Anda di halaman 1dari 14

PENTINGNYA REFORMASI BIROKRASI DITINGKAT

PEMERINTAH DAERAH DALAM MEMBANGUN MODEL


PELAYANAN PUBLIK

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas makalah kuliah Pendidikan


Kewarganegaraan

Disusun oleh :

Muhammad Romly

1510631090072

Dosen Pengampu : Dr. Sulistyo Sidik Purnomo,Ir.,M.SI

Program Studi Agroteknologi

Fakultas Pertanian

Universitas Singaperbangsa Karawang

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang Pencipta alam
semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena, berkat limpahan
rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Pentingnya Reformasi Birokrasi Ditingkat Pemerintah Daerah Dalam
Membangun Model Pelayanan Publik”.

Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidak lain untuk memenuhi salah satu
dari sekian kewajiban mata kuliah Birokrasi Indonesia serta merupakan bentuk langsung
tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan. Pada kesempatan ini, penulis juga ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak H. Abdillah Mawardi, Drs., M.AP selaku
dosen serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini baik secara
langsung maupun tidak langsung.

Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan. Mohon maaf apabila dalam
penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang akan senantiasa penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.

Karawang, Desember 2018

Penulis
DAFTAR ISI
PENTINGNYA REFORMASI BIROKRASI DITINGKAT PEMERINTAH DAERAH DALAM MEMBANGUN
MODEL PELAYANAN PUBLIK ................................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR................................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI............................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang......................................................................................................................... 4
1.2 Dasar Hukum ................................................................................................................................. 5
BAB II IDENTIFIKASI MASALAH ................................................................................................................ 7
Definisi Reformasi Birokrasi ................................................................................................................ 7
Reformasi Pemerintahan Daerah........................................................................................................ 7
Aspek penampilan Birokrasi Pemerintah Indonesia ........................................................................... 8
Kelemahan Birokrasi Di Indonesia .................................................................................................... 10
Reformasi Paradigma Pelayanan Publik............................................................................................ 10
BAB III SOLUSI ....................................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberadaan desentralisasi di Negara Indonesia telah menjadi konsensus nasional. Dalam
setiap UUD yang pernah berlaku selalu terdapat pasal yang mengatur penyelenggaraan
desentralisasi di Indonesia. Untuk mewujudkan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan
oleh UUD hampir setiap kabinet yang terbentuk di masa lalu mencantumkan desentralisasi
sebagai salah satu program kerjanya. Masa kini desentralisasi merupakan salah satu agenda
reformasi. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun
2001 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan
itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang
pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi
pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan
lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Sebagaimana dikemukakan (Bhenyamin, 2001) : Otonomi daerah merupakan wewenang


untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalitas menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelmakan
otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan
yang bersifat lokalitas demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Desentralisasi
dapat pula disebut otonomisasi, otonomi daerah diberikan kepada masyarakat dan bukan
kepada daerah atau pemerintah daerah.

Namun, hingga sekarang ini kualitas pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan
yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan
tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan
indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai
akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di
samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana
masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi
mereka yang memiliki “uang“, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan.
Untuk itu, apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka
pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam
kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang
lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang
lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara
keseluruhan.

Kejadian-kejadian tersebut lebih disebabkan karena paradigma pemerintahan yang masih


belum mengalami perubahan mendasar. Perilaku aparatur negara di lingkungan birokrasi
yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukannya untuk melayani. Seharusnya,
dalam era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu
menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi
dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam
perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah,
bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan
hanya untuk segelintir orang". (Mustopadidjaja, 2002)

Agar pelayanan publik berkualitas, sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma


pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran
pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai
penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai
pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan
publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan
menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik. Oleh
sebab itu reformasi paradigma pelayanan publik tersebut harus dibarengi dengan reformasi
penyelenggaraan pemerintahan, dalam konteks otonomi daerah berarti bagaimana
mereformasi pola penyelenggaraan pemerintahan daerah.

1.2 Dasar Hukum


Reformasi pemerintahan daerah di Indonesia ditandai dengan lahirnya UU No. 22
Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Reformasi yang dikehendaki di dalam UU tersebut tergolong
reformasi yang radikal (radical change) atau drastik (drastic change) dan bukan reformasi
yang bersifat gradual (gradual change).

Besarnya perubahan yang terjadi di dalam reformasi pemerintahan daerah tersebut dapat
dilihat dari pergeseran paradigma pemerintahan daerah yang terjadi. Paradigma “structural
efficiency model” yang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal (local
government) ditinggalkan dan dianut paradigma “local democracy model” yang menekankan
nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Seiring
dengan itu terjadi pula pergeseran dari pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan
desentralisasi. (Bhenyamin, 2001)

Namun perubahan sejumlah paradigma dan model tersebut tidak berakar pada strategi.
Desentralisasi bukanlah tujuan tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Dalam TAP
MPR No. IV/2000 ditegaskan bahwa kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian
peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreativitas pemerintah daerah, keselerasan
hubungan antara Pemerintah dengan Daerah dan antar Daerah dalam kewenangan dan
keuangan, untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan
masyarakat dan menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian Daerah. Tujuan
desentralisasi tersebut belum tertampung dalam strategi reformasi pemerintahan daerah yang
digulirkan melalui kedua undang-undang tersebut. Oleh sebab itu berbagai tantangan dan
permasalahan timbul sebagai konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi tersebut.
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH

Definisi Reformasi Birokrasi


Reformasi birokrasi merupakan salah satu cara untuk membangun kepercayaan
rakyat. Reformasi birokrasi adalah suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang
tujuannya mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama.
Ruang lingkup reformasi birokrasi tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga
mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku. Hal ini
berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan wewenang dan kekuasaan.

Reformasi birokrasi adalah sebuah harapan masyarakat pada pemerentah agar mampu
memerangi KKN dan membentuk pemerintahan yang bersih serta keinginan masyarakat
untuk menikmati pelayanan public yang efisien,responsip dan akuntabel. Maka dari itu
masyarakat perlu mengetahui reformasi birokrasi yang dilakukan saat ini agar kehidupan
bernegara berjalan dengan baik,msyarakat juga berposisi sebagai penilai dan pihak yang
dilayani pemerintah.

Pada dasarnya Reformasi Birokrasi adalah suatu perubahan signifikan elemen-elemen


birokrasi seperti kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas,
aparatur, pengawasan dan pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk
memposisikan diri (birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika
lingkungan yang dinamis. Perubahan tersebut dilakukan untuk melaksanakan peran dan
fungsi birokrasi secara tepat, cepat dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sesuai
diamanatkan konstitusi. Perubahan kearah yang lebih baik, merupakan cerminan dari seluruh
kebutuhan yang bertitik tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari
harapan. Realitas ini, sesungguhnya menunjukan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan
antara apa yang sebenarnya diharapkan, dengan keadaan yang sesungguhnya tentang peran
birokrasi dewasa ini.

Reformasi Pemerintahan Daerah


Reformasi pemerintahan daerah di Indonesia ditandai dengan lahirnya UU No. 22
Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Reformasi yang dikehendaki di dalam UU tersebut tergolong
reformasi yang radikal (radical change) atau drastik (drastic change) dan bukan reformasi
yang bersifat gradual (gradual change). Oleh karena itu, konflik, krisis dan goncangan yang
menyertai reformasi tersebut lebih besar daripada serangkaian reformasi yang pernah terjadi
sebelumnya. Dibandingkan dengan reformasi pemerintahan daerah di berbagai negara
berkembang lainnya pun reformasi pemerintahan daerah di Indonesia masih tergolong sangat
besar. Reformasi pemerintahan daerah di Indonesia tergolong big bang approach.

Besarnya perubahan yang terjadi di dalam reformasi pemerintahan daerah tersebut dapat
dilihat dari pergeseran paradigma pemerintahan daerah yang terjadi. Paradigma “structural
efficiency model” yang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal (local
government) ditinggalkan dan dianut paradigma “local democracy model” yang menekankan
nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Seiring
dengan itu terjadi pula pergeseran dari pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan
desentralisasi ( Hoessein, 2001 ).

Namun perubahan sejumlah paradigma dan model tersebut tidak berakar pada strategi.
Desentralisasi bukanlah tujuan tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Dalam TAP
MPR No. IV/2000 ditegaskan bahwa kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian
peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreativitas pemerintah daerah, keselerasan
hubungan antara Pemerintah dengan Daerah dan antar Daerah dalam kewenangan dan
keuangan, untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan
masyarakat dan menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian Daerah. Tujuan
desentralisasi tersebut belum tertampung dalam strategi reformasi pemerintahan daerah yang
digulirkan melalui kedua undang-undang tersebut. Oleh sebab itu berbagai tantangan dan
permasalahan timbul sebagai konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi tersebut.

Aspek penampilan Birokrasi Pemerintah Indonesia


Tidak mudah mengindentifikasi penampilan birokrasi Indonesia. Namun perlu
dikemukakan, bahwa organisasi pada prinsipnya berintikan rasionalitas dengan kriteria-
kriteria umum, seperti efektivitas, efisiensi, dan pelayanan yang sama kepada masyarakat.
Ada beberapa aspek pada penampilan birokrasi di Indonesia, antara lain :

1. Sentralisasi yang cukup kuat.


Sentralisasi sebenarnya merupakan salah satu cirri umum yang melekat pada birokrasi
yang rasional. Di Indonesia, kecenderungan sentralisasi yang amat kuat merupakan
salah satu aspek yang menonjol dalam penampilan birokrasi pemerintah. Hal ini
disebabkan karena birokrasi pemerintah bekerja dan berkembang dalam lingkungan
yang kondusifterhadap hidup dan berkembangya nilai-nilai sentralistik tersebut.
2. Menilai tinggi keseragaman dan struktur birokrasi.
Sama seperti sentralisasi, keseragaman dalam struktur juga merupakan salah satu cirri
umum yang sering melekat pada setiap organisasi birokrasi. Di Indonesia,
keseragaman atau kesamaan bentuk susunan, jumlah unit, dan nama tiap unit birokrasi
demikian menonjol dalam stuktur birokrasi pemerintah.
3. Pendelegasian wewenang yang kabur.
Dalam birokrasi Indonesia, nampaknya pendelegasian wewenang masih menjadi
masalah. Meskipun struktur birokrasi pada pemerintah Indonesia sudah hirarkis,
dalam praktek perincian wewenang menurut jenjang sangat sulit dilaksanankan.
Dalam kenyataanya, segala keputusan sangat bergantung pada pimpinan tertinggi
dalam birokrasi. Sementara hubungan antar jenjang dalam birokrasi diwarnai oleh
pola hubungan pribadi.
4. Kesulitan menyusun uraian tugas dan analisis jabatan.
Meskipun perumusan uraian tugas dalam birokrasi merupakan kebutuhan yang sangat
nyata, jarang sekali birokrasi kita memilikinya secara lengkap. Kalaupun adasering
tidak dijalankan secara konsisten. Di samping hambatan yang berkaitan dengan
keterampilan teknis dalam penyusunannya, hambatan yang dirasakan adalah adanya
keengganan merumuskannya dengan tuntas. Kesulitan lain yang dihadapi birokrasi di
Indonesia adalah kesulitan dalam merumuskan jabatan fungsional. Secara mendasar,
jabatan fungsional akan berkembang dengan baik jika di dukung oleh rumusan tugas
yang jelas serta spesialisasi dalam tugas dan pekerjaan yang telah dirumuskan secara
jelaas pula. Selain itu, masih banyak lagi aspek-aspek lain yang menonjol dalam
birokrasi di Indonesia, diantaranya adalah perimbangan dalam pembagian
penghasilan, yaitu selisih yang amat besar antara penghasilan pegawai pada jenjang
tertinggi dan terendah.

Hal lain yang cukup menarik dan dapat dijumpai dalam penampilan birokrasi pemerintah
Indonesia adanya upacara-upacara yang bersifat formalitas dan hubungan yang bersifat
pribadi. Hubungan yang bersifat pribadi sangat mendapat tempat dalam budaya birokrasi di
Indonesia, karena dengan adanya hubungan pribadi dengan para key person banyak persoalan
yang sulit menjadi mudah atau sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa birokrasi di negara kita
belum baik dan masih banyak yang perlu diperbaiki.
Kelemahan Birokrasi Di Indonesia
Keluhan tentang birokrasi Indonesia umumnya bermuara pada penilaian bahwa
birokrasi di Indonesia tidak netral. Kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri, apalagi melihat
praktek sehari-hari dimana birokrasi terkait dengan lembaga lainnya. Oleh karena itu,
birokrasi pemerintah tidak mungkin dipandang sebagai lembaga yang berdiri sendiri, terlepas
dari lembaga-lembaga lainnya.

Dalam realitanya, yang menggejala di Indonesia saat ini adalah praktek buruk yang
menyimpang dari teori idealismenya Weber. Dalam prakteknya, muncul kesan yang
menunjukkan seakan-akan para pejabat dibiarkan menggunakan kedudukannya di birokrasi
untuk kepentingan diri dan kelompok. Ini dapat dibuktikan dengan hadirnya bentuk praktek
birokrasi yang tidak efisien dan bertele-tele.

Reformasi Paradigma Pelayanan Publik


Secara teoritis, Denhardt and Denhardt (2000) mengatakan bahwa telah terjadi
pergeseran paradigma pelayanan publik dari model administrasi publik tradisional (old public
administration) ke model manajemen publik baru (new public management) dan akhirnya
menuju model pelayanan publik baru (new public service)

Dalam model new public service, berlandaskan teori demokrasi yang mengajarkan adanya
egaliter dan persamaan hak diantara warga negara. Dalam model ini kepentingan publik
dirumuskan sebagai hasil dialog dari berbagai nilai yang ada di dalam masyarakat.
Kepentingan publik bukan dirumuskan oleh elit politik seperti yang tertera dalam aturan.
Birokrasi yang memberikan pelayanan publik harus bertanggung jawab kepada masyarakat
secara keseluruhan. Peran pemerintah adalah melakukan negosiasi dan menggali berbagai
kepentingan dari warga negara dan berbagai kelompok komunitas yang ada. Dalam model ini
birokrasi publik bukan hanya sekedar harus akuntabel pada berbagai aturan hukum,
melainkan juga harus akuntabel pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, norma politik
yang berlaku, standar profesional dan kepentingan warga negara. Itulah serangkaian konsep
pelayanan publik yang ideal masa kini di era demokrasi.

Dasar teoritis pelayanan publik yang ideal menurut paradigma new public service adalah
bahwa pelayanan publik harus responsif terhadap berbagai kepentingan dan nilai-nilai publik.
Tugas pemerintah adalah melakukan negosiasi dan mengelaborasi berbagai kepentingan
warga negara. Dengan demikian karakter dan nilai yang terkandung di dalam pelayanan
publik harus berisi preferensi nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Karena masyarakat
bersifat dinamis, maka karakter pelayanan publik juga harus selalu berubah mengikuti
perkembangan masyarakat.

Disamping itu pelayanan publik model baru harus bersifat non-diskriminatif sebagaimana
dimaksud oleh dasar teoritis yang digunakan, yaitu teori demokrasi yang menjamin adanya
persamaan tanpa membedakan asal usul, suku, ras, etnik, agama, dan latar belakang
kepartaian. Ini berarti setiap warga negara diperlakukan secara sama ketika berhadapan
dengan birokrasi publik dalam menerima layanan sepanjang syarat-syarat yang dibutuhkan
terpenuhi. Hubungan yang terjalin antara birokrat publik dengan warga negara adalah
hubungan impersonal sehingga terhindar dari sifat nepotisme dan primordialisme. Model
pelayanan publik seperti ini diharapkan dapat menjadi suatu model yang sesuai dengan
harapan masyarakat.
BAB III
SOLUSI
Reformasi pemerintahan daerah di Indonesia tergolong dalam konsepsi reformasi
yang bersifat radikal (radical change) atau drastik (drastic change) dan bukan reformasi yang
bersifat gradual (gradual change). Di dalam reformasi pemerintahan daerah tersebut, terjadi
pergeseran paradigma pemerintahan daerah. Paradigma “structural efficiency model” yang
menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal (local government) ditinggalkan
dan dianut paradigma local democracy model yang menekankan nilai demokrasi dan
keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Seiring dengan itu terjadi pula
pergeseran dari pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan desentralisasi.

