Anda di halaman 1dari 55

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN KEBUTUHAN RASA

AMAN DAN NYAMAN AKIBAT PATOLOGIS SISTEM


INTEGUMEN : SINDROM STEVENS JOHNSON

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Medikal Bedah II
Yang dibina oleh Laili Nur Azizah, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun oleh:
1. Aning Farida (162303101013)
2. Indana Firdausi N (162303101059)
3. M. Irfan (162303101076)
4. Novita Sari T (162303101091)
5. Nur Alfianti R (162303101094)
6. Risa Rosyida (162303101111)
7. Silvia Tugesti Dwi C (162303101120)
8. Taufiq (162303101128)
9. Whindy Dwi F. (162303101132)

KEMENRISTEKDIKTI
UNIVERSITAS JEMBER
PRODI D3 FAKULTAS KEPERAWATAN
KAMPUS LUMAJANG
TAHUN 2018
BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Medis

1.1.1 Definisi

Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan

tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak

teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama

pada rangka tubuh. Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas

yaitu kelainan pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa

balanitis dan vulvovaginitis, serta kelainan oral berupa stomatitis. (Rahmayanti,

2011).

Steven-Johnson Syndrom (SJS) merupakan suatu penyakit akut yang dapat

mengancam jiwa yang ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis, dikenal

dengan trias kelainan pada kulit vesikobulosa, mukosa orifisium, dan mata,

disertai gejala umum berat. Insidensi kejadian SJS sangat jarang, di Indonesia

sekitar 12 kasus per tahun. Stevens-Johnson Syndrome (SJS) adalah sindrom yang

mengenai kulit, mukosa orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi

dari ringan sampai berat; kelainan k ulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat

disertai purpura. Peradangan kulit kronis, gatal, sirkumskripta, khas ditandai

dengan kulit yang tebal dan likenifikasi (garis kulit tampak lebih menonjol).

Keluhan dan gejala dapat muncul dalam waktu hitungan minggu hingga bertahun-

tahun. (putri, et al., 2016)


1.1.2 Etiologi

Etiologi sindrom Stevens- Johnson bersifat multifaktorial, sedangkan

etiologi pasti belum diketahui. Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah

reaksi alergi obat secara sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa,

neoplasma, reaksi pascavaksinasi, terapi radiasi, alergi makanan, bahan-bahan

kimia dan penyakit kolagen. (Rahmayanti, 2011).

Etiologi dari SJS sulit ditentukan dengan pasti karena penyebabnya meliputi

berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun

terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SJS diantaranya: infeksi

(virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol,

tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar

matahari, sinar X), Graft Versus Host Disease, dan radioterapi. (putri, et al., 2016)

sindrom Stevens- Johnson dapat disebabkan oleh karena:

a. Infeksi : biasnya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes

simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-

Barr, atau sejenisnya.


b. Efek samping dari obat-obatan : allopurinol, diklofenak, fluconazole,

valdecoxib, sitaglibtin, venicillin, barbiturat, sulfonamide, fenitoin,

azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide,

carbarmazepin.
c. Keganasan : karsinoma dan limfoma
d. Faktor ideopatik hingga 50%
e. Sindrom Stevens- Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek

samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung gingseng.

sindrom Stevens- Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena

penggunaan kokain.
f. Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi

alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena

penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole. Pengobatan yang secara

turun menurun diketahui menyebabkan SJS, eritem multiformis, sindrom

lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfonamide (antibiotik),

penisillin (antibiotic), barbirurate (sedative), lamotrigin (antikonvulsan),

fenitoin-diiantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam

valproad meningkatkan resiko dan terjadinya SJS. (Nurarif & Kusuma,

2016).

1.1.3 Tanda dan Gejala

Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri
kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Trias Steven Johnson (Hudak &
Gallo, 2010) adalah:

a) Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga
terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.

b) Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%)
kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang
hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainan berupa vesikel dan
bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta
kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering
tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan dimukosa dapat juga
terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini
dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran
di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

c) Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen,
perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut
dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.

1.1.4 Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan
IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat
limfosit T yang tersentisasi berkontrak kembali dengan antigen yang sama,
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Muttaqin & Sari,
2013).
Pathways

Obat-obatan, infeksi Kelainan hipersesitifitas


virus, keganasan

Hipersesitifitas tipe IV Hipersesitifitas tipe III

Limfosit T tersintesitasi Antigen antibody terbentuk


terperangkap dalam
jaringan kapiler
Pengakitfan sel T

Aktivasi S.komplemen
Melepaskan
limfokin/sitotoksik
Degranulasi sel mast
Penghancuran sel-sel

Akumulasi netrofil
Reaksi peradangan memfagositosis sel rusak

Melepas sel yang rusak


Nyeri akut
Kerusakan jaringan

Kerusakan integritas Triase gangguan pada


kulit kulit, mukosa, dan mata

Respon lokal: eritema,


vesikel, dan bula
Respon inflamasi
Post de entree sistemik

Terjadi evaporasi pada Gangguan gastrointestinal,


Resiko infeksi kulit demam, malaise

Resiko kekurangan Intake tidak adekuat


volume cairan
Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
1.1.5 Pemeriksaan Penunjang

1. Lab Studi atau Laboratorium:


Menurut Sudoyo, 2009 dalam Nurarif & Kusuma, (2016) Biasanya

dijumpai leukositosis atau eosinofilis. Bila disangka penyebabnya infeksi

dapat dilakukan kultur dara.


Tidak ada laboratorium penelitian (selain biopsi) ada yang dapat

membantu dokter dalam menegakkan diagnosis. Hitung darah lengkap

(CBC) dapat mengungkapkan normal sel darah putih (WBC) count atau

leukositosis nonspesifik. Sebuah menghitung WBC sangat tinggi

menunjukkan kemungkinan adanya infeksi bakteri tindih. Tentukan fungsi

ginjal dan urin untuk mengevaluasi darah. Elektrolit dan kimia lainnya

mungkin diperlukan untuk membantu mengelola masalah-masalah terkait.

Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi secara klinis

dicurigai. (Parillo, 2010)


2. Imaging Studies:
Dada sinar rentgen mungkin menunjukkan adanya pneumonitis

ketika klinis dicurigai. Jika tidak, film-film biasa rutin tidak diindikasikan

(Parillo, 2010).
3. Histopatologi
Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear. Oedema dan ekstravasasi

sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan

spongiosis dan edema intrasel di epidermis (Nurarif & Kusuma, 2016).

4. Imunologi
Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial

serta terdapat komplek imun yag mengandung IgG, IgM, IgA (Nurarif &

Kusuma, 2016).
5. Tes lain:
Biopsi kulit definitif studi diagnostik tapi bukan merupakan prosedur

ED. Biopsi kulit menunjukkan bahwa bullae adalah subepidermal.

Nekrosis sel epidermis dapat dicatat. Daerah Perivascular disusupi dengan

limfosit (Parillo, 2010).

1.1.6 Penatalaksanaan Terapi

a) Kortikosteroid

Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.Kortikosteroid merupakan
tindakan live-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.
Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason
6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak
timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat,
setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang
diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian
diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama
pengobatan kira-kira 10 hari.

Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan


elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi
hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi
hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet
tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat
dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).

b) Antibiotik

Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat


menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotik yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x
80 mg.

c) Infus dan tranfusi darah

Pengaturan keseimbangan cairan atau elektrolit dan nutrisi penting karena


pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta
kesadaran dapat menurun.Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 %
dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka
dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut,
terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura
yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena
sehari dan hemostatik.

1.1.7 Komplikasi

Komplikasi primer yag didapatkan pad apsien SJS dan NET yakni bercak

hipopigentasi dan hiperpigmentasi, komplikasi sekunder yakni kelainan pada mata

(kreatinin, lagoftalmus, simblefaron, erosi kornea) dan komplikasi tersier adalah

kelainan pada liver, yakni didapatkan kenaikan serum transaminase. Penurunan

sistem pertahanan tubuh, luasnya epidemolisis akan menurunkan fungsi kulit

sebagai barrier tubuh sehingga dapat sebagai pintu masuknya kuman ke dalam

tubuh, hal ini dapat menyebabkan sepsis. (Rahmawati & Indramaya, 2016).

Menurut Muttaqin dan Sari, (2011) komplikasi pada syindrome stevens

johnson adalah: Bronkopneumonia (16%), sepsis, kehilangan cairan/darah,

gangguan keseimbangan elektrolit, syok, dan gebutaan gangguan lakrimasi.


BAB 2.KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Konsep Asuhan Keperawatan

2.1.1 Pengkajian Keperawatan

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah. Keadaan


umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada kondisi yang berat,
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodomal berupa demam tinggi, malaise, nyeri
kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorok. Dalam keadaan ini, sering penderita
mendapat pengobatan antibiotik dan antiinflamasi sehingga menyebabkan
kesukaran dalam mengidentifikasi obat penyebab sindrom Stevens Johnson
(Muttaqin & Sari, 2013).

Trias kelainan yang terjadi terdapat pada kulit, mukosa, dan mata.
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu, dapat juga terjadi
purpura. Jika disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk
yang berat kelainannya generalisata. Kelainan selaput lendir yang tersering ialah
pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital
(50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi,
ekskoriasi, dan krusta kehitaman. Selain itu, juga dapat terbentuk
pseudomembran. Pada bibir, kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna
hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus
respiratorius bagian atas, dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan
penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernapas. Sementara itu pada mata, 80% di antara
semua kasus yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu, juga dapat
berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan
iridosiklitis (Muttaqin & Sari, 2013).

Keluhan utama pada pasien adalah bibir yang terasa melepuh sejak kurang
lebih 4 hari SMRS yang disertai dengan keluhan bercak kehitaman dan
gelembung-gelembung kecil pada wajah, dada, dan punggung. Pada SJS, terlihat
gejala trias kelainan yang terdiri dari kelainan kulit, kelainan mukosa orifisium,
dan kelainan mata. Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut
(100%), kemudian disusul kelainan di genital (50%), sedang di lubang hidung dan
anus sangat jarang (8% dan 4%). Pada bibir, kelainan yang sering tampak adalah
krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan kulit pada SJS terdiri atas eritema,
vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian pecah menjadi erosi yang luas. Hal
ini sesuai dengan manifestasi klinis yang terjadi pada pasien. (Putri et al., 2016)

Satu minggu sebelumnya pasien merasa tidak enak badan sehingga pasien
membeli obat paracetamol, lalu sore harinya pasien merasakan panas pada
wajahnya lalu muncul gelembung-gelembung berisi air berukuran kecil-kecil
seperti cacar air pada wajah, leher, dada, dan pungung pasien. Keesokan harinya
pasien merasakan bibirnya seperti terbakar dan melepuh. Pasien juga mengeluh
matanya seperti lengket dan sulit untuk dibuka. Dua hari SMRS gelembung-
gelembung tersebut pecah dan meninggalkan bercak-bercak kehitaman pada
wajah pasien. Pasien mengkonsumsi paracetamol yang merupakan obat golongan
antipiretik, dimana hal ini sesuai dengan teori bahwa antipiretik merupakan salah
satu obat penyebab terjadinya SJS (Novita Dwiswara Putri, 2016).

Lesi kulit pada sindrom Stevens-Johnson dapat timbul sebagai gejala awal
atau dapat juga terjadi setelah gejala klinis dibagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit
umumnya bersifat asimetri dan ukuran lesi bervariasi dari kecil sampai besar.
Mula-mula lesi kulit berupa erupsi yang bersifat multiformis yaitu eritema yang
menyebar luas pada rangka tubuh. Eritema ini menyebar luas secara cepat dan
biasanya mencapai maksimal dalam waktu empat hari, bahkan seringkali hanya
dalam hitungan jam. Pada kasus yang sedang, lesi timbul pada permukaan
ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki, sedangkan pada kasus yang berat
lesimenyebar luas pada wajah, dada dan seluruh permukaan tubuh (Ramayanti,
2011).
Menurut Parillo (2010), pemeriksaan fisik pada pasien sindrom Steven
Johnson ditemukan:

a. Demam
b. Orthostasis
c. Tachycardia
d. Hipotensi
e. Perubahan tingkat kesadaran
f. Epistaksis
g. Konjungtivitis
h. Ulserasi kornea
i. Erosif vulvovaginitis atau balanitis
j. Kejang, koma

2.1.2 Diagnosis Keperawatan yang Muncul

Berikut adalah diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien dengan

Steven Johnson Syndrome (Muttaqin & Sari, 2013).

2.1.2.1 Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi.
2.1.2.2 Risiko tinggi infeksi b.d. penurunan imunitas, adanya port de entree pada

lesi.
2.1.2.3 Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik secara umum.
2.1.2.4 Gangguan gambaran diri (citra diri) b.d perubahan struktur kulit,
perubahan peran keluarga.

2.1.2.5 Kecemasan b.d kondisi penyakit , penurunan kesembuhan


2.1.2.6 Kerusakan integritas kulit b.d. lesi dan reaksi inflamasi lokal.

2.1.2.7 Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan b.d. intake tidak


adekuat respons sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.

(Muttaqin & Sari, 2013)


2.1.3 Intervensi Keperawatan

Tujuan intervensi keperawatan adalah peningkatan integritas jaringan


kulit, terpenuhinya intake nutrisi harian, penurunan risiko infeksi, menurunkan
stimulus nyeri, mekanisme koping yang efektif dan penurunan kecemasan. Untuk
risiko infeksi dapat disesuaikan dengan masalah yang sama pasien NET. Pada
gangguan gambaran diri (citra diri), intervensi dapat disesuaikan pada masalah
yang sama pada pasien psoariaris. Sementara itu, intervensi deficit perawatan diri
dan kecemasan dapat disesaikan pada masalah yang sama pada pasien pemfigus
vulgaris (Muttaqin & Sari, 2013).

2.1.3.1 Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi.

Tujuan yang diharapkan (NOC) : Kontrol nyeri dapat dilakukan dan


tingkat nyeri dapat berkurang

Kriteria Hasil :
1. Secara konsisten menunjukkan dalam menggunakan tindakan pengurangan
nyeri tanpa analgesik
2. Nyeri yang dilaporkan : tidak ada

3. Ekspresi nyeri wajah : tidak ada

4. Melaporkan nyeri yang terkontrol

5. Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada profesional kesehatan

Rencana Tindakan (NIC) :


No INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji tingkat nyeri yang komprehensif Data-data tersebut digunakan
meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan sebagai data dasar dalam
durasi, frekwensi, kualitas, intensitas menentukan intervensi
atau keparahan nyeri, dan faktor tindakan yang tepat pada
presipitasinya. klien selanjutnya untuk
mencapai kesembuhan klien
yang optimal.
2. Observasi isyarat nonverbal Isyarat nonverbal klien
ketidaknyamanan. (meringis, mengernyit)
menjadi tanda bahwa klien
merasakan
ketidaknyamanan/nyeri.

3. Monitor vital sign sebelum dan sesudah Nyeri dan pemberian


pemberian analgesik pertama kali. analgesik dapat memengaruhi
vital sign klien, seperti nadi
dan RR.
4. Lakukan perubahan posisi dan relaksasi. Perubahan posisi dan relaksasi
dapat membantu klien
mengurangi rasa nyeri dan
klien merasa rileks
5. Tingkatkan istirahat/tidur yang cukup Istirahat/tidur dapat
untuk membantu mengurangi rasa nyeri. mengalihkan fokus pada nyeri
klien.
6. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi Teknik relaksasi
nonfarmakologi sebelum atau sesudah rasa nonfarmakologi dapat
sakit meningkat. dilakukan klien tanpa bantuan
perawat atau tenaga
kesehatan untuk mengurangi
nyeri.
7. Berikan informasi yang lengkap dan Pengetahuan yang adekuat
akurat untuk mendukung pengetahuan pada keluarga dapat
keluarga terhadap respon nyeri pasien. membantu perawat atau
tenaga kesehatan untuk
mengenali respon nyeri klien.
8. Berikan analgesik untuk mengurangi Analgesik dapat mengurangi
nyeri (berkolaborasi dengan dokter). nyeri pada klien.

2.1.3.2 Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi

Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi


Definisi:
Kerusakan pada epidermis dan/atau dermis.
Batasan Karakteristik:
- Benda asing menusuk permukaan kulit
- Kerusakan integritas kulit
(Herdman, 2015)
Tujuan: Dalam 5 x 24 jam integritas kulit membaik secara optimal
Kriteria Hasil :
Pertumbuhan jaringan membaik dan lesi psoarisis berkurang
No Intervensi Rasional
1. Kaji kerusakan jaringan kulit Menjadi data dasar untuk
yang terjadi pada klien memberikan informasi intervensi
perawatan yang akan digunakan.
2. Lakukan tindakan peningkatan Perawatan local kulit merupakan
integritas jaringan penatalaksanaan keperawatan yang
penting. Jika diperlukan berikan
kompres hangat, tetapi harus
dilaksanakan dengan hati-hati
sekali pada daerah yang erosive
atau terkelupas. Lesi oral yang
nyeri akan membuat hygiene oral
dipelihara.
3. Lakukan oral hygiene Tindakan oral hygiene perlu
dilakukan untuk menjaga agar
mulut selalu bersih. Obat kumur
larutan anestesi atau agen gentian
violet dapat digunakan dengan
sering untuk membersihkan mulut
dan debris, mengurangi rasa nyeri
pada daerah ulserasi dan
mengendalikan bau mulut yang
amis. Rongga mulut harus
diinspeksi beberapa kali sehari dan
setiap perubahan harus dicatat,
serta dilaporkan. Vaselin (atau
salep yang diresepkan dokter)
dioleskan pada bibir.
4. Tingkatkan asupan nutrisi Diet TKP diperlukan untuk
meningkatkan asupan dari
kebutuhan pertumbuhan jaringan.
5. Evaluasi kerusakan jaringan dan Apabila masih belum mencapai
perkembangan pertumbuhan dari criteria evaluasi 5 x 24 jam,
jaringan maka perlu dikaji ulang factor-
faktor menghambat pertumbuhan
dan dari lesi
6. Lakukan intervensi untuk 1. Perawatan ditempat khusus
mencegah komplikasi untuk mencegah infeksi.
2. Monitor dan evaluasi adanya
tanda dan gejala komplikasi.
3. Pemantauan yang ketat
terhadap tanda-tanda vital dan
pencatatan setiap perubahan
yang serius pada fungsi
respiratorius, renal, atau
gastroinstestinal dapat
mendeteksi dengan cepat
dimulainya suatu infeksi
4. Tindakan asepsis yang mutlak
harus selalu dipertahankan
selama pelaksanaan perawatan
kulit yang rutin.
5. Mencuci tangan dan
mengenakan sarung tangan
steril ketika melaksanakan
prosedur tersebut diperlukan
setiap saat.
6. Ketika keadaannya meliputi
bagian tubuh yang luas, pasien
harus dirawat dalam sebuah
kamar pribadi untuk mencegah
kemungkinan infeksi silang dari
pasien-pasien lain.
7. Para pengunjungan harus
mengenakan pakaian pelindung
dan mencuci tangan mereka
sebelum menyentuh pasien.
8. Orang-orang yang menderita
penyakit menular tidak boleh
mengunjungi pasien sampai
mereka sudah tidak lagi
berbahaya bagi kesehatan
pasien tersebut.

7. Kolaborasi untuk pemberian Kolaborasi pemberian


kortikosteroid glukokortikoid misalnya metal
prednisolon 80-120 mg peroral
(1,5-2 mg/KgBB/hari
8. Kolaborasi untuk pemberian Pemberian antibiotic untuk infeksi
antibiotic dengan catatan menghindari
pemberian sulphonamide dan
antibiotic yang sering juga sebagai
penyebab SJS misalnya penisilin,
cephalosporin. Sebaiknya antibiotic
yang diberikan berdasarkan hasil
kultur, mukosa, dan sputum. Dapat
dipakai injeksi gentamitasin 2-3 x
80 mg iv (1-5 mg/Kg/BB {setiap
pemberian})
2.1.3.3 Risiko tinggi infeksi b.d. penurunan imunitas, adanya port de entree pada

lesi.
Definisi: mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik
Faktor faktor resiko:
- Penyakit kronis (diabetes melitus, obesitas)
- Pengetahuan yang tidak cukup untuk menghindari pemanjanan patogen
- Pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat (gangguan peritalsis,
kerusakan integritas kulit pemasangan kateter intra vena, prosedur inflasif,
Perubahan sekresi pH, Penurunan kerja siliaris,Pecah ketuban dini,Pecah
ketuban lama,Merokok, Statis cairan tubuh,Trauma jaringan (mis, trauma
destruktif jaringan).
- Ketidakadekuatan pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin,
imunosupresi (mis,imunitas didapat tidak adekuat,agen farmaseotikar
termasuk imunosupresan, steroid, anti body monoklonal, imunomudolator)
supresi musfor inflamasi).
- Faksinasi tidak adekuat
- Pemejanan terhadap patogen meningkat (wabah)
- Prosedur infasif
- Malnutrisi

NOC NIC
NOC : NIC :
- imune status Infection control (kontrol infeksi)
- knowledge : infeksi kontrol
- bersihkan lingkungan setelah
- resiko kontrol
dipakai pasien lain
KH :
- pertahnkan teknik isolasi
- kriteri bebas dari tanda dan - batasi pengunjung bila perlu
gejala infeksi - intruksikan pada pengunjung
- mendeskripsikan proses untuk mencuci tangan saat
penularan penyakit faktor berkungjung dan setelah
yang mempengaruhi berkunjung meninggalkan
penularan serta pasien
penatalaksanakannya - gunakan sabun antimikrobia
- menunjukkan kemampuan untuk cuci tangan
untuk mencegah timbulnya - cuci tangan setiap sebelum dan
infeksi sesudah tindakan keperawatan
- jumlah leukosit dalam batas - gunakan baju, sarung tangan
normal sebagai alat pelindung
- menunjukkan perilaku hidup - pertahankan lingkungan aseptik
sehat selama pemasangan alat
- ganti letak IV perifer dan line
central dan dressing sesuai
dengan petunjuk umum
- gunakan kateter intermiten untuk
menurunkan infeksi kandung
kencing
- tingkakan intake nutrisi
- berikan terapi antibiotik bila
perlu
- infection protection
- monitor tanda dan gejala
- monitor hitung granulosit
- monitor terhadap infeksi
- inspeksi kondisi luka/insisi
bedah
- inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap
kemerahan,panas,, drainase
- laporkan kecurigaan infeksi
- laporkan kultur positif

2.1.4 Implementasi

Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan mencapai tujuan


spesifik. Implementasi dilakukan pada pasien dengan Sindrome Stevens Jhonson,
Tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah dilakukan
sebelumnya. Dalam tindakan ini diperlukan kerjasama antara perawat sebagai
pelaksana asuhan keperawatan, tim kesehatan, pasien dan kluarga agar asuhan
keperawatan yang diberikan bias berkesinambungan sehingga pasien dan keluarga
dapat menjadi mandiri (Rahmad, Maifal A. 2017).

