Anda di halaman 1dari 11

DAMPAK DESENTRALISASI KEWENANGAN TERHADAP

PELAKSANAAN TUGAS PEGAWAI KANTOR KELURAHAN ANSUS


KECAMATAN YAPEN BARAT KABUPATEN KEPULAUAN YAPEN

A. Pendahuluan
Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan
kesempatan dan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi
Daerah. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945
(Amandemen 4), yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.1
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban
yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan
terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.2 Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.3
Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi
akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan
adanya desentralisasi sekarang ini menyebabkan perubahan paradigma
pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi di bidang pemerintahan adalah
pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada satuan organisasi
pemerintahan di daerah untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat
dari sekelompok penduduk yang mendiami daerah tersebut. Dengan demikian,
prakarsa, wewenang, dan tanggung jawab mengenai urusan yang diserahkan pusat
1
Deddy Supriadi Bratakusumah dan Dadang Solihin, 2003, Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 1.
2
Peni Chalid, 2005, Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik, Cetakan
Pertama, Kemitraan, Jakarta, hlm. 78.
3
Ibid.

1
2

menjadi tanggung jawab daerah, baik mengenai politik pelaksanaannya,


perencanaan, pelaksanaan maupun segi pembiayaannya. Perangkat pelaksananya
adalah perangkat daerah itu sendiri.4
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah memposisikan daerah dan
masyarakat menjadi pelaku mewujudkan kesejahteraan sosial dengan
melaksanakan kebijakan publik melalui pelayanan prima, penegakan aturan
hukum dan pemberdayaan masyarakat. Pelayanan publik harus terjangkau, tepat
kebutuhan dan sasaran serta berlangsung efisien–efektif (cepat), karena
masyarakat menghendaki pelayanan yang mudah, murah, cepat dan baik. Artinya
pelayanan publik harus dilakukan dengan terencana, terukur sasaran dan hasilnya,
dilakukan oleh aparatur yang kompeten melalui cara, prosedur dan aturan hukum
yang tegas, dan pasti5
Sehubungan dengan pelaksanaan desentralisasi kewenangan pada era
otonomi daerah, maka Peneliti tertarik untuk mengamati dampak desentralisasi
kewenangan terhadap pelaksanaan tugas pada pegawai kantor Kelurahan Ansus
Kecamatan Yapen Barat, khususnya mengenai pengaruh desentralisasi
kewenangan terhadap pekerjaan pegawai serta hambatan dan manfaat
desentralisasi kewenangan bagi pegawai. Hasil pengamatan dituliskan dalam
makalah ini.

B. Pembahasan
1. Pengaruh Desentralisasi Kewenangan terhadap Pekerjaan Pegawai
Kelurahan Ansus Kecamatan Yapen Barat
Pasal 229 UU No. 23 Th. 2014 tentang Pemerintahan Daerah menentukan
bahwa Kelurahan dibentuk dengan Perda Kabupaten/Kota berpedoman pada
peraturan pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh seorang kepala kelurahan yang
disebut lurah selaku perangkat Kecamatan dan bertanggung jawab kepada camat.
Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS). Kelurahan merupakan unit pemerintahan terkecil setingkat
dengan desa. Namun berbeda dengan desa, kelurahan memiliki hak mengatur
4
E. Marshall Dimock, 2009, Administrasi Negara, Erlangga, Jakarta, hlm. 231.
5
Syaukani H.R., 2003, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hlm. 254.
3

