PENDAHULUAN
Toksisitas Organofosfat 1
organisme), tetatpi pada praktiknya pemakaian pestisida dapat menimbulkan bahaya
pada organisme non target. Dampak negatif terhadap organisme non target meliputi
dampak terhadap lingkungan berupa pencemaran dan menimbulkan keracunan
bahkan dapat menimbulkan kematian bagi manusia.
Pestisida organofosfat masuk ke dalam tubuh, melalui alat pencernaan atau
digesti, saluran pernafasan atau inhalasi dan melalui permukaan kulit yang tidak
terlindungi atau penetrasi. Pengukuran tingkat keracunan berdasarkan aktifitas
enzim kholinesterase dalam darah, penentuan tingkat keracunan adalah sebagai
berikut ; 75% - 100% katagori normal; 50% - < 75% katagori keracunan ringan;
25% - <50% katagori keracunan sedang; 0% - <25% katagori keracunan berat.
Keluarga petani merupakan orang yang mempunyai risiko keracunan pestisida,
hal ini karena selalu kontak dengan petani penyemprot, tempat penyimpanan
pestisida, peralatan aplikasi pestisida, yang dapat menimbulkan kontaminasi pada
air, makanan dan peralatan yang ada di rumah. Keracunan terjadi disebabkan kurang
mengertinya keluarga petani akan bahaya pestisida, masih banyaknya petani yang
menggunakan pestisida yang kurang memperhatikan dan megikuti cara-cara
penangganan yang baik dan aman, sehingga dapat membahayakan pada keluarga
petani.
1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada penulis khususnya,
maupun para pembaca. Manfaat tersebut baik dari segi pengetahuan dan pemahaman
mendalam mengenai Penggunaan Pestisida Organofosfat.
Toksisitas Organofosfat 2
BAB II
PEMBAHASAN
Toksisitas Organofosfat 3
Disulfoton, Ethion, Palathion, Malathion, Parathion, Diazinon, Chlorpyrifos.
Senyawa Organofosfat merupakan penghambat yang kuat dari enzim cholinesterase
pada syaraf. Asetyl cholin berakumulasi pada persimpangan persimpangan syaraf
(neural jungstion) yang disebabkan oleh aktivitas cholinesterase dan menghalangi
penyampaian rangsangan syaraf kelenjar dan otot-otot. Golongan ini sangat toksik
untuk hewan bertulang belakang. Organofosfat disintesis pertama kali di Jerman
pada awal perang dunia ke-II. Pestisida yang termasuk dalam golongan organofosfat
antara lain
2.2.1 Asefat
Diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk
mengendalikan hama-hama penusuk-penghisap dan pengunyah seperti aphids,
thrips, larva Lepidoptera (termasuk ulat tanah), penggorok daun dan wereng. LD50
(tikus) sekitar 1.030 – 1.147 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 10.000 mg/kg
menyebabkan iritasi ringan pada kulit (kelinci).
2.2.2 Kadusafos
Merupakan insektisida dan nematisida racun kontak dan racun perut. LD50
(tikus) sekitar 37,1 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 24,4 mg/kg tidak menyebabkan
iritasi kulit dan tidak menyebabkan iritasi pada mata.
2.2.3 Klorfenvinfos
Diumumkan pada tahun 1962. Insektisida ini bersifat nonsistemik serta bekerja
sebagai racun kontak dan racun perut dengan efek residu yang panjang. LD50
(tikus) sekitar 10 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 31 – 108 mg/kg.
2.2.4 Klorpirifos
Merupakan insektisida non-sistemik, diperkenalkan tahun 1965, serta bekerja
sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi. LD50 oral (tikus) sebesar 135 –
163 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 2.000 mg/kg berat badan.
2.2.5 Kumafos
Ditemukan pada tahun 1952. Insektisida ini bersifat non-sistemik untuk
mengendalikan serangga hama dari ordo Diptera. LD50 oral (tikus) 16 – 41 mg/kg;
LD50 dermal (tikus) > 860 mg/kg.
Toksisitas Organofosfat 4
2.2.6 Diazinon
Pertama kali diumumkan pada tahun 1953. Diazinon merupakan insektisida
dan akarisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan efek
inhalasi. Diazinon juga diaplikasikan sebagai bahan perawatan benih (seed
treatment). LD50 oral (tikus) sebesar 1.250 mg/kg.
2.2.7 Diklorvos (DDVP)
Dipublikasikan pertama kali pada tahun 1955. Insektisida dan akarisida ini
bersifat non-sistemik, bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan racun inhalasi.
Diklorvos memiliki efek knockdown yang sangat cepat dan digunakan di bidang-
bidang pertanian, kesehatan masyarakat, serta insektisida rumah tangga.LD50
(tikus) sekitar 50 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 90 mg/kg.
2.2.8 Malation
Diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan pro-insektisida yang
dalam proses metabolisme serangga akan diubah menjadi senyawa lain yang
beracun bagi serangga. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini bertindak sebagai
racun kontak dan racun lambung, serta memiliki efek sebagai racun inhalasi.
Malation juga digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk mengendalikan
vektor penyakit. LD50 oral (tikus) 1.375 – 2.800 mg/lg; LD50 dermal (kelinci)
4.100 mg/kg.
2.2.9 Paration
Ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan insektisida pertama yang
digunakan di lapangan pertanian dan disintesis berdasarkan lead-structure yang
disarankan oleh G. Schrader. Paration merupakan insektisida dan akarisida,
memiliki mode of action sebagai racun saraf yang menghambat kolinesterase,
bersifat non-sistemik, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan racun
inhalasi. Paration termasuk insektisida yang sangat beracun, LD50 (tikus) sekitar 2
mg/kg; LD50 dermal (tikus) 71 mg/kg.
2.2.10 Profenofos
Ditemukan pada tahun 1975. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini
memiliki aktivitas translaminar dan ovisida. Profenofos digunakan untuk
mengendalikan berbagai serangga hama (terutama Lepidoptera) dan tungau. LD50
(tikus) sekitar 358 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 472 mg/kg.
Toksisitas Organofosfat 5
2.2.11 Triazofos
Ditemukan pada tahun 1973. Triazofos merupakan insektisida, akarisida, dan
nematisida berspektrum luas yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut.
Triazofos bersifat non-sistemik, tetapi bisa menembus jauh ke dalam jaringan
tanaman (translaminar) dan digunakan untuk mengendalikan berbagai hama seperti
ulat dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 57 – 59 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 2.000
mg/kg.
Toksisitas Organofosfat 6
2.4.2 Demeton
Demeton adalah organofosfat pestisida peringkat 10% bahan kimia yang
paling berbahaya teratas. Ini adalah racun bagi manusia, mamalia lain, organisme
air, dan spesies nontarget. Demeton adalah campuran isomer yang tidak berwarna
dan memiliki bau belerang yang kuat dan sebagai Inhibitor Cholinesterase dan serius
menekan sistem saraf.Cholinesterase, atau acetylcholine, yang diproduksi di hati,
adalah salah satu dari banyak enzim penting yang dibutuhkan untuk berfungsinya
sistem saraf manusia, vertebrata lainnya, dan serangga.Hal ini digunakan sebagai
acaricide dan insektisida pada berbagai tanaman untuk mengendalikan kutu daun,
tungau, lalat putih, thrips, dan leafminers. Demeton sangat beracun bagi manusia.
Sejumlah keracunan dan bahkan beberapa kematian pekerja yang terpapar dalam
jumlah besar demeton telah diamati.Gejala awal keracunan mungkin termasuk
keringat berlebihan, sakit kepala, lemah, pusing, mual, muntah, hiper-air liur, sakit
perut, penglihatan kabur, lakrimasi cadel bicara, buang air kecil, diare dan otot
berkedut. Kemudian mungkin ada kejang-kejang dan koma
2.4.3 Malathion
Malathion termasuk golongan organofosfat parasimpatomimetik, yang
berarti berikatan irreversibel dengan enzim kolinesterase pada sistem saraf
serangga.Akibatnya, otot tubuh serangga mengalami kejang, kemudian lumpuh, dan
akhirnya mati. Malathion digunakan dengan cara pengasapan (fogging). Dosis yang
dipakai adalah 5% yaitu campuran antara malathion dan solar sebesar 1:19
Malathion membunuh insekta dengan cara meracun lambung, kontak langsung dan
dengan uap/pernapasan. Malathion, mempunyai sifat yang sangat khas, dapat
menghambat kerja kolinesterase terhadap asetilkolin (Asetilcholinesterase Inhibitor)
di dalam tubuh. Insektisida mengalami proses biotransformation di dalam darah dan
hati. Sebagian malathion dapat dipecahkan dalam hati mamalia dan penurunan
jumlah dalam tubuh terjadi melalui jalan hidrolisa esterase.
Toksisitas Organofosfat 7
bervariasi, antara lain tergantung dari golongan, intensitas pemaparan, jalan masuk
dan bentuk sediaan. Dalam tubuh manusia diproduksi asetikolin dan enzim
kholinesterase. Enzim kholinesterase berfungsi memecah asetilkolin menjadi kolin
dan asam asetat.
Asetilkolin dikeluarkan oleh ujung-ujung syaraf ke ujung syaraf berikutnya,
kemudian diolah dalam Central nervous system (CNS), akhirnya terjadi gerakan-
gerakan tertentu yang dikoordinasikan oleh otak. Apabila tubuh terpapar secara
berulang pada jangka waktu yang lama, maka mekanisme kerja enzim
kholinesterase terganggu, dengan akibat adanya ganguan pada sistem syaraf.
Di seluruh sistem persyarafan (the nervous system), terdapat pusat-pusat pengalihan
elektro kemikel yang dinamakan synapses, getaran-getaran impuls syaraf
elektrokemis (electrochemical nerve impulse), dibawa menyeberangi kesenjangan
antara sebuah syaraf (neuron) dan sebuah otot atau sari neuron ke neuron. Karena
getaran syaraf (sinyal) mencapai suatu sypapse, sinyal itu merangang pembebasan
asetilkolin.
Asetikholinesterase adalah suatu enzim, terdapat pada banyak jaringan yang
menghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan asam asetat. Sel darah merah dapat
mensintesis asetilkholin dan bahwa kholin asetilase dan asetilkholinesterase
keduanya terdapat dalam sel darah merah. Kholin asetilase juga ditemukan tidak
hanya di dalam otak tetapi juga di dalam otot rangka, limpa dan jaringan plasenta.
Adanya enzim ini dalam jaringan seperti plasenta atau eritrosit yang tidak
mempunyai persyaratan menunjukkan fungsi yang lebih umum bagi asetilkholin dari
pada funsi dalam syaraf saja. Pembentukan dan pemecahan asetilkholin dapat
dihubungkan dengan permeabilitas sel. Perhatian lebih diarahkan pada sel darah
merah, telah dicatat bahwa enzim kholin asetilase tidak aktif baik karena
pengahambatan oleh obat-obatan maupun karena kekurangan subtrat, sel akan
kehilangan permeabilitas selektifnya dan mengalami hemolisis.
Asetilkholin berperan sebagai jembatan penyeberangan bagi mengalirnya
getaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organ-organ di dalam tubuh menerima
informasi untuk mempergiat atau mengurangi efektifitas sel. Pada sistem syaraf,
stimulas yang diterima dijalarkan melalui serabut-serabut syaraf (akson) dalam
betuk impuls.
Toksisitas Organofosfat 8
Ketika pestisida organofosfat memasuki tubuh manusia atau hewan, pestisida
menempel pada enzim kholinesterase. Karena kholinesterase tidak dapat
memecahkan asetilkholin, impuls syaraf mengalir terus (konstan) menyebabkan
suatu twiching yang cepat dari otot-otot dan akhirnya mengarah kepada
kelumpuhan. Pada saat otot-otot pada sistem pernafasan tidak berfungsi terjadilah
kematian.
Toksisitas Organofosfat 9
BAB III
PENUTUP
3.1 Penutup
3.1.1 Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di antara jenis pestisida
lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia.
3.1.2 Pestisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat, antara lain
azinophosmethyl, chloryfos, demeton methyl, dichlorovos, dimethoat,
disulfoton, ethion, palathion, malathion, parathion, diazinon, chlorpyrifos.
3.1.3 Diagnosa dari keracunan terutama didasarkan pada anamnesa yang diambil
dari orang tua, keluarga, pengasuh atau orang lain yang mengetahui
kejadiannya.
3.1.4 Dampak dari keracunan organofosfat, antara lain parathion, demeton,
malathion
3.1.5 Pestisida golongan organofosfat dan karbamat adalah persenyawaan yang
tergolong antikholinesterase seperti physostigmin, prostigmin,
diisopropylfluoropphosphat dan karbamat. Dampak pestisida terhadap
kesehatan bervariasi, antara lain tergantung dari golongan, intensitas
pemaparan, jalan masuk dan bentuk sediaan. Dalam tubuh manusia
diproduksi asetikolin dan enzim kholinesterase. Enzim kholinesterase
berfungsi memecah asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat.
3.1.6 Gejala awal seperti salivasi, lakrimasi, urinasi dan diare (SLUD) terjadi pada
keracunan organofosfat secara akut karena terjadinya stimulasi reseptor
muskarinik sehingga kandungan asetil kholin dalam darah meningkat pada
mata dan otot polos.
Toksisitas Organofosfat 10
DAFTAR PUSTAKA
Lindell, Andrea R, dkk. 2003. National Pesticide Practice Skil Guidenlines for
Medical and Nursing Practice.The National Education and Training
Fondation, Washington DC
Toksisitas Organofosfat 11