Untuk melakukan reformasi manajemen pemerintahan guna meningkatkan pelayanan publik


menjadi lebih baik, dapat diupayakan melalui program reinventing government management.
Pada dasarnya konsepsi mengenai reinventing government management bertujuan untuk
memperbaiki efisiensi, efektivitas dan kinerja pemerintahan serta memberdayakan
masyarakat. Sementara itu terjadi pula pergeseran paradigma pelayanan publik dari model
administrasi publik tradisional (old public administration) ke model manajemen publik baru
(new public management) dan akhirnya menuju model pelayanan publik baru (new public
service).

Kebutuhan yang nyata saat ini dalam praktek birokrasi adalah bagaimana memenuhi
kebutuhan konkret dari masyarakat. Kebutuhan akan peningkatan kualitas kehidupan politik
menjadi suatu tuntutan yang tak terhindarkan. Kondisi birokrasi Indonesia yang masih
bercorak patrimonial, adalah merupakan benang sejarah yang perlu diperhatikan dengan
seksama. Dalam perkembangan kearah modernisasi menuntut adanya peningkatan kualitas
administrasi dan manajemen. Selain itu, dalam menghadapi kondisi saat ini dan menjawab
tantangan masa sekarang, birokrasi Indonesia diharapkan mempunyai kharakteristik yang
mampu bersifat netral, berorientasi pada masyarakat, dan mengurangi budaya patrimonial di
dalam birokrasi tersebut.

Sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, tuntutan yang lebih terbuka,
serta perkembangan globalisasi yang memicu peningkatan yang lebih cepat lagi dalam
kebutuhan dan tuntutan akan layanan publik, maka paradigma new public service yang
menghendaki pelayanan publik harus responsif terhadap berbagai kepentingan dan nilai-nilai
publik serta bersifat non-diskriminatif.
Adapun rekomendasi yang diberikan dapat kepada pemerintah dan masyarakat. Di
Indonesia, pemerintah sebaiknya :

1. memperhatikan dan memperbaharui sistem birokrasi yang ada dalam penyediaan


pelayanan publik, seperti memperbaiki infrastruktur yang ada,
2. pemerintah juga harus lebih memperhatikan kenyamanan dan keselamatan
masyarakat.
3. Perlu adanya kontrak bernegara dan paksaan sah terhadap lembaga dan aparat birokrat
untuk memberikan pelayanan yang mudah, murah, memiliki kepastian hukum, dan
kepastian tanggung jawab.
4. Patologi Birokrasi harus diobati dengan Aturan, Si stem dan Komitmen pengelolaan
yang berorientasi "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat",
"mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka
untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Pemerintah harus merubah
paradigma lamanya dari yang dilayani menjadi pelayanan dan pengabdi masyarakat.

Dengan itu semua diharapkan akan mengurangi beban ekonomi sekaligus memberi
peluang meningkatkan produktifitas bagi warga Negara.
DAFTAR PUSTAKA

Bhenyamin, H. (2001). Pergeseran Paradigma Otonomi Daerah dalam rangka Reformasi


Administrasi Publik Indonesia. Jakarta .

Mustopadidjaja, A. (2002). Manajemen Proses Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi dan


Evaluasi Kinerja. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.

Benveniste, Guy. (1997). Birokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dwiyanto, Agus, dkk. (2006). Reformasi birokrasi public di Indonesia. Yogyakarta: UGM press.

Qodri azizy, abdul. (2007). Change management dalam reformasi birokrasi. Jakarta: gramedia,

Thoha, Miftah. (2007). Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Ahmad, Badu. (2008). Kondisi Birokrasi Di Indonesia Dalam Hubungannya Dengan Pelayanan
Publik.Jurnal Administrasi Publik. Volume IV.PKP2A LAN Makasar

Anda mungkin juga menyukai