2.1.5 Evaluasi

Evaluasi adalah bagian terakhir dari proses keperawatan. Evaluasi adalah


penilaian dari perubahan keadaan yang dirasakan pasien sehubungan dengan
pencapaian tujuan atau hasil yang diharapkan. Tahap ini merupakan kunci dari
keberhasilan dalam melaksanakan proses keperawatan, dari hasil evalusi ini
merupakan kemungkinan yang akan terjadi untuk menentukan asuhan
keperawatan selanjutnya. Meskipun evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses
keperawatan tetapi tidak berhenti sampai disini, jika maslah belum teratasi atau
timbul masalah baru maka tindakan perlu dilanjutkan atau dimodifikasi kembali
(Rahmad, Maifal A. 2017).

Leaflet
DAFTAR PUSTAKA
Hudak & Gallo. 2010. Keperawatan Kritis Edisi 6. Jakarta: EGC.

Hamzah, M. 2007. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th
edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universtas Indonesia.

Herdman, T. (2015). NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: Definisi


& Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.

NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Edisi


10. Jakarta: EGC
Mansjoer, A., Dkk. 2002. Erupsi Alergi Obat. Jakarta: Kapita Selekta Kedokteran.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2013). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem


Integumen. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, A. H. & Kusuma, H., 2016. ASUHAN KEPERAWATAN PRAKTIS


BERDASARKAN PENERAPAN DIAGNOSA NANDA, NIC, NOC DALAM
BERBAGAI KASUS. 2 penyunt. Yogyakarta : Mediaction.
Parillo, S. J., 2010. Stevens-Jhonson Syndrome.
putri, N. D. et al., 2016. STEVEN-JOHNSON SYNDROM ET CAUSA
PATACETAMOL. JMedula Unila , Volume vo. 6 No. 1, pp. 1001-106.
Rahmad, Maifal A. 2017. ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. S DENGAN
DIAGNOSIS MEDIS SYNDROME STEVENS JOHNSON DI RUANG
H2 RUMKITAL Dr. RAMELAN SURABAYA. Karya Tulis Ilmiah.
Surabaya: Progam Studi D-III Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya.
Rahmawati, Y. W. & Indramaya, D. M., 2016. Studi Retrospektif: Sindrom
Steven-Johnson dan Nekrosis Epidermal Toksis. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit Dan Kelamin, Volume Vol. 28 No. 2, pp. 71-80.
Rahmayanti, S., 2011. MANIFESTASI ORAK DAN PENATALAKSANAAN
PAD APENDERITA SINDROM STEVENS-JOHNSON. Majalah
Kedokteran Andalas , Volume 35 No. 2, pp. 91-96.
Sharma, V.K. 2006. Management of Stevens Johnson Syndrome (SJS) and Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN). Proposed IADVL Consensus Guidelines.
SATUAN ACARA PENYULUHAN

GANGGUAN KEBUTUHAN RASA AMAN DAN NYAMAN


AKIBAT PATOLOGIS SISTEM INTEGUMEN : SINDROM
STEVEN JOHNSON
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II
Yang dibina oleh Laili Nur Azizah, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun oleh:
10. Aning Farida (162303101013)
11. Indana Firdausi N (162303101059)
12. M. Irfan (162303101076)
13. Novita Sari T (162303101091)
14. Nur Alfianti R (162303101094)
15. Risa Rosyida (162303101111)
16. Silvia Tugesti Dwi C (162303101120)
17. Taufiq (162303101128)
18. Whindy Dwi F. (162303101132)

D3 KEPERAWATAN UNEJ KAMPUS LUMAJANG


Jalan Brigjend Katamso, Lumajang 67312

Telepon/Fax (0334)882262, 885920

2018/2019
SATUAN ACARA PENYULUHAN

“GANGGUAN KEBUTUHAN RASA AMAN DAN NYAMAN AKIBAT


PATOLOGIS SISTEM INTEGUMEN : SINDROM STEVEN JOHNSON ”
PokokBahasan : Gangguan kebutuhan rasa aman dan nyaman
akibat patologis sistem integumen : sindrom
steven johnson
Sasaran : Pasien dan Keluarga pasien yang mengalami
Gangguan kebutuhan rasa aman dan nyaman
akibat patologis sistem integumen : sindrom
steven johnson
Hari/Tanggal : Rabu, 12 September 2018
Waktu : 15 menit
Tempat : Ruang lab central
Penyuluh : Mahasiswa D3 Keperawatan Universitas Jember
Kampus Lumajang

A. Analisa Situasi
1) Peserta Penyuluhan
a. Pasien dan Keluarga pasien Pasien dan Keluarga pasien yang
mengalami Gangguan kebutuhan rasa aman dan nyaman akibat
patologis sistem integumen : sindrom steven johnson yang
Kooperatif dan mampu berkomunikasi dengan baik.
b. Jumlah 47 orang
2) Penyuluh
a. Mahasiswa Universitas Jember Kampus D3 Lumajang
b. Mampu menyampaikan materi tentang Gangguan kebutuhan rasa
aman dan nyaman akibat patologis sistem integumen
c. Mampu menjadi vocal point bagi audiens, saat menyampaikan
materi sehingga audiens tidak bosan.
3) Ruangan
a. Di ruang Lab Central D3 keperawatan unej kampus lumajang.
b. Situasi, kondisi dan sarana prasarana mendukung untuk dilakukan
penyuluhan.

B. Tujuan Instruksional Umum


1) Tujuan Instruksional Umum
Setelah diberikan penyuluhan kesehatan selama 15 menit diharapkan
Pasien dan Keluarga pasien dapat mengetahui dan memahami tentang
materi Gangguan kebutuhan rasa aman dan nyaman akibat patologis
sistem integumen

2) Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mengikuti penyuluhan kesehatan tentang materi Gangguan


kebutuhan rasa aman dan nyaman akibat patologis sistem integumen

Pasien dan Keluarga pasien diharapkan dapat :


a. Menyebutkan Pengertian Gangguan kebutuhan rasa aman
dan nyaman akibat patologis sistem integument.
b. Menyebutkan tanda dan gejala.
c. Menyebutkan penyebab Gangguan kebutuhan rasa aman
dan nyaman akibat patologis sistem integument .

C. Pokok Bahasan
Gangguan kebutuhan rasa aman dan nyaman akibat patologis sistem
integumen
D. Sub Pokok Bahasan
1. Menyebutkan Pengertian Gangguan kebutuhan rasa aman dan
nyaman akibat patologis sistem integument.
2. Menyebutkan tanda dan gejala.
3. Menyebutkan penyebab Gangguan kebutuhan rasa aman dan
nyaman akibat patologis sistem integument .

E. KegiatanPenyuluhan
Tahap
Kegiat Kegiatan Penyuluh Kegiatan Peserta Metode Waktu
an

1. Mengucapkan 1. Menjawab salam Ceramah 2Menit


2. Memperhatikan
Pembu salam
3. Menjawab
kaan
2. Memperkenal pertanyaan

kan diri 4. Memperhatikan


5. Menjawab semampu
3. Menanyakan keadaan audien
pengetahuan audien
4. Menjelaskan tujuan pertemuan
5. Menjelaskan kontrak waktu
Menggali pengetahuan
tentang materi Gangguan
kebutuhan rasa aman dan
nyaman akibat patologis
sistem integumen

Pelaksa
naan Memperhati Cera
Penyampaian Materi kan dan ma
1. Menjelaskan kepada mengajuk h
audien tentang pengertian, an da 10
Gangguan kebutuhan rasa
pertanyaa n m
aman dan nyaman akibat
n tentang ta e
materi ny n
patologis sistem integumen
yang a it
2. Tanya jawab tentang
belum ja
penjelasan yang diberikan.
dimengert wa
i b
Penutu 1.Menjawab
p 1. Mengevaluasi pengetahuan
pertanyaa
audience dan menanyakan Tany
n 3M
kembali tentang materi yang a
e
sudah di jelaskan oleh 2. Memperhatikan Ja
n
pemateri. 3. Memperhatikan wa
2. Membuat kesimpulan it
4. Mendengarka b
3. Menutup penyuluhan
Menjawab salam

F. Metode
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
G. Media
3. SAP
4. Leafleat
H. Strategi Instruksional
1. Menanyakan klien sejauh mana klien memahami tentang pentingnya
materi Gangguan kebutuhan rasa aman dan nyaman akibat patologis
sistem integumen.
2. Penjelasan materi.
3. Mengadakan tanya jawab untuk mengetahui sejauh mana pemahaman
klien.

I. Stuktur Organisasi
1. Ketua Kelompok : Aning Farida
2. Penyaji : - Silvia Tugesti
- Risa Rosyida
3. Moderator : taufiq
4. Fasilitator : - Indana Firdausi
- M. Irfan
- Windy Dwi F.

5. Observer : Nur Alfianti

J. Evaluasi
1. Kriteria Evaluasi
a. Evaluasi dalam bentuk tanya jawab yang diberikan pada klien dan
dibantu oleh keluarganya.
b. Kontrak dengan peserta H-1 diulangi kontrak pada hari H.
c. Pelaksanaan kegiatan dilaksanakan sesuai satuan acara penyuluhan.
d. Peserta hadir ditempat penyuluhan sesuai kontrak yang disepakati.

2. Evaluasi Proses
Peserta antusias dan menyimak uraian materi penyuluhan dan
bertanya apabila ada yang dianggap kurang dimengerti.
3. Evaluasi hasil
a. Seluruh peserta kooperatif selama proses diskusi ditujukan dengan
30% bertanya dan mengklarifikasi.
b. 60-70% peserta mampu menjaab petanyaan dan memahami
pengertian sampai dengan hal-hal yang harus diperhatikan terkait
degan fraktur.
c. Tidak ada peserta yang meninggalkan tempat penyuluhan sebelum
acara penyuluhan berakhir, kecuali ada kepentingan yang tidak bisa
diwakilkan.
K. Materi
Terlampir
BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Medis

1.1.1 Definisi

Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan

tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak

teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama

pada rangka tubuh. Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas

yaitu kelainan pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa

balanitis dan vulvovaginitis, serta kelainan oral berupa stomatitis. (Rahmayanti,

2011).

Steven-Johnson Syndrom (SJS) merupakan suatu penyakit akut yang dapat

mengancam jiwa yang ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis, dikenal

dengan trias kelainan pada kulit vesikobulosa, mukosa orifisium, dan mata,

disertai gejala umum berat. Insidensi kejadian SJS sangat jarang, di Indonesia

sekitar 12 kasus per tahun. Stevens-Johnson Syndrome (SJS) adalah sindrom yang

mengenai kulit, mukosa orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi

dari ringan sampai berat; kelainan k ulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat

disertai purpura. Peradangan kulit kronis, gatal, sirkumskripta, khas ditandai

dengan kulit yang tebal dan likenifikasi (garis kulit tampak lebih menonjol).

Keluhan dan gejala dapat muncul dalam waktu hitungan minggu hingga bertahun-

tahun. (putri, et al., 2016)

Anatomi fisiologi kulit menurut Muttaqin dan Sari, (2011) terdiri atas tiga
lapisan, yang masing-masing memiliki berbagai jenis sel dan memiliki fungsi
yang bermacam-macam. ketiga lapisan tersebut adalah epidermis, dermis, dan
subkutis.

1. Epidermis

Epidermis merupakan struktur lapisan kulit terluar. Sel-sel epidermis terus


menerus mengalami mitosis, dan berganti dengan yang baru sekitar 30 hari.
Epidermis mengandung reseptor-reseptor sensorik untuk sentuhan, suhu, getaran,
dan nyeri. Komponen utama epidermis adalah protein keratin, yang dihasilkan
oleh sel-sel yang disebut keratinosit. Keratin adalah bahan yang kuat dan memiliki
daya tahan tinggi, serta tidak larut dalam air. Keratin mencegah hilangnya air
tubuh yang melindungi epidermis dari iritan atau mikroorganisme penyebab
infeksi. Keratin adalah komponen utama apendiks kulit, rambut dan kuku.
Melanosit (sel pigmen) terdapat dibagian dasar epidermis. Melanosit menyintesis
dan mengeluarkan melanin sebagai respons terhadap rangsangan hormon
hippofisit anterior, hormon perangsang melanosit (melanocytestimulating
hormone, MSH).

Melanosit merupakan sel-sel khusus epidermis yang terutama terlibat


dalam produksi pigmen melanin yang mewarnai kulit dan rambut. Semakin
banyak melanin, semakin gelap warnanya. Sebagaian besar orang yang berkulit
gelap dan bagian-bagian kulit yang berwarna gelap pada orang yang berkulit cerah
(misalnya: puting susu) mengandung pigmen ini dalam jumlah yang lebih banyak.
Warna kulit yang normal bergantung pada ras dan bervariasi dari merah muda
yang cerah hingga coklat. Penyakit sitemik juga akan mempengaruhi warna kulit
sebagai contoh, kulit akan tampak kebiruan bila terjadi oksigenasi darah yang
tidak mecukupi, berwarna kuning-hijau pada penderita ikterus, atau merah atau
terlihat flushing bila terjadi inflamasi atau demam. Melanin dapat diyakini dapat
menyerap cahaya ultraviolet dan dengan demikian akan melindungi seseorang
terhadap efek pancaran cahaya ultraviolet dalam sinar matahari yang berbahaya.
Sel-sel imun, yang disebut sel langerhans, terdapat diseluruh epidermis. Sel
langerhans mengenali partikel asing atau mikroorganisme yang masuk ke kulit
dan membangkitkan suatu serangan imun. Sel Langerhans mungkin bertanggung
jawab mengenal dan menyingkirkan sel-sel kulit displastik atau neoplastik. Sel
langerhans secara fisik berhubungan dengan saraf-saraf simpatis, yang
mengisyaratkan adanya hungungan antara sisetm saraf dan kemampuan kulit
melawan infeksi atau mencegah kanker kulit. Stress dapat mempengaruhi fungsi
sel langerhans dengan meningkatkan rangsang simpatis. Radiasi ultravioletd apat
merusak sel langerhans, mengurangi kemampuannya mencegah kanker.

2. Dermis

Dermis atau kutan (cutaneus) merupakan lapisan kulit dibawah epidermis


yang membentuk bagian terbesar kulit dengan memberikan kekuatan dan struktur
pada kulit. Lapisan papila dermis berada langsung dibawah epidermis dan
tersusun terutama dari sel-sel fibroblas yang dapat menghasilkan salah satu bentuk
kolagen, yaitu suatu komponen dari jaringan ikat. Dermis juga tersusun dari
pembuluh darah dan limfe, serabut saraf, kelenjar keringat, dan sebasea, serta akar
rambut. Suatu bahan mirip gel, asam hialuronat, disekresikan oleh sel-sel jaringan
ikat. Bahan ini mengelilingi protein dan menyebabkan kulit menjadi elastis dan
memiliki turgor (tegangan). Pada seluruh dermis dijumpai pembuluh darah, saraf
sensorik dan simpatis, pembulu limfe, folikel rambut, serta kelenjar keringat dan
palit (sebasea). Sel mast, yang mengeluarkan histamin selama cedera atau
peradangan, dan makrofag, yang memfagositosis sel-sel mati dan
mikroorganisme, juga terdapat di dermis. Pembuluh darah di dermis menyuplai
makanan dan oksigen pada dermis dan epidermis, serta membuang produk-produk
sisa. Aliran darah dermis memungkinkan tubuh mengontrol temperaturnya. Pada
penurunan suhu tubuh, saraf-saraf simpatis ke pembuluh darah meningkatkan
pelepasan norepinefrin. Pelepasan norepinefrin menyebabkan konstriksi
pembuluh sehingga panas tubuh dapat di pertahankan. Apabila suhu terlalu tinggi,
maka rangsangan simpatis terhadap pembuluh darah dermis berkurang sehingga
terjadi dilatasi pembuluh sehingga panas tubuh akan di pindahkan ke lingkungan.
Hubungan anteriovena (AV), AV mempermudah pengaturan suhu tubuh oleh kulit
dengan memungkinkan darah melewati bagian atas dermis pada keadaan yang
sangat dingin. Saraf simpatis ke dermis juga mempersarafi kelenjar keringat,
kelenjar sebasea, serta folikel rambut.
3. Lapisan subkutis

Lapisan subkutis kulit terletak di bawah deermis. Lapisan ini terdiri atas
lemak dan jaringan ikat dimana berfungsi untuk memberikan bantalan antara
lapisan kulit dan struktur internal seperti otot atau tulang, serta sebagai peredam
kejut dan insulator panas. Jaringan ini memungkinkan mobilitas kulit, perubahan
kontur tubuh dan penyekatan panas tubuh. Lemak yang bertumpuk dan tersebar
menurut jenis kelamin seseorang, secara parsial akan menyebabkan perbedaan
bentuk tubuh laki-laki dengan perempuan. Makan yang berlebihan akan
menimbulkan penimbunan lemak di bawah kulit. Jaringan subkutan dan jumlah
lemak yang tertimbun merupakan factor penting dalam pengaturan suhu tubuh.

4. Rambut

Rambut di bentuk darikeratin melalui proses diferensiasi yang sudah di


tentukan sebelumnya, sel-sel epidermis tertentu akan membentuk folikelfolikel
rambut. Folikel rambut ini di sokong oleh matriks kulit dan akan berdiferensiasi
menjadi rambut. Kemudian suatu saluran epitel akan terbentuk, melalui saluran
inilah rambut akan keluar ke permukaan tubuh. Sama seperti sisik, rambut terdiri
atas keratin mati dan di bentuk dengan kecepatan tertentu. Sistin dan metionin,
yaitu asam amino yang mengandung sulfur dengan ikatan kovalen yang kuat,
memberi kekuatan pada rambut. Pada kulit kepala, kecepatan pertumbuhan
rambut biasanya 3 mm per hari. Setiap folikel rambut melewati siklus:
pertumbuhan (rambut anagen), stadium intermedia (rambut katagen), dan involusi
(rambut telogen). Stadium anagen pada kulit kepala dapat bertahan selama kurang
lebih 3 tahun, sedangkan stadium telogen hanya bertahan 3 bulan saja. Begitu
folikel rambut mencapai stadium telogen, maka rambut akan rontok. Pada
akhirnya folikel rambut akan mengalami regenerasi menjadi stadium anagen dan
akan terbentuk rambut baru. Aktivitas siklus folikel rambut ini satu dengan yang
lainnya tidak saling berrgantung. Pola mosaik ini mencegah terjadinya kebotakan
sementara pada kulit kepala. Bila proses ini berhenti, maka orang tersebut akan
mengalami kebotakan permanen. Sekitar 90% dari 100.000 folikel rambut pada
kulit kepala yang normal berada pada fase pertumbuhan pada satu saat. 50 hingga
100 lembar rambut kulit kepala akan rontok setiap harinya. Rambut pada berbagai
bagian tubuh memiliki fungsi yang bermacam-macam. Rambut pada bagian mata
(alis dan bulu mata), hidung, dan telinga menyaring debu, binatang kecil, serta
kotoran yang di bawah oleh udara. Warna rambut di tentukan oleh jumlah melanin
yang beragam dalam batang rambut. Rambut yang berwarna kelabu atau putih
mencerminkan tidak adanya pigmen tersebut. Pada bagian tubuh tertentu,
pertumbuhan rambut dikontrol oleh hormon-hormon seks. Contoh yang paling
nyata adalah rambut pada wajah (rambut janggut dan kumis) dan rambut pada
bagian dada, serta punggung yang di kendalikan oleh hormon laki-laki yang di
kenal sebagai hormon androgen. Kuantitas dan distribusi rambut dapat di
pengaruhi oleh kondisi endokrin. Sebagai contoh, sindrom cushing menyebabkan
hirsutisme (pertumbuhan rambut yang berlebihan, khususnya pada wanita);
hipotiroidisme (tiroid yang kurang aktif) menyebabkan perubahan tekstur rambut.
Pada banyak kasus, hemo terapi dan terapi radiasi pada kanker akan menyebabkan
penipisan rambutatau pelemahan batang rambut sehingga terjadi alopesia
(kerontokan rambut) yang parsial atau total dari kulit kepala maupun bagian tubuh
yang lain.

5. Kuku

Kuku merupakan lempeng keratin mati yang di bentuk oleh sel-sel


epidermis matriks kuku. Matriks kuku terletak di bawah bagian proksimal
lempeng kuku dalam dermis. Bagian ini dapat terlihat sebagai suatu daerah putih
yang di sebut lunula, yang tertutup oleh lipatan kuku bagian proksimal dan
kutikula. Oleh karena rambut maupun kuku merupakan struktur keratin yang mati,
maka rambut dan kuku tidak mempunyai ujung saraf dan tidak mempunyai aliran
darah. Kuku akan melindungi jari-jari tangan dan kaki dengan menjaga fungsi
sensoriknya yang sangat berkembang, serta meningkatkan fungsi-fungsi halus
tertentu seperti fungsi mengangkat benda-benda kecil. Pertumbuhan kuku
berlangsung terus sepanjang hidup dengan pertumbuhan rata-rata 0,1 mm per hari.
Pertumbuhan ini berlangsung lebih cepat pada kuku jari tangan dari pada kuku jari
kaki dan cenderung melambat bersamaan dengan proses penuaan. Pembaruan
total kuku jari tangan memerlukan waktu sekitar 170 hari, sedangkan pembaruan
kuku jari kaki membutuhkan waktu 12 hingga 18 bulan.
6. Kelenjar kulit terdapat di lapisan Dermis yang terdiri dari :

a. Kelenjar Keringat (Glandula Sudorifera)

ada dua macam kelenjar keringat yaitu :

1) Kelenjar Ekrin yang kecil-kecil dan terletak dangkal pada dermis


dengan secret yang encer, dan telah terbentuk sempurna pada 28 minggu
kehamilan, berfungsi 40 minggu setelah kelahiran berbentuk spiral dan
bermuara langsung di permukaan kulit, terbanyak di telapak dan kaki.

2) Kelenjar Apokrin yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya
lebih kental, dipengaruhi oleh saraf adrenergic, labio minora dan saluran
telinga luar.

3) Fungsi apokrin pada manusia belum jelas, pada waktu lahir kecil, dan
pada pubertas mulai besar dan mengeluarkan secret keringat yang
mengandung air, elektrolit, asam laktat dan glukosa, pH sekitar 4-6,8.

b. Kelenjar palit (grandula sebasea)

Terletak diseluruh permukaan kulit kecuali di telapak kaki dan kaki.


Kelenjar palit disebut juga kelenjar holokrin karena tidak berlumen dan secret
kelenjar ini berasal dari dekomposisi sel-sel kelenjar. Kelenjar palit terdapat
disampaing akar rambut (folikel rambut). Sebelum mengandung trigleserida, asam
lemak bebas, skualen, wax ester, dan kolestrol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon
hedrogen, dan berfungsi aktif pada usia pubertas.

