Anda di halaman 1dari 26

Chronic

Obstructive
Pulmonary
Disease (COPD)

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 1

Epidemiologi
 The Asia Pacific CPOD Roundtable Group memperkirakan,
jumlah penderita PPOK sedang hingga berat di negara-negara
Asia Pasifik mencapai 56, 6 juta penderita dengan angka
prevalensi 6,3 persen
 Angka prevalensi bagi masing-masing negara berkisar 3,5-
6,7%, antara lain China dengan angka kasus mencapai 38,160
juta jiwa, Jepang (5,014 juta orang), dan Vietnam (2,068
penderita).
 Sementara itu, di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta
penderita dengan prevalensi 5,6 persen.
 Kejadian meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok
(90% penderita COPD adalah smoker atau ex-smoker)

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 2

1
 A systematic review and meta-analysis of studies performed in
28 countries between 1990 and 2004 and an additional study
from Japan provide evidence that the prevalence of COPD
(stage I, mild COPD and higher) is appreciably higher :
 in smokers and ex-smokers compared with nonsmokers,
 in those older than 40 years compared with those younger
than 40 years, and
 in men compared with women

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 3

Definisi

Penyakit yang dikarakterisir oleh adanya obstruksi saluran


pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya.
Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan
berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru
terhadap paparan partikel atau gas yang berbahaya. .

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 4

2
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a
preventable and treatable disease , which is characterized by
persistent airflow limitation that is usually progressive and
associated with enhanced chronic inflammatory response in
the airways and in the lung to noxious particles or gases.
Exacerbations and comorbidities contribute to the overall
severity in individual patients

GOLD, 2011

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 5

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 6

3
Faktor lingkungan :
- Merokok
- Polusi udara

Faktor host :
- usia
- jenis kelamin
- penyakit paru yang sudah
ada
- Genetik : defisiensi α-
antitripsin

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 7

BRONCHITIS KRONIS

Bronkitis kronik adalah


peradangan bronkus yang
ditandai dengan batuk kronis
yang disertai pengeluaran
mukus berlebihan, yang
terjadi hampir setiap hari
selama sekurangnya tiga
bulan dalam 1 tahun selama
2 tahun berturut turut.

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 8

4
PATOGENESIS BRONKITIS KRONIS

ASAP ROKOK, POLUTAN

Hambatan mucociliary
clearance

Iritasi bronchiole

Hiperplasia, hipertrofi
dan proliferasi kelenjar mukus

Hipersekresi mukus

Resiko infeksi berulang


OBSTRUKSI
10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 9

Definisi (lanjutan)
EMPHYSEMA

kelainan paru-paru yang


ditandai dengan
pembesaran alveolus
disertai kerusakan
alveolus yang sifatnya
permanen

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 10

5
 Smoking
 Polusi udara
 Defisiensi α1-
antitripsin (faktor
genetik)

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 11

PATOGENESIS EMPHYSEMA
Smoking
Air polution

Lung Inflammation

makrofag,
neutrofil
leukocytes

EMPHYSEMA
Proteolytic enzymes Other inflammatory
Destruction of lung tissue
elastase, collagenase mediators Gas exchange
Weakened airways
Airways elasticity
if alpha antitrypsin low Lung compliance

Alpha-antitrypsin
Normally inhibits proteolytic enzymes
10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 12

6
FIG. 1. Inflammatory mechanisms in COPD. Cigarette smoke (and other irritants) activate
macrophages in the respiratory tract that release neutrophil chemotactic factors, including
IL-8 and LTB4. These cells then release proteases that break down connective tissue in
the lung parenchyma, resulting in emphysema, and also stimulate mucus
hypersecretion. These enzymes are normally counteracted by protease inhibitors,
including 1-antitrypsin, SLPI, and TIMP. Cytotoxic T cells (CD8) may also be recruited
and may be involved in alveolar wall destruction. Fibroblasts may be activated by
growth factors releases from macrophages and epithelial cells

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 13

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 14

7
Penelitian telah menunjukkan bahwa merokok
dalam jangka panjang dapat menyebabkan
aneka efek, a.l. :
 Mengganggu pergerakan rambut getar epitel
saluran nafas (respiratory epithelial cilliary)
 Menghambat fungsi alveolar macrophages,
 Menyebabkan hypertrophy dan hyperplasia
kelenjar penghasil mukus/sel goblet;
 Juga menghambat antitripsin dan
menyebabkan leukosit melepaskan enzim
proteolitik secara akut
 merusak elastin, suatu protein yang
membangun kantong alveolar

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 15

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 16

8
10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 17

Gejala: Jika ada infeksi:


 Peningkatan volume  Demam
sputum  Sputum yang purulen
 Sesak nafas yang progresif
 Dada terasa sesak (chest
tightness)
 Mengi (wheezing)
 Meningkatnya kebutuhan
bronkodilator
 Lemah, lesu
 Mudah lelah
* Infeksi : pemicu utama
eksaserbasi

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 18

9
DIAGNOSIS

PULMONARY FUNCTION TEST :

• Terdapat Penurunan FEV1, FVC, FEV 1/FVC%,


• Kapasitas difusi pada emphysema berkurang,
sedangkan pada bronkitis relatif lebih normal

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 19

DIAGNOSIS (lanjutan)

GAS DARAH ARTERI :

Pada bronkitis kronis : PO2 arteri rendah, PCO2 tinggi


Pada emphysema : PO2 dan PCO2 relatif normal

LABORATORY TEST:
•Pada bronkitis kronis, Hb dan hematocrit meningkat akibat hipoksemia
•Cek sputum perlu untuk melihat ada/tidaknya infeksi
•Untuk pasien < 40 th, perlu dicek α1-antitrypsin

CHEST X-RAY
10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 20

10
MSO1

Tingkat Nilai FEV1 dan gejala


GOLD I FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%, dan umumnya, tapi tidak selalu, ada gejala
ringan batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini, pasien biasanya bahkan
belum merasa bahwa paru-parunya bermasalah
GOLD II FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%, gejala biasanya mulai
Sedang progresif/memburuk, dengan nafas pendek-pendek.
GOLD III FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%. Terjadi eksaserbasi berulang yang
Berat mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada tahap ini pasien mulai
mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau serangan
penyakit.
GOLD IV FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50% plus kegagalan respirasi kronis.
sangat berat Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika walaupun FEV1 > 30%, tapi
pasien mengalami kegagalan pernafasan atau gagal jantung kanan. Pada
tahap ini, kualitas hidup sangat terganggu dan serangan mungkin
mengancam jiwa.
10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 21

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 22

11
Slide 21

MSO1 Microsoft Office; 04/12/2011


10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 23

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 24

12
 Indikator: umur dan keparahan
 Jika ada hipoksia dan cor
pulmonale  prognosis jelek
 Dyspnea, obstruksi berat saluran
nafas, FEV1 < 0.75 L (20%) 
angka kematian meningkat, 50%
pasien berisiko meninggal dalam
waktu 5 tahun

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 25

 Memperbaiki keadaan obstruksi saluran nafas


 Mencegah dan mengatasi eksaserbasi akut
 Menurunkan progresivitas penyakit
 Meningkatkan keadaan fisik dan psikis
 Menurunkan jumlah hari tidak masuk kerja
 Menurunkan lama tinggal di RS
 Menurunkan angka kematian

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 26

13
 Pengobatan cenderung akan makin banyak karena status
penyakit umumnya akan memburuk
 Terapi secara regular harus selalu dijaga pada tingkat yang
sama, kecuali ada efek samping signifikan yang terjadi, atau
keparahan penyakit meningkat
 Setiap pasien mungkin berespon secara individual terhadap
pengobatan maupun dalam mengalami efek samping 
perlu dilakukan pemantauan secara hati-hati dalam jangka
waktu yang cukup untuk memastikan bahwa terapi mencapai
tujuan yang diinginkan.

TERAPI FASE AKUT TERAPI PEMELIHARAAN

 Inhalasi beta agonis aksi  Inhalasi antikolinergik aksi


pendek (salbutamol) panjang (tiotropium)
 Inhalasi antikolinergik  Inhalasi beta agonis aksi
(ipratropium) panjang
 Kortikosteroid inhalasi atau  Theophyline sustained-release
sistemik jangka pendek  Inhalasi kortikosteroid pada
 Aminophylline i.v. pasien dengan stage III atau IV
 Antibiotik (jika ada tanda-  Vaksinasi influenza dan
tanda infeksi) pneumonia
 oksigenasi  Oksigen long term (>15
jam/hari) utk yg gagal respirasi
kronis

14
TATA LAKSANA TERAPI
Non-farmakologi

Menghentikan kebiasaan merokok

Rehabilitasi paru-paru secara


komprehensif dengan OR dan latihan
pernafasan

Perbaikan nutrisi
(untuk menambah energi)

Tidak ada obat yang dapat


menunda memburuknya fungsi
paru jika pasien tetap merokok

10/27/2013 30

15
10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 31

 Motivasi tinggi untuk berhenti


merokok
 Menggunakan obat untuk
mengatasi withdrawal
syndromes:
 Bupropion
 Nicotine replacement
therapy
 Vareniclin (nicotine receptor
agonist = Chantix, Champix)

16
 Merupakan terapi utama pada
PPOK, baik pada eksaserbasi akut
maupun fase stabil
 Digunakan jika perlu atau secara
reguler
 Teknik inhalasi merupakan pilihan
karena memberikan efek samping
minimal  penting untuk
memastikan teknik inhalasi yang
benar, karena pasien PPOK
umumnya lanjut usia yang sudah
kurang koordinasi tangannya jika
menggunakan MDI  nebulizer lebih
mudah (tapi lebih mahal)

 Bekerja pada reseptor adrenergik β2 di otot polos


saluran pernafasan  bronkorelaksasi
 Merupakan drug of choice pada serangan akut

Mengaktifkan
adenilat siklase 
Meningkatkan kadar
cAMP 
mengaktifkan
Protein Kinase A
(PKA)  relaksasi
otot polos

17
NAEPP Guideline, 2007

lanjutan

NAEPP Guideline, 2007

18
 Merupakan first line
terapy pada terapi
pemeliharaan  lebih
disukai aksi panjang:
tiotropium
 Bekerja memblok reseptor
muskarinik M3 di saluran
pernafasan
 Tersedia dalam sediaan
tunggal atau kombinasi
dengan beta agonis Belmonte, Proc Am Thorac Soc Vol 2.
pp 297–304, 2005

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 38

19
 Berdasarkan evidence terbaru yang tersedia, antibiotika
harus diberikan pada pasien-pasien PPOK yang :
 Pasien dengan eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama
yaitu : increased dyspnea, increased sputum volume,
increased sputum purulence (Evidence B), atau
 Pasien dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama,
jika peningkatan purulensi sputum merupakan salah
satunya (Evidence C)
 Pasien dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan
ventilasi mekanik, baik invasif maupun non-invasif
(Evidence B)

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 39

Terapi antibiotika yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut PPOK


Karakteristik pasien Patogen penyebab yang Terapi yang direkomendasikan
mungkin
• Eksaserbasi tanpa S. pneumoniae, H. influenzae, • makrolid (azitromisin,
komplikasi H. parainfluenzae, dan M. klaritromisin)
• < 4 X eksaserbasi catarrhalis • sefalosporin generasi 2 atau 3
setahun umumnya tidak resisten • doksisiklin
• tidak ada penyakit
penyerta
• FEV1 > 50%

•Eksaserbasi kompleks seperti di atas, ditambah H. • Amoksisilin/klavulanat


•umur > 65 th, influenza dan M. catarrhalis • Fluorokuinolon (levofloksasin,
•> 4 eksaserbasi penghasil beta-laktamase gatiflokasin, moksifloksasin)
pertahun
•FEV1 < 50% tapi > 35 %

Eksaserbasi kompleks seperti di atas, ditambah P. • Fluorokuinolon (levofloksasin,


dengan risiko P. aeruginosa gatiflokasin, moksifloksasin)
aeruginosa • Terapi I.V. jika diperlukan :
sefalosporin generasi 3 atau 4

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 40

20
 Kortikosteroid sistemik (oral atau i.v) direkomendasikan sebagai
tambahan terapi pada eksaserbasi akut, terutama pada pasien
yang FEV1-nya < 50% prediksi.
 Contoh: prednisolon per oral dengan dosis 30-40 mg/hari selama
7-10 hari, atau metilprednisolon 0,5 – 1 mg/kg IV setiap 6 jam.
Jika gejala pasien telah membaik, dapat diganti dengan
prednisone 40 – 60 mg sehari
 utk terapi pemeliharaan: penggunaan kortikosteroid inhalasi
dapat dipertimbangkan pada pasien PPOK dengan FEV1 < 50%,
(tingkat keparahan III atau IV dan yang mengalami eksaserbasi
berulang (misalnya 3 kali dalam 3 tahun).

 Penggunaan mukolitik seperti ambroksol,


karbosistein, dan gliserol teriodinasi telah
diteliti  hasil kontroversial.
 Ada manfaat bagi sebagian pasien, tetapi
secara keseluruhan manfaatnya sangat
kecil  GOLD 2010 tidak
merekomendasikan berdasarkan bukti-bukti
klinis yang ada
 Pengeluaran mukus bisa dilakukan juga
dengan hidrasi oral (> 2 liter/hari)
 RCT di China: karbosistein dapat
mengurangi frekuensi eksaserbasi akut
COPD (The Lancet, 371, p 2013 - 2018, 14
June 2008 )

21
 Vaksin influenza terbukti dapat
mengurangi gangguan serius dan
kematian akibat PPOK sampai 50%.
 Vaksin influenza direkomendasikan
bagi pasien PPOK usia lanjut karena
cukup efektif.
 Pasien PPOK sebaiknya menerima satu
atau dua kali vaksin pneumococcal dan
vaksinasi influenza per tahun untuk
mengurangi insiden pneumonia.
 Bila pasien terpapar pada influenza
sebelum divaksinasi, maka dapat
digunakan amantadin dan rimantadin.

