Anda di halaman 1dari 4

Nama : Maya Auliya Agustin

NIM/Presensi : 155030101111001/18
Kelas : BIROKRASI/G
BIROKRASI DI ERA GLOBAL
Globalisasi membawa pengaruh yang kuat terhadap kondisi politik dan ekonomi di
seluruh dunia. Kondisi ini membuat setiap negara harus mempersiapkan din terhadap efek yang
ditimbulkannya sehjngga tidak berakibat negatif. Reformasi adalah salah satu contoh dampak
dari globalisasi. Reformasi yang terjadi di negara-negara berkembang lebih banyak terjadi
karena intervensi asing. Hal ini karena asumsi yang digunakan yang menganggap kegagalan
birokrasi untuk menciptakan kondisi ekonomi disebabkan faktor-faktor internal. Oleh karena
itu lembaga bantuan asing mensyaratkan adanya penyesuaian struktural yang mengarah pada
penciptaan good governance.

Ketertibatan institusi asing dalam jangka pendek bisa membantu tapi dalam jangka
panjang harus dievaluasi ulang. Hal ini dilakukan karena bantuan hutang yang diberikan
diemtal-embeli oleh adanya prasyarat lain berupa program penyesuaian struktural yang bersifat
politis. Bantuan dan donor asing memang sulit dihindari karena krisis ekonomi tapi proses
tersebut harus selektif dan syarat lunak serta secepatnya dilunasi.

Setiap negara harus rnemiliki agenda dalam melakukan reformasi. Informasi tentang
kondisi suatu negara yang paling mengetahui adalah negara itu sendiri. Oleh karena itu, analisis
kebutuhan untuk melakukan reformasi dapat dilakukan sehingga strategi reformasi yang dipilih
tepat serta tidak merugikan masyarakat/warga negara.

Meluasnya globalisasi kemudian menimbulkan dua respon intelektual yang berbeda. Di


satu sisi, pertumbuhan korporasi transnasional dan meluasnya kapitalisme global menyebabkan
peran negara dan administrasi (birokrasi) publik menjadi terbatas. Sejumlah pakar bahkan
mengisyaratkan ancaman globalisasi terhadap eksistensi sebuah negara (Ball, 1967; Naisbitt,
1994; Ohame, 1995), menandai berakhirnya era negara bangsa dan administrasi (birokrasi)
publik (Stever, 1988). Lebih jauh, globalisasi memperdalam tingkat ketergantungan negara
miskin terhadap negara maju, dan menyisakan problem tersendiri bagi tata kelola pemerintahan
(Kregel, 1998).

Globalisasi dan tatatan dunia baru memberikan implikasi bagi administrasi publik. Lepas
dari pertentangan intelektual di atas, diakui bahwa globalisme telah mengubah keberadaan
administrasi negara (birokrasi) di seluruh dunia. Struktur ekonomi global, dengan begitu
banyaknya perubahan suprastruktur dan kekuasaan suprateritorial, telah membawa implikasi
mendalam bagi birokrasi. Kekuasaan maupun kewenangan negara semakin tereduksi baik
dalam konteks kualitas maupun kuantitasnya. Di berbagai belahan dunia, karakter
negara mengalami perubahan secara masif. Meminjam istilahnya Milward (1994), kini
masyarakat hidup dalam era the hallow state dan terjadi pergesaran dari welfare administrative
state ke arah corporate state.

Pertama, perubahan mendasar konfigurasi dalam lingkup publik-privat dalam


mendukung globalisasi korporat. Peran utama pemerintah dan sektor publik dalam alokasi
sumber daya, distribusi kesejahteraan secara merata, stabilisasi ekonomi, dan pertumbuhan
ekonomi telah dikesampingkan oleh elit-elit korporat. Dengan runtuhnya Uni Soviet dan
meningkatnya globalisasi, juga krisis finansial negara, maka negara dengan administrasi
tradisionalnya mendapatkan serangan dari segala arah, khususnya dari elit-elit korporat yang
tidak lagi mengindahkan adanya welfare state. Hal ini menyebabkan lingkup publik dan ruang
bagi keterlibatan warga negara telah menyusut sebaga akibat dari globalisasi dan restrukturisasi
pemerintah (Rockman, 1997; Habermas, 1974; Offe, 1985).

Kedua, perubahan karakter dan aktivitas negara dan administrasi publik dari civil
administration kepada non-civil administration (Farazmand, 1997). Selama beberapa dekade,
sistem administrasi negara tradisional menjaga keseimbangan kepentingan elit-elit korporat
dengan kepentingan publik, sehingga menjaga stabilitas sosial dan politik bagi akumulasi
kapital dan sistem legitimasi. Namun kini, sistem tersebut telah tergantikan oleh adanya
corporate-coercive state, yang dicirikan oleh adanya birokrasi koersif yang mengancam tertib
sosial. Warga negara terancam oleh chaos pasar di bawah tekanan ekonomi dan sosial yang
diakibatkan oleh globalisasi dan marketisasi (Schneider, 1993; Farazmand, 1997a,b,c).

Ketiga, globalisasi mendorong privatisasi, membuka peluang terciptanya korupsi (Gould,


1991). Privatisasi juga mengancam kepercayaan warga negara akan kepemimpinan dan sistem
legitimasi. Privatisasi didasarkan pada rational choice theory yakni adanya individu yang
cenderung self-interested pada tataran komunitas dan masyarakat. Filosofi ini menempatkan
kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat atau komunitas (Bellah et al., 1991;
Triandis, 1995); inilah yang sesungguhnya sedang diupayakan oleh berbagai perusahaan
transnasional untuk membangun budaya konsumerisme global yang menyatukan budaya
nasional ke dalam sebuah budaya global (Schein, 1985). Globalisasi mendukung elitisme dan
memperkaya elit bisnis, politik, militer, dan manajer yang bekerja sebagai agen korporasi
transnasional.

Birokrasi di era global sudah seharusnya terus melakukan perubahan agar tidak
mengalami kemandekan dan kemunduran. Salah satu cara yang bisa
mempercepat proses perbaikan dalam birokrasi kita, maka bisa dilakukan dengan
mengidentifikasi serta memetakkan organisasi publik yang memiliki lingkungan organisasi
yang memiliki tingkat persaingan tinggi, sedang dan rendah (lingkungan stabil atau
monopoli). Namun demikian, realitanya belum banyak organisasi publik yang memiliki
persaingan tinggi menunjukkan perbaikan/perubahan yang signifikan.

Beberapa usaha yang dilakukan oleh pemerintah yang menunjukkan kinerja


perbaikan dapat kita rasakan pada organisasi publik dalam bidang pendidikan, namun di
bidang kesehatan kinerja perbaikan kurang terlihat berhasil. Demikian pula, pada
birokrasi yang memiliki tugas memberi perijinan usaha walaupun telah dilakukan
berbagai upaya, namun belum berhasil, Indonesia masih duduk dalam peringkat
bawah di Asean diatas Kamboja dan Myamar dalam hal lama dan item yang harus
diurus. Ironis memang, dalam era persaingan global setiap negara harus bersaing dengan
negara lain untuk mendapatkan investor, mendapatkan pasar bagi produk yang dihasilkan,
persaingan nilai tukar dan sebagainya, sementara pada kenyataannya pemerintah belum
berhasil mereformasi birokrasi.

Reformasi birokrasi masih menjadi pekerjaan rumah yang maha besar. Upaya yang
dilakukan selama ini belum menunjukan hasil yang baik. Salah satu sebab adalah belum
adanya grand design perubahan landscape birokrasi, program reformasi birokrasi baru
sekedar himbauan yang tidak jelas arahnya sehingga para pelaku melaksanakan
reformasi birokrasi menurut pemahamannya sendiri dan sekedar memenuhi harapan publik
atau sekedar merespon tekanan publik karena telah menjadi isu yang bergulir dalam wacana
politik.

Hal yang mendasar tidak berjalannya reformasi birokrasi adalah political will dari
penguasa yang masih belum memberi arah yang jelas bagaimana birokrasi akan
direformasi. Kelambatan birokrasi merespon perubahan dikarenakan cacat alami dari
konsekuensi diterapkannya model birokrasi Weberian. Birokrasi Weberian yang dicirikan
dengan adanya hierarki, spesialisasi, formalisasi dan impersonalitas menimbulkan
birokrasi tidak dapat luwes mengikuti perubahan lingkungan, bahkan cenderung
mempertahankan status quo dan mementingkan diri sendiri. Disamping itu
birokrasi mewarisi sifat birokrasi kolonial yang memang didesain untuk melayani
kepentingan penguasa (kolonial/penjajah), sehingga birokrasi yang seharusnya netral
telah terkooptasi oleh kepentingan politik.

Birokrasi lebih melayani penguasa daripada kepentingan rakyat/masyarakat. Masyarakat


yang paternalistik justru semakin memperkuat posisi birokrasi dihadapan masyarakat,
masyarakat menerima dengan senang hati setiap perlakuan yang tidak
seharusnya dari birokrasi. Bangunan birokrasi seperti ini menimbulkan para birokrat memiliki
orientasi kedalam (inersia struktural) yang nyata-nyata menghambat terjadinya
perubahan pada birokrasi.

Dua pendekatan yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalah birokrasi


tersebut dilakukan, pertama dengan pendekatan struktural yaitu dengan melakukan koreksi
model birokrasi Weberian dengan melakukan debirokratisasi, deregulasi dan privatisasi.
Kedua, dengan pendekatan keperilakuan yaitu dengan reorientasi nilainilai kepemimpinan
dalam birokrasi, kepemimpinan transaksional yang selama ini dominan dalam birokrasi perlu
direvisi menjadi kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Apapun pendekatan yang
dipilih perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk mengimplementasikannya.

Anda mungkin juga menyukai