1.1.2 Etiologi

Etiologi sindrom Stevens- Johnson bersifat multifaktorial, sedangkan

etiologi pasti belum diketahui. Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah

reaksi alergi obat secara sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa,

neoplasma, reaksi pascavaksinasi, terapi radiasi, alergi makanan, bahan-bahan

kimia dan penyakit kolagen. (Rahmayanti, 2011).


Etiologi dari SJS sulit ditentukan dengan pasti karena penyebabnya meliputi

berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun

terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SJS diantaranya: infeksi

(virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol,

tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar

matahari, sinar X), Graft Versus Host Disease, dan radioterapi. (putri, et al., 2016)

sindrom Stevens- Johnson dapat disebabkan oleh karena:

g. Infeksi : biasnya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes

simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-

Barr, atau sejenisnya.


h. Efek samping dari obat-obatan : allopurinol, diklofenak, fluconazole,

valdecoxib, sitaglibtin, venicillin, barbiturat, sulfonamide, fenitoin,

azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide,

carbarmazepin.
i. Keganasan : karsinoma dan limfoma
j. Faktor ideopatik hingga 50%
k. Sindrom Stevens- Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek

samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung gingseng.

sindrom Stevens- Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena

penggunaan kokain.
l. Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi

alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena

penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole. Pengobatan yang secara

turun menurun diketahui menyebabkan SJS, eritem multiformis, sindrom

lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfonamide (antibiotik),

penisillin (antibiotic), barbirurate (sedative), lamotrigin (antikonvulsan),

fenitoin-diiantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam


valproad meningkatkan resiko dan terjadinya SJS. (Nurarif & Kusuma,

2016).

1.1.3 Tanda dan Gejala

Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri
kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Trias Steven Johnson (Hudak &
Gallo, 2010) adalah:

d) Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga
terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.

e) Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%)
kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang
hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainan berupa vesikel dan
bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta
kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering
tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan dimukosa dapat juga
terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini
dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran
di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

f) Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen,
perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut
dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.

1.1.4 Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan
IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat
limfosit T yang tersentisasi berkontrak kembali dengan antigen yang sama,
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Muttaqin & Sari,
2013).
Pathways

Obat-obatan, infeksi Kelainan hipersesitifitas


virus, keganasan

Hipersesitifitas tipe IV Hipersesitifitas tipe III

Limfosit T tersintesitasi Antigen antibody terbentuk


terperangkap dalam
jaringan kapiler
Pengakitfan sel T

Aktivasi S.komplemen
Melepaskan
limfokin/sitotoksik
Degranulasi sel mast
Penghancuran sel-sel

Akumulasi netrofil
Reaksi peradangan memfagositosis sel rusak

Melepas sel yang rusak


Nyeri akut
Kerusakan jaringan

Kerusakan integritas Triase gangguan pada


kulit kulit, mukosa, dan mata

Respon lokal: eritema,


vesikel, dan bula
Respon inflamasi
Post de entree sistemik

Terjadi evaporasi pada Gangguan gastrointestinal,


Resiko infeksi kulit demam, malaise

Resiko kekurangan Intake tidak adekuat


volume cairan
Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
1.1.5 Pemeriksaan Penunjang

6. Lab Studi atau Laboratorium:


Menurut Sudoyo, 2009 dalam Nurarif & Kusuma, (2016) Biasanya

dijumpai leukositosis atau eosinofilis. Bila disangka penyebabnya infeksi

dapat dilakukan kultur dara.


Tidak ada laboratorium penelitian (selain biopsi) ada yang dapat

membantu dokter dalam menegakkan diagnosis. Hitung darah lengkap

(CBC) dapat mengungkapkan normal sel darah putih (WBC) count atau

leukositosis nonspesifik. Sebuah menghitung WBC sangat tinggi

menunjukkan kemungkinan adanya infeksi bakteri tindih. Tentukan fungsi

ginjal dan urin untuk mengevaluasi darah. Elektrolit dan kimia lainnya

mungkin diperlukan untuk membantu mengelola masalah-masalah terkait.

Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi secara klinis

dicurigai. (Parillo, 2010)


7. Imaging Studies:
Dada sinar rentgen mungkin menunjukkan adanya pneumonitis

ketika klinis dicurigai. Jika tidak, film-film biasa rutin tidak diindikasikan

(Parillo, 2010).
8. Histopatologi
Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear. Oedema dan ekstravasasi

sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan

spongiosis dan edema intrasel di epidermis (Nurarif & Kusuma, 2016).

9. Imunologi
Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial

serta terdapat komplek imun yag mengandung IgG, IgM, IgA (Nurarif &

Kusuma, 2016).
10. Tes lain:
Biopsi kulit definitif studi diagnostik tapi bukan merupakan prosedur

ED. Biopsi kulit menunjukkan bahwa bullae adalah subepidermal.

Nekrosis sel epidermis dapat dicatat. Daerah Perivascular disusupi dengan

limfosit (Parillo, 2010).

1.1.6 Penatalaksanaan Terapi

d) Kortikosteroid

Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.Kortikosteroid merupakan
tindakan live-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.
Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason
6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak
timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat,
setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang
diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian
diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama
pengobatan kira-kira 10 hari.

Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan


elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi
hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi
hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet
tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat
dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).

e) Antibiotik

Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat


menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotik yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x
80 mg.

f) Infus dan tranfusi darah

Pengaturan keseimbangan cairan atau elektrolit dan nutrisi penting karena


pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta
kesadaran dapat menurun.Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 %
dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka
dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut,
terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura
yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena
sehari dan hemostatik.

1.1.7 Komplikasi

Komplikasi primer yag didapatkan pad apsien SJS dan NET yakni bercak

hipopigentasi dan hiperpigmentasi, komplikasi sekunder yakni kelainan pada mata

(kreatinin, lagoftalmus, simblefaron, erosi kornea) dan komplikasi tersier adalah

kelainan pada liver, yakni didapatkan kenaikan serum transaminase. Penurunan

sistem pertahanan tubuh, luasnya epidemolisis akan menurunkan fungsi kulit

sebagai barrier tubuh sehingga dapat sebagai pintu masuknya kuman ke dalam

tubuh, hal ini dapat menyebabkan sepsis. (Rahmawati & Indramaya, 2016).

Menurut Muttaqin dan Sari, (2011) komplikasi pada syindrome stevens

johnson adalah: Bronkopneumonia (16%), sepsis, kehilangan cairan/darah,

gangguan keseimbangan elektrolit, syok, dan gebutaan gangguan lakrimasi.


BAB 2.KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Konsep Asuhan Keperawatan

2.1.1 Pengkajian Keperawatan

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah. Keadaan


umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada kondisi yang berat,
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodomal berupa demam tinggi, malaise, nyeri
kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorok. Dalam keadaan ini, sering penderita
mendapat pengobatan antibiotik dan antiinflamasi sehingga menyebabkan
kesukaran dalam mengidentifikasi obat penyebab sindrom Stevens Johnson
(Muttaqin & Sari, 2013).

Trias kelainan yang terjadi terdapat pada kulit, mukosa, dan mata.
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu, dapat juga terjadi
purpura. Jika disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk
yang berat kelainannya generalisata. Kelainan selaput lendir yang tersering ialah
pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital
(50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi,
ekskoriasi, dan krusta kehitaman. Selain itu, juga dapat terbentuk
pseudomembran. Pada bibir, kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna
hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus
respiratorius bagian atas, dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan
penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernapas. Sementara itu pada mata, 80% di antara
semua kasus yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu, juga dapat
berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan
iridosiklitis (Muttaqin & Sari, 2013).

