Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

Morbus Hansen dan


Reaksi Eritema Nodosum Leprosum

Diajukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Kulit dan Kelamin RSUD Jayapura

Penguji:
dr. Inneke Viviane Sumolang, Sp.KK

Oleh:
Reza Andhika Putra
(0110840243)

SMF ILMU KULIT DAN KELAMIN RSUD JAYAPURA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2018
KETERAMPILAN KLINIK MADYA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM
JAYAPURA

Formulir Evaluasi Diskusi Kasus / Ujian Kasus


Nama : Reza Andhika Putra
NIM : 0110840243
Judul Kasus : Pasien dengan MH relaps dan Reaksi ENL
Tanggal Presentasi :
Indikator Penilaian Nilai

Anamnesa: Identitas, Keluhan utama, Keluhan tambahan

Pemeriksaan Fisik: 1. Status Generalisata

1. Status Lokalis
Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis Kerja / Diagnosis Banding

Terapi

Anjuran Konsultasi / Pemeriksaan Penunjang Lain

Penguasaan Kasus (dasar diagnosis, dll)

Relevansi dalam menjawab


(Kemampuan sintesa dan analisa)

Penguasaan kasus-kasus lain, yang berhubungan dengan diagnosis


banding kasus

Penguasaan kasus-kasus lain diluar diagnosis banding kasus

Total Nilai dibagi 10 Jayapura, 30 Januari 2018


Penguji

dr. Inneke Viviane Sumolang, Sp.KK


NIP. 19710925 200012 2 002
Telah disetujui dan diterima oleh penguji, Laporan Kasus dengan judul
“Pasien dengan Morbus Hansen Relaps dan Reaksi ENL” sebagai salah satu syarat
mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik Madya pada SMF Penyakit Kulit dan
Kelamin RSUD Jayapura. Yang dilaksanakan pada:

Nama : Reza Andhika Putra


Nim : 0110840243
Hari : Selasa
Tanggal : 30 Januari 2018
Tempat : Ruangan Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Jayapura

Menyetujui
Dosen Pembimbing / Penguji

dr. Inneke Viviane Sumolang, Sp.KK


NIP: 19710925 200012 2 002

1
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


1. Nama : Ny. S.R
2. Tanggal lahir : 1-5-1967
3. Umur : 50 tahun
4. Jenis kelamin : Perempuan
5. Status pernikahan : Menikah
6. Alamat : APO Bukit Barisan
7. Agama : K.P
8. Pendidikan : SMP
9. Pekerjaan : IRT
10. Tanggal pemeriksaan : 15 Januari 2018
11. NO.RM : 08 45 57
Anamnesis
a. Keluhan utama
Benjolan-benjolan merah yang terasa nyeri pada wajah, telinga, kedua lengan,
dan kedua tungkai.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poiliklinik kulit dan kelamin RSUD Jayapura dengan
keluahan benjolan-benjolan merah yang terasa nyeri jika tertekan pada wajah,
telinga, kedua lengan, dan kedua tungkai. Mula – mula sebelum timbul
benjolan krang lebih 3 bulan yang lalu pasien mengeluhkan sakit saat menelan
makanan dan lemas, kemudianselang 1 hari benjolan muncul pertama pada
kaki kiri pasien dan kemudian besoknya benjolan-benjolan bertambah banyak
sampai ke wajah, telinga , leher, ketiak dan tangan pasien. Benjolan –

1
benjolan yang timbul juga terasa nyeri jika tersentuh dengan keras. Pasien
juga merasakan nyeri pada persendian kaki dan tangan
c. Riwayat penyakit keluarga
Dalam keluarga pasien tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang
serupa dengan pasien.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah menderita kusta basah dengan bercak – bercak putih yang
banyak lebih dari 10 bercak dan mendapat pengobatan dari tahun 2015 sampai
tahun 2016. Saat pasien kontrol pada tahun 2016 pasien dinyatakan sembuh
oleh dokter di Puskesmas Jayapura Utara. Pasien menjalani pengobatan kusta
di puskesmas Jayapura Utara.
e. Riwayat alergi
Disangkal pasien

1.2 Pemeriksaan Fisik


a. Tanda vital
Keadaan umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4V5M6
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
Respirasi : pernapasan : 21x/menit
Suhu : 36,7°C

b. Status generalis
Kepala Bentuk : Bulat, Simetris
Rambut : Hitam kecoklatan, Distribusi Merata
Muka : Bulat, Simetris, madarosis, nodulus (+)
Mata : Conjungtiva Anemis (-/-); Sklera Ikterik (-); Sekret (-/-
), Pupil Isokor D=S
Telinga : Deformitas (-), Sekret (-)

2
Hidung : Deviasi (-)
Mulut :Oral Candidiasis (-); Tonsil (T1-T1);Lidah Kotor(-)
Leher : Trakea Letak Normal, Pembesaran KGB (+/+)
JVP Tidak Meningkat
ThoraksParu
Inspeksi :Simetris, ikut Gerak Nafas, retraksi (-), Jejas (-)
Palpasi : Vokal Fremitus (Dextra=Sinistra)
Perkusi : Sonor di Kedua Lapang Paru
Auskultasi : Suara Nafas. Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing
(-/-), Pleural Friction Rub (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus Cordis Tidak Terlihat; Thrill (-)
Palpasi :Iktus Cordis Teraba Pada ICS V Midline Clavicula
Sinistra
Perkusi : Pekak (Batas Jantung Dalam Batas Normal)
Auskultasi : BJ I-II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak Datar, Supel, Jejas (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal
Palpasi : Nyeri Tekan (-), Hepar/Lien : Tidak Teraba
Perkusi : Timpani
Ektremitas : Akral Hangat, Capillary Refill Time < 2 detik
Edema (-), Ulkus (-), Clubbing Finger (-), nodulus (+)
Genitalia : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

3
c. Status Dermatologis
Distribusi : Regional
Lokasi : regio facei, ekstrimitas superior et. inferior
Bentuk/susunan : tidak khas
Efloresensi : nodul eritema
Ukuran : numular

Foto Nodul eritema di lengan dan kaki pasien, madarosis pada wajah

4
1.3 Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
1.4 Diagnosis Kerja
Morbus hansen relaps + reaksi eritema nodosum leprosum

1.5 Diagnosis Banding


a. Reaksi reversal
b. Resistensi M. leprae
c. Demam rheumatic
d. Rheumatoidarthritis

1.6 Penatalaksaan
a. Medikamentosa
1. Prednison 30 mg ( 4 – 2 – 0)
2. Ofloksasin 400mg 1x1 tablet
3. Na diclofenac 2S x 25 mg
4. B Complex 3x1 tab
b. Non medikamentosa
1. Istirahat dirumah
2. Menghindari/ menghilangkan faktor pencetus

1.7 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad dubia

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kusta

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari Bahasa India, Kustha,
dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Kata kusta juga disebutkan dalam kitab
Injil, terjemahan dari Bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup
beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta memiliki nama lain yaitu lepra, Morbus
hansen, Hanseniasis. Dinamakan Morbus Hansen karena kuman penyebab kusta
Mycobacterium leprae, ditemukan oleh G. A. Hansen pada tahun 1873 di
Norwegia.1,2

Kusta merupakan penyakit kronik granulomatous, yang disebabkan oleh


Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat yang terutama mengenai
saraf perifer, kulit, dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat
ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Bakteri M. leprae merupakan basil
tahan asam dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, sampai saat ini M. Leprae belum
dapat dibiakkan media artifisial.1,2

Secara epidemiologi, kusta menyebar luas keseluruh dunia. Penyakit ini


memiliki prevalensi tertinggi di asia tenggara, dan indonesia menduduki peringkat
ketiga di dunia setelah India dan Brazil dengan penemuan kasus yang meningkat
dari tahun ke tahun.1

Cara penularan kusta terjadi melalui kontak erat yang lama dan melalui
inhalasi, karena M. leprae dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Kuman dapat
ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu. Sputum
dapat mengandung banyak M. leprae yang berasal dari saluran napas atas.1

Diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, bakterioskopik, dan


histopatologis. Tanda utama antara lain bercak putih atau kemerahan kulit yang
disertai dengan mati rasa (anastesi). Selain itu terdapat penebalan saraf tepi

6
disertai gangguan saraf berupa mati rasa atau kelumpuhan otot mata, tangan, kaki,
kulit kering, serta pertumbuhan rambut yang terganggu (alopesia) pada lesi. Pada
pemeriksaan bakterioskop kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung
menunjukkan adanya bakteri M. leprae secara histologik tampak gambaran
granuloma difus pada dermis dan ditemukan basil dalam jumlah banyak.2

Klasifikasi dibagi berdasarkan kriteria menurut Ridley dan Jopling yang


terdiri dari 6 tipe yaitu Tuberculoid (TT), Borderline tuberculoid (BT),
Intermediate (I), Mid Borderline (BB), Borderline Lepromatosa (BL), dan
Lepromatosa (LL).2 Di indonesia menggunakan diagnosis klinis berdasarkan
WHO, yaitu tipe pausibasiler (PB), dan tipe (MB); tipe multi basiler (BB, BL,
LL) dikarakteristikkan dengan respon imun yang rendah dengan jumlah bakteri
yang tinggi.1

Pengobatan kusta yang dianjurkan WHO saat ini adalah terapi kombinasi.
Panduan obat untuk kelompok pausi basiler dewasa adalah dapson/ DDS
(diaminodifenil sulfon) 100 mg / hari dan rifampisin 600 mg sebulan sekali
selama 6-9 bulan. Panduan pengobatan untuk multibasiler adalah DDS 100 mg /
hari, rifampisin 600 mg sebulan sekali, klofazimin/ lampren 300 mg/ bulan
dilanjutkan 50 mg / perhari dengan kemasan dosis lengkap 12 blister dalam 12-18
bulan.1,2

Penghentian pengobatan disebut release from treatment (RFT). Setelah RFT,


dilanjutkan tanpa pengobatan klinis dan pemeriksaan bakterioskopis dilakukan
minimal setahun sekali selama 5 tahun. Jika bakterioskopis negatif dansecara
klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau
release from control.2

2.2 Kusta Relaps

Relaps adalah kembalinya penyakit secara aktif pada pasien yang


sesungguhnya telah menyelesaikan pengobatan yang telah ditentukan dan karena
itu pengobatannya telah dihentikan oleh petugas kesehatan yang berwenang.

7
Menurut Guide to leprosy control WHO 1988, relaps merupakan suatu keadaan
dimana pasien yang sudah menyelesaikan terapi Multi Drug Treatment (MDT),
namun kemudian menunjukkan gejala dan keluhan baru dari penyakit kusta, baik
pada masa survailens (2 tahun untuk pausibasiler dan 5 tahun untuk multibasiler)
maupun setelahnya.3

Relaps ditandai dengan interval tahun atau lebih setelah Release From
Treatment (RFT): PB 3 tahun pada nonlepromatosa, borderlina 5 tahun, MB 9
tahun. Timbul gejalanya lambat dan bertahap, terjadi pada semua tipe kusta, lesi
lama berupa eritem dan plak ditepi lesi, lesi bertambah dan meluas, lesi baru
jumlahnya banyak, terjadi keterlibatan saraf baru tanpa nyari spontan, kerusakan
saraf motoris dan sensoris terjadi lambat, Bakterial indeks (BI) mungkin positif
pada pasien dengan BI yang sebelumnya negatif, serta respon terhadap steroid
tidak ada atau sedikit.3

Untuk orang yang pernah mendapatkan pengobatan Dapson monoterapi


(sebelum diperkenalkannya MDT) bila tanda kusta aktif muncul kembali, maka
pasien tersebut dimasukkan dalam kategori relaps dan diberi MDT.4 Kriteria
dignostik untuk relaps adalah sebagai berikut:

a. Kriteria klinik
1. Peningkatan dan meluasnya ukuran lesi yang ada
2. Munculnya lesi baru
3. Infiltrasi dan eritema pada lesi yang telah sembuh
4. Keterlibatan saraf (menebal dan mengeras). 6
b. Kriteria bakteriologi
Positifnya (pada pasien yang sebelumnya positif) pada bagian mana saja
dari apusan kulit untuk AFB pada dua pemeriksaan selama periode
pengawasan di diagnosis sebagai relaps. Pada pasien dengan BI positif, BI
positif jika ditemukan peningkatan 2+ atau lebih pada 2 kali pemeriksaan,
dapat di diagnosis sebagai relaps.6

8
Ada juga kriteria baru untuk lepra relaps yang diajukan oleh Linder dkk.
menggunakan faktor waktu, faktor resiko, dan presentasi klinik pada relaps
menggunakan sistem skoring. Tabel 1 menunjukkan kesimpulan ‘Skor Linder’
yang termasuk kasus primer PB, (apusan negatif menjadi positif atau BI ≥2+)
pada relaps cukup untuk skor.5

c. Kriteria terapi
Ini sangat berguna untuk membedakan relaps dengan reaksi reversal.
Pasien yang diobati dengan prednisolone, setelah terkena reaksi reversal akan
sembuh dalam 2 bulan. Jika gejala tidak sembuh atau hanya sembuh sebagian
atau lesi menetap atau meningkat selama pemberian steroid, dapat dicurigai
sebgai relaps.6
d. Kriteria histopatologi
Termasuk timbulnya kembari granuloma pada kasus PB dan peningkatan
infiltrasi makrofag dengan BTA dan peningkatan BI pada kasus MB.6
e. Kriteria serologi
Pada kasus LL, pengukuran antibodi IgM PGL-1 merupakan indikator
adanya relaps.6

