2917 5956 1 SM
2917 5956 1 SM
A. Anatomi Fisiologi
Paru-paru terletak pada rongga torak, berbentuk kerucut dengan apeks berada di
atas tulang iga pertama dan dasarnya pada diafragma. Paru-paru kanan mempunyai tiga
lobus, sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Kelma lobus ini merupakan lobus
yang terlihat, setiap paru-paru dapat dibagi lagi menjadi sub-bagian menjadi sekitar
sepuluh unit terkecil yang disebut bronkopulmonari segmen. (Setiadi, 2010).
Proses respirasi dapat dibagi dalam tiga proses mekanis utama yaitu sebagai berikut :
a. Ventilasi pulmonal, yaitu keluar masuknya udara antara atmosfir dan alveoli paru-
paru.
b. Difusi oksigen dan karbon dioksida anatara alveoli dan darah.
c. Transportasi oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari
sel-sel. (Setiadi, 2010).
Proses fisiologi respirasi yang memindahkan oksigen dari udara ke dalam jaringan
dan karbon dioksida yang dikeluarkan ke udara dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu
sebagai berikut:
1. Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru-paru ( respirasi eksterna ) serta anatara
darah sistemik dan sel-sel jaringan.
2. Distribusi darah dalam sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannya dengan distribusi udara
dalam alveolus-alveolus.
3. Reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbon dioksida dengan darah (Setiadi, 2010).
B. Definisi
TBC paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru – paru dan
disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (somantri, 2009). Sementara itu, Junaidi
(2010) menyebutkan tuberculosis (TB) sebagai suatu infeksi akibat Mycobacterium
tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru – paru dengan gejala
yang sangat bervariasi (Muhammad Ardiansyah, 2012).
C. Etiologi
Setelah organisme terinhalasi, dan masuk paru-paru bakteri dapat bertahan hidup
dan menyebar ke nodus limfatikus local. Penyebaran melalui aliran darah ini dapat
menyebabkan TB pada orang lain, dimana infeksi laten dapat bertahan sampai bertahun –
tahun. (Amin Huda, 2015)
D. Klasifikasi
1. Tuberkulosis primer
Adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum mempunyai reaksi
spesifik terhadap TB. Bila bakteri Tb terhirup dari udara melalui saluran pernapasan
dan mencapai alveoli atau bagian terminal saluran pernapasan, maka bakteri akan
ditangkap dan dihancurkan oleh makrofag yang berada di alveoli. Jika ada proses
ini, bakteri ditangkap oleh makrofag yang lemah, maka bakteri akan berkembang
biak dalam tubuh makrofag yang lemah itu dan menghancurkan makrofag. Dari
proses ini, dihasilkan bahan kemotaksik yang menarik monosit (makrofag) dari
aliran darah membentuk tuberkel. Sebelum menghancurkan bakteri, makrofag harus
diaktifkan terlebih dahulu oleh limfokin yang dihasilkan limfosit T. ( Arif Muttaqin,
2014)
Tidak semua makrofag pada granula TB mempunyai fungsi yang sama. Ada
makrofag yang berfungsi sebagai pembunuh, pencerna bakteri, dan perangsang
limfosit. Beberapa makrofag menghasilkan protease, elastase, kolagenase, serta
colony stimulating factor untuk merangsang produksi monosit dan granulosit pada
sumsum tulang. Bakteri TB menyebar melalui saluran pernapasan ke kelenjar getah
bening regional (hilus) membentuk epiteloid granuloma. Granuloma mengalami
nekrosis sentral sebagai akibat timbulnya hipersensitifitas seluler (delayed
hipersensivity) terhadap bakteri TB. Hal ini terjadi sekitar 2-4 minggu dan akan
terlihat pada tes tuberkulin. Hipersensivitas seluler terlihat sebagai akumulasi lokal
dari limfosit dan makrofag. ( Arif Muttaqin, 2014)
Bakteri TB yang berada di alveoli akan membentuk fokus lokal (fokus Ghon),
sedangkan fokus inisial bersama-sama dengan limfadenopati bertempat di hilus
(kompleks primer Ranks) dan disebut juga TB primer. Fokus primer paru biasanya
bersifat unilateral dengan subpleura terletak di atas atau dibawah fisura interlobaris,
atau dibagian basal dari lobus inferior. Bakteri menyebar lebih lanjut melalui saluran
limfe atau aliran darah dan akan tersangkut pada berbagai organ . jadi, TB primer
merupakan infeksi yang bersifat sistemis. (Arif Muttaqin, 2014)
2. Tuberkulosis sekunder
Setelah terjadi resolusi dari infeksi primer, sejumlah kecil bakteri TB masih
hidup dalam keadaan dorman di jaringan parut. Sebanyak 90% di antaranya
mengalami kekambuhan. Reaktifivasi penyakit TB (TB pascaprimer / TB sekunder)
terjadi bila daya tahan tubuh menurun, alkoholisme, keganasan, silikosis, diabetes
