Anda di halaman 1dari 19

ULUMUL HADIST

Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas Ulangan Akhir Semester Ganjil Tahun 2018
Mata Kuliah Ulumul Hadist
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Moh. Najib, M.Ag.

Oleh :
NIM 1183030056 Muhammad Ryo Aryaputra Iskandar
Kelas HTN B / Semester 1

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah
Swt, atas segala limpahan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya yang tidak dapat ternilai
dan terhitung sehingga saya dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini.
Makalah yang berjudul “ Ulumul Hadist” ini disusun untuk memenuhi tugas
Ulangan Akhir Semester (UAS) Ganjil Tahun 2018.
Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung saya dalam proses penyusunan makalah ini umumnya, dan khususnya
saya ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Mata Kuliah yang
bersangkutan atas segala dorongan dan ilmu yang telah diberikan kepada saya,
sehingga makalah ini pada akhirnya dapat diselesaikan
“Tidak ada gading yang tak retak”, maka dari itu saya mengucapkan
permohonan maaf yang sebesar besarnya apa bila didalam makalah ini terdapat
kekurangan ataupun kesalahan. Saya berharap pembaca dapat memberikan kritik dan
saran yang membangun agar dikemudian hari kami dapat membuat makalah yang
lebih baik lagi.
Akhir kata, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Bandung, Desember 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i


DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
C. Tujuan Pembuatan Makalah ..................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN .................................................................................................... 3
A. Pengertian dan Istilah dalam Ulumul Hadist ........................................................... 3
1. Al-Hadist. .................................................................................................................. 3
2. As-Sunnah. ................................................................................................................ 3
3. Al-Khabar. ................................................................................................................ 4
4. Al-Atsar..................................................................................................................... 4
B. Pengertian As-Sunnah Menurut Keahlian Para Ulama. ......................................... 4
1. Menurut Ahli Hadist ................................................................................................. 4
2. Menurut Ahli Ushul .................................................................................................. 5
3. Menurut Ahli Fiqih ................................................................................................... 5
C. Kedudukan Al-Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam ........................................... 6
D. Klasifikasi Hadist ........................................................................................................ 7
1. Berdasarkan Kuantitas .............................................................................................. 7
2. Berdasarkan Kualitas ................................................................................................ 8
E. Kehujjahan Hadist .................................................................................................... 11
F. Cabang-cabang Ilmu Hadist .................................................................................... 13
BAB III : PENUTUP .......................................................................................................... 14
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 16

ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadist, disebut juga sunnah, adalah perkataan, perbuatan, ketetapan dan
persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadis
dijadikan sumber hukum Islam selain al-Qur'an, dalam hal ini kedudukan hadis
merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Menurut istilah ulama ahli hadist,
hadist yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan,
ketetapannya, sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai
Nabi dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadis di sini semakna dengan
sunnah. Kata hadis yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan
Sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan, perbuatan, ketetapan
maupun persetujuan dari Nabi Muhammad S.A.W yang dijadikan ketetapan ataupun
hukum. Kata hadis itu sendiri adalah bukan kata infinitif, maka kata tersebut adalah
kata benda.
Ulum Hadis (‫ )حديث علوم‬adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi ulama
hadits. ‘Ulum al-hadist terdiri dari 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum
dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan
al-hadist di kalangan Ulama hadits berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada
nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqrir, atau sifat.” Dengan demikian, gabungan
kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau
berkaitan Hadits nabi sholallahu ‘alaihi wasallam”.
Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui
kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. Menurut Tengku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy: "ilmu hadits, yakni ilmu yang berpautan dengan
hadits, banyak ragam macamnya". Menurut Izzudin Ibnu Jamaah: "Ilmu hadits adalah
ilmu tentang kaidah-kaidah dasar untuk mengetahui keadaan suatu sanad atau matan
(hadits).

B. Rumusan Masalah
Dari pembahasan latar belakang diatas mengenai Ulum al-Hadist maka kita
dapat merusmuskan berbagai permasalahan yang dapat didiskusikan, diantaranya :
1. Pengertian al-Hadist, al-Sunnah, al-Khabar, al-Atsar menurut bahasa dan
menurut istilah. Dijelaskan beserta definisi teks arab, bersyakat. Dan
pengertian al-sunnah menurut berbagai keahlian ulama.
2. Uraian penjelasan tentang kedudukan al-Hadist Sebagai Sumber Ajaran
Agama Islam, sebagai sumber hukum Islam, lengkap dengan dalil al-Quran
dan hadis serta argument logika para ulama.
3. Klasifikasi Hadist berdasarkan jumlah rowi kuantitas dan kualitas, serta
Kehujjahan Hadist Berdasarkan Kuantitas dan kualitas.
4. Penjelasan tentang :
a. Ilmu Rijalil Hadis ,

1
b. Tarikh al-Ruwwat,
c. Thabaqat al-Ruwwat
d. Al-Jarh wa al-Ta’dil
e. Takhrij al-Hadits
f. Asbab Wurud al-Hadits
g. Nasikh wa Manuskh al-Hadits

C. Tujuan Pembuatan Makalah


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ulangan Akhir Semester (UAS)
Mata Kuliah Ulumul Hadist, selain daripada itu makalah ini bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan penyusun khususnya dan pembaca umumnya mengenai
permasalahan- permasalahan yang dirumuskan diatas mengenai bidang Ulum al-
Hadist.

2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Istilah dalam Ulumul Hadist
1. Al-Hadist.
Al-Hadist menurut Bahasa Arab memiliki beberapa akar kata diantaranya yaitu :
 ‫( الجدة‬al-Jiddah=baru), dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada
atau sesuatu yang wujud setelah tidak ada, lawan dari kata al-qadim =
terdahulu.
 ‫( الطري‬ath-thari=lunak, lembut, dan baru). Ibnu Faris mengatakan
bahwa hadis dari kata ini karena berita atau kalam secara silih berganti
bagaikan perkembangan usia yang silih berganti dari masa ke masa.
 ‫والكلم‬ ‫الخبر‬ (al-khabar=berita, pembicaraan dan al-
kalam=perkataan). Hadis disini diartikan sama dengan al-khabar dan
an-naba’.
Di samping pengertian tersebut, M.M. Azami mendefinisikan bahwa kata
‘hadits’(Arab: al-hadits), secara etimologi (lughawiyah), berarti ‘komunikasi’,
‘kisah’, ‘percakapan’: religius atau secular, historis atau kontemporer.
Berdasarkan pengertian menurut bahasa diatas maka al-Hadist secara
pengertian istilahnya dapat diartikan sebagai berikut :
‫أن ْال َك ِري ِْم ِم ْن قَ ْو ٍل أ َ ْو فِ ْع ٍل أ َ ْو‬
ِ ‫غي َْر ْالقُ ْر‬
َ ‫سلَ َم‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬
َ ُ‫َللا‬
َ ‫لى‬ َ ‫ص‬َ ِ ‫ع ِن النَ ِبي‬ َ ‫صدَ َر‬َ ‫ُك ُل َما‬
ٍ ‫صلُ ُح أ َ ْن َي ُك ْونَ دَ ِل ْيالً ِل ُح ْك ٍم ش َْر ِعي‬
ْ ‫ت َ ْق ِري ٍْر ِم َما َي‬
“Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., selain Al-Quran
Al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut-
paut dengan hukum Syara’.”
2. As-Sunnah.
As-Sunnah secara bahasa dapat diartikan sebagai
ً‫َت أَ ْو َم ْذ ُم ْو َمة‬ َّ
ْ ‫الط ِر ْيقَةُ َم ْح ُم ْودَة ً َكان‬
“Jalan yang dilalui, baik terpuji atau tercela.”
Pengertian sunnah menurut istilah, seperti yang diungkapkan oleh
Muhammad Ajaj Al-Khatib :
ِ ‫سلَّ َم ِم ْن َق ْو ٍل ا َ ْو ِف ْع ٍل اَ ْو تَ ْق ِري ٍْر ا َ ْو‬
‫صفَ ٍة‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫َللا‬َ ‫ى‬ َّ ‫صل‬ َ ‫َما أ ُ ثِ َر‬
َ ِ ‫ع ِن النَّ ِبي‬
. ‫س َوا ٌء َكا نَ قَ ْب َل ْالبِ ْعث َ ِة ا َ ْو بَ ْعدَهَا‬
َ ٍ‫خ َْل ِقيَّ ٍة ا َ ْو ِسي َْرة‬
“Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi rasul
atau sesudahnya..”
“Segala apa yang dinisbatkan kepada Rasululloh baik berupa perkataan,
perbuatan,ketetapan, karakter fisik dan etika, ataupun kebiasaan-kebiasaan nabi.”