9
Kriteria 1-3 cukup untuk membuat diagnosa relaps, kriteria 4 & 5
merupakan kriteria tambahan dan bisa diguanakan jika fasilitas tersedia.6

2.3 Diffrential Diagnosis


a. Reaksi reversal
Terdapat dilema untuk mendiagnosa antara relaps sebenarnya dan reaksi
reversal dari kasus PB. Banyak studi pada lepra PB menunjukkan tingginya
angka relaps yang palsu, mungkin dikarenakan inklusi pada kasus merupakan
reaksi dan bukan relaps yang sesungguhnya. Pada tabel 2 berikut mungkin
bisa dibedakan antara RR dan relaps.6

b. Eritema nodosum leprosum


Papul dan nodul dapat menjadi bagian dari relaps pada kusta tipe MB dan
harus dibedakan dengan nodul ENL. Poin penting yang membedakan dengan
nodul ENL adalah nyeri dan dapat menghilang, tidak seperti nodul pada kusta.
Perbedaannya dapat dilihat pada tabel 3 berikut

10
.

c. Resistensi
Resistensi obat mungkin dapat menjadi primer dimana basil kusta resisten
terkait dengan obat itu sendiri, dan sekunder dimana resisten terjadi sebagai
hasil basil mutant yang bertahan pada pemberian monoterapi yang tidak
teratur. Resisten obat dapat menjadi penyebab relapsnya kusta.

2.4 Pengobatan Kusta Relaps

Kasus relaps harus segera diidentifikasi dan dilakukan pengobatan ulang


sesegera mungkin untuk mencegah kecacatan dan transmisi infeksi. Faktor yang
harus dipertimbangkan dalam pemilihan regimen pengobatan antara lain tipe lepra
(PB atau MB), pengobatan sebelumnya, resistensi obat.6

1. Tipe lepra
Kasus PB biasanya relaps sebagai PB dan kasus MB sebagai MB. Akan
tetapi kadang kasus PB dapat relaps sebagai kasus MB dan pada kasus ini
harus mendapat terapi MDT-MB
2. Terapi sebelumnya
Pasien yang sebelumnya mendapat monoterapi dengan dapsone, diberi
terapi dengan standar terapi MDT WHO. Pasien yang sebelumnya mendapat
monoterapi clofazimin, diberi terapi dengan standar terapi MDT WHO
(meskipun resistensi clofazimin sangat jarang).

11
3. Resistensi obat
Pasien yang tidak diketahui atau dengan suspek resistensi obat hanya
mempunyai masalah pada kasus resistensi rifampisin yang sangat jarang.
Pasien MB yang telah menerima rifampisin sebagai salah satu obat MDT
tidak mempunyai resiko signifikan untuk resistensi rifampisin, kecuali pasien
sudah terinfeksi secara penuh oleh basil resisten dapsone dan atau mereka
tidak meminum clofazimin atau tidak diberikan obat yang efektif. Resisten
dapson timbul pada pemberian dapson monoterapi dan beberapa kasus
berespon baik terhadap pengobatan standar MDT WHO. Resistensi clofazimin
sangat jarang dan jika ini terjadi, dan kasus ini juga merespon pada dua obat
pada pengobatan standar MDT WHO.6
Regimen pengobatan yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:.

4. Obat alternative
Ofloksasin merupakan turuna flurorokuinolon yang paling aktif terhadap
Myobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. dosis
tunggal yang diberikan dalam 22 hari akan membunuh kuman Myobacterium
leprae sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare dan gangguan
saluran cerna lainnya. Berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk
insomnia, nyeri kepala, dizziness, kecemasan dan halusinasi. Walaupun

12
demikian, hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak dilakukan penghentian
pengobatan.
Penggunaan pada anak, remaja, ibu hamil dan menyusui harus hati-hati karena
pada hewan muda dapat menyebabkan artropati.

