut), sedang orang kafir makan dengan 7
usus” (HR Al-Bukhari, Al-Tirmidzi, dan Ahmad, dari ibnu Umar). Secara tekstual hadist
tersebut menjelaskan bahwa usus orang beriman berbeda dengan orang kafir. Padahal dalam
kenyataan yang lazim perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman.
Dengan demikian, pernyataan hadist itu merupakan ungkapan simbolik.

Dipahami secara konstektual hadist ini menunjukan perbedaan sikap atau pandangan dalam
menghadapi nikmat Allah. Orang mukmin makan bukan tujuan hidup sedangkan orang kafir
memandang makan adalah sebagian dari tujuan hidup.

‫اطلبوا العلم ولو بالصين‬


“Carilah Ilmu sampai ke Negeri China”

Hadist yang bersumber dari sahabat Anas bin Malik yang matannya sangat manjur, hadist
tersebut diriwayatkan dengan sanad doif (lemah) oleh Al-baihaqi, Abu ya’ala al-khalif al-baihaqi
ibn adi al-dailani dan ibn adibar. Hadist ini dipahami oelh waabi bahwa negeri Cina adalah
negeri Cina itu sendiri. Ika dipahami secara konstektual maksud hadist diatas tersebut carilah
ilmu sampai negeri Cina berarti mencari ilmu sejauh-jauhnya.22

22
Hidayati Nur Muhammad, Meluruskan Vonis Wahabi, (Semarang : Nasyul Publising ‘ilmi,T.Th) hlm47.

10
DAFTAR PUSTAKA
o Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 113
o Abdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 3
o Muslim, Shahih Muslim bisyarhin Nawawi, hlm. 9
o Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 113
o Abdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 3
o Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 116
o bdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 3
o Abdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 1
o Abdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 3
o Maksud bermudah-mudahan adalah sikap tidak begitu memperdulikan atau meremehkan
cela rowi dalam sanadnya.
o Berhati-hati (‫ )احتاط‬maksudnya : berjaga-jaga bila ternyata hadits tersebut benar dari rosul
saw maka ia telah menunaikan haknya (hak hadits untuk diamalkan) atau jika ternyata
tidak benar, maka tidak ada dosa bagi yang mengamalkan.
o Al-Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 114
o Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismȃ’ȋl al-Bukhȃriy, Op. Cit., h. 579. Kitab: Al-Jihȃd,
Bab: al-Harb Khad’ah, Hadis no. 3029
o Syuhudi Ismail, Op.Cit., h. 1
o Dr Kh A.Malik Madani, Politik Berpayung Fiqih, (Yogyakarta : PT Pustaka Pesantren,
2010), hlm 16.
o Istilah konteks mengandung arti: 1) bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat
mendukung atau menambah kejelasan makna, 2) situasi yang ada hubungannya dengan
suatu kejadian. Lihat: Tim Penyusun, Kamus Besar, Op.Cit., h. 458
o Buchari M. Op,Cit, h. 183
o Maizudin, Op.Cit., h. 118
o Ahmad bin Hanbal, Op. Cit., juz. 20, h. 249. Hadis no. 12900
o Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalȃniy, Op. Cit., h. 526-536
o Ibid, h. 118
o Hidayati Nur Muhammad, Meluruskan Vonis Wahabi, (Semarang : Nasyul Publising
‘ilmi,T.Th) hlm47.

11
12

Anda mungkin juga menyukai