Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu
syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin RS Islam Jemursari Surabaya
Oleh:
Rizky Amalia
Pembimbing:
Fakultas Kedokteran
2018
Daftar Isi
Cover........................................................................................................................1
Daftar Isi..................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
A. Obat Topikal dalam Dermatologi....................................................................4
A.1 Prinsip Terapi Topikal dalam Dermatologi................................................4
A.2 Farmakokinetik Obat Topikal....................................................................5
A.3 Bahan Dasar (Vehikulum)..........................................................................8
A.4 Bahan Aktif..............................................................................................11
B. Kortikosteroid Topikal...................................................................................14
B.1 Penggolongan...........................................................................................14
B.2 Indikasi.....................................................................................................15
B.3 Pemilihan Jenis Kortikosteroid................................................................16
B.4 Aplikasi Klinis..........................................................................................17
B.5 Efek Samping...........................................................................................18
BAB III DISKUSI..................................................................................................19
BAB IV PENUTUP...............................................................................................20
A. Kesimpulan....................................................................................................21
B. Saran..............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................21
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
terhadap kulit itu sendiri. Secara ideal maka pemberian obat topikal harus
berkhasiat secara fisik maupun kimiawi. Prinsip obat topikal secara umum terdiri
atas 2 bagian, yaitu bahan dasar (vehikulum) dan bahan aktif4,5,6.
5
- Rising phase : fase ini dimulai saat sebagian sediaan menembus stratum
korneum, kemudian memasuki kapiler dermis, sehingga
dapat ditemukan dalam pembuluh darah.
- Falling phase : fase ini merupakan fase pelepasan bahan aktif obat dari
permukaan kulit dan dapat dibawa ke kapiler dermis10,11.
a. Penetrasi secara transepidermal
Penetrasi transepidermal dapat secara interseluler dan intraseluler.
Penetrasi interseluler merupakan jalur yang dominan, obat akan menembus
stratum korneum melalui ruang antar sel pada lapisan lipid yang mengelilingi sel
korneosit. Difusi dapat berlangsung pada matriks lipid protein dari stratum
korneum. Setelah berhasil menembus stratum korneum obat akan menembus
lapisan epidermis sehat di bawahnya, hingga akhirnya berdifusi ke pembuluh
kapiler10,11. Penetrasi secara intraseluler terjadi melalui difusi obat menembus
dinding stratum korneum sel korneosit yang mati dan juga melintasi matriks lipid
protein startum korneum, kemudian melewatinya menuju sel yang berada di
lapisan bawah sampai pada kapiler di bawah stratum basal epidermis dan berdifusi
ke kapiler10,11.
b. Penetrasi secara transfolikular
Analisis penetrasi secara folikular muncul setelah percobaan in vivo.
Percobaan tersebut memperlihatkan bahwa molekul kecil seperti kafein dapat
berpenetrasi tidak hanya melewati sel-sel korneum, tetapi juga melalui rute
folikular. Obat berdifusi melalui celah folikel rambut dan juga kelenjar sebasea
untuk kemudian berdifusi ke kapiler12.
Kemampuan dan kecepatan absorbsi obat yang diaplikasikan di kulit
dipengarui oleh berbagai faktor antara lain:
Variasi ketebalam stratum korneum pada organ tidak sama, seperti pada
skrotum, wajah, dan kulit kepala lebih permiabel daripada telapak tangan.
Dalam hal ini stratum korneum membatasi difusi obat menuju epidermis dan
dermis. Pada daerah yang tipis memerlukan jumlah obat lebih sedikit untuk
menimbulkan efek yang sama5,6.
Gradient konsentrasi: semakin tinggi gradient konsentrasi semakin tinggi pula
kemampuan transfer obat per satuan waktu6.
6
Stratum korneum dapat pula berfungsi sebagai reservoir beberapa obat
sehingga waktu paruh lokalnya panjang dan dapat terjadi efek obat masih
berlangsung walaupun aplikasi topikal sudah dihentikan. Pada kondisi seperti
ini pemberian obat topikal cukup satu kali sehari, misalnya kortikosteroid yang
diaplikasikan sehari sekali sama efektifnya dengan aplikasi beberapa kali. Pada
kondisi dimana stratum korneum abnormal dan fungsi barrier berubah, maka
akan terjadi peningkatan absorbsi perkutan5.
Sifat fisiko kimia obat: kelarutan dalam lemak akan lebih mudah untuk
berdifusi, demikian juga obat yang mudah penetrasi di stratum korneum adalah
dengan berat molekul ≤ 500 Da7,9.
Vehikulum: vehikulum sebagai bahan pembawa obat berperan untuk
mempermudah absorbsi obat yang diberikan perkutan sehingga mencapai
tempat kerjanya dengan efektif. Pemilihan vehikulum yang tepat menyebabkan
obat mampu penetrasi di lapisan luar kulit dengan maksimal. Selain itu efek
vehikulum yang melembabkan atuapun mengeringkan akan memberikan efek
terapi5,6.
Umur : anak-anak mempunyai luas permukaan yang lebih besar dari dewasa,
sehingga obat topikal akan memberikan efek lebih besar daripada sistemik7,8.
Di dalam epidermis selain terdapat sel-sel target yang akan berinteraksi
dengan obat topikal, terdapat pula berbagai sistem enzim yang mmapu
memetabolisme obat perkutan. Enzim-enzim yang telah dibuktikan adalah
cytochrom P (CYPs), epoxide hydroxilase, N-acetyltransferase, glucoronyl
transferase, sulfatase. Isoform CYP memetabolisme asam retinoid dan mungkin
mengontrol kadarnya di kulit. Disamping itu xenobiotik yang mencapai
keratinosit akan dimetabolisme oleh P-glycoprotein yang akan mempengaruhi
kadar xenobiotik di kulit9.
7
dibagi menjadi: (1) cairan (2) bedak dan (3) salep. Di samping itu ada 2 campuran
atau lebih bahan dasar, yaitu (4) bedak kcocok (lotion), yaitu campuran cairan dan
bedak (5) krim, yaitu campuran cairan dan salep (6) pasta, yaitu campuran salep
dan bedak, dan (7) linimen (pasta pendingin), yaitu campuran cairan, bedak, dan
salep13.
1. Cairan
Cairan terdiri atas:
a. Solusio artinya larutan dalam air. Solusio dibagi dalam: kompres; rendam
(bath), misalnya rendam kaki, rendam tangan; dan mandi (full bath).
b. Tingtura artinya larutan dalam alkohol.
Prinsip pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari debris
(pus, krusta dan sebagainya) dan sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Di
samping itu terjadi perlunakan dan pecahnya vesikel, bula, dan pustule. Hasil
akhir pengobatan ialah keadaan yang membasah menjadi kering, permukaan
menjadi bersih sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan mulai terjadi
proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna untuk menghilangkan gejala,
mislanya rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-macam dermatosis13.
Harus diingat bahwa pengobatan dengan cairan dapat menyebabkan kulit
terlalu menjadi kering. Jadi pengobatan cairan harus dipantau secara teliti, kalau
keadaan sudah mulai kering pemakaiannya dikurangi dan kaluu perlu dihentikan
untuk diganti dengan bentuk pengobatan lainnya. Cara kompres lebih disukai
daripada cara rendam dan mandi, karena pada kompres terdapat pendinginan
dengan adanya penguapan, sedangkan pada rendam dan mandi terjadi proses
maserasi13.
Bahan aktif yang dipakai dalam kompres ialah biasanya bersifat astringen
dan antimicrobial. Astringen mengurangi eksudat akibta presipitasi protein.
Dikenali 2 macam kompres, yaitu13:
a. Kompres terbuka
Penguapan cairan kompres disusul oleh absorbsi eksudat atau pus.
Indikasinya adalah dermatosis madidans (dermatitis yang basah atau akut); infeksi
kulit dengan eritema yang mencolok, misalnya erisipelas; ulkus kotor yang
mengandung pus dan krusta. Efek pada kulit yang terjadi adalah (1) kulit yang
8
semula eksudatif menjadi kering, (2) permukaan kulit menjadi dingin, (3)
vasokonstriksi, dan (4) eritema berkurang13.
Cara kompres terbuka adalah menggunakan kain kasa yang bersifat
absorben dan non iritasi serta tidak terllau tebal (3 lapis). Balutan jangan terlalu
ketat, tidak perlu steril, dan jangan menggunakan kapas karena lekat dan
menghambat penguapan. Kasa dicelupkan ke dalam cairan kompres, diperas, lalu
dibalutkan dan di dalamkan, biasanya sehari 2 kali selama 3 jam. Hendaknya
jangan sampai terjadi maserasi. Bila kering dibasahkan lagi. Daerah yang
dikompres luasnya 1/3 bagian tubuh agar tidak terjadi pendinginan13.
b. Kompres tertutup (kompres impermeabel)
Mekanismenya adalah vasodilatasi, bukan untuk penguapan. Indikasinya
adalah untuk kelainan yang dalam, misalnya limfogranuloma venerium. Caranya
dengan menggunakan pembalut tebal dan ditutup dengan bahan impermeable,
misalnya selofan atau plastik13.
2. Bedak
Bedak yang dioleskan di atas kulit membuat lapisan tipis di kulit yang
tidak melekat erat sehingga penetrasinya sedikit sekali. Efek bedak adalah
mendinginkan, antiinflamasi ringan karena ada sedikit efek vasokonstriksi, anti-
pruritus lemah, mengurangi pergeseran kulit yang berlipat (intertrigo), dan
proteksi mekanis13.
Bagian utama yang diharapkan dari bedak adalah efek fisis. Bahan
dasarnya ialah talcum venetum. Biasanya bedak dicampur dengan seng oksida,
sebab zat ini bersifat mengabsorbsi air dan sebum, astringen, antiseptic lemah dan
antipruritus lemah. Indikasi pemberian bedak adalah pada dermatosis yang kering
dan superficial; untuk mempertahankan vesikel/bula agar tidak pecah, misalnya
pada varicela dan herpes zoster. Kontraindikasinya adalah pada dermatitis yang
basah, terutama bila disertai dengan infeksi sekunder13.
3. Salep
Salep adalah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar
berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula
lanolin atau minyak. Indikasi pemberian salep adalah (1) dermatosis yang kering
dan kronik, (2) dermatosis yang dalam dan kronik, karena daya penetrasi salep
9
paling kuat jika dibandingkan dengan bahan dasar lainnya, (3) dermatosis yang
bersisik dan berkrusta. Kontraindikasinya adalah dermatitis madidans. Jika
kelainan kulit terdapat pada bagian badan yang berambut, penggunaan salep tidak
dilanjutkan dan salep jangan dipakai di seluruh tubuh13.
4. Bedak kocok
Bedak kocok terdiri atas campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah
dengan gliserin sebagai bahan perekat. Supaya bedak tidak terlalu kental dan tidak
cepat menjadi kering, maka jumlah zat padat maksimal 40% dan jumlah gliserin
10-15%. Hal ini berarti bila beberapa zat aktif padat ditambahkan, maka
presentasi tersebut jangan dilampaui13.
Indikasi bedak kocok adalah (1) dermatosis yang kering, superficial dan
agak luas, yang diinginkan ialah sedikit penetrasi’ (2) pada keadaan subakut.
Kontraindikasi bedak kocok adalah dermatitis madidans dan daerah badan yang
berambut13.
5. Krim
Krim ialah campuran W (water, air), O (oil, minyak), dan emulgator. Krim
ada 2 jenis, yaitu (1) Krim W/O: air merupakan fase dalam dan minyak fase luar,
dan (2) Krim O/W: minyak merupakan fase dalam dan air fase luar. Selain itu
dipakai emulgator, dan biasanya ditambah bahan pengawet, misalnya paraben dan
juga dicampur dengan parfum. Berbagai bahan aktif dapat dimasukkan did lam
krim13.
Indikasi penggunaan krim adalah (1) indikasi kosmetik, (2) dermatosis
yang subakut dan luas, yang dikehendaki ialah penetrasi yang lebih besar daripada
bedak kocok, (3) krim boleh digunakan di daerah yang berambut. Sedangkan
kontraindikasi penggunaan krim adalah dermatitis madidans13.
6. Pasta
Pasta ialah campuran homogen bedak dan vaselin. Pasta bersifat protektif
dan mengeringkan. Indikasi penggunaan pasta ialah dermatosis yang agak basah.
Kontraindikasi pasta adalah dermatosis yang eksudatif dan daerah yang berambut.
Untuk daerah genital eksterna dan lipatan-lipatan badan pasta tidak dianjurkan
karena terlalu melekat13.
7. Linimen
10
Linimen atau pasta pendingin ialah campuran cairan, bedak, dan salep.
Indikasinya adalah untuk dermatosis yang subakut. Sedangkan kontraindikasinya
adalah dermatosis madidans13.
Gel
Terdapat vehikulum lain yang tidak termasuk dalam “bagan vehikulum”,
ialah gel. Gel ialah sediaan hidrokoloid atau hidrolitik berupa suspense yang
dibuat dari senyawa organik. Zat untuk membuat gel diantaranya adalah
karbomer, metilselulosa, dan tragakan. Bila zat-zat tersebut dicampur dengan air
dengan perbandingan tertentu akan terbentuk gel. Karbomer akan membuat gel
menjadi sangat jernih dan halus13.
Gel segera mencair, jika berkontak dengan kulit dan membentuk satu
lapisan. Absorbsi perkutan lebih baik daripada krim13.
11
Diapakai sebagai larutan 5% untuk kompres, bersifat antiseptik untyuk
infeksi Pseudomonas.
3. Asam benzoat
Mempunyai sifat antiseptik terutama fungisidal. Digunakan dalam salep,
contohnya dalam salep Whitfield dengan konsentrasi 5%.
4. Asam borat
Konsentrasinya 3% tidak dianjurkan untuk dipakai sebagai bedak,
kompres atau dalam salep berhubung efek antiseptiknya sangat sedikit dan dapat
bersifat toksik, terutama pada kelainan yang luas dan erosive terlebih-lebih pada
bayi.
5. Asam salisilat
Merupakan zat keratolitik yang tertua yang dikenal dalam pengobatan
topikal. Efeknya ialah mengurangi ploriferasi epitel dan menormalisasi
keratinisasi yang terganggu. Pada konsentrasi rendah (1-2%) mempunyai efek
keratoplastik, yaitu menunjangn pembentukan keratin yang baru. Pada konsentrasi
tinggi (3-20%) bersifat keratolitik dan dipakai untuk keadaan dermatosis yang
hiperkeratotik. Pada konsentrasi sangat tinggi (40%) dipakai untuk kelainan-
kelainan yang dalam, misalnya kalus dan veruka plantaris. Asam salisil dalam
konsentrasi 1% dipakai sebagai kompres, bersifat antiseptik. Penggunaannya,
mislanya untuk dermatitis eksudatif. Asam salisil 3%-5% juga bersifat
mempertinggi absorbsi per kutan zat-zat aktif.
6. Asam vit. A (tretinoin, asam retinoat)
Efek
Memperbaiki keratinisasi menjadi normal, jika terjadi gangguan
Meningkatkan sintesis DNA dalam epithelium germinatif
Meningkatkan laju mitosis
Menebalkan stratum granulosum
Menormalkan parakeratosis.
Indikasi
Penyakit dengan sumbatan folikular
Penyakit dengan hyperkeratosis
Pada proses menua kulit akibat sinar matahari
12
7. Benzokain
Bersifat anesthesia. Konsentrasinya ½ -5%. Tidak larut dalam air, lebih
larut dalam minyak (1:35) dan lebih larut lagi dalam alkohol. Dapat digunakna
dalam vehikulum yang lain. Sering menyebabkan sensitisasi.
8. Benzil benzoat
Cairan berkhasiat sebagai skabisid dan pedikulosid. Digunakan sebagai
emulsi dengan konsentrasi 20% atau 25%.
9. Camphora
Konsentrasinya 1-2%. Bersifat antipruritus berdasarkan penguapan zat
tersebut sehingga terjadi pendinginan. Dapat dimasukkan ke dalam bedak atau
bedak kocok yang mengandung alkohol agar dapat larut. Juga dapat dipakai dalam
salep dan krim.
10. Kortikosteroid topikal
Pada tahun 1952 Sulzberger dan Witten memperkenalkan hidrokortison
dan hidrokortison asetat sebagai obat topikal pertama dari golongan kortikosteroid
(KS). Hal ini merupakan kemajuan yang sangat besar dalam pengobatan penyakit
kulit topikal karena KS mempunyai khasiat yang sangat luas, yaitu: anti-inflamasi,
anti-alergi, anti-pruritus, anti-mitotik, dan vasokonstriksi. Pada penyelidikan
ternyata bahwa kortison dan Adreno-Cortico-Trophic Hormone (ACTH) tidak
efektif sebagai obat topikal.
Pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 1960 diperkenalkan KS yang
lebih poten daripada hiidrokortison, yiatu KS yang bersenyawa halogen yang
dikenal sebagai fluorinated corticosteroid. Penambahan 1 atom F pada posisi 6
dan 9 dan satu rantai samping pada posisi 16 dan 17, menghasilkan bentuk yang
mempunyia potensi tinggi. Zat-zat ini pada konsentrasi 0,025% sampai 0,1%
memberikan pengaruh antiinflamasi yang kuat, yang termasuk dalam golongan ini
ialah betametason, betametason valerat, betametason benzoat, fluosinolon
asetonid, dan triamsinolon asetonid.
13
B. Kortikosteroid Topikal
B.1 Penggolongan
Kortikosteroid topikal dibagi menjadi 7 golongan besar, diantaranya
berdasarkan anti-inflamasi dan antimitotik. Golongan I yang yang paling kuat
daya anti-inflamasi dan anti-mitotiknya (superpoten). Sebaliknya golongan VII
yang terlemah (potensi lemah).
Tabel 1. Klasifikasi Potensi Kortikosteroid Topikal14
14
B.2 Indikasi
Kortikosteroid (KT) dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat
pilihan untuk suatu penyakit kulit. Harus selalu diingat bahwa KT bersifat paliatif
dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.
Dermatosis yang responsif dengan KT, ialah: psoriasis, dermatitis atopic,
dermatitis kontak, dermatitis seboroik, neurodermatitis sirkumkripta, dermatitis
numularis, dermatitis stasis, dermatitis venenata, dermatitis intertriginosa, dan
dermatitis solaris (fotodermatitis)13.
Dermatosis yang kurang responsif ialah lupus eritematosus discoid,
psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipoidika diabetikorum, vitiligo,
granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, dan eksantema fikstum.
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid intralesi ialah keloid,
jaringan parut hipertrofik, alopesia areata, akne berkista, pruriho nodularis,
morfea, dermatitis dengan likenifikasi, liken amiloidosis, dan vitiligo (sebagian
responsif)13.
Di samping KT tersebut ada pula kortikosteroid yang disuntikan intralesi,
misalnya triamsinolon asetonid13.
15
salep, ataupun gel memberikan hasil berbeda. Konsentrasi formula juga akan
mempengaruhi potensi KT. Sebagai aturan umum, KT potensi rendah adalah agen
paling aman untuk penggunaan jangka panjang, pada area permukaan besar, pada
wajah, atau pada daerah dengan kulit tipis dan untuk anak-anak. KT yang lebih
kuat sangat berguna untuk penyakit yang parah dan untuk kulit yang lebih tebal di
telapak kaki dan telapak tangan. KT potensi tinggi dan super poten tidak boleh
digunakan di selangkangan, wajah, aksila dan di bawah oklusi, kecuali dalam
situasi yang jarang dan untuk durasi pendek1.
16
KT golongan sangat poten selama 1 minggu penuh lalu dihentikan selama 1
minggu, kemudian dilanjutkan kembali sampai lesi terkontrol2.
Cara lain adalah dengan mengoleskan KT selama 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu atau diberikan 2 kali dalam 1 minggu. Pada dermatitis atopik
terapi KT dapat diberikan selama 2 hari berturut-turut setiap minggu. Pada
pemakaian KT golongan II dan VI, dianjurkan pemakaian 2 kali/hari dan lama
pemberian 2-4 minggu. Bila respons adekuat tidak tercapai dalam 4-7 hari, segera
pilih KT golongan lain2.
17
KT berpotensi kuat dan sangat kuat dapat diabsorbsi dan menimbulkan
efek sistemik, di antaranya sindrom Cushing, supresi kelenjar hypothalamic-
pituitary-adrenal, gangguan metabolik, misalnya hiperglikemi, gangguan
ginjal/elektrolit, contohnya hipertensi, edema hipokalsemi. Pada umumnya efek
samping tersebut bersifat reversibel, membaik setelah obat dihentikan, kecuali
atrophic striae yang lebih sulit diatasi karena telah terjadi kerusakan sawar
kulit1,2,15.
Reaksi Hipersensitivitas
Dermatitis kontak akibat KT umumnya jarang terjadi. Prevalensi
diperkirakan 0,2-6%, umumnya lebih sering disebabkan oleh KT non-fluorinated.
Perlu diperhatikan respons KT kurang memuaskan bila terdapat infeksi yang tidak
terdiagnosis. Dermatitis kronik sulit diatasi, karena adanya fenomena adiksi
terhadap KT. Perlu dibedakan antara reaksi hipersensitif terhadap KT atau reaksi
hipersensitif terhadap vehikulum atau bahan pengawet; pembuktian dapat dengan
uji tempel. Vehikulum yang berpotensi menyebabkan alergi di antaranya adalah
propilen glikol, sorbitan sesquoleate, lanolin, paraben, formaldehid, dan
pewangi2.
B.6 Pencegahan Efek Samping
Efek samping sistemik jarang sekali terjadi, agar aman dosis yang
dianjurkan ialah jangan melebihi 30 gram sehari tanpa oklusi13.
Pada bayi kulit masih tipis, hendaknya dipakai KT yang lemah. Pada
kelainan akut dipakai pula KT yang lemah. Pada kelainan subakut digunakan KT
sedang. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai KT kuat. Bila telah membaik
pengolesan dikurangin, yang semula dua kali sehari menjadi sekali sehari atau
diganti dengan KT sedang/lemah untuk mencegh efek samping13.
Jika hendak menggunakan cara oklusi jangan melebihi 12 jam sehari dan
pemakaiannya terbatas pada lesi yang resisten13.
Pada daerah lipatan (inguinal, ketiak) dan wajah digunakan KT
lemah/sedang. KT jangan digunakan untuk infeksi bakterial, infeksi mikotik,
infeksi virus, dan skabies13. Di sekitar mata hendaknya berhati-hati untuk
menghindari timbulya glaukoma dan katarak13. Terapi intralesi dibatasi 1 mg pada
satu tempat, sedangkan dosis maksimum per kali 10mg13.
18
BAB III
DISKUSI
19
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Jones JB. Topical therapy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffi ths C, eds.
Rook’s textbook of dermatology. 7th ed. Australia: Blackwell Publ. 2004.
p. 516-23.
2. Rathi SK, D’Souza P. Rational and ethical use of topical corticosteroids based
on safety and effi cacy. Indian J Dermatol. 2012; 57(4): 251-9.
3. Boediardja SA. 2013. Kortikosteroid topikal: Penggunaan yang tepat dalam
praktek dermatologi. Jakarta: Departemen Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Page C, Curtis M, Walker M, Hoffman B. Drugs in The Skin. Integrated
Pharmacology, 3rd ed, Mosby Elsevier. 2006; p 527-544
5. Burkhart C, Morell D, Goldsmith L. Dermatological Pharmacology. Goodman
And Gildman’s The Pharmacological Basis Of Therapeutics, 12th ed,
Laurence L Brunton editor. Mc Graw-Hill. 2011; p 1803-1832.
6. Robertson DB and Maibach HI. Dermatologic Pharmacology in Basic &
Clinical Pharmacology 8th ed. Katzung B editor, Prentise Hall
International, 2006; p 932-948.
7. Cho S and Bashaw ED. Clinical Pharmacology for Development of Topical
Dermatological Products : Present and Future Opportunities for Safety and
Efficacy. Clinical Pharmacology & Therapeutics. 2011; vol 89, no. 2; p
167-169.
8. Bos JD, Meinardi MH-HM. The 500 Dalton rule for the skin penetration of
chemical compounds and drugs. Exp Dermatol. 2000; 9: p 165-169.
9. Buxton ILO and Benet LZ. Pharmacokinetics: The Dynamics of Drug
Absorption, Distribution, Metabolism, and Elimination. Goodman And
Gildman’s The Pharmacological Basis Of Therapeutics, 12th ed, Laurence
L Brunton editor. Mc Graw-Hill. 2011; p 18-39.
10. Sharma S. Topical drug delivery system: A review. Pharmaceut. Rev.
2008;6:1-29.
11. Lipsker D, Kragballe K, Fogh K, Saurat JH. Other topical medication. In:
Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, eds. Dermatology; 4th ed. London:
Elsevier Limited, 2006:2056-67.
21
12. Schaefer H, Redelmeier TE, Ohynek GJ, Lademann J. Pharmacokinetics and
topical aplication of drugs. In: Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leff el DJ, Fitzpatrick, eds. Dermatology in general
medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill, 2008.2097-100.
13. Djuanda A. Pengobatan dengan kortikosteroid sistemik dalam bidang
dermatovenereologi. In: Djuanda A, ed. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 339-
41.
14. Ference JD, Last AR. Choosing topical corticosteroids. Am Fam. Physician
2009; 79(2): 135-40.
15. Hengge UR, Ruzicka T, Schwartz RA, Cork MJ. Adverse eff ect of topical
glucocorticosteroids. J Am Acad Dermatol. 2006; 54(1): 5.
22