2.5 Reaksi Kusta Eritema Nodosum Leprosum

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat
pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong
di dalamnya. Reaksi kusta terbagi menjadi reaksi reversal atau reaksi upgrading
dan Eritema nodusum leprosum (ENL). Perbedaan antara Reaksi reversal dan
ENL dapat dilihat pada tabel 5. ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar
dan dapat pula pada BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar
kemungkinan timbul ENL.

Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan tipe imunitas dalam
spektrum imunitasa pasien kusta.4

13
Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa
fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae + antibodi (IgM,
IgG) + komplemen  kompleks imun. Pada ini terjadi peningkatan deposit
komplaks imun di jaringan.1 Pada ENL terjadi peningkatan sementara respons
imunitas yang diperantarai sel dengan ekspresi pada sitokin tipe Th2. Sel T mayor
pada ENL adalah CD4+. Dengan semakin paranhnya reaksi jumlah dari sell ini
meningkat lebih lanjut dan melebihi jumlah sel CD8 (sel supressor).5 Dengan
terbentuknya kompleks imun ini, Maka ENL termasuk di dalam golongan
penyakit kompleks imun, oleh karena salah satu protein M. leprae bersifat
antigenik, maka antibodi dapat terbentuk. Ternyata bahwa kadar immunoglobulin
penderita kusta lepromatosa lebih tinggi dari pada tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi
oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebih banyak daripada tipe
tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini
dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak kuman kusta yang mati dan hancur,
berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta

14
mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam
sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.1

Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan, tungkai1, wajah dan dapat timbul dimana saja
pada kulit terkecuali pada SCALP, aksila, paha dan perineum pada daerah yang
hangat dari tubuh.5 Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti
iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan
adanya proteinuria. ENL dapat disertai dengan gejala konstitusi dari ringan
sampai berat.1 Lesi ENL muncul dari bagian dermis dan jaringan subkutaneus dan
mungkin tidak muncul pada permukaan kulit. Nodul dapat berbentuk kubah dan
nyeri. Nodul dapat muncul sedikit atau multipel, jika multipel maka distribusinya
bilateral dan simetris. Lesi ENL mereda dengan deskuamasi atau akan terkelupas
pada kulit superfisial.5

Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada


hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan
terjadi pada tempat – tempat kuman M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit.
Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena
itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Faktor resiko untuk ENL
antara lain:

 LL dengan infiltrasi kulit


 Obat antilepra kecuali Clofazimine
 Bakterial indeks (BI) >4+
 Pasien dengan umur < 40 tahun
 Superinfeksi : Streptococcal, viral, intestinal parasit, filariasis, malaria
 Trauma
 Intervensi bedah
 Fisikal dan mental stres
 Protektif imunisasi

15
 Positif Mantoux test
 Kehamilan dan melahirkan
 Mengkonsumsi potassium iodida.5

Kriteria untuk mendiagnosis ENL dengan kriteria mayor seperti erupsi papul,
nodul atau plak merah, nyeri yang mendadak dan dapat menyebabkan ulkus.
Sedangkan untuk kriteria minor seperti: demam ringan yang menyebabkkan
pasien tidak enak badan, nervus yang membesar dan nyeri, peningkatan hilangnya

sensasi atau kekuatan otot, arthritis, lymphadenitis, epididymo-orchitis,


iridosiklitis atau episcleritis, edema pada ekstrimitas atau wajah, tes Ryrie atau tes
Ellis positif. Perbedaan antara manifestasi ENL yang ringan dan berat dapat
dilihat pada tabel 6.5

2.6 Diagnosa banding

ENL biasanya berhubungan dengan malaise, edema, dan artritis atau


arthralgia, demam rheumatik, rheumatoid arthritis, SLE, dan reaksi obat.5

16
2.7 Pemeriksaan penunjang5
a. Tes Ryrie
Memukul telapak kaki dengan bagian belakan palu reflek, akan didapatkan
rasa nyeri seperti terbakar yang bisa diketahui saat pasien jalan, seperti
berjalan diatas batu bara panas.
b. Tes Ellis
Menekan pergelangan tangan pada ENL akan didapatkan reaksi nyeri, ini
tidak di dapatkan pada RRs karena nervus radialis keras.
c. Pemeriksaan laboratorium
Perubahan hematologi: terjadi leukositosis selama reaksi, berkisar antara
20,000/mm3 sampai 50,000/mm3. Juga didapatkan marker ESR meningkat,
adanya CRP, krisis hemolitik yang dapat menyebabkan penurunan
hemoglobin sampai penurunan eritrosit.