3
3. Al-Khabar.
Secara bahasa, khabar artinya ‘warta’, ‘kabar atau ‘berita’ yang disampaikan
dari seseorang kepada orang lain.
Sedangkan untuk istilahnya menurut pandangan ahli hadist, khabar dapat
diartikan sebagai berikut :
َ ‫سلَّ َم أ َ ْو‬
. ‫غي ِْر ِه‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ى‬
َ ُ‫َللا‬ َ ِ ‫لى النَّبِي‬
َّ ‫صل‬ َ ِ‫ْف إ‬ ِ ُ ‫َما أ‬
َ ‫ضي‬
“Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW., atau dari yang
selain Nabi SAW.”
4. Al-Atsar.
Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa dari sesuatu dan berarti
pula nukilan (yang dinukilkan). Karena doa yang dinukilkan / berasal dari Nabi
SAW. dinamakan doa maksur.
Sedangkan atsar menurut istilah terjadi perbedaan pendapat diantara pendapat
para ulama. Sedangkan menurut istilah:
. ‫ضا‬ ْ ‫ص َحابَ ِة َو َي ُج ْو ُزا‬
َ ُ‫ِط َالقُه‬
ً ‫علَى َك َال ِم النَّ ِبي ِ اَ ْي‬ َّ ‫ي َع ِن ال‬
َ ‫ار ِو‬
ُ ‫َم‬
“Segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat dan boleh juga disandarkan pada
perkataan Nabi SAW.”

B. Pengertian As-Sunnah Menurut Keahlian Para Ulama.


1. Menurut Ahli Hadist
Sunah ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw, baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum
menjadi rasul maupun sesudahnya.
Ahli hadist mendefinisikan sunnah sebagaimana diatas karena mereka
memandang Rasul sebagai uswatun hasanah (contoh atau teladan yang baik). Oleh
karena itu, mereka menerima secara utuh segala yang diberitakan tentang diri
Rasulullah Saw, tanpa membedakan apakah yang diberitakan itu berhubungan dengan
hukum syara’ atau tidak. Mereka juga tidak memisahkan antara sebelum menjadi
Rasul atau sesudahnya.
Pendapat tersebut didasarkan kepada Firman Allah Swt. dalam surat Al-
Ahzab ayat 21:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah”.
Dalam hadist riwayat Al-Hakim dari Abu Hurairah disebutkan Nabi Muhammad
Saw bersabda:
“Aku tinggalkan kalian dua pusaka. Kalian tidak akan sesat setelah (berpegang) pada
keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku.” (HR. Al-Hakim).

4
2. Menurut Ahli Ushul
Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw
selain Al-Qur’an Al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang
pantas untuk dijadikan dalil bagi hukum syara’.
Definisi Ahli Ushul ini membatasi pengertian sunnah hanya pada sesuatu
yang bersumber dari Nabi, baik perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang
berkaitan dengan hukum syara’. Dengan demikian, sifat, perilaku, sejarah hidup, dan
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw yang tidak berkaitan
dengan hukum syara’ tidak dapat dikatakan sunnah. Demikian juga halnya dengan
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw sebelum beliau diutus
menjadi Rasul.
Pemahaman Ahli Ushul terhadap sunnah sebagaimana tersebut diatas,
didasarkan pada argumentasi bahwa Rasulullah Saw adalah pembawa dan pengatur
undang-undang yang menerangkan kepada manusia tentang Dustur Al-
Hayat (undang-undang hidup) dan menetapkan kerangka dasar bagi
para mujtahid yang hidup sesudahnya. hal-hal yang tidak mengandung misi seperti ini
tidak dapat dikatakan sunnah. Oleh karena itu, ia tidak dapat dijadikan sumber
hukum.
Banyak ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan argumentasi bagi pemahaman
Ahli Ushul diatas, salah satu diantaranya seperti Firman Allah Swt dalam surat Al-
Hasyr ayat 7:
Artinya: “… apa yang diberikan Rasulullah Saw kepadamu, maka terimalah
dia. Dan apa-apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah, dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Q.S. Al-Hasyr: 7).
Ayat ini memerintahkan kepada umat islam agar menaati segala ketentuan
yang telah digariskan Rasulullah Saw baik mengenai perintah maupun larangannya.