melitus, dan AIDS. (Arif Muttaqin, 2014)
Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe regional dan
organ lainnya jarang terkena, lesi lebih terbatas dan terlokalisasi. Reaksi imunologis
terjadi dengan adanya pembentukan granuloma, mirip dengan yang terjadi pada TB
primer. Tetapi, nekrosis jaringan lebih menyolok dan menghasilkan lesi kaseosa
(perkijauan) yang luas dan disebut tuberkuloma. Protease yang dikeluarkan oleh
makrofag aktif akan menyebabkan pelunakan bahan kaseosa. Secara umum, dapat
dikatakan bahwa terbentuknya kavitas dan manifestasi lainnya dari TB sekunder
adalah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal sebagai hipersensivitas seluler
(delayed hipersensivity). (Arif Muttaqin, 2014)
TB paru pasca primer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari sumber
eksogen, terutama pada usia tua dengan riwayat semasa muda pernah terinfeksi
bakteri TB. Biasanya, hal ini terjadi pada daerah apikal atau segmen posterior lobus
superior (fokus simon), 10-20 mm dari pleura, dan segmen apikal lobus inferior, hal
ini mungkin disebabkan oleh kadar oksigen yang tinggi didaerah ini sehingga
menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri TB. ( Arif Muttaqin, 2014)
Lesi sekunder berkaitan dengan kerusakan paru, kerusakan paru diakibatkan
oleh produksi sitokin, (tumor necroting factor) yang berlebihan, kavitas yang terjadi
diliputi oleh jaringan fibrotik yang tebal yang berisi pembulu darah pulmonal.
Kavitas yang kronis diliputi oleh jaringan fibrotik yang tebal. Masalah lainnya pada
kavitas yang kronis adalah kolonisasi jamur seperti aspergillus yang menumbuhkan
mycetoma ( Arif Muttaqin, 2014)
E. Patofisiologi
Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak
sengaja keluarlah droplet muklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. akibat
terkena sinar matahari atau suhu udara yang panas, droplet nuclei tadi menguap.
Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat
bakteri tuberklosis yang terkandung dalam droplet nuclei terbang ke udara. Apabila
bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri
tuberculosis. Penularan bakteri lewat udara disebut dengan istilah air-borne infection.
Bakteri yang terisap akan melewati pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan masuk
hingga alveoli. Pada titik lokasi dimana terjadi implantasi bakteri, bakteri akan
menggandakan diri (multiplying). Bakteri tuberculosis dan focus ini disebut focus primer
atau lesi primer atau focus Ghon. Reaksi juga terjadi pada jaringan limfe regional, yang
bersama dengan focus primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam waktu 3-6
minggu, inang yang baru terkena infeksi akan menjadi sensitive terhadap protein yang
dibuat bakteri tuberculosis dan bereaksi positif terhadap tes tuberkolin atau tes Mantoux.
(Arif Muttaqin, 2014)
1. Percabangan bronkus
Penyebaran infeksi lewat percabangan bronchus dapat mengenai area paru atau
melalui sputum menyebar ke laring (menyebabkan ulserasi laring), maupun ke saluran
pencernaan.
2. System saluran limfe
Penyebaran lewat saluran limfe meyebabkan adanya regional limfadenopati
atau akhirnya secara tak langsung mengakibatkan penyebaran lewat darah melalui
duktus limfatikus dan menimbulkan tuberculosis milier.
3. Aliran darah
Aliran vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa atau
mengangkut material yang mengandung bakteri tuberculosis dan bakteri ini dapat
mencapai berbagai organ melalui aliran darah, yaitu tulang, ginjal, kelenjar adrenal,
otak dan meningen.
4. Reaktivasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)
Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak berkembang
lebih jauh dan bakteri tuberculosis tak dapat berkembang biak lebih lanjut dan menjadi
dorman atau tidur. Ketika suatu saat nanti kondisi inang melemah akibat sakit
lama/keras atau memakan obat yang melemahkan daya tahan tubuh terlalu lama. Maka
bakteri tuberculosis yang doman dapat aktif kembali. Inilah yang disebut reaktivasi
infeksi primer atau infeksi pasca primer. Infeksi ini dapat terjadi bertahun-tahun
setelah infeksi primer terjadi. Selain itu, infeksi pasca-primer juga dapat diakibatkan
oleh bakteri tuberculosis yang baru masuk ke tubuh (infeksi paru), bukan bakteri
dorman yang aktif kembali. Biasanya organ paru tempat timbulnya infeksi pasca-
primer terutama berada di daerah apeks paru. (Arif Muttaqin, 2014)
Sistem kekebalan tubuh berespons dengan melalukan reaksi inflamasi.