2.8 Pengobatan reaksi ENL


a. Pengobatan reaksi ringan

Pengobatan ENL reaksi ringan dapat diberikan analgetik dan NSAIDs.


Aspirin dapat diberikan 600 mg per 6 jam dengan makanan.

Colchicine menghambat kerusakan vaskular dengan menghambat kemotaksis


neutrofil dan berguna dalam mengobati ENL ringan sampai sedang. Diberikan
peroral dengan dosis 0.5 mg 3 x sehari dengan tappering. Reaksi efek samping
menurunkan sintesis dan memperparah penekanan sintesis sumsum tulang,
neuritis perifer, purpura, miopati, kerontokan rambut, azoospermia yang
reversible, dan diare.5

17
b. Pengobatan reaksi berat
1. Kortikosteroid oral
Kortikosteroid oral digunakan sebagai first line dalam mengobati ENL
berat. Bekerja dengan menghambat kedua fase cepat atau lambat dari
inflamasi. Kortikosteroid mengurangi kemotaksis dari neutrofil dan
menghambat sintesis enzim prostaglandin. Penggunaan steroid juga
berhubungan dengan penekanan imunitas yang diperantari sel dengan
mengurangi sel T, khususnya sel Th dengan konsekuensi perubahan
perbaikan ratio sell T supresor yang mengakibatkan berkurangnya sekresi
dari limfokin proinflamasi.
WHO merekomendasikan prednisolone untuk pengobatan reaksi ENL
berat dengan dosis sebagai berikut:
Jadwal pengobatan standar prednisone untuk manajemen reaksi

Dosis Pengobatan dalam minggu

40 mg/hari 1-2 minggu

30 mg/hari 3-4 minggu

20 mg/hari 5-6 minggu

15 mg/hari 7-8 minggu

10 mg/hari 9-10 minggu

5 mg/hari 11-12 minggu

18
Pengobatan dengan prednisolone dimulai dengan dosis 1 mg/kg/hari
sampai terjadi perbaikan klinis, kemudian di tappering setiap minggu 5-10
mg sampai 6-8 minggu. Dosis maintenance 20-30 mg mungkin
dibutuhkan beberapa minggu untuk mencegah kambuhnya ENL.5
Penggunaan prednison tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba karena dapat
menyebabkan rebound phenomena (demam, nyeri otot, nyeri sendi,
malaise). Sementara pemakaian jangka panajang dapat mneyebabkan
gangguan keseimbangan elektrolit, hiperglikemi, mudah infeksi,
perdarahan atau perforasi pada pasien tukak lambung, osteoporosis,
cushing syndrome : moon face, obesitas sentral jerawat, pertumbuhan
rambut berlebihan, timbunan lemak supraklavikuler.4

2. Clofazimine/lamprene
Obat ini bekerja dengan cara memblok fungsi template dari DNA
dengan meningkatkan kapasitas fagositik dari makrofag. Stimulasi dari
sintesis PGE2 menghambat motilitas netrofil mengakibatkan penekanan
selektif sel Th yang berkontribusi dalam ENL. Clofazimine diberikan
peoral 300 mg / hari pada dewasa dengan periode 1-3 bulan, diikuti 200
mg / hari selama 3 bulan dan 100 mg/ hari sampai gejala membaik.
Clofazimine bekerja secara lambat dan tidak menghilangkan manifestasi
akut dari reaksi. Bagaimanapun dengan penggunaan dosis inisial yang
tinggi clofazimine 300 mg, diberikan beberapa minggu, sangat mungkin
untuk mengurangi dosisnya atau mengatasi ketergantungan steroid.6

3. Thalidomid
Meskipun thalidomid merupakan pengobatan pilihan untuk
manejemen reaksi ENL, akan tetapi tetap digunakan sebagai pilihan kedua
karena mempunyai efek teratogenik, dan sulit di kontrol pada level klinik,
harga yang cukup mahal, dan tidak tersedia di semua tempat. Thalidomid
merupakan analog racemic glutamic acid dan mempunyai dua enantiomer