3. Menurut Ahli Fiqih


Sunnah adalah segala sesuatu yang apabila dikerjakan lebih baik dari pada
ditinggalkan, kelebihan ini tidak berarti larangan (ancaman) karena
meninggalkannya, seperti sunnah-sunnah dalam shalat dan wudhu. Pekerjaan sunnah
ini membawa kemanfaatan, sehingga dianjurkan untuk mengerjakannya. Jelaslah
bahwa yang mengerjakan akan mendapat pahala dan bagi yang meninggalkannya
tidak akan mendapat siksa.
Ulama Ahli Fiqih mendefinisikan sunnah seperti ini karena mereka
memusatkan pembahasan tentang pribadi dan prilaku Rasulullah Saw pada perbuatan-
perbuatan yang melandasi hukum syara’ agar diterapkan pada perbuatan manusia
pada umumnya, baik yang wajib, haram, makruh, mubah maupun sunnah. Oleh
karena itulah, apabila mereka berkata, perkara ini sunnah, maksudnya mereka
memandang bahwa pekerjaan ini mempunyai nilai syariat yang dibebankan oleh
Allah Swt. kepada setiap orang yang baligh dan berakal dengan tuntunan yang tidak
mestinya. Dengan kata lain, tidak fardu dan tidak wajib (menurut ulama Hanafiyah)
dan tidak wajib (menurut ulama fiqih lainnya).

5
C. Kedudukan Al-Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam
Sekiranya hadis Nabi hanya berkedudukan sebagai sumber sejarah, niscaya
perhatian ulama terhadap penelitian kesahihan hadis akan lain daripada yang ada
sekarang ini. Kedudukan hadis, menurut kesepakatan mayoritas ulama, adalah
sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Pada prinsipnya hadis nabi yang berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap
al-Qur’an. Akan tetapi dalam melihat berbagai macam penjelasan nabi dan berbagai
ragam ketentuan yang dikandung oleh suatu ayat, maka interpretasi tentang bayan
tersebut oleh ulama yang satu berbeda dengan ulama lainnya. Sebagai contoh, Abu
Hanifah mengklasifikasikan bayan hadis tersebut menjadi : bayan taqrir, bayan tafsir,
dan bayan tafdil (nasakh); imam Malik membagi menjadi : bayan taqrir, bayan
taudhih (tafsir), bayan tafsil, bayan bashthi (tasbth dan ta’wil), dan bayan tasyri’;
Imam Syafi’i mengkategorikannya menjadi : bayan tafsil, bayan takhsish, bayan
ta’yin bayan tasyri’ dan bayan naskh
Kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua,
telah diterima oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja dikalangan Sunni
tapi juga di kalangan Syi’ah dan aliran Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini tidak
diraih dari pengakuan komunitas muslim terhadap Nabi sebagai orang yang berkuasa
tapi diperoleh melaui kehendak Ilahiyah. Oleh karena itu segala perkataan, perbuatan
dan takrir beliau dijadikan pedoman dan panutan oleh umat islam dalam kehidupan
sehari-hari. Terlebih jika diyakini bahwa Nabi selalu mendapat tuntunan wahyu
sehingga apa saja yang berkenaan dengan beliau pasti membawa jaminan teologis.
Hal ini merupakan ketentuan Allah swt. Sebagaimana firman-Nya :
‫س ْو ُل فَ ُخذُ ْوهُ َو َما نَهٰ ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنت َ ُه ْوا‬ َّ ‫َو َمآ َءا ٰت ُك ُم‬
ُ ‫الر‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr : 7)”
Menurut ulama, ayat tersebut memberi petunjuk secara umum, yakni bahwa
semua perintah dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang-orarg
yang beriman. Dengan demikıan, kewajiban patuh kepada Nabi menıpakan
konşekuensi logis dari keimanan seseorang.
Selain itu Allah Swt juga berfirman :
َ‫َللاَ ََل ي ُِحبُّ ا ْلكَافِ ِرين‬ َّ ‫سو َل ۖ فَإِ ْن ت ََولَّ ْوا فَإ ِ َّن‬
ُ ‫الر‬ َّ ‫قُ ْل أ َ ِطيعُوا‬
َّ ‫َللاَ َو‬
“Katakanlah! Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir" (QS. Al Ali Imran (3): 32)
Menurut penjelasan ulama, ayat tersebut memberi petunjuk bahwa ketaatan
kepada Allah adalah dengan mematuhi petunjuk Alquran, sedang bentuk ketaatan
kepada Nabı adalah dengan mengikuti sunnah atau hadis beliau.
Hadist yang dijadikan sebagai dalil kehujahan sunah banyak sekali,di
antaranya sebagaimana sabda nabi
‫تركت فيكم أمرين لن تضلواماتمسكتم بهماكتاب هللا وسنتي‬
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama berpegang
teguh pada keduanya yaitu kitab Allah dan Sunnahku.”