Neutrofil dan makrofag memfagositosis (menelan) bakteri. Limfosit yang spesifik
terhadap tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal, reaksi
jaringan ini mengakibatkan terakumulsinya eksudat dalam alveoli dan terjadilah
bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah
terpapar. (Irman Somantri, 2009)
Masa jaringan baru disebut granuloma, yang berisi gumpalan basil yang hidup
dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding. Granuloma
berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut
disebut Ghon Tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi
nekrotik, membentuk perkijauan (necrotizing caseosa). Setelah itu akan terbentuk
klasifikasi, membentuk jaringan kolagen, bakteri menjadi non-aktif. (Irman Somantri,
2009)
F. PATHWAY
G. Manifestasi Klinis
1. Demam 40-41°C, serta ada batuk / batuk darah
2. Sesak napas dan nyeri dada
3. Malaise, keringat malam
4. Suara khas pada perkusi dada. Bunyi dada
5. Peningkatan sel darah putih dengan demonasi limfosit. (Amin Huda 2015)
Gejala umum berupa demam dan malaise. Demam timbul pada petang dan
malam hari disertai dengan berkeringat. Demam ini mirip dengan demam yang
disebabkan oleh influenza namun kadang-kadang dapat mencapai suhu 40°c-41°c,
gejala demam ini bersifat hilang timbul. Malaise yang terjadi dalam jangka waktu
panjang berupa pegal-pegal, rasa lelah, anoreksia, nafsu makan berkurang,serta
penurunan berat badan.
Gejala respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif merupakan
gejala yang paling sering terjadi dan merupakan indicator yang sensitive untuk
penyakit TB paru aktif. Batuk ini sering bersifat persisten karna pengembangan
penyakitnya lambat. nyeri dada biasanya bersifat nyeri pleuritik karan terlibatnya
pleura dalam proses penyakit (Darmanto, 2009).
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut mansjoer, dkk (1999) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada klien
dengan tubercolosis paru, yaitu :
I. Penatalaksanaan
J. Komplikasi
1. Komplikasi Dini
a. Pleuritis
Radang selaput dada terjadi akibat kedua lapisan pleura mengalami
peradangan akibat adanya infeksi yang terjadi di paru menyebar ke
daerah pleura.
b. Efusi pleura
Bertambahnya permeabilitas dinding kapiler pembuluh darah meningkat
sehingga cairan dan protein yang melewati dinding itu meningkat maka
terbentuklah efusi pleura.
c. Empiema
Keadaan terkumpulnya nanah atau pus didalam rongga pleura yang
didapat dari infeksi yang berasal dari paru.
d. Laryngitis
Penyebaran infeksi lewat percabangan bronchus dapat mengenai area
paru atau melalui sputum menyebar ke laring dan menyebabkan ulserasi
laring,
e. Tb usus
Penyakit tb usus diperkirakan disebabkan oleh serangan kuman Tbc.
Kuman ini bisa berasal dari penyakit Tbc yang aktif di paru-paru dan di
bawa oleh aliran darah yang mengandung kuman Tbc lalu masuk ke
dalam lambung hingga usus
2. Komplikasi Lanjut
a. Obstruksi jalan napas.
Secret yang berlebih di dalam paru dapat menyebabkan penyebitan jalan
napas
b. Kor pulmonale
Kondisi dimana paru menyebabkan kegagalan jantung. Ventrikel kanan
memompa darah ke paru dimana terjadi oksigenasi dan kembali ke
jantung sisi kiri. Namun apabila terjadi maslah dalam oksigenasi maka
jumlah pembuluh darah berkurang. Vetrikel kanan tidak lagi dapat
mendorong darah masuk ke dalam paru secara efektif dan beban yang
teralau berat sehingga menyebabkan kegagalan.
c. Karsinoma paru
Peradangan paru dan fibrosis yang dapat memicu kerusakan
genetic.melalui proses peradangan di paru yang mendorong
pengembangan kanker paru.
