Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Resistensi antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup
terhadap efek antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis.
Resistensi antimikroba (AMR) telah muncul sebagai salah satu tantangan kesehatan
terbesar diberbagai bagian dunia. Persoalan resistensi antimikroba mulai menjadi
isu kesehatan masyarakat yang semakin menyita perhatian para pemangku
kepentingan kesehatan diseluruh dunia.
Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus,
jamur dan parasit mengalami perubahan sehingga obat-obatan yang digunakan
untuk menyembuhkan infeksi yang ditimbulkan mikroorganisme ini menjadi tidak
efektif karen mikroorganisme semakin sukar untuk disembuhkan. Dalam makalah
ini akan dibahas sejauh mana angka resistensi antimikroba, bagaimana cara
pemerintah untuk mengendalikan angka resistensi antimikroba di rumah sakit serta
bagaimana kerjasama tim dalam menanggulangi anti resistensi di rumah sakit.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah faktor penyebab resistensi antimikroba ?
2. Bagaimana cara pemerintah dalam menekan angka resistensi antimikroba di
rumah sakit ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui faktor penyebab resistensi antimikroba.
2. Untuk mengetahui cara pemerintah dalam menekan angka resistensi
antimikroba di rumah sakit.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Faktor penyebab resistensi antimikroba

Salah satu contoh dari resistensi antimikroba adalah dalam penggunaan


antibiotika. Kali ini dapat dilihat dari indikator penggunaan antibiotik yang digunakan
masyarakat. Indikator tidak patuhnya pemkaian antibiotik adalah masih tersisanya atau
masih disimpannya antibiotik dirumah yang seharusnya dihabiskan. Angka kematian
akibat resistensi antimikroba sampai tahun 2014 sebesar 700.000 per tahun. Dengan
semakin cepatnya perkembangan dan penyebaran infeksi bakteri, diperkirakan pada
tahun 2050, kematian akibat AMR yang lebih besar dibanding kematian yang
diakibatkan oleh kanker, yakni mencapai 10 juta jiwa.

Salah satu faktor pemicu meningkatnya kejadian resistensi antimikroba


dikarenakan penggunaan antimikroba yang tidak bijak di manusia dan hewan.
Penggunaan antibiotik pada sektor pertanian, peternakan dan perikanan menyebabkan
infeksi pada hewan dan tumbuhan makin sulit untuk diobati. Selain itu penyebaran
kuman resisten dari binatang ternak dan kontaminasi makanan oleh bakteri resisten
antibiotik bisa menyebabkan manusia terinfeksi bakteri kebal antibiotik. Sehingga
tidaklah mengejutkan dimasa depan bila reistensi antimikroba akan melewati kanker
dan diabetes sebagai penyebab kematian utama di dunia.

Sebagai contoh penyakit Tubercolosis (TB) bila pengobatannya tidak sampai


tuntas akan menyebabkan TB menjadi Multi-Drugs Resistance(MDR). Bila hal ini
tidak segera diantisipasi maka akan mengakibatkan dampak negatif yang masif pada
kesehatan, ekonomi, ketahanan pangan dan pembanguan global. Dalam posisi
Indonesia resistensi antimikroba akan membebani keuangan negara dalam pembiayaan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

2.2 Cara pemerintah dalam menekan angka resistensi antimikroba di rumah sakit
Masalah resistensi antimikroba adalah masalah yang kompleks karena bersifat
multi dimensi dan multifaktor serta banyak stakeholders. Untuk itu dibutuhkan
manajemen koordinasi lintas sektor antara kesehatan manusia, kesehatan hewan dan
ketahanan-keamanan pangan dalam penanganannya agar menjadi komprehensif.

Hal ini sesuai dengan resolusi pada pertemuan World Health Asembly (WHA)
ke-68 pada tahun 2015 yang mengeluarkan Global Action Plan on Antimicobial
Resistance, sebagai salah satu resolusi dalam pengendalian resistensi antimikroba dan
menjadi salah satu program prioritas di bidang kesehatan baik secara nasional maupun
global. Diharapkan semua negara anggota WHO telah memiliki Multisectoral National
Action Plan di tahun 2017 melalui pendekatan One Health.

Tantangan dalam penanggulangan resistensi antimikroba juga menjadi tidak


mudah karena persoalan ini bukan saja melibatkan pasien atau dokter, tetapi juga
melibatkan industri farmasi, industri rumah sakit, kepentingan bisnis, kesadaran
masyarakat, dan dunia pendidikan secara luas.

Oleh karena itu Menkes kembali menekankan tanggung jawab dari


penanggulangan resistensi antimikroba tidak bisa hanya dibebankan di satu pihak.
Satu yang ingin saya tekankan, tidak hanya Kementerian Kesehatan saja yang
bertanggug jawab, atau Kementerian Pertanian, tetapi juga masyarakat juga harus
bertanggung jawab.

Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan


Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut.Terdapat 20 Rumah Sakit Pemerintah menjadi Pilot
Project untuk memonitoring resistensi antimikroba yaitu RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, RSUP dr. Kariadi Semarang, RSUP H. Adam Malik Medan, RSUP dr. M.
Djamil Padang, RSUP dr. M. Husein Palembang, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta. Lalu, RSUP Fatmawati Jakarta, RSUP Persahabatan Jakarta, RSJPD Harapan
Kita Jakarta, RSAB Harapan Kita Jakarta, RSPI Sulianti Saroso Jakarta, RS Kanker
Dharmais Jakarta, RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung.
Kebijakan PPRA di rumah sakit, yaitu pertama, pembentukan Tim PPRA;
kedua, penyusunan kebijakan antibiotik rumah sakit (hospital antibiotic policy) dan
pedoman penggunaan antibiotik (antibiotic guideline); ketiga, penanganan kasus
infeksi berat/kompleks/infeksi dengan (Multi Drugs Resistant Organism), melibatkan
multidisiplin profesi, 4 pilar dan KPRS; keempat, peningkatan pemahaman klinisi
terhadap.
BAB III

PENUTUP

3.1 kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai