Disusun oleh:
1. Aning Farida (162303101013)
2. Indana Firdausi N (162303101059)
3. M. Irfan (162303101076)
4. Novita Sari T (162303101091)
5. Nur Alfianti R (162303101094)
6. Risa Rosyida (162303101111)
7. Silvia Tugesti Dwi C (162303101120)
8. Taufiq (162303101128)
9. Whindy Dwi F. (162303101132)
KEMENRISTEKDIKTI
UNIVERSITAS JEMBER
PRODI D3 FAKULTAS KEPERAWATAN
KAMPUS LUMAJANG
TAHUN 2018
BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA
1.1.1 Definisi
tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak
teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama
pada rangka tubuh. Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas
yaitu kelainan pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa
2011).
mengancam jiwa yang ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis, dikenal
dengan trias kelainan pada kulit vesikobulosa, mukosa orifisium, dan mata,
disertai gejala umum berat. Insidensi kejadian SJS sangat jarang, di Indonesia
sekitar 12 kasus per tahun. Stevens-Johnson Syndrome (SJS) adalah sindrom yang
mengenai kulit, mukosa orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi
dari ringan sampai berat; kelainan k ulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
dengan kulit yang tebal dan likenifikasi (garis kulit tampak lebih menonjol).
Keluhan dan gejala dapat muncul dalam waktu hitungan minggu hingga bertahun-
etiologi pasti belum diketahui. Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah
reaksi alergi obat secara sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa,
Etiologi dari SJS sulit ditentukan dengan pasti karena penyebabnya meliputi
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun
(virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol,
matahari, sinar X), Graft Versus Host Disease, dan radioterapi. (putri, et al., 2016)
carbarmazepin.
c. Keganasan : karsinoma dan limfoma
d. Faktor ideopatik hingga 50%
e. Sindrom Stevens- Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek
penggunaan kokain.
f. Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi
2016).
Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri
kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Trias Steven Johnson (Hudak &
Gallo, 2010) adalah:
a) Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga
terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%)
kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang
hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainan berupa vesikel dan
bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta
kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering
tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan dimukosa dapat juga
terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini
dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran
di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
c) Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen,
perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut
dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.
1.1.4 Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan
IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat
limfosit T yang tersentisasi berkontrak kembali dengan antigen yang sama,
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Muttaqin & Sari,
2013).
Pathways
Aktivasi S.komplemen
Melepaskan
limfokin/sitotoksik
Degranulasi sel mast
Penghancuran sel-sel
Akumulasi netrofil
Reaksi peradangan memfagositosis sel rusak
(CBC) dapat mengungkapkan normal sel darah putih (WBC) count atau
ginjal dan urin untuk mengevaluasi darah. Elektrolit dan kimia lainnya
Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi secara klinis
ketika klinis dicurigai. Jika tidak, film-film biasa rutin tidak diindikasikan
(Parillo, 2010).
3. Histopatologi
Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear. Oedema dan ekstravasasi
sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan
4. Imunologi
Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial
serta terdapat komplek imun yag mengandung IgG, IgM, IgA (Nurarif &
Kusuma, 2016).
5. Tes lain:
Biopsi kulit definitif studi diagnostik tapi bukan merupakan prosedur
a) Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.Kortikosteroid merupakan
tindakan live-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.
Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason
6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak
timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat,
setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang
diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian
diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama
pengobatan kira-kira 10 hari.
b) Antibiotik
1.1.7 Komplikasi
Komplikasi primer yag didapatkan pad apsien SJS dan NET yakni bercak
sebagai barrier tubuh sehingga dapat sebagai pintu masuknya kuman ke dalam
tubuh, hal ini dapat menyebabkan sepsis. (Rahmawati & Indramaya, 2016).
Trias kelainan yang terjadi terdapat pada kulit, mukosa, dan mata.
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu, dapat juga terjadi
purpura. Jika disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk
yang berat kelainannya generalisata. Kelainan selaput lendir yang tersering ialah
pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital
(50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi,
ekskoriasi, dan krusta kehitaman. Selain itu, juga dapat terbentuk
pseudomembran. Pada bibir, kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna
hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus
respiratorius bagian atas, dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan
penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernapas. Sementara itu pada mata, 80% di antara
semua kasus yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu, juga dapat
berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan
iridosiklitis (Muttaqin & Sari, 2013).
Keluhan utama pada pasien adalah bibir yang terasa melepuh sejak kurang
lebih 4 hari SMRS yang disertai dengan keluhan bercak kehitaman dan
gelembung-gelembung kecil pada wajah, dada, dan punggung. Pada SJS, terlihat
gejala trias kelainan yang terdiri dari kelainan kulit, kelainan mukosa orifisium,
dan kelainan mata. Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut
(100%), kemudian disusul kelainan di genital (50%), sedang di lubang hidung dan
anus sangat jarang (8% dan 4%). Pada bibir, kelainan yang sering tampak adalah
krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan kulit pada SJS terdiri atas eritema,
vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian pecah menjadi erosi yang luas. Hal
ini sesuai dengan manifestasi klinis yang terjadi pada pasien. (Putri et al., 2016)
Satu minggu sebelumnya pasien merasa tidak enak badan sehingga pasien
membeli obat paracetamol, lalu sore harinya pasien merasakan panas pada
wajahnya lalu muncul gelembung-gelembung berisi air berukuran kecil-kecil
seperti cacar air pada wajah, leher, dada, dan pungung pasien. Keesokan harinya
pasien merasakan bibirnya seperti terbakar dan melepuh. Pasien juga mengeluh
matanya seperti lengket dan sulit untuk dibuka. Dua hari SMRS gelembung-
gelembung tersebut pecah dan meninggalkan bercak-bercak kehitaman pada
wajah pasien. Pasien mengkonsumsi paracetamol yang merupakan obat golongan
antipiretik, dimana hal ini sesuai dengan teori bahwa antipiretik merupakan salah
satu obat penyebab terjadinya SJS (Novita Dwiswara Putri, 2016).
Lesi kulit pada sindrom Stevens-Johnson dapat timbul sebagai gejala awal
atau dapat juga terjadi setelah gejala klinis dibagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit
umumnya bersifat asimetri dan ukuran lesi bervariasi dari kecil sampai besar.
Mula-mula lesi kulit berupa erupsi yang bersifat multiformis yaitu eritema yang
menyebar luas pada rangka tubuh. Eritema ini menyebar luas secara cepat dan
biasanya mencapai maksimal dalam waktu empat hari, bahkan seringkali hanya
dalam hitungan jam. Pada kasus yang sedang, lesi timbul pada permukaan
ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki, sedangkan pada kasus yang berat
lesimenyebar luas pada wajah, dada dan seluruh permukaan tubuh (Ramayanti,
2011).
Menurut Parillo (2010), pemeriksaan fisik pada pasien sindrom Steven
Johnson ditemukan:
a. Demam
b. Orthostasis
c. Tachycardia
d. Hipotensi
e. Perubahan tingkat kesadaran
f. Epistaksis
g. Konjungtivitis
h. Ulserasi kornea
i. Erosif vulvovaginitis atau balanitis
j. Kejang, koma
2.1.2.1 Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi.
2.1.2.2 Risiko tinggi infeksi b.d. penurunan imunitas, adanya port de entree pada
lesi.
2.1.2.3 Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik secara umum.
2.1.2.4 Gangguan gambaran diri (citra diri) b.d perubahan struktur kulit,
perubahan peran keluarga.
2.1.3.1 Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi.
Kriteria Hasil :
1. Secara konsisten menunjukkan dalam menggunakan tindakan pengurangan
nyeri tanpa analgesik
2. Nyeri yang dilaporkan : tidak ada
lesi.
Definisi: mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik
Faktor faktor resiko:
- Penyakit kronis (diabetes melitus, obesitas)
- Pengetahuan yang tidak cukup untuk menghindari pemanjanan patogen
- Pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat (gangguan peritalsis,
kerusakan integritas kulit pemasangan kateter intra vena, prosedur inflasif,
Perubahan sekresi pH, Penurunan kerja siliaris,Pecah ketuban dini,Pecah
ketuban lama,Merokok, Statis cairan tubuh,Trauma jaringan (mis, trauma
destruktif jaringan).
- Ketidakadekuatan pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin,
imunosupresi (mis,imunitas didapat tidak adekuat,agen farmaseotikar
termasuk imunosupresan, steroid, anti body monoklonal, imunomudolator)
supresi musfor inflamasi).
- Faksinasi tidak adekuat
- Pemejanan terhadap patogen meningkat (wabah)
- Prosedur infasif
- Malnutrisi
NOC NIC
NOC : NIC :
- imune status Infection control (kontrol infeksi)
- knowledge : infeksi kontrol
- bersihkan lingkungan setelah
- resiko kontrol
dipakai pasien lain
KH :
- pertahnkan teknik isolasi
- kriteri bebas dari tanda dan - batasi pengunjung bila perlu
gejala infeksi - intruksikan pada pengunjung
- mendeskripsikan proses untuk mencuci tangan saat
penularan penyakit faktor berkungjung dan setelah
yang mempengaruhi berkunjung meninggalkan
penularan serta pasien
penatalaksanakannya - gunakan sabun antimikrobia
- menunjukkan kemampuan untuk cuci tangan
untuk mencegah timbulnya - cuci tangan setiap sebelum dan
infeksi sesudah tindakan keperawatan
- jumlah leukosit dalam batas - gunakan baju, sarung tangan
normal sebagai alat pelindung
- menunjukkan perilaku hidup - pertahankan lingkungan aseptik
sehat selama pemasangan alat
- ganti letak IV perifer dan line
central dan dressing sesuai
dengan petunjuk umum
- gunakan kateter intermiten untuk
menurunkan infeksi kandung
kencing
- tingkakan intake nutrisi
- berikan terapi antibiotik bila
perlu
- infection protection
- monitor tanda dan gejala
- monitor hitung granulosit
- monitor terhadap infeksi
- inspeksi kondisi luka/insisi
bedah
- inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap
kemerahan,panas,, drainase
- laporkan kecurigaan infeksi
- laporkan kultur positif
2.1.4 Implementasi
2.1.5 Evaluasi
Leaflet
DAFTAR PUSTAKA
Hudak & Gallo. 2010. Keperawatan Kritis Edisi 6. Jakarta: EGC.
Hamzah, M. 2007. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th
edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universtas Indonesia.
Disusun oleh:
10. Aning Farida (162303101013)
11. Indana Firdausi N (162303101059)
12. M. Irfan (162303101076)
13. Novita Sari T (162303101091)
14. Nur Alfianti R (162303101094)
15. Risa Rosyida (162303101111)
16. Silvia Tugesti Dwi C (162303101120)
17. Taufiq (162303101128)
18. Whindy Dwi F. (162303101132)
2018/2019
SATUAN ACARA PENYULUHAN
A. Analisa Situasi
1) Peserta Penyuluhan
a. Pasien dan Keluarga pasien Pasien dan Keluarga pasien yang
mengalami Gangguan kebutuhan rasa aman dan nyaman akibat
patologis sistem integumen : sindrom steven johnson yang
Kooperatif dan mampu berkomunikasi dengan baik.
b. Jumlah 47 orang
2) Penyuluh
a. Mahasiswa Universitas Jember Kampus D3 Lumajang
b. Mampu menyampaikan materi tentang Gangguan kebutuhan rasa
aman dan nyaman akibat patologis sistem integumen
c. Mampu menjadi vocal point bagi audiens, saat menyampaikan
materi sehingga audiens tidak bosan.
3) Ruangan
a. Di ruang Lab Central D3 keperawatan unej kampus lumajang.
b. Situasi, kondisi dan sarana prasarana mendukung untuk dilakukan
penyuluhan.
C. Pokok Bahasan
Gangguan kebutuhan rasa aman dan nyaman akibat patologis sistem
integumen
D. Sub Pokok Bahasan
1. Menyebutkan Pengertian Gangguan kebutuhan rasa aman dan
nyaman akibat patologis sistem integument.
2. Menyebutkan tanda dan gejala.
3. Menyebutkan penyebab Gangguan kebutuhan rasa aman dan
nyaman akibat patologis sistem integument .
E. KegiatanPenyuluhan
Tahap
Kegiat Kegiatan Penyuluh Kegiatan Peserta Metode Waktu
an
Pelaksa
naan Memperhati Cera
Penyampaian Materi kan dan ma
1. Menjelaskan kepada mengajuk h
audien tentang pengertian, an da 10
Gangguan kebutuhan rasa
pertanyaa n m
aman dan nyaman akibat
n tentang ta e
materi ny n
patologis sistem integumen
yang a it
2. Tanya jawab tentang
belum ja
penjelasan yang diberikan.
dimengert wa
i b
Penutu 1.Menjawab
p 1. Mengevaluasi pengetahuan
pertanyaa
audience dan menanyakan Tany
n 3M
kembali tentang materi yang a
e
sudah di jelaskan oleh 2. Memperhatikan Ja
n
pemateri. 3. Memperhatikan wa
2. Membuat kesimpulan it
4. Mendengarka b
3. Menutup penyuluhan
Menjawab salam
F. Metode
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
G. Media
3. SAP
4. Leafleat
H. Strategi Instruksional
1. Menanyakan klien sejauh mana klien memahami tentang pentingnya
materi Gangguan kebutuhan rasa aman dan nyaman akibat patologis
sistem integumen.
2. Penjelasan materi.
3. Mengadakan tanya jawab untuk mengetahui sejauh mana pemahaman
klien.
I. Stuktur Organisasi
1. Ketua Kelompok : Aning Farida
2. Penyaji : - Silvia Tugesti
- Risa Rosyida
3. Moderator : taufiq
4. Fasilitator : - Indana Firdausi
- M. Irfan
- Windy Dwi F.
J. Evaluasi
1. Kriteria Evaluasi
a. Evaluasi dalam bentuk tanya jawab yang diberikan pada klien dan
dibantu oleh keluarganya.
b. Kontrak dengan peserta H-1 diulangi kontrak pada hari H.
c. Pelaksanaan kegiatan dilaksanakan sesuai satuan acara penyuluhan.
d. Peserta hadir ditempat penyuluhan sesuai kontrak yang disepakati.
2. Evaluasi Proses
Peserta antusias dan menyimak uraian materi penyuluhan dan
bertanya apabila ada yang dianggap kurang dimengerti.
3. Evaluasi hasil
a. Seluruh peserta kooperatif selama proses diskusi ditujukan dengan
30% bertanya dan mengklarifikasi.
b. 60-70% peserta mampu menjaab petanyaan dan memahami
pengertian sampai dengan hal-hal yang harus diperhatikan terkait
degan fraktur.
c. Tidak ada peserta yang meninggalkan tempat penyuluhan sebelum
acara penyuluhan berakhir, kecuali ada kepentingan yang tidak bisa
diwakilkan.
K. Materi
Terlampir
BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA
1.1.1 Definisi
tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak
teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama
pada rangka tubuh. Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas
yaitu kelainan pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa
2011).
mengancam jiwa yang ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis, dikenal
dengan trias kelainan pada kulit vesikobulosa, mukosa orifisium, dan mata,
disertai gejala umum berat. Insidensi kejadian SJS sangat jarang, di Indonesia
sekitar 12 kasus per tahun. Stevens-Johnson Syndrome (SJS) adalah sindrom yang
mengenai kulit, mukosa orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi
dari ringan sampai berat; kelainan k ulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
dengan kulit yang tebal dan likenifikasi (garis kulit tampak lebih menonjol).
Keluhan dan gejala dapat muncul dalam waktu hitungan minggu hingga bertahun-
Anatomi fisiologi kulit menurut Muttaqin dan Sari, (2011) terdiri atas tiga
lapisan, yang masing-masing memiliki berbagai jenis sel dan memiliki fungsi
yang bermacam-macam. ketiga lapisan tersebut adalah epidermis, dermis, dan
subkutis.
1. Epidermis
2. Dermis
Lapisan subkutis kulit terletak di bawah deermis. Lapisan ini terdiri atas
lemak dan jaringan ikat dimana berfungsi untuk memberikan bantalan antara
lapisan kulit dan struktur internal seperti otot atau tulang, serta sebagai peredam
kejut dan insulator panas. Jaringan ini memungkinkan mobilitas kulit, perubahan
kontur tubuh dan penyekatan panas tubuh. Lemak yang bertumpuk dan tersebar
menurut jenis kelamin seseorang, secara parsial akan menyebabkan perbedaan
bentuk tubuh laki-laki dengan perempuan. Makan yang berlebihan akan
menimbulkan penimbunan lemak di bawah kulit. Jaringan subkutan dan jumlah
lemak yang tertimbun merupakan factor penting dalam pengaturan suhu tubuh.
4. Rambut
5. Kuku
2) Kelenjar Apokrin yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya
lebih kental, dipengaruhi oleh saraf adrenergic, labio minora dan saluran
telinga luar.
3) Fungsi apokrin pada manusia belum jelas, pada waktu lahir kecil, dan
pada pubertas mulai besar dan mengeluarkan secret keringat yang
mengandung air, elektrolit, asam laktat dan glukosa, pH sekitar 4-6,8.
1.1.2 Etiologi
etiologi pasti belum diketahui. Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah
reaksi alergi obat secara sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa,
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun
(virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol,
matahari, sinar X), Graft Versus Host Disease, dan radioterapi. (putri, et al., 2016)
carbarmazepin.
i. Keganasan : karsinoma dan limfoma
j. Faktor ideopatik hingga 50%
k. Sindrom Stevens- Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek
penggunaan kokain.
l. Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi
2016).
Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri
kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Trias Steven Johnson (Hudak &
Gallo, 2010) adalah:
d) Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga
terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%)
kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang
hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainan berupa vesikel dan
bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta
kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering
tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan dimukosa dapat juga
terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini
dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran
di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
f) Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen,
perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut
dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.
1.1.4 Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan
IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat
limfosit T yang tersentisasi berkontrak kembali dengan antigen yang sama,
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Muttaqin & Sari,
2013).
Pathways
Aktivasi S.komplemen
Melepaskan
limfokin/sitotoksik
Degranulasi sel mast
Penghancuran sel-sel
Akumulasi netrofil
Reaksi peradangan memfagositosis sel rusak
(CBC) dapat mengungkapkan normal sel darah putih (WBC) count atau
ginjal dan urin untuk mengevaluasi darah. Elektrolit dan kimia lainnya
Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi secara klinis
ketika klinis dicurigai. Jika tidak, film-film biasa rutin tidak diindikasikan
(Parillo, 2010).
8. Histopatologi
Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear. Oedema dan ekstravasasi
sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan
9. Imunologi
Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial
serta terdapat komplek imun yag mengandung IgG, IgM, IgA (Nurarif &
Kusuma, 2016).
10. Tes lain:
Biopsi kulit definitif studi diagnostik tapi bukan merupakan prosedur
d) Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.Kortikosteroid merupakan
tindakan live-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.
Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason
6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak
timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat,
setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang
diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian
diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama
pengobatan kira-kira 10 hari.
e) Antibiotik
1.1.7 Komplikasi
Komplikasi primer yag didapatkan pad apsien SJS dan NET yakni bercak
sebagai barrier tubuh sehingga dapat sebagai pintu masuknya kuman ke dalam
tubuh, hal ini dapat menyebabkan sepsis. (Rahmawati & Indramaya, 2016).
Trias kelainan yang terjadi terdapat pada kulit, mukosa, dan mata.
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu, dapat juga terjadi
purpura. Jika disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk
yang berat kelainannya generalisata. Kelainan selaput lendir yang tersering ialah
pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital
(50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi,
ekskoriasi, dan krusta kehitaman. Selain itu, juga dapat terbentuk
pseudomembran. Pada bibir, kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna
hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus
respiratorius bagian atas, dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan
penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernapas. Sementara itu pada mata, 80% di antara
semua kasus yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu, juga dapat
berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan
iridosiklitis (Muttaqin & Sari, 2013).
Keluhan utama pada pasien adalah bibir yang terasa melepuh sejak kurang
lebih 4 hari SMRS yang disertai dengan keluhan bercak kehitaman dan
gelembung-gelembung kecil pada wajah, dada, dan punggung. Pada SJS, terlihat
gejala trias kelainan yang terdiri dari kelainan kulit, kelainan mukosa orifisium,
dan kelainan mata. Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut
(100%), kemudian disusul kelainan di genital (50%), sedang di lubang hidung dan
anus sangat jarang (8% dan 4%). Pada bibir, kelainan yang sering tampak adalah
krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan kulit pada SJS terdiri atas eritema,
vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian pecah menjadi erosi yang luas. Hal
ini sesuai dengan manifestasi klinis yang terjadi pada pasien. (Putri et al., 2016)
Satu minggu sebelumnya pasien merasa tidak enak badan sehingga pasien
membeli obat paracetamol, lalu sore harinya pasien merasakan panas pada
wajahnya lalu muncul gelembung-gelembung berisi air berukuran kecil-kecil
seperti cacar air pada wajah, leher, dada, dan pungung pasien. Keesokan harinya
pasien merasakan bibirnya seperti terbakar dan melepuh. Pasien juga mengeluh
matanya seperti lengket dan sulit untuk dibuka. Dua hari SMRS gelembung-
gelembung tersebut pecah dan meninggalkan bercak-bercak kehitaman pada
wajah pasien. Pasien mengkonsumsi paracetamol yang merupakan obat golongan
antipiretik, dimana hal ini sesuai dengan teori bahwa antipiretik merupakan salah
satu obat penyebab terjadinya SJS (Novita Dwiswara Putri, 2016).
Lesi kulit pada sindrom Stevens-Johnson dapat timbul sebagai gejala awal
atau dapat juga terjadi setelah gejala klinis dibagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit
umumnya bersifat asimetri dan ukuran lesi bervariasi dari kecil sampai besar.
Mula-mula lesi kulit berupa erupsi yang bersifat multiformis yaitu eritema yang
menyebar luas pada rangka tubuh. Eritema ini menyebar luas secara cepat dan
biasanya mencapai maksimal dalam waktu empat hari, bahkan seringkali hanya
dalam hitungan jam. Pada kasus yang sedang, lesi timbul pada permukaan
ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki, sedangkan pada kasus yang berat
lesimenyebar luas pada wajah, dada dan seluruh permukaan tubuh (Ramayanti,
2011).
Menurut Parillo (2010), pemeriksaan fisik pada pasien sindrom Steven
Johnson ditemukan:
k. Demam
l. Orthostasis
m. Tachycardia
n. Hipotensi
o. Perubahan tingkat kesadaran
p. Epistaksis
q. Konjungtivitis
r. Ulserasi kornea
s. Erosif vulvovaginitis atau balanitis
t. Kejang, koma
2.1.2.1 Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi.
2.1.2.2 Risiko tinggi infeksi b.d. penurunan imunitas, adanya port de entree pada
lesi.
2.1.2.3 Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik secara umum.
2.1.2.4 Gangguan gambaran diri (citra diri) b.d perubahan struktur kulit,
perubahan peran keluarga.
2.1.3.1 Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi.
Kriteria Hasil :
6. Secara konsisten menunjukkan dalam menggunakan tindakan pengurangan
nyeri tanpa analgesik
7. Nyeri yang dilaporkan : tidak ada
lesi.
Definisi: mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik
Faktor faktor resiko:
- Penyakit kronis (diabetes melitus, obesitas)
- Pengetahuan yang tidak cukup untuk menghindari pemanjanan patogen
- Pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat (gangguan peritalsis,
kerusakan integritas kulit pemasangan kateter intra vena, prosedur inflasif,
Perubahan sekresi pH, Penurunan kerja siliaris,Pecah ketuban dini,Pecah
ketuban lama,Merokok, Statis cairan tubuh,Trauma jaringan (mis, trauma
destruktif jaringan).
- Ketidakadekuatan pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin,
imunosupresi (mis,imunitas didapat tidak adekuat,agen farmaseotikar
termasuk imunosupresan, steroid, anti body monoklonal, imunomudolator)
supresi musfor inflamasi).
- Faksinasi tidak adekuat
- Pemejanan terhadap patogen meningkat (wabah)
- Prosedur infasif
- Malnutrisi
NOC NIC
NOC : NIC :
- imune status Infection control (kontrol infeksi)
- knowledge : infeksi kontrol
- bersihkan lingkungan setelah
- resiko kontrol
dipakai pasien lain
KH :
- pertahnkan teknik isolasi
- kriteri bebas dari tanda dan - batasi pengunjung bila perlu
gejala infeksi - intruksikan pada pengunjung
- mendeskripsikan proses untuk mencuci tangan saat
penularan penyakit faktor berkungjung dan setelah
yang mempengaruhi berkunjung meninggalkan
penularan serta pasien
penatalaksanakannya - gunakan sabun antimikrobia
- menunjukkan kemampuan untuk cuci tangan
untuk mencegah timbulnya - cuci tangan setiap sebelum dan
infeksi sesudah tindakan keperawatan
- jumlah leukosit dalam batas - gunakan baju, sarung tangan
normal sebagai alat pelindung
- menunjukkan perilaku hidup - pertahankan lingkungan aseptik
sehat selama pemasangan alat
- ganti letak IV perifer dan line
central dan dressing sesuai
dengan petunjuk umum
- gunakan kateter intermiten untuk
menurunkan infeksi kandung
kencing
- tingkakan intake nutrisi
- berikan terapi antibiotik bila
perlu
- infection protection
- monitor tanda dan gejala
- monitor hitung granulosit
- monitor terhadap infeksi
- inspeksi kondisi luka/insisi
bedah
- inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap
kemerahan,panas,, drainase
- laporkan kecurigaan infeksi
- laporkan kultur positif
2.1.4 Implementasi
2.1.5 Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
Hudak & Gallo. 2010. Keperawatan Kritis Edisi 6. Jakarta: EGC.
Hamzah, M. 2007. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th
edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universtas Indonesia.