(Muhammad Ardianyah, 2012)
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
A. Pengkajian
1) Data Subjektif
Keluhan utama
Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan
dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
1. Keluhan respiratorik, meliputi :
a. Batuk
Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang
paling sering dikeluhkan. Perawat harus menanyakan apakah keluhan batuk
bersifat nonproduktif/produktif atau sputum bercampur darah. (Arif Muttaqin,
2014)
b. Batuk darah
Keluhan batuk darah pada klien dengan TB paru selalu menjadi alas an
utama klien menimnta pertoongan kesehatan. Hal ini disebabkan rasa takut
klien pada darah yang keluar dari jalan napas. Perawat harus menanyakan
seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa blood streag, berupa
garis, atau bercak-bercak darah. (Arif Muttaqin, 2014)
c. Sesak napas
Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau
karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks,
anemia, dll. (Arif Muttaqin, 2014)
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pluritik ringan. Gejala ini
timbul apabila system persyarafan di pleura terkena TB. (Arif Muttaqin, 2014)
2. Keluhan sistemis, meliputi :
a. Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau
malam hari mirip demam influenza, hilang timbul, dan semakin lama semakin
panjang serangannya, sedangkan massa bebas serangan semakin pendek. (Arif
Muttaqin, 2014)
b. Keluhan sistemis lain
Keluhan yang biasa timbul ialah keringet malam, anoreksia, penurunan
berat badan, dan malaise. Timbulnya keluhan biasanya bersifat gradual muncul
dalam beberapa minggu-bulan. Akan tetapi penampilan akut dengan batuk,
panas, dan sesak napas-walaupun jarang-dapat juga timbul menyerupai gejala
pneumonia (Arif Muttaqin, 2014).
2) Data Obyektif
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemeriksaan fisik
umum per system dari observasi ke adaan umum, pemeriksaan tanda – tanda vital, B1
(breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel) dan B6 (Bone) serta
pemeriksaan yang focus pada B2 dengan pemeriksaan meyeluruh system pernapasan.
(Arif Muttaqin, 2014)
a. Keadaan umum dan tanda – tanda vital
Hasil pemeriksaan tanda – tanda vital pada klien dengan Tb paru biasanya
didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat
apabila diserati sesak napas, denyut nadi baiasanya meningkat seirama dengan
peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya
sesuai dengan adanya penyakit penyulit seperti hipertensi (Arif Muttaqin, 2014).
b. B1 (breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan
focus yang terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi.
1) Inspeksi
Batuk dada dan gerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB paru
biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter
bentu dada anterior – posterior di bandingkan proporsi diameter lateral, apabila
ada penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat
adanya ketidaksimetrisan rongga dada, pelebaran intercostals space (ICS) pada
sisi yang sakit, TB paru yang disertai atelektasis paru membuat bentuk dada
menjadi tidak simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan
intercostal space (ICS) pada sisi yang sakit. . (Arif Muttaqin, 2014)
2) Palpasi
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakan
tangannya di dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang di bangkitkan oleh
penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat
dinding dada dalam gerakan resonan, terutama pada bunyi konsonan. Kapasitas
untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut taktil fremitus. Adanya
komplikasi efusi pleura masif , sehingga hantaran suara menurun karena tranmisi
getaran suara harus melewati cairan yang berakumulasi di rongga pleura. . (Arif
Muttaqin, 2014)
3) Perkusi
Pada klien dengan TB minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan bunyi
resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang
disertai komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak
pada sisi yang sakit sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura, apabila
disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi hipersonan terurama jika
pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke sisi yang sehat. . (Arif
Muttaqin, 2014)
4) Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi
yang sakit. penting bagi perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil
auskultasi di daerah mana didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar
melalui stetoscop ketika klien berbicara disebut sebagai resonan vocal. Klien
dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura dan dan
pneomothoraks akan didapatkan penurunan rosonan vokalpada sisi yang sakit.
(Arif Muttaqin, 2014)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektih bersihan jalan napas b.d penumpukan secret yang berlebih
2. Gangungan pertukaran gas b.d alveolis mengalami konsolidasi dan eksudasi
3. Hipertemia b.d reaksi inflamasi
4. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakadekuatan intake
nutrisi,
5. Resiko infeksi b.d droplet infection. (Amin Huda 2015)
C. Rencana Keperawatan
1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
Tujuan : setelah melakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jm diharapkan
pasien mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat menghambat
jalan nafas.
Kriteria hasil :
a. Mendemostrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih.
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten.
c. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan
nafas.
Intervensi :
1) Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah subctioning.
2) Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
3) Memberikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi subction
nasotrakeal.
4) Gunakan alat yang steril setiapmelakukan tindakan.
5) Monitor status oksigen pasien.
6) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
7) Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan.
8) Monitor respirasi dan status O2.
