Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

ALZHEIMER

Disusun oleh:
Jesslyn Rusfardy
406171051

Pembimbing:
dr. Dyah Nuraini Widhiana, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 29 Mei 2018 – 07 Juli 2018
BAB I
PENDAHULUAN

Demensia adalah sindrom neurodegenerative yang timbul karena adanya kelainan


yang bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multiple seperti
kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa dan mengambil keputusan. Demensia ditandai dengan
hilangnya fungsi kognitif secara progresif dan menurunnya kemampuan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari. Penurunan memori adalah gangguan kognitif yang paling umum dari
demensia. Defisit neuropsikiatri dan sosial juga muncul pada demensia, seperti depresi,
apatis, halusinasi, delusi, agitasi, insomnia dan berkurangnya rasa malu.
Salah satu jenis demensia adalah demensia alzheimer yang merupakan salah satu
penyakit yang sering terjadi pada lansia. Angka kejadian demensia alzheimer mencapai 50%
dari 10% lansia demensia dengan usia diatas 70 tahun. Dan dapat menyerang baik pria
maupun wanita, dengan faktor resiko multifaktorial, baik faktor genetik, usia, riwayat
keluarga, faktor diet, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya.
Penyakit alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang ahli
psikiatri dan neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi seorang wanita
berumur 51 tahun, yang mengalami gangguan intelektual dan memori serta tidak mengetahui
kembali ke tempat tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak mengalami gangguan anggota
gerak, koordinasi dan reflek. Pada autopsi tampak bagian otak mengalami atropi yang difus
dan simetris, dan secara mikroskopik tampak bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque
dan degenerasi neurofibrillary.
Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup pada berbagai
populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin meningkat. Dilain pihak akan
menimbulkan masalah serius dalam bidang sosial ekonomi dan kesehatan, sehingga akan
semakin banyak yang berkonsultasi dengan seorang neurolog karena orang tua tersebut yang
tadinya sehat, akan mulai kehilangan kemampuannya secara efektif sebagai pekerja atau
sebagai anggota keluarga.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit Alzheimer adalah suatu penyakit degenerative otak primer yang etiologinya
tidak diketahui, dengan gambaran neuropatologis dan neurokimiawi yang khas. Sebuah
penyakit neurologis progresif otak yang menyebabkan hilangnya neuron ireversibel dan
demensia.
Penyakit Alzheimer adalah penyebab terbesar terjadinya demensia dimana demensia
adalah sindrom neurodegenerative yang timbul karena adanya kelainan yang bersifat kronis
dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multiple seperti kalkulasi, kapasitas
belajar, bahasa dan mengambil keputusan. Demensia ditandai dengan hilangnya fungsi
kognitif secara progresif dan menurunnya kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Kesadaran pada demensia tidak terganggu. Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai
dengan perburukan control emosi perilaku dan motivasi.

2.2 Epidemiologi
World Alzheimer Report 2015, diperkirakan lebih dari 9,9 juta kasus baru demensia tiap
tahunnya, dimana terjadi satu kasus tiap 3,2 detik. Penyebaran daerah kasus baru demensia
adalah 4,9 juta di Asia, 2,5 juta di Amerika dan 0,8 juta di Afrika. Angka kejadian demensia
meningkat selaras dengan usia, peningkatan 2 kali lipat setiap bertambahnya usia 6,3 tahun.
Di Eropa dan Amerika angka kejadian puncak terjadi pada usia 80-89 tahun, di Asia 75-84
tahun, di Afrika 65-74 tahun.

2.3 Etiologi
Penyebab pasti Alzheimer belum diketahui. Kemungkinan factor genetic dan lingkungan
yang sedang diteliti (APoE atau B secretase). Berdasarkan hasil riset, menunjukkan adanya
hubungan antara kelainan neurotransmitter dan enzim0enzim yang memetabolisme
neurotransmitter tersebut.
Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian
daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif daya ingat secara
progresif.
Adanya defisiensi factor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam
kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang
diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium intraseluler, kegagalan metabolism energy,
adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit Alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa peran factor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa peran factor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana factor lingkungan
hanya sebagai pencetus factor genetika. Factor resiko terjadinya penyakit Alzheimer
diantaranya yaitu usia lebih dari 65 tahun, factor keluarga dan abnormalitas pada gen
Apolipoprotein E (APoE) terutama pada ras kaukasian.

2.4 Patogenesis
Pasien umumnya mengalami atrofi kortikal dan berkurangnya neuron secara signifikan
terutama saraf kolinergik. Kerusakan saraf kolinergik terjadi terutama pada daerah limbic
otak (terlibat dalam emosi) dan kortek (memori dan pusat pikiran). Terjadi penurunan jumlah
enzim kolinesterasi di korteks serebral dan hippocampus sehingga terjadi penurunan sintesis
asetilkolin di otak.
Di otaknya juga dijumpai lesi yang disebut senile (amyloid) plaques dan
neurofibrillary tangles, yang berpusat pada daerah yang sama dimana terjadi deficit
kolinergik sehingga plak tersebut berisi deposit protein yang disebut B-amyloid. Amyloid
adalah istilah umum untuk fragmen protein yang diproduksi tubuh secara normal. Beta-
amyloid adalah fragmen protein yang terpotong dari suatu protein yang disebut amyloid
precursor protein (APP), yang dikatalisis oleh B-secretase. Pada otak yang sehat, fragmen
protein ini akan terdegradasi dan tereliminasi.

Sejumlah pathogenesis penyakit Alzheimer yaitu:


1. Faktor genetic
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus Alzheimer ini diturunkan melalui
gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga penderita
Alzheimer mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok
control normal. Pemeriksaan genetika DNA pada penderita Alzheimer dengan familial early
onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximal log arm, sedangkan pada
familial late onset didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19.
Begitu pula pada penderita down syndrome mempunya kelainan gen kromosom 21,
setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan
penurunan.
Hasil penelitian penyakit Alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-50%
adalah monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa factor genetic
berperan dalam penyakit Alzheimer. Pada sporadic non familial (50-70%), beberapa
penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa
kemungkinan factor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada Alzheimer.

2. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infkesi virus pada keluarga penderita Alzheimer yang
dilakukan secara immune blot analisis, ternyata diketemukan adanya antibody reaktif. Infeksi
virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersifat lambat, kronik dan
remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru, diduga
berhubungan dengan penyakit Alzheimer.
Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a. manifestasi klinik yang sama
b. tidak adanya respon imun yang spesifik
c. adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d. timbulnya gejala mioklonus
e. adanya gambaran spongioform

3. Faktor Lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa factor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa
penyakit Alzheimer. Factor lingkungan antara lain, aluminium, silicon, mercury, zinc.
Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan
neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS).
Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan
aluminium adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang
tindih. Pada penderita Alzheimer, juga ditemukan keadaan ketidakseimbangan merkuri,
nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas.
Ada dugaan bahwa asam amino glutamate akan menyebabkan depolarisasi melalui
reseptor N-methyl D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (cairan-influks)
dan menyebabkan kerusakan metabolism energy seluler dengan akibat kerusakan dan
kematian neuron.
4. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita Alzheimer didapatkan
kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti trypsin
alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.
Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari
penderita Alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid hashimoto merupakan oenyakit inflamasi
kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena pernanan factor imunitas.

5. Faktor trauma
Beberapa penelitan menunjukkan adanya hubungan penyakit Alzheimer dengan trauma
kepala. Hal ini dihubungnkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistic dimana
pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.

6. Faktor neurotransmitter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita Alzheimer mempunyai peranan
yang sangat penting seperti:
a. Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmitter
dengan biopsy sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita Alzheimer didapatkan
penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetilkolinesterase dan transport kolin serta
penurunan biosintesa asetilkolin.
Adanya deficit presinaptik dan postsynaptic kolinergik ini bersifat simetris pada
korteks frontalis, temporalis superior, nucleus basalis, hipokampus. Kelainan
neurotransmitter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis
nuerotransmiter lainnya pada penyakit Alzheimer, dimana pada jaringan otak/ biopsinya
selalu didapatkan kehilangan cholinergic Marker.
Pada penelitian dengan pemberian scopolamine pada orang normal, akan
menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa
kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer.

b. Noradrenaline
Kadar metabolism norepinefrin dan dopamine didapatkan menurun pada jaringan otak
penderita Alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat
yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkolerasi dengan deficit kortikal
noradrenergic.
Bowen et al (1988), melaporkan hasil biopsy dan otopsi jaringan otak penderita
Alzheimer menunjukkan adanya deficit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer et
al (1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post
dan ante-mortem penderita Alzheimer.

c. Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurotransmitter region
hypothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamine pada penderita
Alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena potongan
histopatologi region hypothalamus setiap peneltian berbeda-beda

d. Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolism 5 hidroxi-indolacetil acid pada
biopsy korteks cerebri penderita Alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukelus basalis
dari meynert. Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan
maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior paraventrikuler hipotalamus
berurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergic ini berhubungan dengan hilangnya
neuron-neruon dan diisi oleh formasi NFT pada nukelus raphe dorsalis.

2.5 Gejala Klinik


Penyakit ini menyebabkan penurunan kemampuan intelektual penderita secara progresif yang
mempengaruhi fungsi sosialnya, meliputi penurunan ingatan jangka pendek atau kemampuan
belajar atau menyimpan informasi, penurunan kemampuan berbahasa, kesulitan menemukan
kata atau kesulitan memahami pertanyaan atau petunjuk, ketidakmampuan menggambar atau
mengenal gambar dua-tiga dimensi, dan lain-lain.

Kategori gejala pada Alzheimer


Awitan dari perubahan mental penderita Alzheimer sangat perlahan-lahan, sehinggan pasien
dan keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan penyakit ini mulai muncul. Terdapat
beberapa stadium perkembangan penyakit Alzheimer yaitu:

Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)

 Memory: new learning defective, remote recall mildly impaired


 Visuospatial skills: topographic disorientation, poor complex construction
 Language: poor wordlist generation, anomia
 Personality: indifference, occasional irritability
 Psychiatry feature: sadness, or delution
 Motor system: normal
 EEG: normal
 CT/MRI: normal
 PET/ SPECT: bilateral posterior hypometabolism/hypoperfusion

Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)

 Memory: recent and remote recall more severely impaired


 Visuospatial skills: spatial disorientation, poor construction
 Language: fluent aphasia
 Calculation: acalculation
 Personality indifference: irritability
 Psychiatry feature: delution in some
 Motor system: restlessness, pacing
 EEG: slow background rhythm
 CT/ MRI: normal or ventricular and sulcal enlargement
 PET/ SPECT: bilateral parietal and frontal hypometabolism/ hyperfusion
Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)

 Inetelectual function: severely deteriorated


 Motor system: limb rigidity and flexion posture
 Sphincter control: urinary and fecal
 EEG: diffusely slow
 CT/MRI: ventricular and sulcal enlargement
 PET/SPECT: bilateral parietal and frontal hypometabolism/ hyperfusion

2.6 Diagnosis

Menegakkan penyakit alzheimer harus dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat. Untuk diagnosis klinis
penyakit alzheimer diterbitkan suatu konsensus oleh The National Institute of Neurological
and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) nad the Alzheimer’s disease and
Related Disordes Association (ADRDA).

a. Anamnesis

Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset), lamanya, dan bagaimana laju progresi
penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Seorang usia lanjut dengan kehilangan memori yang
berlangsung lambat selama beberapa tahun kemungkinan menderita penyakit alzheimer.
Hampir 75% pasien penyakit alzheimer dimulai dengan gejala memori, tetapi gejala awal
juga dapat meliputi kesulitan mengurus keuangan, berbelanja, mengikuti perintah,
menemukan kata, atau mengemudi. Perubahan kepribadian, disinhibisi, peningkatan berat
badan atau obsesi terhadap makanan mengarah pada fronto-temporal dementia (FTD), bukan
penyakit alzheimer. Pada pasien yang menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit
ditentukan apakah demensia yang terjadi adalah penyakit alzheimer, demensia multi-infark,
atau campuran keduanya.

b. Pemeriksaan fisik dan neurologis

Umumnya penyakit alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem motorik kecuali pada
tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis, parkinsonisme,
mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD, demensia
dengan Lewy body ( DLB) atau demensia multi-infark

c. Pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatri

Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif
adalah the mini mental status examination (MMSE), yang dapat pula digunakan untuk
memantau perjalanan penyakit. Pada penyakit alzheimer defisit yang terlibat berupa memori
episodik, category generation (menyebutkan sebanyak banyaknya binatang dalam satu
menit), dan kemampuan visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan memori
episodik visual sering merupakan abnormalitas neuropsikologis awal yang terlihat pada
penyakit alzheimer, dan tugas yang membutuhkan pasien untuk menyebutkan ulang daftar
panjang kata atau gambar setelah jeda waktu tertentu akan menunjukkan defisit pada
sebagian pasien penyakit alzheimer.
d. Pemeriksaan Penunjang

1. Neuropatologi

Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara
umum didaptkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali berat otaknya berkisar 1000 gr
(850-1250gr). Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus
temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, kortek motorik primer, sistem
somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937).

Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari:


a. Neurofibrillary tangles (NFT)

Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal yang berisi
protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. nFT ini juga terdapat pada neokorteks,
hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari inti batang otak.

NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak manula, down
syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ekstrapiramidal, supranuklear palsy. Densitas NFT
berkolerasi dengan beratnya demensia

b. Senile plaque (SP)

Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang berisi
filamen-filamen abnormal, serat amiloid ekstraseluler, astrosit, mikroglia. Amloid prekusor
protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan kromosom 21. Senile plaque ini
terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks piriformis dan sedikit
didapatkan pada korteks motorik primer, kortek somatosensorik, korteks visual, dan
auditorik. Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer.

Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque (SF) berhubungan dengan penurunan
kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan SF) merupakan gambaran karakteristik
untuk penderita penyakit alzheimer.

c. Degenerasi neuron

Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit alzheimer
sangat elektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada neruon piramidal
lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus, amigdala, nukleus batang
otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substansia nigra.

Kematian sel neruon kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan sel
noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe dorsali,
nukleus tegmentum dorsalis.

d. Lewy Body

Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pad enterhinal, gyrus
cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis, temporal,
parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi
pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit parkinson. Hansen et al
menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit alzheimer.
2. Pemeriksaan neuropsikologik

Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan


neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif umum
dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga bertujuan untuk
menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti
gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa

Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi alzheimer yang penting karenaL

a. adanya alzheimer kognisi yang berhubungan dengan demensia awal yang dapat
diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.
b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk
membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan deficit selektif yang
diakibatkan oleh disfungsi fokal, alzhei Alzheimer, dan gangguan psikiatri
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh demensia
karena berbagai penyebab

3. CT scan dan MRI

Merupakan metode non alzheimer yang beresolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi
perubahan volume jaringan otak pada penderita alzheimer antemortem. Pemeriksaan ini
berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain
alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan pembesaran
ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit
ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark,
alzheimer, binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan dengan penyakit alzheimer.
Pada MRI ditemukan peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler
(capping anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk
demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada
daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna
basalis dan fissura sylvii.

4. EEG

Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitas yang subklinis. Sedangkan pada penyakit
alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang non spesifik.

5. PET (Positron Emission Tomography)

Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah, metabolisme O2, dan
glukosa didaerah serebral.

6. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)

Aktivitas I. 123 terendah pada regio parietal penderita alzheimer. Kelainan ini berkolerasi
dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kognitif. Kedua pemeriksaan ini (SPECT dan
PET) tidak digunakan secara rutin.

7. Laboratorium darah

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer. Pemeriksaan
laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit demensia lainnya seperti
pemeriksaan darah rutin, B12, calsium, fosfor, BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam
folar, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan secara selektif.

2.7 Penatalaksanaan

Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyabab dan
patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya
memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. Pemberian obat stimulun, vitamin B, C,
dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan.
1. Inhibitor kolinesterase

Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan
simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer didapatkan penurunan kadar
asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase
seperti:

 Takrin: dosis 10-40 mg kapsul


Efek samping: mual, muntah, diare, nyeri lambung, kehilangan nafsu makan,
hilangnya koordinasi, anoreksia, dan ataksia
 Donepezil: 5 dan 10 mg tablet diberikan sekali sehari menjelang tidur
Keunggulan disbanding takrin:
- efek samping lebih ringan
- donepezil dapat diberikan sekali sehari
- takrin menyebabkan kenaikan enzim hepar
 Rivastigmin: 6-12 mg/hari

Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama pemberian
berlangsung. Beberapa peneliti mengatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan
memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan penderita alzheimer.

2. Antagonis Reseptor NMDA (N-metil-D-Aspartat)

 Bekerja pada system glutamatergic dengan memblokir reseptor NMDA


 Glutamat adalah rangsang yang berguna neurotrasmiter dari system saraf, meskipun
jumlah yang berlebihan di otak dapat menyebabkan sel mati melalui suatu proses
yang disebut excitotoxicity yang terdiri dari overstimulation dari glutamate reseptor

Terapi simptomatik

 Penderita sering disertai dengan gejala depresi seperti: gelisah, pelupa dan insomnia
 antidepressant (SSRI, TCA)
 Insomnia  perlu hipnotik atau antidepresan yang bersifat sedative
2.8 Prognosis

Dari pemeriksaan klinis 42 penderita probable alzheimer menunjukkan bahwa nilai


prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu:

 Derajat beratnya penyakit


 Variabilitas gambaran klinis
 Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin
Ketiga factor diuji secara statistic, ternyata factor pertama yang paling mempengaruhi
prognostic penderita Alzheimer. Pasien dengan penyakit Alzheimer mempunyai
angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya meninggal
dunia akibat infeksi sekunder.
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Penyakit alzheimer sangat sukar di diagnosa hanya berasarkan gejala - gejala klinik
tanpa dikonfirmasikan pemeriksaan lainnya seperti neuropatologi, neuropsikologis, MRI,
SPECT, PET. Sampai saat ini penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi faktor genetik
sangat menentukan (riwayat keluarga), sedangkan faktor lingkungan hanya sebagai pencetus
ekspresi genetik. Pengobatan pada saat ini belum mendapatkan hasil yang memuaskan, hanya
dilakukan secara empiris, simptomatik dan suportif untuk menyenangkan penderita atau
keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gilroy, John Basic Neurology, Mc Graw Hill. USA, 1997 Hauser,Stephen,L (ed).
Harrison’s, Neurology in Clinical Medicine . Mc Graw Hill, Philadelphia, 2005
2. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran UI. 2000. Hal 11- 16
3. Cummings, MD Jeffrey L. Dementia a clinical approach.2nd ed. Butter worth: 43-93
4. Fratiglioni L. Clinical diagnosis of alzheimer disease and other dementia in
population survey. Arc.Neurol. 1992(49):927-932
5. Kathleen A. Neuropsycological assessment of alzheimer disease. Neurology 1997
(49): S11-S13
6. Michael Gold. Plasma and red blood a cell thiamin defisiency in patiens with
dementia of type alzheimer disease. Arc Neurol. 1995(52):1081-1086
7. Morh Gautier. Guide to clinical neurology 1st ed. New York: Churchill, 1995:765-77
8. Bird TD,Miller BL.Alzheimer’s disease and other dementias.Dalam: Kasper
DL,Braunwald E,Fauci AS,Hauser SL,Longo DL,penyunting. Harrison’s Principles of
Internal Medicine,Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill Medical Publishing
Division;2005.h.2393-406
9. Cummings JL. Alzheimer’s disease. N Engl J Med. 2004;351:56-67
10. Rochmach W,Harimurti K. Demensia.Dalam: Sudoyo A,Setiyohadi B,Alwi I,Setiati
S,penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-4.Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2006.h.1374-8
11. http://www.emedicine.com/EMERG/topic 163.htm
12. http://www.emedicine.com/alzheimer/topic
13. http://www.chinessejournal.com

Anda mungkin juga menyukai