19
R dan S-thalidomide yang akan berubah dibawah pengaruh kondisi
fisiologis. Dua enantiomer mempunyai efek yang berbeda, salah satunya
merupakan supresor potent terhadap dilepaskannya TNF-α dengan
menstimulasi sel mononuklear darah perifer. Mekanisme kerja sebenarnya
belum diketahui secara pasti akan tetapi TNF, interferon-γ, IL-10, dan IL-
12, cycloxygenase-2, dan mungkin faktor transkripsi proinflamator κB
[Nuklear faktor kappa B (NF-κB)], p38 dan ERK1/2 dapat terpengaruh.
Thalidomid merupakan pilihan yang baik untuk pria dan pada wanita
post menopause dengan ENL yang sulit ditangani, secara khusus pada
pasien dengan ENL yang kambuh dan pada kasus ketergantungan steroid.
Meskipun wanita pada usia subur seharusnya tidak ditolak karena efektif
dan merupakan obat life saving yang bisa digunakan dan dokter mengerti
akan efek samping yang berkaitan dengan kontraindikasinya obat dapat
digunakan sebagai terapi.6
Thalidomid dapat menekan manifestasi klinik dari ENL dalam waktu
48-72 jam. Reaksinya lebih cepat dibandingkan aspirin, clofazimin, dan
pentoxyfilin. Meskipun reaksinya cepat antara thalidomid dan
prednisolon, perbaikan dan kekambuhan yang jarang lebih baik pada
thalidomid. Thalidomid juga cepat meredakan demam dan jumlah lesi
kulit. Efek terhadap saraf dan keterlibatan mata juga lebih kurang. Obat ini
sebenarnya tidak toksik dan dapat ditoleransi degan baik meskipun untuk
pengobatan jangka panjang dan dapat digunakan sebagai pengobatan
untuk tappering dosis steroid.
Pada ENL yang berat pemberian thalidomid dimulai dengan dosis 400
mg sebelum tidur atau 100 mg 4 kali / hari. Pada kebanyakan kasus dosis
ini dapat mengontrol reaksi dalam waktu 48 jam. Setelah itu di tappering
dua kali 200 mg, atau empat kali 100 mg. Lalu dosis diturunkan secara
bertahap lagi menjadi 100 mg tiap bulan. Selama periode ini pasien harus
dikontrol secara teratur dan harus distabilkan sampai dosis terkecil yang

20
dapat mengontrol gejala dan dilanjutkan dengan dosis yang sama selama
2-3 bulan.5

Efek samping dari thalidomide adalah sebagai berikut:


1. Teratogenik
Paparan intrauterin oleh thalidomid selama masa kehamilan antara
20-36 hari setelah kontrasepsi terjadi akan menimbulkan kondisi pada
bayi yang disebut phocomelia yang terjadi pada tungkai dan mirip
seperti anjing laut. Kelainan lain yang berhubungan dengan
phocomelia antara lain tidak adanya telinga, tuli, tidak ada jari,
gangguan penglihatan, anomali jantung, ginjal, dan GIT, bibir
sumbing, dan saddle nose.
2. Neuropati
3. Tromboembolisme
4. Somnolen
5. Efek reaksi kutaneus seperti eritema multiformis, eritroderma, dan
TEN.

21
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien di diagnosis dengan MH relaps dan reaksi eritema nodosum leprosum


dengan dasar diagnosis riwayat pasien sudah mendapat terapi MDT-MB selama 1
tahun di puskesmas jayapura utara dan telah diberhentikan oleh dokter kulit. Kurang
lebih satu tahun setelah pasien selesai pengobatan dan dikatakan Release from
treatment, pasien kembali dengan keluhan munculnya benjol-benjol yang merah dan
nyeri, selain itu juga pasien mengeluhkan tangan yang terasa kram, dan demam. Pada
pasien dilakukan rangsangan sensoris raba dengan menggunakan kapas akan tetapi
pasien masih merasakan adanya sentuhan ringan pada lesi-lesi di wajah, telinga,
tangan dan kaki pasien. Ini menandakan tidak adanya penurunan fungsi saraf, akan
tetapi untuk pemeriksaan sensoris rasa suhu tidak dilakukan.

Pemberian terapi pada pasien adalah Ofloksasin yang merupakan turunan


flurorokuinolon yang paling aktif terhadap Myobacterium leprae in vitro. Dosis
optimal harian adalah 400 mg. dosis tunggal yang diberikan dalam 22 hari akan
membunuh kuman Myobacterium leprae sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah
mual, diare dan gangguan saluran cerna lainnya. Berbagai gangguan susunan saraf
pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, kecemasan dan halusinasi.
Walaupun demikian, hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak dilakukan
penghentian pengobatan.