6
Dari pemaparan tersebut berdasarkan logika dan kesepakatan para ulama
mengenai kedudukan al-hadist ini maka orang yang tidak berpegang teguh pada
pedoman al-Qur’an dan sunah berarti sesat. Kehujahan sunah sebagai konsekuensi ke
ma’shuman nabi dari sifat bohong dari segala apa yang beliau sampaikan baik berupa
perkataan,perbuatan dan keteteapannya. Kebenaran al-quran sebagai mu’jizat
disampaikan oleh sunah. Demikian juga pemahaman al-qur’an juga dijelaskan oleh
sunah dalam praktek kehidupan beliau.

D. Klasifikasi Hadist
1. Berdasarkan Kuantitas
a. Hadist Mutawattir
“Apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut
kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir
sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap
tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat
untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam
meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti
pendengarannya dan semacamnya”.
1) Syarat Hadist Mutawattir
a) Diriwayatkan oleh banyak perawi. Meskipun muhaditsin (ahli hadist)
berbeda pendapat mengenai seberapa banyak jumlah sedikitnya perawi
ini, namun pendapat yang dipilih setidaknya mencapai 10 orang
b) Banyaknya orang yang meriwayatkan ini harus ada dalam setiap
tingkatan (tabaqat/generasi)
c) Menurut akal tidak mungkin perawi ini mempunyai kesepakatan untuk
berdusta ketika meriwatkan hadist. (Artinya hadist mutawatir ini
memiliki kekuatan hukum yang pasti karena banyaknya orang yang
meriwayatkan, dan riwayat ini datang dari sejumlah rawi, di setiap
generasi, yang berasal dari beberapa daerah pula. Sehingga ketika
menerima hadist ini akal mempercayainya karena tidak mungkin dari
sekian banyaknya rawi mereka sepakat untuk memalsukan hadist ini.
d) Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus
berdasarkan pemberitaanya bersifat indrawi ( proses pendengaran dan
penglihatan langsung ). Berupa rangkuman suatu peristiwa ke peristiwa
yang lain atau hasil dari kesimpulan dari satu dalil. Dan bukan
penerimaan oleh akal / logika murni seperti teori filsafat tentang alam
dan ketuhanan, yang tidak dapat di kategorikan sebagai suatu yang
mutawatir ,karena tidak ada jaminan kebenaran logika yang benar.
2) Macam-Macam Hadist Mutawattir
a) Mutawatir Lafzhi
Yaitu apabila sama dalam makna dan lafznya, contohnya:
“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah Saw) maka dia
akan disiapkan tempat duduknya dari api neraka.” Hadits ini telah diriwayatkan