Intervensi:
3. Hipertermi
Tujuan : : Setelah melakukan tindakan keperawatan selama x24 jam diharapkan suhu
tubuh pasien rentan normal.
Kriteria Hasil:
a. Suhu tubuh dalam rentan normal
b. Nadi dan RR dalam rentan normal.
c. Tidak ada perubahan warna kulit.
Intervensi:
A. DEFINISI
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu penyakit renal tahap akhir. CKD
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit yang
menyebabkan uremia atau retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah (Smeltzer dan
Bare, 2001).
Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut
secara bertahap (Doenges, 1999; 626). Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir
(ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner
& Suddarth, 2001; 1448). Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang
progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812).
B. ETIOLOGI
Dibawah ini ada beberapa penyebab CKD menurut Price dan Wilson (2006)
diantaranya adalah tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensif,
gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati
toksik, nefropati obsruktif. Beberapa contoh dari golongan penyakit tersebut adalah :
1. Penyakit infeksi tubulointerstinal seperti pielo nefritis kronik dan refluks nefropati.
2. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskular seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, dan
stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan ikat seperti Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, dan
seklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan asidosis
tubulus ginjal.
6. Penyakit metabolik seperti diabetes militus, gout, dan hiperparatiroidisme, serta
amiloidosis.
7. Nefropati toksik seperti penyalah gunaan analgetik, dan nefropati timah.
8. Nefropati obstruktif seperti traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah yang terdiri dari
hipertropi prostat, setriktur uretra, anomali congenital leher vesika urinaria dan uretra.
Sedangkan penyebab PGK menurut National Kidney Foundation / NKF (2010) adalah
1. Diabetes militus dan Hipertensi
Dua penyebab utama penyakit ginjal kronis diabetes dan tekanan darah tinggi. Diabetes
militus terjadi ketika gula darah terlalu tinggi, menyebabkan kerusakan pada banyak
organ dan otot dalam tubuh, termasuk ginjal dan jantung, serta pembuluh darah, saraf,
dan mata. Tekanan darah tinggi atau hipertensi, terjadi ketika tekanan darah meningkat
pada dinding pembuluh darah. Jika tidak dikontrol dengan baik, tekanan darah tinggi bisa
menjadi penyebab serangan jantung, stroke dan PGK.
2. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis menyebabkan peradangan dan kerusakan unit penyaringan ginjal,
merupakan penyebab ketiga yang paling sering terjadi pada penyakit ginjal kronis.
3. Polikistik Ginjal
Polikistik ginjal merupakan penyakit ginjal bawaan sejak lahir. Keadaan ini
mengakibatkan kista pada ginjal yang akan merusak jaringan disekitarnya.
4. Lupus.
Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu
ketika penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia.
5. Adanya sumbatan karena tumor, batu ginjal atau sumbatan karena ada pembesaran
kelenjar prostat pada pria
C. KLASIFIKASI
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
1. Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal
dan penderita asimptomatik.
2. Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood
Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
3. Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
Menurut Suwitra (2006) dan Kydney Organizazion (2007) tahapan CKD dapat ditunjukan
dari laju filtrasi glomerulus (LFG), adalah sebagai berikut :
1. Tahap I adalah kerusakan ginjal dengan LFG normal atatu meningkat > 90
ml/menit/1,73 m2.
2. Tahap II adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan yaitu 60- 89
ml/menit/1,73 m2.
3. Tahap III adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang yaitu 30-59
ml/menit/1,73 m2.
4. Tahap IV adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat yaitu 15- 29
ml/menit/1,73 m2.
5. Tahap V adalah gagal ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test )
dapat digunakan dengan rumus:
D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik menurut Long (1996) antara lain:
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas
baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak
ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat
retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin - angiotensin – aldosteron), gagal
jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat
iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan
cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi).
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effuse perikardiac dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
b. Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam
usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau
ammonia
d. Gangguan musculoskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan), burning feet
syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati (
kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas.
e. Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan
urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan
aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi,
asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. System hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan
eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup
eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan
trombositopeni.
E. Patofisiologi
Gangguan pada ginjal
Kerusakan parenkim, kerusakan nefron
Ketidakseimbangan antara
kebutuhan tubuh dengan
intake
H. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra
(2006) antara lain adalah :
1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin angiotensin
aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
I. PENATALAKSANAAN
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi
toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan
keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis
mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-
hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang
adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006 dalam Alamang 2012).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia,
dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang
belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin
> 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia,
muntah, dan astenia berat.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang
kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre
kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi
sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di
pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-
anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, pasienpasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan
stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu
keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri),
dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
b. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi