Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

TERAPI KORTIKOSTEROID TOPIKAL DALAM DERMATOLOGI

Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu
syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin RS Islam Jemursari Surabaya

Oleh:

Rizky Amalia

Pembimbing:

dr. Meidyta Sinantryana, Sp. KK

Departemen / SMF Dermatologi dan Venereologi

Fakultas Kedokteran

Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

2018

Daftar Isi
Cover........................................................................................................................1
Daftar Isi..................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
A. Obat Topikal dalam Dermatologi....................................................................4
A.1 Prinsip Terapi Topikal dalam Dermatologi................................................4
A.2 Farmakokinetik Obat Topikal....................................................................5
A.3 Bahan Dasar (Vehikulum)..........................................................................8
A.4 Bahan Aktif..............................................................................................11
B. Kortikosteroid Topikal...................................................................................14
B.1 Penggolongan...........................................................................................14
B.2 Indikasi.....................................................................................................15
B.3 Pemilihan Jenis Kortikosteroid................................................................16
B.4 Aplikasi Klinis..........................................................................................17
B.5 Efek Samping...........................................................................................18
BAB III DISKUSI..................................................................................................19
BAB IV PENUTUP...............................................................................................20
A. Kesimpulan....................................................................................................21
B. Saran..............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................21

2
BAB I

PENDAHULUAN

Kortikosteroid topikal (KT) merupakan salah satu obat yang sering


diresepkan dan digunakan untuk pasien dermatologi sejak pertama kali
diperkenalkan pada awal tahun 1950-an. Sayangnya, KT sering kali digunakan
secara tidak tepat baik oleh dokter, farmasi, toko obat, ahli kecantikan ataupun
pasien karena keampuhannya menghilangkan gejala dan tanda berbagai penyakit
kulit. Hal tersebut tidak jarang menimbulkan masalah efek samping. Efektivitas
KT bergantung pada potensi/ kekuatan, vehikulum, frekuensi pengolesan,
jumlah/banyaknya, dan lama pemakaian. Selain diagnosis yang tepat, stadium
penyakit, lokasi anatomi, dan faktor usia, kepatuhan pasien juga ikut
mempengaruhi keberhasilan terapi. Secara farmakologik penulisan resep KT harus
rasional, terutama bila dikombinasikan/dicampur dengan obat lain, serta selalu
mempertimbangkan efek samping yang mungkin terjadi1,2.
Kortikosteroid merupakan derivat hormon kortikosteroid yang dihasilkan
oleh kelenjar adrenal. Hormon ini memainkan peran penting termasuk mengontrol
respons inflamasi. Kortikosteroid hormonal dapat digolongkan menjadi
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah
kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar dan
khasiat antiinflamasinya nyata. Prototip golongan ini adalah kortisol dan kortison,
yang merupakan glukokortikoid alami. Terdapat juga glukokortikoid sintetik,
misalnya prednisolon, triamsinolon, dan betametason. Golongan
mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang mempunyai aktivitas utama
menahan garam dan terhadap keseimbangan air dan elektrolit. Umumnya
golongan ini tidak mempunyai efek antiinflamasi yang berarti, sehingga jarang
digunakan. Pada manusia, mineralokortikoid yang terpenting adalah aldosteron.
Berdasarkan cara penggunaannya, kortikosteroid dapat dibagi dua, yaitu
kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topical1,2,3.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Obat Topikal dalam Dermatologi

A.1 Prinsip Terapi Topikal dalam Dermatologi


Kulit mempunyai berbagai fungsi dan yang utama adalah fungsi
pertahanan yaitu melindungi tubuh terhadap pengaruh lingkungan baik fisik dan
biologi. Penetrasi berbagai senyawa dari luar ke dalam tubuh terutama dicegah
oleh lapisan kornea epidermis. Lapisan luar ini tebalnya hanya beberapa
micrometer, tapi efektif membentuk barrier untuk melestarikan kehidupan. Obat
yang diberikan secara topical harus dapat penetrasi melewati barrier ini menuju
ke tempat kerjanya. Khusus di bidang dermatologi tempat kerjanya bisa langsung
di tempat aplikasi atau berdekatan yang memerlukan penetrasi terlebih dahulu.
Seperti halnya pemberian obat secara sistemik maka efek obat tergantung pada
kadar obat yang mencapai tempat kerjanya4,8.
Pada pemberian topical kadar di tempat kerjanya tidak selalu sama dengan
kadar plasma sehingga bioavaibilitas obat tidak menggambarkan yang sebenarnya.
Keuntungan pemberian topical, obat bekerja lebih terlokalisir dan terhindar dari
metabolisme lintas pertama. Namun jika terjadi absorbs sistemik dari obat topikal
dapat menyebabkan efek farmakologi yang tidak diinginkan bahkan efek toksik.
Untuk mendapatkan efek yang maksimum dan efek samping yang minimum dari
obat topikal ini, diperlukan suatu kajian farmakokinetik agar dicapai kadar obat
yang cukup di tempat kerjanya tanpa menimbulkan efek samping sistemik4,8.
Kegunaan dan khasiat pengobatan topikal didapat dari pengaruh fisik dan
kimiawi obat-obat yang diaplikasi di atas kulit yang sakit. Pengaruh fisik antara
lain ialah mengeringkan, membasahi (hidrasi), melembutkan, lubrikasi,
mendinginkan, memanaskan, dan melindungi (proteksi) dari pengaruh buruk dari
luar. Senua hal itu bermaksud untuk mengadakan homeostasis, yaitu
mengembalikan kulit yang sakit dan jaringan di sekitarnya ke keadaan fisiologis
yang stabil dengan segera. Obat topikal juga digunakan untuk menghilangkan
gejala-gejala yang mengganggu, misalnya rasa gatal dan panas. Pengaruh lain
obat topikal adalah khasiat kimiawi yang spesifik terhadap organisme di kulit atau

4
terhadap kulit itu sendiri. Secara ideal maka pemberian obat topikal harus
berkhasiat secara fisik maupun kimiawi. Prinsip obat topikal secara umum terdiri
atas 2 bagian, yaitu bahan dasar (vehikulum) dan bahan aktif4,5,6.

A.2 Farmakokinetik Obat Topikal


Pada dasarnya prinsip farmakokinetik terhadap obat yang diaplikasikan di
kulit tidak jauh berbeda dari cara pemberian obat mellaui rute yang lain yaitu obat
diabsorbsi melalui tempat diaplikasikan selanjutnya menuju tempat kerjanya dan
akan mengalami metabolisme yang akhirnya dieliminasi6.
Mekanisme absorbsi obat topikal atau per kutan dari lapisan luar kulit
adalah dengan difusi melewati barrier kulit yaitu 3 kompartemen kulit yang
terdiri dari permukaan luar kulit, stratum korneum, dan jaringan hidup di
bawahnya. Setelah diaplikasikan pada permukaan luar kulit, obat akan mengalami
penguapan, perubahan struktur dan komposisi yang akan menentukan
bioavaibilitas obat tersebut. Tiga jalur utama penetrasi obat topikal pada kondisi
stratum korneum utuh adalah jalur transeluler (menembus stratum korneum), jalur
intraseluler (difusi melalui matriks lipid antar sel) dan jalur folikel rambut dan
kelenjar keringat. Setelah absorbsi obat akan berikatan dengan target sel yang ada
di permukaan kulit, di dalam kulit atau berdifusi ke pembuluh darah kulit atau
difusi ke hypodermis. Pembuluh darah kapiler epidermis merupakan tempat utama
terjadinya absorbsi sistemik pada pemberian topikal sehingga dapat menimbulkan
efek sistemik5,8.
Saat sediaan topikal diaplikasikan pada kulit, terjadi 3 interaksi:
1. Solute vehicle interaction: interaksi bahan aktif terlarut dalam vehikulum.
Idealnya zat aktif terlarut dalam vehikulum tetap stabil dan mudah dilepaskan.
Interaksi ini telah ada dalam sediaan10,11.
2. Vehicle skin interaction: merupakan interaksi vehikulum dengan kulit. Saat
awal aplikasi fungsi reservoir kulit terhadap vehikulum10,11.
3. Solute Skin interaction: interaksi bahan aktif terlarut dengan kulit (lag phase,
rising phase, falling phase)10,11.
- Lag phase : periode ini merupakan saat sediaan dioleskan dan belum
melewati stratum korneum, sehingga pada saat ini belum
ditemukan bahan aktif obat dalam pembuluh darah.

5
- Rising phase : fase ini dimulai saat sebagian sediaan menembus stratum
korneum, kemudian memasuki kapiler dermis, sehingga
dapat ditemukan dalam pembuluh darah.
- Falling phase : fase ini merupakan fase pelepasan bahan aktif obat dari
permukaan kulit dan dapat dibawa ke kapiler dermis10,11.
a. Penetrasi secara transepidermal
Penetrasi transepidermal dapat secara interseluler dan intraseluler.
Penetrasi interseluler merupakan jalur yang dominan, obat akan menembus
stratum korneum melalui ruang antar sel pada lapisan lipid yang mengelilingi sel
korneosit. Difusi dapat berlangsung pada matriks lipid protein dari stratum
korneum. Setelah berhasil menembus stratum korneum obat akan menembus
lapisan epidermis sehat di bawahnya, hingga akhirnya berdifusi ke pembuluh
kapiler10,11. Penetrasi secara intraseluler terjadi melalui difusi obat menembus
dinding stratum korneum sel korneosit yang mati dan juga melintasi matriks lipid
protein startum korneum, kemudian melewatinya menuju sel yang berada di
lapisan bawah sampai pada kapiler di bawah stratum basal epidermis dan berdifusi
ke kapiler10,11.
b. Penetrasi secara transfolikular
Analisis penetrasi secara folikular muncul setelah percobaan in vivo.
Percobaan tersebut memperlihatkan bahwa molekul kecil seperti kafein dapat
berpenetrasi tidak hanya melewati sel-sel korneum, tetapi juga melalui rute
folikular. Obat berdifusi melalui celah folikel rambut dan juga kelenjar sebasea
untuk kemudian berdifusi ke kapiler12.
Kemampuan dan kecepatan absorbsi obat yang diaplikasikan di kulit
dipengarui oleh berbagai faktor antara lain:
 Variasi ketebalam stratum korneum pada organ tidak sama, seperti pada
skrotum, wajah, dan kulit kepala lebih permiabel daripada telapak tangan.
Dalam hal ini stratum korneum membatasi difusi obat menuju epidermis dan
dermis. Pada daerah yang tipis memerlukan jumlah obat lebih sedikit untuk
menimbulkan efek yang sama5,6.
 Gradient konsentrasi: semakin tinggi gradient konsentrasi semakin tinggi pula
kemampuan transfer obat per satuan waktu6.

6
 Stratum korneum dapat pula berfungsi sebagai reservoir beberapa obat
sehingga waktu paruh lokalnya panjang dan dapat terjadi efek obat masih
berlangsung walaupun aplikasi topikal sudah dihentikan. Pada kondisi seperti
ini pemberian obat topikal cukup satu kali sehari, misalnya kortikosteroid yang
diaplikasikan sehari sekali sama efektifnya dengan aplikasi beberapa kali. Pada
kondisi dimana stratum korneum abnormal dan fungsi barrier berubah, maka
akan terjadi peningkatan absorbsi perkutan5.
 Sifat fisiko kimia obat: kelarutan dalam lemak akan lebih mudah untuk
berdifusi, demikian juga obat yang mudah penetrasi di stratum korneum adalah
dengan berat molekul ≤ 500 Da7,9.
 Vehikulum: vehikulum sebagai bahan pembawa obat berperan untuk
mempermudah absorbsi obat yang diberikan perkutan sehingga mencapai
tempat kerjanya dengan efektif. Pemilihan vehikulum yang tepat menyebabkan
obat mampu penetrasi di lapisan luar kulit dengan maksimal. Selain itu efek
vehikulum yang melembabkan atuapun mengeringkan akan memberikan efek
terapi5,6.
 Umur : anak-anak mempunyai luas permukaan yang lebih besar dari dewasa,
sehingga obat topikal akan memberikan efek lebih besar daripada sistemik7,8.
Di dalam epidermis selain terdapat sel-sel target yang akan berinteraksi
dengan obat topikal, terdapat pula berbagai sistem enzim yang mmapu
memetabolisme obat perkutan. Enzim-enzim yang telah dibuktikan adalah
cytochrom P (CYPs), epoxide hydroxilase, N-acetyltransferase, glucoronyl
transferase, sulfatase. Isoform CYP memetabolisme asam retinoid dan mungkin
mengontrol kadarnya di kulit. Disamping itu xenobiotik yang mencapai
keratinosit akan dimetabolisme oleh P-glycoprotein yang akan mempengaruhi
kadar xenobiotik di kulit9.

A.3 Bahan Dasar (Vehikulum)


Memilih bahan dasar (vehikulum) obat topikal merupakan langkah awal
dan terpenting yang harus diambil pada pengobatan penyakit kulit. Pada
umumnya sebagai pegangan adalah pada keadaan dermatosis yang membasah
dipakai bahan dasar yang cair/basah, misalnya kompres; dan pada keadaan kering
dipakai bahan dasar padat/kering, misalnya salep. Secara sederhana bahan dasar

7
dibagi menjadi: (1) cairan (2) bedak dan (3) salep. Di samping itu ada 2 campuran
atau lebih bahan dasar, yaitu (4) bedak kcocok (lotion), yaitu campuran cairan dan
bedak (5) krim, yaitu campuran cairan dan salep (6) pasta, yaitu campuran salep
dan bedak, dan (7) linimen (pasta pendingin), yaitu campuran cairan, bedak, dan
salep13.
1. Cairan
Cairan terdiri atas:
a. Solusio artinya larutan dalam air. Solusio dibagi dalam: kompres; rendam
(bath), misalnya rendam kaki, rendam tangan; dan mandi (full bath).
b. Tingtura artinya larutan dalam alkohol.
Prinsip pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari debris
(pus, krusta dan sebagainya) dan sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Di
samping itu terjadi perlunakan dan pecahnya vesikel, bula, dan pustule. Hasil
akhir pengobatan ialah keadaan yang membasah menjadi kering, permukaan
menjadi bersih sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan mulai terjadi
proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna untuk menghilangkan gejala,
mislanya rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-macam dermatosis13.
Harus diingat bahwa pengobatan dengan cairan dapat menyebabkan kulit
terlalu menjadi kering. Jadi pengobatan cairan harus dipantau secara teliti, kalau
keadaan sudah mulai kering pemakaiannya dikurangi dan kaluu perlu dihentikan
untuk diganti dengan bentuk pengobatan lainnya. Cara kompres lebih disukai
daripada cara rendam dan mandi, karena pada kompres terdapat pendinginan
dengan adanya penguapan, sedangkan pada rendam dan mandi terjadi proses
maserasi13.
Bahan aktif yang dipakai dalam kompres ialah biasanya bersifat astringen
dan antimicrobial. Astringen mengurangi eksudat akibta presipitasi protein.
Dikenali 2 macam kompres, yaitu13:
a. Kompres terbuka
Penguapan cairan kompres disusul oleh absorbsi eksudat atau pus.
Indikasinya adalah dermatosis madidans (dermatitis yang basah atau akut); infeksi
kulit dengan eritema yang mencolok, misalnya erisipelas; ulkus kotor yang
mengandung pus dan krusta. Efek pada kulit yang terjadi adalah (1) kulit yang

8
semula eksudatif menjadi kering, (2) permukaan kulit menjadi dingin, (3)
vasokonstriksi, dan (4) eritema berkurang13.
Cara kompres terbuka adalah menggunakan kain kasa yang bersifat
absorben dan non iritasi serta tidak terllau tebal (3 lapis). Balutan jangan terlalu
ketat, tidak perlu steril, dan jangan menggunakan kapas karena lekat dan
menghambat penguapan. Kasa dicelupkan ke dalam cairan kompres, diperas, lalu
dibalutkan dan di dalamkan, biasanya sehari 2 kali selama 3 jam. Hendaknya
jangan sampai terjadi maserasi. Bila kering dibasahkan lagi. Daerah yang
dikompres luasnya 1/3 bagian tubuh agar tidak terjadi pendinginan13.
b. Kompres tertutup (kompres impermeabel)
Mekanismenya adalah vasodilatasi, bukan untuk penguapan. Indikasinya
adalah untuk kelainan yang dalam, misalnya limfogranuloma venerium. Caranya
dengan menggunakan pembalut tebal dan ditutup dengan bahan impermeable,
misalnya selofan atau plastik13.
2. Bedak
Bedak yang dioleskan di atas kulit membuat lapisan tipis di kulit yang
tidak melekat erat sehingga penetrasinya sedikit sekali. Efek bedak adalah
mendinginkan, antiinflamasi ringan karena ada sedikit efek vasokonstriksi, anti-
pruritus lemah, mengurangi pergeseran kulit yang berlipat (intertrigo), dan
proteksi mekanis13.
Bagian utama yang diharapkan dari bedak adalah efek fisis. Bahan
dasarnya ialah talcum venetum. Biasanya bedak dicampur dengan seng oksida,
sebab zat ini bersifat mengabsorbsi air dan sebum, astringen, antiseptic lemah dan
antipruritus lemah. Indikasi pemberian bedak adalah pada dermatosis yang kering
dan superficial; untuk mempertahankan vesikel/bula agar tidak pecah, misalnya
pada varicela dan herpes zoster. Kontraindikasinya adalah pada dermatitis yang
basah, terutama bila disertai dengan infeksi sekunder13.
3. Salep
Salep adalah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar
berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula
lanolin atau minyak. Indikasi pemberian salep adalah (1) dermatosis yang kering
dan kronik, (2) dermatosis yang dalam dan kronik, karena daya penetrasi salep

9
paling kuat jika dibandingkan dengan bahan dasar lainnya, (3) dermatosis yang
bersisik dan berkrusta. Kontraindikasinya adalah dermatitis madidans. Jika
kelainan kulit terdapat pada bagian badan yang berambut, penggunaan salep tidak
dilanjutkan dan salep jangan dipakai di seluruh tubuh13.
4. Bedak kocok
Bedak kocok terdiri atas campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah
dengan gliserin sebagai bahan perekat. Supaya bedak tidak terlalu kental dan tidak
cepat menjadi kering, maka jumlah zat padat maksimal 40% dan jumlah gliserin
10-15%. Hal ini berarti bila beberapa zat aktif padat ditambahkan, maka
presentasi tersebut jangan dilampaui13.
Indikasi bedak kocok adalah (1) dermatosis yang kering, superficial dan
agak luas, yang diinginkan ialah sedikit penetrasi’ (2) pada keadaan subakut.
Kontraindikasi bedak kocok adalah dermatitis madidans dan daerah badan yang
berambut13.
5. Krim
Krim ialah campuran W (water, air), O (oil, minyak), dan emulgator. Krim
ada 2 jenis, yaitu (1) Krim W/O: air merupakan fase dalam dan minyak fase luar,
dan (2) Krim O/W: minyak merupakan fase dalam dan air fase luar. Selain itu
dipakai emulgator, dan biasanya ditambah bahan pengawet, misalnya paraben dan
juga dicampur dengan parfum. Berbagai bahan aktif dapat dimasukkan did lam
krim13.
Indikasi penggunaan krim adalah (1) indikasi kosmetik, (2) dermatosis
yang subakut dan luas, yang dikehendaki ialah penetrasi yang lebih besar daripada
bedak kocok, (3) krim boleh digunakan di daerah yang berambut. Sedangkan
kontraindikasi penggunaan krim adalah dermatitis madidans13.
6. Pasta
Pasta ialah campuran homogen bedak dan vaselin. Pasta bersifat protektif
dan mengeringkan. Indikasi penggunaan pasta ialah dermatosis yang agak basah.
Kontraindikasi pasta adalah dermatosis yang eksudatif dan daerah yang berambut.
Untuk daerah genital eksterna dan lipatan-lipatan badan pasta tidak dianjurkan
karena terlalu melekat13.
7. Linimen

10
Linimen atau pasta pendingin ialah campuran cairan, bedak, dan salep.
Indikasinya adalah untuk dermatosis yang subakut. Sedangkan kontraindikasinya
adalah dermatosis madidans13.
Gel
Terdapat vehikulum lain yang tidak termasuk dalam “bagan vehikulum”,
ialah gel. Gel ialah sediaan hidrokoloid atau hidrolitik berupa suspense yang
dibuat dari senyawa organik. Zat untuk membuat gel diantaranya adalah
karbomer, metilselulosa, dan tragakan. Bila zat-zat tersebut dicampur dengan air
dengan perbandingan tertentu akan terbentuk gel. Karbomer akan membuat gel
menjadi sangat jernih dan halus13.
Gel segera mencair, jika berkontak dengan kulit dan membentuk satu
lapisan. Absorbsi perkutan lebih baik daripada krim13.

A.4 Bahan Aktif


Memilih obat topikal selain faktor vehikulum, juga faktor bahan aktif yang
diamasukkan ke dalam vehikulum yang mempunyai khasiat tertentu yang sesuai
untuk pengobatan topikal. Khasiat bahan aktif topikal dipengaruhi oleh keadaan
fisiko-kimia permukaan kulit, disamping komposisi formulasi zat yang dipakai.
Di dalam resep harus ada bahan aktif dan vehikulum. Yang penting ialah,
apakah bahan yang kita campurka itu dapat tercampurkan atau tidak, sebab ada
obat/zat yang sifatnya O.T.T. (= obat tidak tercampurkan)13.
Asam salisilat, mislanya dapat dicampur dengan asam lainnya, contohnya
asam benzoate atau dengan ter, resorsinol tidak tercampurkan dengan yodium,
garam, besi, atau bahan yang bersifat oksidator13.
Penetrasi bahan aktif mellaui kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor,
termasuk konsentrasi obat, kelarutannya dalam vehikulum, besar partikel,
viskositas, dan efek vehikulum terhadap kulit13.
Bahan aktif yang digunakan antara lain3:
1. Aluminium asetat
Contohnya ialah larutan Burowi yang mengandung aluminium asetat 5%.
Efeknya ialah astringen dan antiseptik ringan. Jika hendak digunakan sebagai
kompres diencerkan 1:10.
2. Asam asetat

11
Diapakai sebagai larutan 5% untuk kompres, bersifat antiseptik untyuk
infeksi Pseudomonas.
3. Asam benzoat
Mempunyai sifat antiseptik terutama fungisidal. Digunakan dalam salep,
contohnya dalam salep Whitfield dengan konsentrasi 5%.
4. Asam borat
Konsentrasinya 3% tidak dianjurkan untuk dipakai sebagai bedak,
kompres atau dalam salep berhubung efek antiseptiknya sangat sedikit dan dapat
bersifat toksik, terutama pada kelainan yang luas dan erosive terlebih-lebih pada
bayi.
5. Asam salisilat
Merupakan zat keratolitik yang tertua yang dikenal dalam pengobatan
topikal. Efeknya ialah mengurangi ploriferasi epitel dan menormalisasi
keratinisasi yang terganggu. Pada konsentrasi rendah (1-2%) mempunyai efek
keratoplastik, yaitu menunjangn pembentukan keratin yang baru. Pada konsentrasi
tinggi (3-20%) bersifat keratolitik dan dipakai untuk keadaan dermatosis yang
hiperkeratotik. Pada konsentrasi sangat tinggi (40%) dipakai untuk kelainan-
kelainan yang dalam, misalnya kalus dan veruka plantaris. Asam salisil dalam
konsentrasi 1% dipakai sebagai kompres, bersifat antiseptik. Penggunaannya,
mislanya untuk dermatitis eksudatif. Asam salisil 3%-5% juga bersifat
mempertinggi absorbsi per kutan zat-zat aktif.
6. Asam vit. A (tretinoin, asam retinoat)
Efek
 Memperbaiki keratinisasi menjadi normal, jika terjadi gangguan
 Meningkatkan sintesis DNA dalam epithelium germinatif
 Meningkatkan laju mitosis
 Menebalkan stratum granulosum
 Menormalkan parakeratosis.
Indikasi
 Penyakit dengan sumbatan folikular
 Penyakit dengan hyperkeratosis
 Pada proses menua kulit akibat sinar matahari

12
7. Benzokain
Bersifat anesthesia. Konsentrasinya ½ -5%. Tidak larut dalam air, lebih
larut dalam minyak (1:35) dan lebih larut lagi dalam alkohol. Dapat digunakna
dalam vehikulum yang lain. Sering menyebabkan sensitisasi.
8. Benzil benzoat
Cairan berkhasiat sebagai skabisid dan pedikulosid. Digunakan sebagai
emulsi dengan konsentrasi 20% atau 25%.
9. Camphora
Konsentrasinya 1-2%. Bersifat antipruritus berdasarkan penguapan zat
tersebut sehingga terjadi pendinginan. Dapat dimasukkan ke dalam bedak atau
bedak kocok yang mengandung alkohol agar dapat larut. Juga dapat dipakai dalam
salep dan krim.
10. Kortikosteroid topikal
Pada tahun 1952 Sulzberger dan Witten memperkenalkan hidrokortison
dan hidrokortison asetat sebagai obat topikal pertama dari golongan kortikosteroid
(KS). Hal ini merupakan kemajuan yang sangat besar dalam pengobatan penyakit
kulit topikal karena KS mempunyai khasiat yang sangat luas, yaitu: anti-inflamasi,
anti-alergi, anti-pruritus, anti-mitotik, dan vasokonstriksi. Pada penyelidikan
ternyata bahwa kortison dan Adreno-Cortico-Trophic Hormone (ACTH) tidak
efektif sebagai obat topikal.
Pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 1960 diperkenalkan KS yang
lebih poten daripada hiidrokortison, yiatu KS yang bersenyawa halogen yang
dikenal sebagai fluorinated corticosteroid. Penambahan 1 atom F pada posisi 6
dan 9 dan satu rantai samping pada posisi 16 dan 17, menghasilkan bentuk yang
mempunyia potensi tinggi. Zat-zat ini pada konsentrasi 0,025% sampai 0,1%
memberikan pengaruh antiinflamasi yang kuat, yang termasuk dalam golongan ini
ialah betametason, betametason valerat, betametason benzoat, fluosinolon
asetonid, dan triamsinolon asetonid.

13
B. Kortikosteroid Topikal

B.1 Penggolongan
Kortikosteroid topikal dibagi menjadi 7 golongan besar, diantaranya
berdasarkan anti-inflamasi dan antimitotik. Golongan I yang yang paling kuat
daya anti-inflamasi dan anti-mitotiknya (superpoten). Sebaliknya golongan VII
yang terlemah (potensi lemah).
Tabel 1. Klasifikasi Potensi Kortikosteroid Topikal14

14
B.2 Indikasi
Kortikosteroid (KT) dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat
pilihan untuk suatu penyakit kulit. Harus selalu diingat bahwa KT bersifat paliatif
dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.
Dermatosis yang responsif dengan KT, ialah: psoriasis, dermatitis atopic,
dermatitis kontak, dermatitis seboroik, neurodermatitis sirkumkripta, dermatitis
numularis, dermatitis stasis, dermatitis venenata, dermatitis intertriginosa, dan
dermatitis solaris (fotodermatitis)13.
Dermatosis yang kurang responsif ialah lupus eritematosus discoid,
psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipoidika diabetikorum, vitiligo,
granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, dan eksantema fikstum.
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid intralesi ialah keloid,
jaringan parut hipertrofik, alopesia areata, akne berkista, pruriho nodularis,
morfea, dermatitis dengan likenifikasi, liken amiloidosis, dan vitiligo (sebagian
responsif)13.
Di samping KT tersebut ada pula kortikosteroid yang disuntikan intralesi,
misalnya triamsinolon asetonid13.

B.3 Pemilihan Jenis Kortikosteroid


Dipilih KT yang sesuai, aman, efek samping sedikit dan harga murah; di
samping itu ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu jenis penyakit
kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit, yaitu stadium penyakit, luas/tidaknya
lesi, dalam/dangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan umur
penderita13.
Potensi/kekuatan adalah jumlah obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan
efek terapi yang diinginkan. Potensi/kekuatan KT dapat diukur dengan
menghitung daya vasokonstriksi. Daya vasokonstriksi di kulit orang sehat menjadi
dasar klasifikasi potensi. Efek terapi KT pada setiap pasien hasilnya bervariasi.
Keberhasilan terapi tidak hanya bergantung pada kekuatan KT, tetapi juga
dipengaruhi oleh frekuensi dan jumlah obat yang diaplikasikan, jangka waktu
pemberian terapi, dan lokasi anatomi. Terdapat perbedaan hasil pengobatan KT
walaupun formula generiknya sama atau di satu kelas yang sama. Setiap nama
dagang tertentu menggunakan vehikulum yang berbeda. Bentuk lotion, krim,

15
salep, ataupun gel memberikan hasil berbeda. Konsentrasi formula juga akan
mempengaruhi potensi KT. Sebagai aturan umum, KT potensi rendah adalah agen
paling aman untuk penggunaan jangka panjang, pada area permukaan besar, pada
wajah, atau pada daerah dengan kulit tipis dan untuk anak-anak. KT yang lebih
kuat sangat berguna untuk penyakit yang parah dan untuk kulit yang lebih tebal di
telapak kaki dan telapak tangan. KT potensi tinggi dan super poten tidak boleh
digunakan di selangkangan, wajah, aksila dan di bawah oklusi, kecuali dalam
situasi yang jarang dan untuk durasi pendek1.

B.4 Aplikasi Klinis


a. Cara aplikasi
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari sampai penyakit
tersebut sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis
ialah menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat
berulang-ulang; berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan
menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksinya akan
timbul kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan13.
b. Lama pemakaian steroid topikal
Lama pemakaian steroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu
untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat.
Pemakaian KT jangka panjang dapat menyebabkan efek takifilaksis, yaitu
penurunan respons efek vasokonstriksi (kulit toleran terhadap efek
vasokonstriksi). Takifilaksis dapat terjadi 4 hari setelah pemakaian KT potensi
sedang-kuat 3 kali sehari di wajah, leher, tengkuk, intertriginosa, atau pada
pemakaian secara oklusi. Efek takifilaksis menghilang setelah KT dihentikan
selama 4 hari. KT golongan sangat poten atau poten sebaiknya digunakan tidak
lebih dari 2 minggu. Bila digunakan jangka panjang, turunkan potensi perlahan-
lahan, turunkan ke potensi yang lebih rendah setelah digunakan 1 minggu,
kemudian hentikan. Penghentian tiba-tiba potensi kuat menyebabkan rebound
symptoms (dermatosis menjadi lebih buruk)2.
Cara menghindari efek rebound dan memperlambat kekambuhan penyakit
kulit kronis adalah dengan pemberian intermiten. Pada psoriasis dapat diberikan

16
KT golongan sangat poten selama 1 minggu penuh lalu dihentikan selama 1
minggu, kemudian dilanjutkan kembali sampai lesi terkontrol2.
Cara lain adalah dengan mengoleskan KT selama 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu atau diberikan 2 kali dalam 1 minggu. Pada dermatitis atopik
terapi KT dapat diberikan selama 2 hari berturut-turut setiap minggu. Pada
pemakaian KT golongan II dan VI, dianjurkan pemakaian 2 kali/hari dan lama
pemberian 2-4 minggu. Bila respons adekuat tidak tercapai dalam 4-7 hari, segera
pilih KT golongan lain2.

B.5 Efek Samping


Efek samping terjadi bila:
1. penggunaan KT yang lama dan berlebihan
2. penggunaan KT dengan potensi kuat atau sangat kuat atau penggunaan secara
oklusif.
Harus diingat bahwa makin tingi potensi KT, makin cepat terjadinya efek
samping. Gejala efek samping adalah atrofi, striae atrifise, telangiektasis, purpura,
dermatosis akneformis, hyperkeratosis setempat, hipopigmentasi, dermatitis
perioral, menghambat penyembuhan ulkus, infeksi mudah terjadi dan meluas,
gambaran klinis penyakit infeksi menjadi kabur13.
Dermatosis yang diobati dengan KT gambaran klinisnya menjadi tidak
khas karena efek anti-inflamasinya. Pinggir yang eritematosa dan berbatas tegas
menjadi kabur dan meluas dikenal sebagai tinea incognito13.
Efek Samping Lokal
Pemakaian KT jangka panjang atau potensi kuat menginduksi atrofi kulit,
striae, telangiektasi, purpura, hipopigmentasi, akneiformis, dermatitis perioral,
hipertrikosis, dan moonface. Pada pemakaian KT tidak terkontrol dan jarang
dilaporkan adalah adiksi KT. Beberapa contoh adiksi KT, yaitu lesi eritematosa di
wajah setelah peeling, kulit skrotum tipis dan merah, vulvodynia, atrofi perianal,
dan dermatitis atopik rekalsitrans. Pemakaian KT jangka panjang di wajah dapat
menyebabkan topical corticosteroids-induces rosacea-like dermatitis (TCIRD)
atau topical steroid-dependent face (TSDF)1,2,15.
Efek Samping Sistemik

17
KT berpotensi kuat dan sangat kuat dapat diabsorbsi dan menimbulkan
efek sistemik, di antaranya sindrom Cushing, supresi kelenjar hypothalamic-
pituitary-adrenal, gangguan metabolik, misalnya hiperglikemi, gangguan
ginjal/elektrolit, contohnya hipertensi, edema hipokalsemi. Pada umumnya efek
samping tersebut bersifat reversibel, membaik setelah obat dihentikan, kecuali
atrophic striae yang lebih sulit diatasi karena telah terjadi kerusakan sawar
kulit1,2,15.
Reaksi Hipersensitivitas
Dermatitis kontak akibat KT umumnya jarang terjadi. Prevalensi
diperkirakan 0,2-6%, umumnya lebih sering disebabkan oleh KT non-fluorinated.
Perlu diperhatikan respons KT kurang memuaskan bila terdapat infeksi yang tidak
terdiagnosis. Dermatitis kronik sulit diatasi, karena adanya fenomena adiksi
terhadap KT. Perlu dibedakan antara reaksi hipersensitif terhadap KT atau reaksi
hipersensitif terhadap vehikulum atau bahan pengawet; pembuktian dapat dengan
uji tempel. Vehikulum yang berpotensi menyebabkan alergi di antaranya adalah
propilen glikol, sorbitan sesquoleate, lanolin, paraben, formaldehid, dan
pewangi2.
B.6 Pencegahan Efek Samping
Efek samping sistemik jarang sekali terjadi, agar aman dosis yang
dianjurkan ialah jangan melebihi 30 gram sehari tanpa oklusi13.
Pada bayi kulit masih tipis, hendaknya dipakai KT yang lemah. Pada
kelainan akut dipakai pula KT yang lemah. Pada kelainan subakut digunakan KT
sedang. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai KT kuat. Bila telah membaik
pengolesan dikurangin, yang semula dua kali sehari menjadi sekali sehari atau
diganti dengan KT sedang/lemah untuk mencegh efek samping13.
Jika hendak menggunakan cara oklusi jangan melebihi 12 jam sehari dan
pemakaiannya terbatas pada lesi yang resisten13.
Pada daerah lipatan (inguinal, ketiak) dan wajah digunakan KT
lemah/sedang. KT jangan digunakan untuk infeksi bakterial, infeksi mikotik,
infeksi virus, dan skabies13. Di sekitar mata hendaknya berhati-hati untuk
menghindari timbulya glaukoma dan katarak13. Terapi intralesi dibatasi 1 mg pada
satu tempat, sedangkan dosis maksimum per kali 10mg13.

18
BAB III

DISKUSI

Kortikosteroid topikal (KT) merupakan salah satu obat yang sering


diresepkan dan digunakan untuk pasien dermatologi. Sayangnya, KT sering kali
digunakan secara tidak tepat baik oleh dokter, farmasi, toko obat, ahli kecantikan
ataupun pasien karena keampuhannya menghilangkan gejala dan tanda berbagai
penyakit kulit. Hal tersebut tidak jarang menimbulkan masalah efek samping.1,2
Efektivitas KT bergantung pada potensi/ kekuatan, vehikulum, frekuensi
pengolesan, jumlah/banyaknya, dan lama pemakaian. Selain diagnosis yang tepat,
stadium penyakit, lokasi anatomi, dan faktor usia, kepatuhan pasien juga ikut
mempengaruhi keberhasilan terapi. Secara farmakologik penulisan resep KT harus
rasional, terutama bila dikombinasikan/dicampur dengan obat lain, serta selalu
mempertimbangkan efek samping yang mungkin terjadi.
Mengoptimalkan penggunaan kortikosteroid topikal dengan cara:
 Memilih KT dan vehikulum yang tepat sesuai indikasi dermatosis. Mulailah
dengan potensi ringan, terutama untuk lesi di wajah, kelopak mata,
intertriginosa, fleksural, skrotum, dan untuk area yang luas.
 Menggunakan potensi KT yang sesuai untuk mencapai pengendalian penyakit.
Makin kuat potensi, makin kuat daya inflamasi, dan antiproliferasi.
 Turunkan potensi KT atau kurangi frekuensi aplikasi setelah hasil yang
memuaskan dicapai. Turunkan perlahan-lahan sampai remisi terkontrol
lengkap.
 KT poten atau sangat poten dengan teknik oklusi lebih bermanfaat pada lesi
kronik ditandai hiperkeratosis dan likenifikasi.
 Hati-hati meresepkan KT, terutama untuk anak, orang tua, wanita hamil dan
menyusui.
 Waspada terhadap efek samping dan segera hentikan bila terjadi.
 Bila tidak ada indikasi hindari menggunakan preparat kombinasi KT dengan
antimikroba dan antijamur.
 Menghindari penggunaan KT untuk ruam yang tidak terdiagnosis karena akan
mengaburkan diagnosis.

19
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemberian obat secara topikal banyak digunakan untuk mengatasi


penyakit kulit dimana memberi keuntungan obat lebih terlokalisir di tempat
kerjanya. Agar absorbsi perkutan dapat optimal maka obat harus mampu
menembus barrier kulit dengan baik. untuk itu diperlukan bahan pembawa yaitu
vehikulum yang berfungsi meningkatkan absorbsi obat, misalnya dengan bentuk
cairan, bedak, bedak kocok, krim, pasta, linen, maupun gel; dan bahan aktif yang
dimasukkan ke dalam vehikulum yang mempunyai khasiat tertentu sesuai untuk
pengobatan topikal, yang salah satunya contohnya adalah kortikosteroid topikal.
Agar penggunaan kortikosteroid topikal optimal, maka harus diperhatikan tentang
penggolongan, indikasi, aplikasi klinis, pemilihan jenis, dan efek samping
kortikosteroid topikal.

B. Saran

Secara keseluruhan terapi topikal di bidang dermatologi perlu


mempertimbangkan cara pemberiannya untuk mendapatkan hasil yang maksimal
dan efek samping yang minimal.

20
DAFTAR PUSTAKA
1. Jones JB. Topical therapy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffi ths C, eds.
Rook’s textbook of dermatology. 7th ed. Australia: Blackwell Publ. 2004.
p. 516-23.
2. Rathi SK, D’Souza P. Rational and ethical use of topical corticosteroids based
on safety and effi cacy. Indian J Dermatol. 2012; 57(4): 251-9.
3. Boediardja SA. 2013. Kortikosteroid topikal: Penggunaan yang tepat dalam
praktek dermatologi. Jakarta: Departemen Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Page C, Curtis M, Walker M, Hoffman B. Drugs in The Skin. Integrated
Pharmacology, 3rd ed, Mosby Elsevier. 2006; p 527-544
5. Burkhart C, Morell D, Goldsmith L. Dermatological Pharmacology. Goodman
And Gildman’s The Pharmacological Basis Of Therapeutics, 12th ed,
Laurence L Brunton editor. Mc Graw-Hill. 2011; p 1803-1832.
6. Robertson DB and Maibach HI. Dermatologic Pharmacology in Basic &
Clinical Pharmacology 8th ed. Katzung B editor, Prentise Hall
International, 2006; p 932-948.
7. Cho S and Bashaw ED. Clinical Pharmacology for Development of Topical
Dermatological Products : Present and Future Opportunities for Safety and
Efficacy. Clinical Pharmacology & Therapeutics. 2011; vol 89, no. 2; p
167-169.
8. Bos JD, Meinardi MH-HM. The 500 Dalton rule for the skin penetration of
chemical compounds and drugs. Exp Dermatol. 2000; 9: p 165-169.
9. Buxton ILO and Benet LZ. Pharmacokinetics: The Dynamics of Drug
Absorption, Distribution, Metabolism, and Elimination. Goodman And
Gildman’s The Pharmacological Basis Of Therapeutics, 12th ed, Laurence
L Brunton editor. Mc Graw-Hill. 2011; p 18-39.
10. Sharma S. Topical drug delivery system: A review. Pharmaceut. Rev.
2008;6:1-29.
11. Lipsker D, Kragballe K, Fogh K, Saurat JH. Other topical medication. In:
Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, eds. Dermatology; 4th ed. London:
Elsevier Limited, 2006:2056-67.

21
12. Schaefer H, Redelmeier TE, Ohynek GJ, Lademann J. Pharmacokinetics and
topical aplication of drugs. In: Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leff el DJ, Fitzpatrick, eds. Dermatology in general
medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill, 2008.2097-100.
13. Djuanda A. Pengobatan dengan kortikosteroid sistemik dalam bidang
dermatovenereologi. In: Djuanda A, ed. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 339-
41.
14. Ference JD, Last AR. Choosing topical corticosteroids. Am Fam. Physician
2009; 79(2): 135-40.
15. Hengge UR, Ruzicka T, Schwartz RA, Cork MJ. Adverse eff ect of topical
glucocorticosteroids. J Am Acad Dermatol. 2006; 54(1): 5.

22

Anda mungkin juga menyukai