 Digunakan pada pasien dengan defisiensi AAT


secara herediter
 terdiri dari infus AAT secara rutin (mingguan)
untuk memelihara kadar AAT plasma di atas 10
mikromolar.
 dapat memperlambat progresivitas penyakit
(dengan parameter FEV1) dan mengurangi
mortalitas
 Regimen dosis : 60 mg/kg i.v. sekali seminggu,
kecepatan 0.08 mL/kg per menit, disesuaikan
dengan toleransi pasien.
 Masalah : harga yang mahal dan ketersediaan
produk yang memenuhi syarat.
 Contoh produk : Prolastin, Aralast, dan Zemaira.

22
 Terapi oksigen sebaiknya diberikan pada pasien
PPOK dengan tingkat keparahan IV (sangat berat)
jika :
 PaO2  7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2  88%,
dengan atau tanpa hiperkapnia, atau
 PaO2 antara 55 mmHg – 60 mmHg, atau SaO2
89%, tetapi ada tanda hipertensi pulmonar,
edema perifer yang menunjukkan adanya gagal
jantung kongestif, atau polisitemia.
 Cara pemberiannya : dengan kanula hidung yang
menyalurkan 24- 28% oksigen (1-2 liter/menit)
untuk mencapai PaO2 di atas 60 mmHg.

 Antioksidan
 Antioksidan, khususnya N-asetilsistein,
dilaporkan dapat menurunkan frekuensi
eksaserbasi dan mungkin berperan pada
pasien dengan kekambuhan berulang
(Evidence B). Namun penggunaannya secara
rutin perlu dievaluasi lebih lanjut
efektivitasnya
 Imunoregulator
 Dua studi melaporkan bahwa penggunaan
imunostimulan pada PPOK dapat
menurunkan keparahan dan frekuensi
eksaserbasi. Namun masih perlu dilakukan
studi utk penggunaan jangka panjang untuk
memastikan efeknya (Evidence B)

23
 Antitusif
 Batuk, walaupun seringkali sangat
menganggu, tapi justru merupakan
mekanisme proteksi yang penting,
karena itu penggunaan antitusif
dikontraindikasikan pada PPOK stabil
(Evidence D)
 Lain-lain :
 Nedokromil, leukotriene modifier, dan
metode alternatif lainnya belum diteliti
pada pasien PPOK, sehingga tidak
direkomendasikan penggunaannya

 Tidak ada satupun pengobatan PPOK yang dapat memodifikasi


penurunan fungsi paru yang merupakan ciri khas penyakit ini 
farmakoterapi pada PPOK ditujukan untuk mengurangi gejala
dan/atau komplikasi (Evidence A)
 Pengobatan dengan bronkodilator merupakan penatalaksanaan
simptomatik utama pada PPOK, yang diberikan bila perlu atau
secara reguler untuk mengurangi gejala (Evidence A)
 Bronkodilator utama adalah β-agonis, antikolinergik, teofilin,
dan kombinasi satu atau lebih (Evidence A)

24
Lanjutan

 Treatment secara teratur dengan bronkodilator aksi panjang


lebih efektif dan lebih nyaman (convenient) daripada dengan
bronkodilator aksi pendek, tetapi harganya lebih mahal
(Evidence A)
 Penambahan inhalasi kortikosteroid terhadap terapi reguler
dengan bronkodilator tepat untuk PPOK simptomatik dengan
FEV1 < 50% prediksi (Stage III dan stage IV) dan pada
kekambuhan berulang (Evidence A)
 Treatment kronis dengan kortikosteroid sistemik harus
dihindarkan karena lebih banyak kerugiannya daripada
keuntungannya (Evidence A)
 Penggunaan oksigen jangka panjang (>15 jam sehari) untuk
pasien yang mengalami gagal nafas kronis dapat meningkatkan
survival (Evidence A)

Ada pertanyaan ?
Apa bedanya dengan asma ?

10/27/2013 Zullies Ikawati's Lecture Notes 50

25

Anda mungkin juga menyukai