Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun Oleh :
PENGUJI :
dr. DAUD GINTING ,Sp,PD Finasim
Latar Belakang
Kegawat daruratan pada traktus biliaris yang utama diantaranya adalah
kolesistitis akut, kolangitis ascenden, dan pankreatitis akut. Kolesistitis adalah
inflamasi kandung empedu yang terjadi paling sering karena obstruksi duktus
sistikus oleh batu empedu. Kurang lebih 90% kasus kolesistitis melibatkan batu
pada duktus sitikus (kolesistitis kalkulus) dan sebanyak 10% termasuk kolesistitis
akalkulus.
Insidensi terjadinya kolesistitis meningkat seiring pertambahan usia.
Penjelasan secara fisiologis untuk peningkatan insidensi tersebut belum ada.
Peningkatan insidensi pada laki-laki usia lanjut dikaitkan dengan perubahan rasio
androgen-estrogen.
Perempuan penderita kolelitiasis 2-3 kali lebih banyak daripada laki-laki,
sehingga lebih banyak perempuan yang menderita kolesistitis. Peningkatan kadar
progesteron selama kehamilan dapat menyebabkan stasis cairan empedu, sehingga
penyakit kandung empedu meningkat kejadiannya pada wanita hamil. Sedangkan,
kolesistitis akalkulus lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan
nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya,
kolesistitis dapat dibagi menjadi:
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu
kandung empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan
kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul
pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada
kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas,
nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada
kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya
dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.
2.2 Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang
terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan
sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu.
Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu
empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan
drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis.
Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu,
kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.
3
2.3 Diagnosis
Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian
atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari
pertolongan ke unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut
juga sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan adanya demam.
Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa pasien
menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari
regio epigastrium dan kemudian terlokalisir di kuadran kanan atas (RUQ).
Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan
menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat
penyakit yang didapatkan sangat terbatas. Seringkali, banyak pasien sangat
kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik) dan tidak bisa menceritakan
riwayat atau gejala yang muncul.
Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan
atas abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran
kanan atas saat inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat
yang menyebabkan pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda
Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal dan demam.
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat
ditemukan leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada
15% pasien, ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase
(AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika
batu tidak berada di duktus biliaris.
Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi
(USG), computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran
empedu. Pada USG, dapat ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung
empedu, adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat kontak
antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas. Nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90-95%.
4
Gambar 2.2 Pemeriksaan USG pada kolesistitis
5
Gambar 2.4 Gambaran 99mTc-HIDA scan yang memperlihatkan tidak adanya
pengisian kandung empedu akibat obstruksi duktus sitikus
6
2.4 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk kolesistitis diantaranya adalah:
Aneurisma aorta abdominal
Iskemia messenterium akut
Apendisitis
Kolik bilier
Kolangiokarsinoma
Kolangitis
Koledokolitiasis
Kolelitiasis
Mukokel kandung empedu
Ulkus gaster
Gastritis akut
Pielonefritis akut
2.5 Komplikasi
Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang
tersumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin
dan ditandai dengan lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya
empiema kadang harus mengubah metode pembedahan dari secara
laparoskopik menjadi kolesistektomi terbuka.
Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu
berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di
ileum terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.
Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan
adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme
penghasil gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan
Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan
diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%).
Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan
kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.
7
Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis.
2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya dan
ada tidaknya komplikasi. Kolesistitis tanpa komplikasi seringkali dapat diterapi
rawat jalan, sedangkan pada pasien dengan komplikasi membutuhkan tatalaksana
pembedahan. Antibiotik dapat diberikan untuk mengendalikan infeksi. Untuk
kolesistitis akut, terapi awal yang diberikan meliputi mengistirahatkan usus, diet
rendah lemak, pemberian hidrasi secara intravena, koreksi abnormalitas elektrolit,
pemberian analgesik, dan antibiotik intravena. Untuk kolesistitis akut yang ringan,
cukup diberikan terapi antibiotik tunggal spektrum luas. Pilihan terapi yang dapat
diberikan:
Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin, meropenem.
Pada kasus berat yang mengancam nyawa direkomendasikan
imipenem/cilastatin.
Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah
dengan metronidazol.
Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric suction.
Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin
intravena.
Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat
jalan dengan syarat:
1. Tidak demam dan tanda vital stabil
2. Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium.
3. Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.
4. Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi
imunokompromis.
5. Analgesik yang diberikan harus adekuat.
6. Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas
medik.
7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.
8
Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:
Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.
Antiemetik, seperti prometazin atau proklorperazin, untuk
mengkontrol mual dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit.
Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.
Terapi pembedahan yang diberikan jika dibutuhkan adalah kolesistektomi.
Kolesistektomi laparoskopik adalah standar untuk terapi pembedahan kolesistitis.
Penelitian menunjukkan semakin cepat dilakukan kolesistektomi laparoskopik,
waktu perawatan di rumah sakit semakin berkurang.
9
kolesistitis akut, menunjukkan keberhasilan terapi ini secara teknis pada 29 pasien
dan secara klinis setelah 3 hari pada 24 pasien.
2.7 Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung
empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak
jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang
menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum secara cepat. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik
yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75
tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul
komplikasi pasca bedah.
10
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
1.1 Simpulan
1. Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
2. Berdasarkan penyebabnya, kolesistitis terbagi menjadi kolesititis
kalkulus dan akalkulus. Berdasarkan onsetnya, terbagi menjadi
kolesistitis akut dan kronik.
3. Terapi kolesistitis meliputi istirahat saluran cerna, diet rendah lemak,
pemberian analgesik, pemberian antibiotik profilaksis, dan terapi
pembedahan berupa kolesistektomi.
4. Pemberian terapi lebih awal dan adekuat berperan dalam mencegah
terjadinya komplikasi kolesistitis seperti gangren, empiema,
emfisema, perforasi kandung empedu, abses hati, peritonitis, dan
sepsis.
1.2 Saran
1. Perlunya pengenalan dan pemahaman tanda dan gejala kolesistitis
yang lebih baik sehingga diagnosis kolesistitis dapat ditegakkan lebih
cepat dan tepat.
2. Perlunya pemberian terapi yang adekuat dan tepat sesuai dengan
kondisi pasien sehingga dapat meningkatkan keberhasilan terapi dan
mencegah terjadinya komplikasi kolesistitis.
11
DAFTAR PUSTAKA
12
13