7
lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang
dijamin masuk surga.
b) Mutawatir Ma’ nawy
Yaitu mutawatir dalam maknanya sedangkan lafaznya tidak. Misalnya,
hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah
diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan
ketika berdo’a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang
lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa
menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-
hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.
c) Mutawatir Amaly
Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama
dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau
memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.
b. Hadist Ahad
Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai
jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga
orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak
memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir.
1) Macam-Macam Hadist Ahad
a) Hadist Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 perawi atau
lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) tetapi belum mencapai batas
mutawatir.
b) Hadist ‘Aziz adalah Suatu hadits yang perawinya tidak lebih dari dua
orang dalam semua thabaqat sanad.
c) Hadist Gharrib adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang
perawi secara sendiri.

2. Berdasarkan Kualitas
a. Hadist Shahih
adalah hadits yang susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak
menyalahi ayat (al-Quran), hadis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil
dan dabit.
1) Syarat Hadist Shahih
a) Diriwayatkan oleh perawi yang adil;
b) Kedhabitan perawinya sempurna;
c) Sanadnya bersambung;
d) Tidak ada cacat atau illat;
e) Matannya tidak syaz atau janggal.
2) Macam-macam Hadist Shahih
a) Shahih li dzatihi yaitu hadits shahih yang memenuhi syarat-syarat
diatas.

8
b) Shahih li ghairihi yaitu hadits yang keadaan perawinya kurang hafidz
dan dlabith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur hingga
karenya berderajat hasan, lalu didapati padanya jalan lain yang serupa
atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang
menimpanya itu.
b. Hadist Hasan
1) Macam-macam Hadist Hasan
a) Hasan Lidzatihi
adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang adil tapi hafalannya
kurang sempurna dengan sanad bersambung dan selamat dari keganjilan dan
kecacatan. Jadi, tidak ada perbedaan antara hadits ini dengan hadits shohih
lidzatihi kecuali dalam satu persyaratan, yaitu hadits hasan lidzatihi itu kalah
dalam sisi hafalan.
b) Hasan Lighairihi
adalah hadits yang dho’ifnya ringan dan memiliki beberapa jalan yang
bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya karena menimbang
didalamnya tidak ada pendusta atau rowi yang pernah tertuduh membuat
hadits palsu.
c. Hadist Dhaif
Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat
hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan.
1) Macam-macam Hadist Dhaif.
a) Karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau
beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan
sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi
hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu : hadits
mursal, hadits munqathi’, hadits mu’dhal, dan hadits muallaq.
(1) Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur
rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah
rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang
meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir
sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang
membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat
dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya
tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima
langsung dari Rasulullah.
(2) Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para
ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur
satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila

9
rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad
adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat
yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang
gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua
rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
(3) Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami.
Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits
yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam
sanadnya.
(4) Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung.
Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi
atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan (
tidak disebutkan ).
b) Karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti
pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat
menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan
yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-
rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi.
Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz
hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari
maksud lafadz yang sebenarnya.

(1) Hadits Maudhu’


Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau
dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah
hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan
kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-
musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam,
yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat
fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya .
(2) Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang.
Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik
berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah
melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
(3) Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak
dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah

10
hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang
kuat.
(4) Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para
ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung
sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat
pada sanad, matan, ataupun keduanya.
(5) Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang
sebenarnya bukan bagian dari hadits itu. Contoh: Rasulullah bersabda :
“Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah penanggung jawab ) bagi orang
yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman
surga”. Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan (dengan tempat
tinggal di taman surga), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
(6) Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama
menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada
nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang
lain.
(7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Batasan yang
diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya
mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat.
Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.