wilayahnya yang lebih terbatas. Dalam perkembangannya, sebuah desa yang


memiliki kewenangan lebih luas dapat saja diubah statusnya menjadi kelurahan.6
Tugas Lurah adalah membantu camat dalam:
a. melaksanakan kegiatan pemerintahan kelurahan;
b. melakukan pemberdayaan masyarakat;
c. melaksanakan pelayanan masyarakat;
d. memelihara ketenteraman dan ketertiban umum;
e. memelihara prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
f. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh camat; dan
g. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.7
Sebelum membicarakan mengenai pengaruh desentralisasi kewenangan
terhadap pekerjaan pegawai Kelurahan Ansus Kecamatan Yapen Barat perlu
diketahui terlebih dahulu, bahwa pasca berlakunya UU No. 23 Th. 2014 yang
menggantikan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ada beberapa
perubahan positioning kelurahan dalam UU Pemda yang baru.
Pada masa berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32
Tahun 2004 dulu, camat sudah tidak lagi menjadi kepala wilayah, melainkan
sebagai perangkat daerah/SKPD. Hal ini diatur dalam Pasal 120 ayat (2) UU
Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa perangkat daerah kabupaten/kota
terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis
daerah, kecamatan, dan kelurahan. Jadi, secara hukum posisi camat sejajar dengan
posisi para kepala dinas daerah dan lurah. Positioning semacam itu membuat
camat dan lurah memiliki wewenang penuh dan otonom dalam penyelenggaraan
pengambilan keputusan politik di wilayahnya. Akan tetapi dalam Pasal 208 ayat
(1) UU No. 23 Tahun 2014 ditentukan bahwa kepala daerah dan DPRD dalam
menyelenggarakan urusan Pemerintahan dibantu oleh Perangkat Daerah.
Selanjutnya menurut Pasal 209 ayat (2) disebutkan bahwa Perangkat Daerah
Kabupaten/Kota terdiri atas: a) Sekretariat Daerah, b) Sekretariat DPRD,
6
Nofrison Gunena, “Peran Lurah Dalam Pembangunan Infrastruktur Di Kelurahan
Kolongan Mitung Kecamatan Tahuna Barat Kabupaten Sangihe”, e-jurnal, diakses dari
http://ejournal.unsrat.ac.id/ pada tanggal 1 Mei 2016, pp. 1-10.
7
Pasal 229 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
4

c) Inspektorat, d) Dinas, e) Badan, dan f) Kecamatan, sedangkan kelurahan tidak


termasuk di dalamnya. Artinya kelurahan bukan lagi bagian dari perangkat daerah.
Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan ketentuan di dua UU Pemda
sebelumnya yang secara tegas menyebut kelurahan sebagai perangkat daerah.
Akibatnya pendelegasian wewenang secara administratif maupun politik dari
kabupaten/kota kepada kelurahan pun berubah. Perubahannya adalah:
No Sebelumnya Sekarang
(Era UU No. 32 Th. 2004) (Era UU No. 23 Th. 2014)
1 Kelurahan sebagai perangkat daerah Kelurahan bukan sebagai Perangkat
bersama sekretariat daerah, sekretariat Daerah (Pasal 209 ayat (2) UU No 23
DPRD, dinas daerah, lembaga teknis Tahun 2014)
daerah, kecamatan. (Pasal 120 ayat
(2) UU No. 32 Tahun 2004)
2 Kewenangan lurah meliputi: Kewenangan lurah hanya sampai
1) Pelaksana desentralisasi politik tingkat Kecamatan yang harus
(devolusi – pendelegasian melaksanakan Urusan Pemerintahan
kewenangan); 2) Melaksanakan yang menjadi kewenangan Daerah
urusan pemerintahan yang dan tugas perbantuan (Pasal 209 (3)
dilimpahkan oleh bupati/walikota UU No. 23 Th. 2014)
(Pasal 2 Permendagri No. 36 Th. 2007
tentang Pelimpahan Urusan
Pemerintahan Kabupaten/Kota
kepada Lurah)
3 Memiliki otonomi untuk menyusun Tidak memiliki otonomi menyusun
Rencana dan Strategi (Renstra) Renstra sendiri. Renstra yang dibuat
sendiri sesuai kebutuhan masyarakat merupakan bagian dari Renstra
Kecamatan
4 Memiliki otonomi untuk Tergantung pada ketersediaan dana
menganggarkan sendiri sesuai dan Renstra yang dimiliki Kecamatan
kebutuhan dan Renstra
5 Kewenangan diberikan oleh Terbatas pada melaksanakan tugas
bupati/wali kota sesuai kebutuhan yang diberikan oleh camat
lurah, baik urusan wajib maupun
pilihan

Berdasarkan tabel di atas, diketahui terjadi penyusutan kewenangan kelu-


rahan sejak berlakunya UU No. 23 Th. 2014, antara lain Kelurahan tidak
berwenang lagi menyusun Renstra dan kewenangan Lurah hanya melaksanakan
tugas dari Camat. Semua ini merupakan peraturan baru yang harus ditaati.
Untuk memperjelas topik tulisan ini, maka dilakukan wawancara dengan
lurah dan pegawai Kelurahan Ansus. Ketika ditanyakan dampak desentralisasi
kewenangan terhadap pelaksanaan tugas pegawai kelurahan, diberikan jawaban
5

oleh lurah Kelurahan Ansus sebagai berikut.


“Sejak adanya desentralisasi kewenangan dengan diberlakukannya UU No.
22 Th. 1999, maka pegawai kelurahan mempunyai tugas yang lebih
banyak, karena sering mendapat tugas-tugas khusus dari Bupati. Misalnya
melaksanakan program penanggulangan kemiskinan dalam program PJM
Pronangkis (Perencanaan jangka Menengah Program Penanggulangan
Kemiskinan).
PJM Pronangkis adalah perencanaan partisipatif warga untuk
mengembangkan program penanggulangan kemiskinan, baik jangka
pendek selama satu tahun maupun jangka menengah selama 3 tahun.
Program dikembangkan berdasarkan kepada visi (cita-cita) warga
mengenai masa depan kelurahan/desa di masa yang akan datang sesuai
dengan potensi yang ada serta memecahkan permasalahan yang sudah
dikaji dalam Siklus Pemetaan Swadaya.”8

Ketika Penulis menanyakan apakah penambahan volume pekerjaan itu


masih berlangsung sampai sekarang ini, karena sejak diberlakukannya UU No. 23
Th. 2014 terjadi penyusutan kewenangan di kelurahan. Berikut jawabannya.
“Ya memang betul itu. Sejak adanya penyusutan kewenangan melalui UU
No. 23 Th. 2014, hal ini mengurangi volume pekerjaan para pegawai
kelurahan, terutama dalam hal pembuatan Renstra dan program-program
dari Bupati. Karena sejak berlakunya UU No. 23 Th. 2014 kelurahan tidak
berwenang lagi membuat Renstra dan melaksanakan program-program
dari Bupati. Kita hanya melaksanakan Renstra yang telah dibuat
kecamatan. Otomatis, hal itu membuat pekerjaan jauh berkurang.
Akan tetapi hal itu bukan membuat kita senang, sebaliknya membuat kita
prihatin karena kalau kita hanya tergantung pada Renstra yang dibuat
Kecamatan, maka belum tentu sesuai dengan kondisi aktual di kelurahan
kita. Bagi saya pribadi, saya lebih senang ketika kelurahan ditetapkan
memiliki kewenangan membentuk Renstranya sendiri karena itu berarti
kita bisa menuangkan rencana pembangunan kelurahan sesuai dengan
situasi dan kondisi aktual di kelurahan kita sendiri.”9

Dari hasil wawancara dengan Lurah Kelurahan Ansus di atas, dapat


diketahui bahwa dengan adanya desentralisasi kewenangan menurut UU No. 22
Th. 1999 dan UU No. 32 Th. 2004, pekerjaan lurah dan pegawai kelurahan
meningkat. Akan tetapi dengan diberlakukannya pengurangan wewenang melalui
UU No. 23 Th. 2014, maka volume pekerjaan di kelurahan menurun karena tidak
lagi mempunyai kewenangan membuat renstra dan melaksanakan program-
program yang ditetapkan bupati.
8
Hasil wawancara dengan Bapak A Lurah Kelurahan Ansus pada tanggal 28 April 2016.
9
Hasil wawancara dengan Bapak A Lurah Kelurahan Ansus pada tanggal 28 April 2016.
6

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hal tersebut, Penulis melakukan


wawancara dengan pegawai Kelurahan Ansus. Hasil wawancaranya adalah
sebagai berikut.
“Memang betul apa yang dikatakan Pak Lurah, waktu awal-awal
berlakunya desentralisasi kewenangan menurut UU No. 22 Th. 2999, kita
betul-betul bekerja keras. Membuat renstra, melaksanakan program bupati,
misalnya PJM Pronangkis. Untuk membuat renstra kita tidak hanya harus
menulis saja, tetapi harus turun ke lapangan untuk mengetahui keadaan
aktual di lapangan. Baru setelah itu kita tuangkan dalam bentuk rencana
strategis untuk menanggulangi hal-hal yang masih kurang atau
meningkatkan hal-hal yang sudah baik. Demikian juga waktu membuat
PJM Pronangkis, kita betul-betul bekerja siang malam untuk
melaksanakannya.
Wah….waktu itu kita seperti tidak kenal istirahat. Pokoknya kita baru
berhenti setelah selesai bikin laporan program. Tapi sekarang ini, kita tidak
diberi kewenangan lagi membuat renstra dan program-program yang
ditugaskan Pak Bupati. Jadi beban kerja kita sudah tidak seperti dulu lagi.
Sekarang kita hanya melaksanakan pekerjaan dari Pak Camat aja dan
program-program lain yang kita tetapkan sendiri.”10

Dari jawaban pegawai kelurahan di atas, diketahui bahwa sejak diberlaku-


kannya UU No. 23 Th. 2014 volume pekerjaan di kelurahan jauh berkurang.
Menurut pengamatan Penulis sendiri pada waktu berada di Kantor Kelurahan
Ansus, lurah dan para staf melaksanakan pekerjaan pelayanan kepada masyarakat
dengan baik. Mereka melayani beberapa warga yang datang mengajukan
permohonan surat pengantar untuk berbagai keperluan, seperti membuat KTP,
KK, Akte Kelahiran, dan ada juga yang meminta pengesahan dokumen saja.

2. Hambatan dan Manfaat Desentralisasi Kewenangan bagi Pegawai


Kelurahan Ansus Kecamatan Yapen Barat
Untuk mengetahui hambatan yang dialami lurah Ansus dan para stafnya
dalam melaksanakan desentralisasi kewenangan, dilakukan wawancara dengan
lurah dan pegawai Kelurahan. Jawaban Lurah Ansus adalah sebagai berikut.
“Hambatan dalam melaksanakan desentralisasi kewenangan antara lain:
a. Kelurahan selama ini terbiasa menjalankan kewenangan yang bersifat
formal (atributif), yakni kewenangan-kewenangan yang melekat pada
saat pembentukannya. Akibatnya, pola kerja kelurahan sangat kaku,
10
Hasil wawancara dengan Bapak B, pegawai Kelurahan Ansus pada tanggal 28 April
2016.
7

mekanis dan cenderung kurang dinamis. Oleh karena itu, ketika


kelurahan diberi kepercayaan menjalankan kewenangan tambahan
yang bersifat delegatif, maka perlu dikaji secara mendalam
kewenangan apa saja yang layak untuk diemban oleh kelurahan. Sebab,
pelimpahan kewenangan yang asal-asalan justru akan berdampak pada
ketidakmampuan kelurahan melaksanakan kewenangan tersebut, serta
terjadinya penurunan mutu pelayanan umum.
b. Kondisi SDM kelurahan dapat dikatakan kurang mendukung untuk
menjalani kebijakan pelimpahan kewenangan dari pemerintahan
atasnya kepada kelurahan. Kondisi SDM yang saya maksud adalah dari
segi jumlah dan kualitas SDM yang minim. Pegawai di kelurahan kita
ini hanya ada delapan orang, sembilan orang dengan saya. Dengan
jumlah sesedikit itu, kalau kita diberi tugas yang berat, maka kita agak
kewalahan. Untuk menyelesaikan pekerjaan yang masih belum selesai,
biasanya terpaksa para pegawai dan saya lembur untuk itu. Di lain
pihak, masalah kualitas SDM juga dalam hal tingkat pendidikan
pegawai yang rata-rata masih tamatan SMA, sedangkan yang sarjana
S1 hanya ada 2 orang, yaitu saya dan yang satu lagi adalah Sekretaris
Kelurahan. Dengan kondisi lebih banyak pegawai yang tamatan SMA,
kemampuan melaksanakan tugas hanya terbatas.
c. Sarana kerja yang sangat konvensional merupakan hambatan yang tak
kalah besarnya. Di kantor kita ini hanya mengandalkan mesin ketik.
Memang di sini ada dua komputer, tapi yang bisa mengoperasikan
hanya dua orang. Lainnya tidak bisa, makanya yang tidak bisa
mengetik menggunakan komputer, memilih mengetik menggunakan
mesin ketik. Padahal kalau kita menggunakan mesin ketik, filenya
tidak dapat disimpan, sehingga kita sangat mengandalkan foto copy
untuk file arsip. Selain itu, hasilnya kadang kala kurang rapi karena
huruf yang salah ketik tidak bisa dihapus dengan baik.
d. Hambatan lainnya adalah sumber dana yang terbatas. Hambatan ini
juga tidak kalah besar karena seringkali kita dipaksa harus
menyelesaikan pekerjaan di tengah kekurangan dana operasional.
Sebagai contoh, waktu kita menjalankan program JPM Pronangkis,
kita tidak bisa berbuat banyak dalam mendata masyarakat untuk
program penanggulangan kemiskinan, karena terkendala jarak yang
jauh, sedangkan dana kita sendiri sangat terbatas. Sebagaimana
diketahui bahwa di Papua pada umumnya dan di Kelurahan Ansus
juga, jarak dari satu kampung ke kampung yang lain sangat jauh.”11
Dari wawancara dengan pegawai kelurahan, juga didapat hasil yang lebih
kurang sama dengan hasil wawancara dengan Lurah Ansus. Berikut hasil
wawancara selengkapnya.
“Hambatan utama kita di sini adalah masalah kualitas SDM yang kurang
memadai dan kurangnya dana operasional. Masalah SDM sangat terasa
ketika kita diminta membuat Renstra Kelurahan. Kita kurang paham

11
Hasil wawancara dengan Bapak A Lurah Kelurahan Ansus pada tanggal 28 April 2016.
8

bagaimana cara menuliskan ide kita dalam kata-kata yang bisa dipahami
banyak orang. Maklumlah, sebagian besar SDM kita hanya tamatan SMA.
Di lain pihak, untuk melaksanakan tugas yang sifatnya lapangan, kita
mendapat hambatan dari sedikitnya dana operasional yang tersedia. Ibu
tahu sendiri ‘kan di Papua ini jarak dari kampung ke kampung sangat jauh
dan medannya sangat sulit, sehingga kadang kita harus terpaksa
menggunakan pesawat. Bayangkan sendiri berapa biaya pesawat,
sedangkan dana kita terbatas. Oleh karena itu, seringkali kita siasati
dengan cara daerah yang sangat sulit untuk dijangkau, tidak kita datangi,
tapi nanti pada saat pembagian bantuan, kita kasih jatah saja masyarakat
yang ada di sana. Tapi biasanya dengan cara ini, ada penduduk miskin
yang tidak kebagian jatah. Untuk itu kita bagi saja secara rata bantuannya,
dengan akibat jumlah bantuan menjadi lebih kecil, tapi bisa rata.”12

Selanjutnya Penulis menanyakan tentang manfaat desentralisasi


kewenangan terhadap pelaksanaan pekerjaan pegawai Kelurahan Ansus. Atas
pertanyaan itu, Lurah Ansus memberikan jawaban sebagai berikut.
“Manfaat desentralisasi kewenangan bagi kelurahan sangat besar artinya.
Kita bisa leluasa membuat program yang sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan masyarakat di kelurahan kita. Itu biasanya kita tuangkan dalam
Renstra Kelurahan. Di sana kita tuangkan visi misi kita, program yang kita
usung dengan tujuan serta manfaatnya, pendanaannya, dan lain-lain. Kita
juga bisa menampung aspirasi masyarakat dalam Renstra itu, sehingga
aspirasi masyarakat tersalurkan. Pembangunan juga dilaksanakan sesuai
dengan kebutuhan kita. Kalau tidak ada desentralisasi kewenangan, kita
hanya didikte saja dari atas mengenai program pembangunan apa yang
akan dilaksanakan di kelurahan kita. Namun dengan adanya desentralisasi
kewenangan, kita yang tentukan. Pihak atasan hanya kita beri laporan
pertanggungjawaban mengenai program-program yang kita laksanakan.
Kita juga lebih senang dengan desentralisasi, karena kita bisa mengelola
potensi yang ada pada masyarakat untuk meningkatkan penghasilan
mereka. Sebagai contoh di wilayah saya ini, masyarakat banyak yang
mengandalkan sumber ekonominya dari ternak babi, kita kemudian
membuat program bantuan modal bagi peternak babi dalam bentuk
sepasang indukan babi. Sepasang babi itu dikembangkan oleh peternak dan
dalam satu tahun mereka harus mengembalikan dalam bentuk sepasang
babi juga. Babi yang sudah dikembalikan ini, kita berikan kepada peternak
lain dan berlaku ketentuan yang sama. Sampai sekarang sudah ada puluhan
peternak babi yang kita bina. Kebijakan seperti ini sulit dikembangkan jika
tidak ada desentralisasi kewenangan kepada Kelurahan.”13

12
Hasil wawancara dengan Bapak C, pegawai Kelurahan Ansus pada tanggal 28 April
2016.
13
Hasil wawancara dengan Bapak D, pegawai Kelurahan Ansus pada tanggal 28 April
2016.
9

Wawancara dengan pegawai Kelurahan Ansus juga dilakukan dengan


pertanyaan yang sama, yaitu mengenai manfaat desentralisasi kewenangan
terhadap pelaksanaan pekerjaan pegawai. Berikut hasil wawancara selengkapnya.
“Manfaat desentralisasi kewenangan terhadap pekerjaan kita sangat
banyak, terutama ketika kita ingin menyelesaikan masalah yang ada di
wilayah kelurahan kita. Sebagai contoh, di Kelurahan Ansus masih banyak
tanah adat yang menjadi sengketa. Untuk menyelesaikan masalah ini,
dengan desentralisasi kewenangan yang kita miliki, kita melakukan
pendekatan-pendekatan kepada pihak yang bersengketa sesuai dengan adat
yang berlaku di sini. Dengan pendekatan adat, maka masalah bisa
diselesaikan. Akan tetapi lain halnya jika tidak ada desentralisasi kewena-
ngan, mungkin kita tidak bisa menyelesaikan masalah seperti itu, karena
dianggap tidak berwenang. Jadi menurut saya, manfaat desentralisasi
kewenangan terhadap pekerjaan kita adalah memberi kita kebebasan untuk
mencari penyelesaian yang terbaik sesuai dengan situasi dan kondisi yang
ada di lapangan, dan tidak terpatok pada penyelesaian menurut pihak
atasan, sehingga penyelesaian yang didapat lebih mengena dan efektif.”14

Wawancara tentang manfaat desentralisasi kewenangan terhadap


pelaksanaan pekerjaan para pegawai kelurahan juga dilakukan dengan Sekretaris
Kelurahan. Berikut jawaban selengkapnya.
“Sebagai sekretaris saya bertanggung jawab mengarsipkan seluruh
kegiatan dan hasil kegiatan yang dilaksanakan di Kelurahan Ansus.
Kegiatan yang dimaksud nantinya untuk bahan pertanggungjawaban
kepada Camat dan juga sebagai dasar untuk membuat Renstra. Sejak
adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada Kelurahan, saya
sebagai Sekretaris mencatat banyak sekali kegiatan yang dilaksanakan di
kelurahan ini. Semua itu bisa terjadi karena dengan adanya desentralisasi
kewenangan, maka Kelurahan mempunyai kewenangan untuk menentukan
program, cara melaksanakan program, sumber pendanaan program, dan
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program itu sendiri. Sejauh
pengamatan saya, dengan adanya kegiatan seperti itu, membuat
penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi kelurahan, dapat
diselesaikan dengan lebih efektif.15

C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

14
Hasil wawancara dengan Bapak E, pegawai Kelurahan Ansus pada tanggal 28 April
2016.
15
Hasil wawancara dengan Bapak F, Sekretaris Kelurahan Ansus pada tanggal 28 April
2016.
10

1. Pengaruh desentralisasi kewenangan terhadap pekerjaan pegawai Kelurahan


Ansus adalah mempunyai lebih banyak tugas, seperti harus membuat Renstra
Kelurahan dan melaksanakan program-program yang ditetapkan Bupati, seperti
melaksanakan program penanggulangan kemiskinan seperti PJM Pronangkis
(Program Jangka Menengah Program Penanggulangan Kemiskinan). Akan
tetapi pasca berlakunya UU No. 23 Th. 2014, wewenang kelurahan banyak
yang dikurangi, antara lain tidak lagi membuat Renstra Kelurahan sendiri dan
tidak lagi berwenang melaksanakan program-program yang berasal dari
Bupati.
2. Hambatan desentralisasi kewenangan bagi pegawai antara lain 1) Kelurahan
terbiasa menjalankan kewenangan yang bersifat formal (atributif) dan tidak
terbiasa melaksanakan kewenangan yang bersifat delegatif; 2) Kondisi SDM
kelurahan kurang mendukung; 3) Sarana kerja masih konvensional (secara
umum masih mengandalkan mesin ketik); 4) Sumber dana yang terbatas.
3. Manfaat desentralisasi kewenangan bagi pegawai Kelurahan Ansus adalah
dapat menentukan program pembangunan yang sesuai dengan situasi dan
kondisi yang aktual di kelurahan sehingga tepat kebutuhan dan sasaran serta
berlangsung efisien–efektif (cepat) serta dapat meningkatkan kesejahteraan
sosial. Sebagai contoh di wilayah Kelurahan Ansus Lurahnya dibuat program
bantuan kepada peternak babi dengan cara memberi bantuan modal bagi
peternak babi dalam bentuk sepasang indukan babi. Sepasang babi itu
dikembangkan oleh peternak dan dalam satu tahun mereka harus
mengembalikan dalam bentuk sepasang babi juga. Babi yang sudah
dikembalikan ini, kita berikan kepada peternak lain dan berlaku ketentuan yang
sama. Sampai sekarang sudah ada puluhan peternak babi yang telah dibina.
DAFTAR PUSTAKA

Bratakusumah, Deddy Supriadi dan Dadang Solihin, 2003, Otonomi


Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama.

Chalid, Peni, 2005, Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik,


Cetakan Pertama, Kemitraan, Jakarta.

Dimock, E. Marshall, 2009, Administrasi Negara, Erlangga, Jakarta.


11

Gunena, Nofrison, “Peran Lurah Dalam Pembangunan Infrastruktur Di Kelurahan


Kolongan Mitung Kecamatan Tahuna Barat Kabupaten Sangihe”, e-jurnal,
diakses dari http://ejournal.unsrat.ac.id pada tanggal 1 Mei 2016, pp. 1-10.

H.R., Syaukani, 2003, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hlm. 254.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Anda mungkin juga menyukai