Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

LEUKIMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA)

A. KONSEP DASAR
I. Definisi
Leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi sel darah
putih yang abnormal dan ganas yang disertai dengan adanya leukosit
dalam jumlah yang berlebihan sehingga menimbulkan anemia dan
trombositopenia (Reeves, 2001).
Acute Nonlymphoid (myelogenous) Leukemia (ANLL atau AML)
adalah salah satu jenis leukemia; dimana terjadi proliferasi neoplastik dari
sel mieloid (ditemukannnya sel mieloid : granulosit, monosit imatur yang
berlebihan). AML meliputi leukemia mieloblastik akut, leukemia
monoblastik akut, leukemia mielositik akut, leukemia monomieloblastik,
dan leukemia granulositik akut (Wong, 2000).
Leukimia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-
sel progenitor dari seri mieloid. LMA merupakan jenis leukemia; dimana
terjadi proliferasi neoplastik dari sel mieloid (ditemukannnya sel mieloid :
granulosit, monosit imatur yang berlebihan).
Leukemia mieloid adalah kelompok penyakit heterogen ditandai
dengan infiltrasi sel neoplastik sistem hemopoitik pada darah, sumsum
tulang, dan jaringan lain.
II. Anatomi Fisiologi Leukosit
Pertahanan tubuh melawan infeksi merupakan peran dari leukosit.
Jumlah normal sel darah putih adalah 4000-10000/mm3 . Lima jenis sel
darah putih yang telah diidentifikasi dalam darah perifer adalah netrofil,
eisonofil, basofil,monosit dan limfosit. Ketiga jenis pertama adalah
granulosit artinya terdapat granula di sitoplasmanya. Sedangkan yang
lainnya adalah agrunulosit. Jenis leukosit yang merupakan sistem
pertahanan tubuh yang primer melawan infeksi bakteri yaitu neutrofil
yakni dengan fagositosis. Eisonofil mempunyai fungsi fagosit lemah yang
tidak dipahami secara jelas. Basofil membawa heparin, faktor-faktor
pengaktifan histamin dan trombosit dalam granula – granulanya. Kadar
basofil meningkat pada gangguan mieloproliferatif. Monosit memiliki
fungsi fagosit, membuang selsel cidera dan mati, fragmen-fragmen sel,
dan mikroorganisme. Sedangkan limfosit dibagi menjadi dua jenis yang
berfungsi berbeda yakni limfosit T (bergantung timus, dibentuk di sana,
berumur panjang) bertanggung jawab atas respon kekebalan selular
melalui pembentukan sel yang reaktif antigen, sedangkan limfosit B jika
dirangsang dengan semestinya akan berdiferensiasi menjadi sel-sel
plasma yang menghasilkan immunoglobulin, sel-sel ini bertanggung
jawab atas respon kekebalan humoral.

III. Etiologi
Sebagian besar kasus, etiologi LMA tidak diketahui. Meskipun
demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau
setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA, seperti:
 Genetik
 Adanya Penyimpangan Kromosom
Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan
kongenital, diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom,
Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van
Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma
von Reckinghausen, dan neurofibromatosis ( Wiernik, 1985;
Wilson, 1991 ) . Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat
dengan adanya perubahan informasi gen, misal pada
kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang
tidak stabil, seperti pada aneuploidy .
 Saudara kandung
Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada
kembar identik dimana kasus-kasus leukemia akut terjadi pada
tahun pertama kelahiran . Hal ini berlaku juga pada keluarga
dengan insidensi leukemia yang sangat tinggi ( Wiernik,1985 ) .
 Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan
kerusakan kromosom dapatan, misal : radiasi, bahan kimia, dan obat-
obatan yang dihubungkan dengan insiden yang meningkat pada
leukemia akut, khususnya ANLL ( Wiernik,1985; Wilson, 1991 ) .
 Virus
Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus
menyebabkan leukemia pada hewan termasuk primata . Penelitian
pada manusia menemukan adanya RNA dependent DNA polimerase
pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal dan
enzim ini berasal dari virus tipe C yang merupakan virus RNA yang
menyebabkan leukemia pada hewan ( Wiernik, 1985 ) .
 Bahan Kimia
Paparan kronis dari bahan kimia ( misal : benzen ) dihubungkan
dengan peningkatan insidensi leukemia akut, misal pada tukang
sepatu yang sering terpapar benzen ( Wiernik,1985; Wilson, 1991 ).
Selain benzen beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko
tinggi dari AML, antara lain : produk – produk minyak, cat , ethylene
oxide, herbisida, pestisida ( Fauci, et. al, 1998 ) .
 Obat-obatan
Obat-obatan anti neoplastik ( misal : alkilator dan inhibitor
topoisomere II ) dapat mengakibatkan penyimpangan kromosom
yang menyebabkan AML. Kloramfenikol, fenilbutazon, dan
methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum
tulang yang lambat laun menjadi AML ( Fauci, et. al, 1998 ).
 Radiasi
Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia ( ANLL ) ditemukan
pada pasien-pasien anxylosing spondilitis yang mendapat terapi
radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan insidensi leukemia
pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom.
Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang
mendapat terapi radiasi misal : pembesaran thymic, para pekerja
yang terekspos radiasi dan para radiologis .
Jenis kemoterapi yang palin sering memicu timbulnya AML adalah
golongan alkylating agent dan topoisomerase II inhibitor

IV. Klasifikasi AML


Leukemia Mielogenus Akut (AML) menurut FAB (French-American-
British) terbagi menjadi 8 tipe:
 Mo ( Acute Undifferentiated Leukemia )
Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut
sebagai AML dengan diferensiasi minimal .
 M1 ( Acute Myeloid Leukemia tanpa maturasi )
Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir
seperempat dari kasus AML. Pada AML jenis ini terdapat gambaran
azurophilic granules dan Auer rods. Dan sel leukemik dibedakan
menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula,
dimana tipe 1 dominan di M1.
 M2 ( Akut Myeloid Leukemia )
Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara
morfologi berbeda, dengan jumlah granulosit dari promielosit yang
berubah menjadi granulosit matang berjumlah lebih dari 10%. Jumlah
sel leukemik antara 30 – 90%. Tapi lebih dari 50 % dari jumlah sel-sel
sumsum tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit .
 M3 ( Acute Promyelocitic Leukemia )
Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan
granulasi berat, stain mieloperoksidase + yang kuat. Nukleus
bervariasi dalam bentuk maupun ukuran, kadang-kadang berlobul .
Sitoplasma mengandung granula besar, dan beberapa promielosit
mengandung granula berbentuk seperti debu . Adanya Disseminated
Intravaskular Coagulation ( DIC ) dihubungkan dengan granula-
granula abnormal ini .
 M4 ( Acute Myelomonocytic Leukemia )
Terlihat 2 ( dua ) type sel, yakni granulositik dan monositik , serta sel-
sel leukemik lebih dari 30 % dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip
dengan M1, dibedakan dengan cara 20% dari sel yang bukan eritroit
adalah sel pada jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang
berbeda-beda. Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL.
Tanda lain dari M4 adalah peningkatan proporsi dari eosinofil di
sumsum tulang, lebih dari 5% dari sel yang bukan eritroit, disebut
dengan M4 dengan eoshinophilia. Pasien–pasien dengan AML type
M4 mempunyai respon terhadap kemoterapi-induksi standar.
 M5 ( Acute Monocytic Leukemia )
Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah
monoblas, promonosit, dan monosit. Terbagi menjadi dua, M5a
dimana sel monosit dominan adalah monoblas, sedang pada M5b
adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi dan hasil
perawatannya cukup baik.
 M6 ( Erythroleukemia )
Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat
berbeda dari gambaran morfologi Bizzare. Eritroblas ini mempunyai
gambaran morfologi abnormal berupa bentuk multinukleat yang
raksasa. Perubahan megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang
tidak sejalan antara nukleus dan sitoplasma . M6 disebut
Myelodisplastic Syndrome ( MDS ) jika sel leukemik kurang dari 30%
dari sel yang bukan eritroit . M6 jarang terjadi dan biasanya
kambuhan terhadap kemoterapi-induksi standar.
 M7 ( Acute Megakaryocytic Leukemia )
Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit
( Yoshida, 1998; Wetzler dan Bloomfield, 1998 ).

V. Patogenesis
Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat
cepat. Normalnya, produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur
sesuai kebutuhan tubuh. Apabila mekanisme yang mengatur produksi sel
tersebut terganggu, sel akan membelah diri sampai ke tingkat sel yang
membahayakan (proliferasi neoplastik). Proliferasi neoplastik dapat terjadi
karena kerusakan sumsum tulang akibat radiasi, virus onkogenik, maupun
herediter.
Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam
sumsum tulang. Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam
berbagai organ limfogen (kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel
darah putih yang dibentuk dalam sumsum tulang, khususnya granulosit,
disimpan dalam sumsum tulang sampai mereka dibutuhkan dalam sirkulasi.
Bila terjadi kerusakan sumsum tulang, misalnya akibat radiasi atau bahan
kimia, maka akan terjadi proliferasi sel-sel darah putih yang berlebihan dan
imatur. Pada kasus AML, dimulai dengan pembentukan kanker pada sel
mielogen muda (bentuk dini neutrofil, monosit, atau lainnya) dalam sumsum
tulang dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh sehingga sel-sel darah
putih dibentuk pada banyak organ ekstra medula.
Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat
diterangkan sebagai berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya
(virus onkogenik yang mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus
tersebut dengan mudah akan masuk ke dalam tubuh manusia dan merusak
mekanisme proliferasi. Seandainya struktur antigennya sesuai dengan
struktur antigen manusia tersebut, maka virus mudah masuk. Bila struktur
antigen individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus
tersebut akan ditolaknya. Struktur antigen ini terbentuk dari struktur antigen
dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di
permukaan tubuh atau HL-A (Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-A
diturunkan menurut hukum genetik, sehingga etiologi leukemia sangat erat
kaitannya dengan faktor herediter.
Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen darah
yang lain tertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses metabolisme
(terjadi granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia juga
menginvasi tulang di sekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang dan
cenderung mudah patah tulang. Proliferasi sel leukemia dalam organ
mengakibatkan gejala tambahan : nyeri akibat pembesaran limpa atau hati,
masalah kelenjar limfa; sakit kepala atau muntah akibat leukemia meningeal.

VI. Tanda dan Gejala


Pasien dengan AML seringkali menunjukkan gejala tidak spesifik yang
dimulai dengan anemia, leukositosis, leucopenia atau disfungsi leukosit, atau
trombositopeni baik secara berangsur-angsur maupun tiba-tiba. Hampir
sebagian besar menunjukkan gejala tersebut selama + 3 bulan sebelum
didiagnosis leukemia.
Sebagian besar menyebutkan gejala awal adalah fatigue (kelemahan)
atau anoreksia dan penurunan berat badan. Demam dengan atau tanpa
infeksi merupakan gejala awal pada 10% pasien. Tanda perdarahan
abnormal (berdarah, mudah lebam) terjadi pada 5% pasien. Selain itu juga
didapatkan nyeri tulang, limfadenopati, sakit kepala non spesifik atau
diaphoresis.
Tanda dan gejala utama AML, adalah:
 Rasa lelah, perdarahan, dan infeksi yang disebabkan oleh
sindrom kegagalan sumsum tulang
 Perdarahan biasanya dalam bentuk purpura/petekia yang sering
dijumpai di ekstremitas bawah, atau berupa epistaksis,
perdarahan gusi dan retina
 Pada pasien dengan leukosit yang sangat tinggi (> 100.000/mm3),
sering terjadi leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang
menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri
 Leukosit yang tinggi juga sering menimbulkan gangguan
metabolisme, seperti hiperurisemia dan hipoglikemia
 Infiltrasi sel-sel blast di kulit dapat menyebabkan: leukimia kutis
(benjolan yang tidak tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit)
 Infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di
bawah kulit (kloroma)
 Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan menimbulkan nyeri
tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan
 Infiltrasi sel-sel blast ke gusi menyebabkan pembengkakan gusi

VII. Pemeriksaan Penunjang


1. Hitung darah lengkap
Anak dengan leukosit kurang dari 10.000/mm3 saat didiagnosis, memiliki
prognosis paling baik. Jumlah leukosit lebih dari 50.000/mm3 adalah tanda
prognosis kurang baik pada anak sembarang umur.
Rata-rata pada hitung leukosit didapatkan 15.000/SL. Sekitar 25-40%
pasien didapatkan hitung leukosit < 5000/ SL dan >100.000/ SL. Kurang
dari 5% tidak terdeteksi sel leukemia dalam darahnya. Morfologi sel
ganas bervariasi, pada AML seringkali sitoplasmanya terutama
mengandung granula (nonspesifik), nukleus tajam, kromatinnya kasar
dengan satu atau lebih nukleolus yang menandakan sel immature.
Granula rod-shaped abnormal disebu auer rods tidak selalu ada, namun
jika ada hampir selalu merupakan mieloid yang diturunkan.
2. Pungsi lumbal, untuk mengkaji keterlibatan SSP.
3. Foto thoraks, untuk mendeteksi keterlibatan mediastinum
4. Aspirasi sumsum tulang, ditemuakannya 25% sel blast memperkuat
diagnosis.
5. Pemindaian tulang atau survei kerangka, mengkaji keterlibatan tulang.
6. Pemindaian ginjal, hati, dan limpa, mengkaji infiltrat leukemik
7. Jumlah trombosit, menunjukkan kapasitas pembekuan.

VIII. Penatalaksanaan
1. Kemoterapi
Pada umumnya pengobatan pasien yang baru didiagnosis AML terdiri
dari dua fase, yaitu fase induksi dan penatalaksanaan postremisi. Tujuan
utama pengobatan adalah tercapainya remisi lengkap. Sekali diperoleh
remisi lengkap, selanjutnya terapi pasti dapat membuat pasien bertahan
lama dan mencapai penyembuhan. Terapi induksi awal dan terapi postremisi
seringkali dipilih berdasarkan usia. Pengaruh terapi secara intensif
menggunakan agen kemoterapi tradisional seperti sitarabin antrasiklins pada
pasien usia muda (<60 tahun) menunjukkan peningkatan penyembuhan
AML. Pada pasien yang lebih tua, keuntungan diberikan pengobatan yang
teratur masih kontroversial.
a. Fase induksi. Dimulasi 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada
fase ini diberikan terapi kortikostreroid (prednison), vincristin dan L-
asparaginase. Fase induksi dinyatakan behasil jika tanda-tanda penyakit
berkurang atau tidak ada dan dalam sumsum tulang ditemukan jumlah
sel muda kurang dari 5%.
b. Fase Profilaksis Sistem saraf pusat. Pada fase ini diberikan terapi
methotrexate, cytarabine dan hydrocotison melaui intrathecal untuk
mencegah invasi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial dilakukan
hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf
pusat.
c. Konsolidasi. Pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan unutk
mempertahankan remisis dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang
beredar dalam tubuh. Secara berkala, mingguan atau bulanan dilakukan
pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang
terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka
pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat dikurangi.

2. Terapi Biologis
Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi biologi
untuk meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini
diberikan melalui suntikan di dalam pembuluh darah balik. Bagi pasien
dengan leukemia limfositik kronis, jenis terapi biologi yang digunakan
adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada sel-sel
leukemia. Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh
sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Bagi penderita
dengan leukemia myeloid kronis, terapi biologi yang digunakan adalah
bahan alami bernama interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-
sel leukemia.
3. Terapi Radiasi
Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar
berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar
pasien, sebuah mesin yang besar akan mengarahkan radiasi pada limpa,
otak, atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel-sel
leukemia ini. Beberapa pasien mendapatkan radiasi yang diarahkan ke
seluruh tubuh.
4. Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)
Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell).
Transplantasi sel induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat
yang tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis tinggi ini akan menghancurkan
sel-sel leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam sumsum tulang.
Kemudian, pasien akan mendapatkan sel-sel induk (stem cell) yang sehat
melalui tabung fleksibel yang dipasang di pembuluh darah balik besar di
daerah dada atau leher. Sel-sel darah yang baru akan tumbuh dari sel-sel
induk (stem cell) hasil transplantasi ini.
Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien biasanya harus
menginap di rumah sakit selama beberapa minggu. Tim kesehatan akan
melindungi pasien dari infeksi sampai sel-sel induk (stem cell) hasil
transplantasi mulai menghasilkan sel-sel darah putih dalam jumlah yang
memadai.

IX. Komplikasi
1. Gagal sumsum tulang
2. Infeksi
3. Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID/DIC)
4. Splenomegali
5. Hepatomegali

B. ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
Pengkajian pada leukemia meliputi :
a. Riwayat penyakit
b. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
1).Pucat
2).Kelemahan
3).Sesak
4).Nafas cepat
c. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
1).Demam
2).Infeksi
d. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
1).Ptechiae
2).Purpura
3).Perdarahan membran mukosa
e. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
1).Limfadenopati
2).Hepatomegali
3).Splenomegali
f. Kaji adanya pembesaran testis
g. Kaji adanya :
1).Hematuria
2).Hipertensi
3).Gagal ginjal
4).Inflamasi disekitar rectal
5).Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 178)
II. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada kasus AML,
antara lain:
 Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan :
 Tidak adekuatnya pertahanan sekunder
 Gangguan kematangan sel darah putih
 Peningkatan jumlah limfosit imatur
 Imunosupresi
 Penekanan sumsum tulang (efek kemoterapi)

 Kekurangan volume cairan tubuh /risiko tinggi, berhubungan


dengan :
 Kehilangan berlebihan, misalnya: muntah, perdarahan
 Penurunan pemasukan cairan : mual, anoreksia

 Nyeri ( akut ) berhubungan dengan :


 Agen fiscal ; pembesaran organ / nodus limfe, sumsum
tulang yang diinvasi dengan sel leukemia.
 Agen kimia ; pengobatan antileukemia.

III. Intervensi Keperawatan


No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Resiko infeksi Infeksi tidak 1. Tempatkan anak pada ruang
berhubungan terjadi khusus. Batasi pengunjung sesuai
dengan : indikasi
• Tidak adekuatnya 2. Berikan protocol untuk
pertahanan mencuci tangan yang baik untuk semua
sekunder staf petugas
• Gangguan 3. Awasi suhu. Perhatikan
kematangan sel hubungan antara peningkatan suhu dan
darah putih pengobatan chemoterapi.
• Peningkatan 4. Dorong sering mengubah
jumlah limfosit posisi, napas dalam, batuk.
imatur 5. Inspeksi membran mukosa
• Imunosupresi mulut. Bersihkan mulut secara periodic.
• Penekanan Gunakan sikat gigi halus untuk
sumsum tulang perawatan mulut.
(efek kemoterapi) 6. Awasi pemeriksaan
laboratorium : WBC, darah lengkap
7. Berikan obat sesuai indikasi,
misalnya Antibiotik
8. Hindari antipiretik yang
mengandung aspirin
2 Defisit volume Volume 1. Awasi masukan dan pengeluaran.
cairan tubuh cairan tubuh Hitung pengeluaran tak kasat mata
berhubungan adekuat, dan keseimbangan cairan.
dengan : ditandai Perhatikan penurunan urine pada
• Kehilangan dengan TTV pemasukan adekuat. Ukur berat
berlebihan, seperti: dbn, stabil, jenis urine dan pH Urine.
muntah, nadi teraba, 2. Timbang BB tiap hari.
perdarahan haluaran 3. Awasi TD dan frekuensi jantung
• Penurunan urine, BJ dan 4. Evaluasi turgor kulit, pengiisian
pemasukan PH urine, kapiler dan kondisi umum membran
cairan : mual, dbn. mukosa.
anoreksia. 5. Implementasikan tindakan untuk
mencegah cedera jaringan /
perdarahan, ex : sikat gigi atau gusi
dengan sikat yang halus.
6. Berikan diet halus.
7. Berikan cairan IV sesuai indikasi
8. Berikan sel darah Merah, trombosit
atau factor pembekuan
3 Nyeri akut rasa nyeri 1. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan
berhubungan hilang/berkur petunjuk nonverbal,rewel, cengeng,
dengan : ang gelisah
• Agen fiscal: 2. Berikan lingkungan yang tenang dan
pembesaran organ kurangi rangsangan stress
/ nodus limfe, 3. Tempatkan pada posisi nyaman dan
sumsum tulang sokong sendi, ekstremitas denganan
yang diinvasi bantal
dengan sel 4. Ubah posisi secara periodic dan
leukemia. berikan latihan rentang gerak lembut.
• Agen kimia ; 5. Berikan tindakan ketidaknyamanan;
pengobatan mis : pijatan, kompres
antileukemia. 6. Berikan obat sesuai indikasi.
Referensi:
Betz, CL & Sowden, LA. 2002.Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3.
Jakarta : EGC.
Brunner& Suddarth. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2.
Jakarta : EGC.
ES Jaffe et al.2001.World Health Organization Classification of Tumours. Lyon,
ARC Press,
Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L. ; Longo, Dan L.; Braunwald,
Eugene;Hauser, Stephen L.; Jameson, J. Larry; Loscalzo, Joseph;. 2008.
Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition. USA: McGraw-hill,
Guyton.1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta :
EGC.
JM Bennett et al: Ann Intern Med 103:620, 1985.
Joyce Engel. 1999. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Kurnianda, Johan. 2007. Leukimia Mieloblastik Akut dalam buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI
Price, S A dan Wilson, L M. 2006.Patofisiologi , Konsep klinis proses-proses
penyakit . Jakarta : EGC, .
Whaley’s and Wong. 2001.Clinical Manual of Pediatric Nursing. Edisi 4. USA :
Mosby.

Anda mungkin juga menyukai