Pada kasus ini juga didiagnosa sebagai reaksi ENL ringan ini dikarenakan
pasien mempunyai nodul eritema yang nyeri, dan disertai dengan demam ringan, dan
kram pada tangan, tidak adanya pembengkakan pada kaki dan demam yang tinggi
sampai membatasi aktivitas pasien, selain itu pasien mempunyai riwayat pengobatan
kusta MB. Kriteria untuk mendiagnosis ENL dengan kriteria mayor seperti erupsi
papul, nodul atau plak merah, nyeri yang mendadak dan dapat menyebabkan ulkus.
Sedangkan untuk kriteria minor seperti: demam ringan yang menyebabkan pasien

22
tidak enak badan, nervus yang membesar dan nyeri. Namun pada pasien tidak
dilakukan pemeriksaan nervus.

Pengobatan pada pasien diberikan prednison 1 x 60 mg kemudian di tappering


of sesuai panduan.4 Pemberian prednison ini mungkin dikarenakan efeknya yang
dapat mengatasi reaksi hipersensitivitas, dikarenakan ENL adalah hasil dari reaksi
kompleks imun dan merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III berdasarkan klasifikasi
Coombs and Gell.5 Pemberian paracetamol jika pasien mengeluhkan demam,
parasetamol mempunyai efek analgetik dan antipiretik. Pemberian natrium diklofenak
juga bertujuan untuk menghilangkan rasa nyeri yang di rasakan pasien. Akan tetapi
perlu diperhatikan kontraindikasi pada pasien dengan tukak lambung atau wanita
hamil.

Pemberian suplemen B Complex untuk membantu tubuh untuk memperbaiki


penampilan atau tingkat keparahan beberapa kondisi kulit, membantu mempercepat
penyembuhan luka kulit. Pemberian B complex penting untuk kesehatan fungsi
sistem saraf. Vitamin B5 diperlukan agar kelenjar adrenal bekerja dengan baik untuk
memproduksi beberapa hormon dan zat pengatur saraf. Vitamin B1, vitamin B6 dan
vitamin B12 sangat penting untuk mengatur seluruh saraf agar bekerja dengan benar.
Termasuk fungsi syaraf pada sistem otak kita. Vitamin B6, yang juga dikenal dengan
pyroxidine, yang membantu tubuh dalam membuat hormon-hormon tertentu, serta
senyawa kimia khusus dalam otak yang disebut dengan neurotransmitter. Vitamin ini
juga membantu memproduksi sel darah merah, yang akan membantu mencegah
anemia.

23
BAB IV

KESIMPULAN

1. Telah dilaporkan kasus seorang wanita berusia 50 tahun dengan MH relaps dan
reaksi eritema nodosum leprosum.
2. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis ditemukan benjolan merah yang timbul ± 1 bulan yang
lalu terasa nyeri dan disertai dengan demam. Pasien juga mempunyai riwayat
penyakit kusta dan dinyatakan sembuh pada tahun 2016. Pasien juga mendapat
pengobatan kusta MB di puskesma jayapura utara. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan nodul eritema susunan tidak khas nyeri pada penekanan, dan tersebar
pada wajah, telinga, lengan, dan tungkai bawah.
3. Pasien diberi pengobatan ofloksasin 400 mg, pemberian prednison sesuai
guideline, dan pengobatan simtomatik.
4. Prognosis kasus ini ialah quo ad vitam et sanationam et fungsionam dubia.

24
Daftar Pustaka

1. Wisnu, I.M. (2015). Kusta. Di dalam Menaldi, S et al. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ketujuh. Cetakan pertama. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Hal: 87-
102.
2. Griffith, Barker. Et.al. Editor. Rook’s textbook of dermatology. 9th edition. UK:
Wiley & Sons, Ltd; 2016
3. Tangkidi D, Sondakh O, Kandou R. Morbus hansen multibasiler relaps dengan
reaksi eritema nodosum leprosum bulosa pada seorang anak. JBM vol. 7.
2015;195-201
4. Direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Pedoman
nasional pengendalian penyakit kusta. Jakarta: kementrian kesehatan RI;2012
5. Kumar B, Kar HK. Editor. IAL textbook of leprosy, indian association of
leprologists. 2nd edition. New delhi: Jaypee brothers medical publishers Ltd;
2016
6. Kaimal S, Thappa DM. Relaps in leprosy. Indian journal of dermatology,
venereology and leprology. 2009; 75:126-135. DOI: 10.4103/0378-6323.48656
7. Goldsmith LA, Katz SI. Et.al. editor. Fitzpatrick’s dermatology in general
medicine. 8th edition. New york: McGraw-Hill; 2012.

25

Anda mungkin juga menyukai