E. Kehujjahan Hadist
Kehujjahan hadits merupakan sesuatu yang terkait dengan hadits untuk
dijadikan pedoman atau pegangan dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hadits digunakan sebagai hujjah apabila telah memenuhi keshahihan hadits, yaitu
yang berkenaan dengan sanad dan matan sebagimana penjelasan di muka. Para ulama
sependapat, bahwa hadits ahad yang shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
syariat islam. Namun mereka beda pendapat apabila hadits kategori ini dijadikan
hujjah untuk menetapkan msalah-masalah aqidah. Kemudian untuk hadits hasan
dapat dinyatakan bahwa pada umumnya ulama masih menerimanya sebagai hujjah.
Sedangkan hadits dlaif pada umumnya ulama menolaknya sebagai hujjah dan mereka
juga sepakat melarang meriwayatkan hadits dlaif yang maudhu’ tanpa menyebtkan
kemaudhu’annya.
Tetapi kalau hadits dlaif itu bukan hadits maudhu’ maka masih
diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Dalam hal
ini ada dua pendapat :

11
1. Melarang secara mutlak, meriwayatkan segala macam hadits dlaif, baik untuk
menetapkan hokum maupun untuk memberi sugesti amalan utama pendapat
ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibn al-Araby.
2. Membolehkan, meskipun sanadnya dilepas tanpa menjelaskan factor-faktor
kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal dan
lain-lain yang bukan untuk menetapkan syari’at dan aqidah.

Hadits jika ditinjau dari segi diterimanya dan tidaknya dapat digolongkan
kedalam dua kelompok yaitu hadits maqbul dan mardud :
1. Hadits Maqbul
Menurut bahasa ialah ma’khudz (yang diambil), mushaddaq (yang dibenarkan
atau yang diterima).Secara terminologis, hadits maqbul didefinisikan dengan :
‫ما توافرت فيه ﺟميﻊ القبول شروط‬
Ialah: “Hadits yang telah sempurna seluruh syarat penerimaannya.”
Kemudian hadits maqbul terbagi menjadi dua bagian, yakni :
a. Ma’mul bih (yang diamalkan) dipergunakan untuk menegakkan hukum.
Adapun hadits –hadits yang diamalkan ialah :
1) Segala hadits muhkam;
2) Segal hadits mukhtalif yang mungkin dikumpulkan dengan mudah;
3) Segala hadits yang nasikh;
4) Segala hadits yang rajah;
b. Ghairu Ma’mul bih (yang tidak diamalkan)tiada dipergunakan untuk
menjadi hujjah bagi suatu hokum syara’. Adapun hadits-hadits yang tidak
diamalkan ialah :
1) Hadits Mutaqqaf (hadits yang lain yang tidak dapat ditarjihkan dan tidak
dapat diketahui mana yang terdahulu dan mana yang kemudian).
2) Hadits marjuh (hadits yang dilawani oleh yang lebih kuat dari padanya).
3) Hadits mansukh (hadits yang telah dihapuskan hukumnya).
2. Hadist Mardud
Menurut bahasa ialah yang ditolak atau yang tidak diterima. Secara
terminologis, hadits mardud didefinisikan dengan :
‫فقد تلﻚ الﺸروط او بعضها‬
Ialah : “Hadits yang hilang seluruh syarat-syaratnya atau sebagiannya.”
Dalam definisi lain disebutkan bahwa kebenaran pembawa berita pada hadits
mardud itu tidak sampai kepada derajat hadits maqbul. Adapun sebab penolakan
tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yakni :
a. Karena cacat pada periwayat.
b. Karena terputusnya isnad.
c. Karena alasan-alasan insidental.

12
F. Cabang-cabang Ilmu Hadist
1. Ilmu Rijal al-Hadis
Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi`in,
mupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang terpenting di dalam ilmu Rijal
al-Hadits adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan
wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam
jangka berapa lama, kepada siapa saja mereka memperoleh hadis dan kepada siapa
saja mereka menyampaikan Hadis. Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang
mempelajari persoalan ini. Ada yang menyebut Ilmut Tarikh, ada yang menyebut
Tarikh al-Ruwat, ada juga yang menyebutnya Ilmu Tarikh al-Ruwat.
2. Ilmu Tarikh Ruwat
Ilmu untuk mengetahui para pwrawi hadist yang berkaitan dengan usaha
periwayatan mereka terhadap hadist. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara
mendalam pada aspek kesejarahan dari orang$orang yang terlibat dalam periwayatan.
3. Thabaqat al-Ruwwat
Adalah pengelompokan orang yang menerima, memelihara dan
menyampaikan hadis yang hidup dalam satu generasi atau satu masa dan dalam
periwayatan atau isnad yang sama atau sama dalam periwayatan saja. Maksud
berdekatan dalam isnad adalah satu perguruan atau satu guru atau diartikan
berdekatan dalam berguru. Jadi, para gurunya sebagian periwayat juga menjadi guru
bagi sebagian perawi lain. Para rawi pada masa tertentu akan berbeda dengan rawi
masa berikutnya.
4. Al-Jarh wa Al-Ta’dil
Ilmu yang membahas kecacatan rawi, seperti keadilan dan kedhabitannya.
Sehingga dapat ditentukan siapa di antara perawi itu yangdapat diterima atau ditolak
hadsit yang diriwayatkannya. Ilmu Al-Jarah wa Ta’dil ini dikelompokan oleh
sebagian ulama kedalam ilmu hadist yang pokok pembahasannya berpangkal kepada
sanad dan matan.
5. Takhrij al-Hadist
Ilmu untuk mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli secara
lengkap dengan matarantai sanad masing-masing dan dijelaskan kualitas hadits yang
bersangkutan.
6. Asbab Wurud al-Hadist
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-
masa Nabi menuturkannya.
7. Nasikh wa Mansukh al-Hadist
Ilmu yang membahas hadist-hadist yang berlawanan yang tidak dapat
dipertemukan dengan cara menentukan sebagiannya sebagai nasikh dansebagian
lainnya sebagai mansukh, bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang
datang dinamakan nasikh.

13
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadis, disebut juga sunnah, adalah perkataan, perbuatan, ketetapan dan
persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadis
dijadikan sumber hukum Islam selain al-Qur'an, dalam hal ini kedudukan hadis
merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an.
Sunah ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw, baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum
menjadi rasul maupun sesudahnya.
Kedudukan hadis, menurut kesepakatan mayoritas ulama, adalah sebagai
salah satu sumber ajaran Islam. Pada prinsipnya hadis nabi yang berfungsi sebagai
penjelas (bayan) terhadap al-Qur’an. Akan tetapi dalam melihat berbagai macam
penjelasan nabi dan berbagai ragam ketentuan yang dikandung oleh suatu ayat, maka
interpretasi tentang bayan tersebut oleh ulama yang satu berbeda dengan ulama
lainnya.

Klasifikasi Hadist
(Berdasarkan Kuantitas)
 Hadist Mutawattir
- Lafzhy
- Amaly
- Ma’nawy
 Hadist Ahad
- Masyhur
- Aziz
- Gharrib

Klasifikasi Hadist
(Berdasarkan Kualitas)
 Hadist Shahih
- LiDzhatihi
- LiGhairihi
 Hadist Hasan
-LiDzhatihi
-LiGhairihi
 Hadis Dhaif
-Karena gugurnya Rawi
-Karena cacatnya Matan atau Rawi

14
Kehujjahan hadits merupakan sesuatu yang terkait dengan hadits untuk
dijadikan pedoman atau pegangan dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hadits digunakan sebagai hujjah apabila telah memenuhi keshahihan hadits, yaitu
yang berkenaan dengan sanad dan matan sebagimana penjelasan di muka. Para ulama
sependapat, bahwa hadits ahad yang shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
syariat islam.

Diantara Cabang-cabang Ilmu Hadist diantaranya yaitu penjelasan tentang :


a. Ilmu Rijalil Hadis ,
b. Tarikh al-Ruwwat,
c. Thabaqat al-Ruwwat
d. Al-Jarh wa al-Ta’dil
e. Takhrij al-Hadits
f. Asbab Wurud al-Hadits
g. Nasikh wa Manuskh al-Hadits

15
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khotib, M. Ajaj. Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1998.

As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits.Jakarta: Pustaka Firdaus.

Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits.

Ismail ,Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.

Yusuf, Nasruddin, Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam.

http://mambaulhikaminduk.blogspot.com/2012/03/ulumul-hadits-dan-cabang-
cabangnya.html

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com/2008/02/043-definisi-ahli-sunnah-menurut-
para.html

16

Anda mungkin juga menyukai