Keluhan utama pada pasien adalah bibir yang terasa melepuh sejak kurang
lebih 4 hari SMRS yang disertai dengan keluhan bercak kehitaman dan
gelembung-gelembung kecil pada wajah, dada, dan punggung. Pada SJS, terlihat
gejala trias kelainan yang terdiri dari kelainan kulit, kelainan mukosa orifisium,
dan kelainan mata. Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut
(100%), kemudian disusul kelainan di genital (50%), sedang di lubang hidung dan
anus sangat jarang (8% dan 4%). Pada bibir, kelainan yang sering tampak adalah
krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan kulit pada SJS terdiri atas eritema,
vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian pecah menjadi erosi yang luas. Hal
ini sesuai dengan manifestasi klinis yang terjadi pada pasien. (Putri et al., 2016)

Satu minggu sebelumnya pasien merasa tidak enak badan sehingga pasien
membeli obat paracetamol, lalu sore harinya pasien merasakan panas pada
wajahnya lalu muncul gelembung-gelembung berisi air berukuran kecil-kecil
seperti cacar air pada wajah, leher, dada, dan pungung pasien. Keesokan harinya
pasien merasakan bibirnya seperti terbakar dan melepuh. Pasien juga mengeluh
matanya seperti lengket dan sulit untuk dibuka. Dua hari SMRS gelembung-
gelembung tersebut pecah dan meninggalkan bercak-bercak kehitaman pada
wajah pasien. Pasien mengkonsumsi paracetamol yang merupakan obat golongan
antipiretik, dimana hal ini sesuai dengan teori bahwa antipiretik merupakan salah
satu obat penyebab terjadinya SJS (Novita Dwiswara Putri, 2016).

Lesi kulit pada sindrom Stevens-Johnson dapat timbul sebagai gejala awal
atau dapat juga terjadi setelah gejala klinis dibagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit
umumnya bersifat asimetri dan ukuran lesi bervariasi dari kecil sampai besar.
Mula-mula lesi kulit berupa erupsi yang bersifat multiformis yaitu eritema yang
menyebar luas pada rangka tubuh. Eritema ini menyebar luas secara cepat dan
biasanya mencapai maksimal dalam waktu empat hari, bahkan seringkali hanya
dalam hitungan jam. Pada kasus yang sedang, lesi timbul pada permukaan
ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki, sedangkan pada kasus yang berat
lesimenyebar luas pada wajah, dada dan seluruh permukaan tubuh (Ramayanti,
2011).
Menurut Parillo (2010), pemeriksaan fisik pada pasien sindrom Steven
Johnson ditemukan:

k. Demam
l. Orthostasis
m. Tachycardia
n. Hipotensi
o. Perubahan tingkat kesadaran
p. Epistaksis
q. Konjungtivitis
r. Ulserasi kornea
s. Erosif vulvovaginitis atau balanitis
t. Kejang, koma

2.1.2 Diagnosis Keperawatan yang Muncul

Berikut adalah diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien dengan

Steven Johnson Syndrome (Muttaqin & Sari, 2013).

2.1.2.1 Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi.
2.1.2.2 Risiko tinggi infeksi b.d. penurunan imunitas, adanya port de entree pada

lesi.
2.1.2.3 Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik secara umum.
2.1.2.4 Gangguan gambaran diri (citra diri) b.d perubahan struktur kulit,
perubahan peran keluarga.

2.1.2.5 Kecemasan b.d kondisi penyakit , penurunan kesembuhan


2.1.2.6 Kerusakan integritas kulit b.d. lesi dan reaksi inflamasi lokal.

2.1.2.7 Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan b.d. intake tidak


adekuat respons sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.

(Muttaqin & Sari, 2013)


2.1.3 Intervensi Keperawatan

Tujuan intervensi keperawatan adalah peningkatan integritas jaringan


kulit, terpenuhinya intake nutrisi harian, penurunan risiko infeksi, menurunkan
stimulus nyeri, mekanisme koping yang efektif dan penurunan kecemasan. Untuk
risiko infeksi dapat disesuaikan dengan masalah yang sama pasien NET. Pada
gangguan gambaran diri (citra diri), intervensi dapat disesuaikan pada masalah
yang sama pada pasien psoariaris. Sementara itu, intervensi deficit perawatan diri
dan kecemasan dapat disesaikan pada masalah yang sama pada pasien pemfigus
vulgaris (Muttaqin & Sari, 2013).

2.1.3.1 Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi.

Tujuan yang diharapkan (NOC) : Kontrol nyeri dapat dilakukan dan


tingkat nyeri dapat berkurang

Kriteria Hasil :
6. Secara konsisten menunjukkan dalam menggunakan tindakan pengurangan
nyeri tanpa analgesik
7. Nyeri yang dilaporkan : tidak ada

8. Ekspresi nyeri wajah : tidak ada

9. Melaporkan nyeri yang terkontrol

10. Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada profesional kesehatan

Rencana Tindakan (NIC) :


No INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji tingkat nyeri yang komprehensif Data-data tersebut digunakan
meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan sebagai data dasar dalam
durasi, frekwensi, kualitas, intensitas menentukan intervensi
atau keparahan nyeri, dan faktor tindakan yang tepat pada
presipitasinya. klien selanjutnya untuk
mencapai kesembuhan klien
yang optimal.
2. Observasi isyarat nonverbal Isyarat nonverbal klien
ketidaknyamanan. (meringis, mengernyit)
menjadi tanda bahwa klien
merasakan
ketidaknyamanan/nyeri.

3. Monitor vital sign sebelum dan sesudah Nyeri dan pemberian


pemberian analgesik pertama kali. analgesik dapat memengaruhi
vital sign klien, seperti nadi
dan RR.
4. Lakukan perubahan posisi dan relaksasi. Perubahan posisi dan relaksasi
dapat membantu klien
mengurangi rasa nyeri dan
klien merasa rileks
5. Tingkatkan istirahat/tidur yang cukup Istirahat/tidur dapat
untuk membantu mengurangi rasa nyeri. mengalihkan fokus pada nyeri
klien.
6. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi Teknik relaksasi
nonfarmakologi sebelum atau sesudah rasa nonfarmakologi dapat
sakit meningkat. dilakukan klien tanpa bantuan
perawat atau tenaga
kesehatan untuk mengurangi
nyeri.
7. Berikan informasi yang lengkap dan Pengetahuan yang adekuat
akurat untuk mendukung pengetahuan pada keluarga dapat
keluarga terhadap respon nyeri pasien. membantu perawat atau
tenaga kesehatan untuk
mengenali respon nyeri klien.
8. Berikan analgesik untuk mengurangi Analgesik dapat mengurangi
nyeri (berkolaborasi dengan dokter). nyeri pada klien.

2.1.3.2 Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi

Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi


Definisi:
Kerusakan pada epidermis dan/atau dermis.
Batasan Karakteristik:
- Benda asing menusuk permukaan kulit
- Kerusakan integritas kulit
(Herdman, 2015)
Tujuan: Dalam 5 x 24 jam integritas kulit membaik secara optimal
Kriteria Hasil :
Pertumbuhan jaringan membaik dan lesi psoarisis berkurang
No Intervensi Rasional
1. Kaji kerusakan jaringan kulit Menjadi data dasar untuk
yang terjadi pada klien memberikan informasi intervensi
perawatan yang akan digunakan.
2. Lakukan tindakan peningkatan Perawatan local kulit merupakan
integritas jaringan penatalaksanaan keperawatan yang
penting. Jika diperlukan berikan
kompres hangat, tetapi harus
dilaksanakan dengan hati-hati
sekali pada daerah yang erosive
atau terkelupas. Lesi oral yang
nyeri akan membuat hygiene oral
dipelihara.
3. Lakukan oral hygiene Tindakan oral hygiene perlu
dilakukan untuk menjaga agar
mulut selalu bersih. Obat kumur
larutan anestesi atau agen gentian
violet dapat digunakan dengan
sering untuk membersihkan mulut
dan debris, mengurangi rasa nyeri
pada daerah ulserasi dan
mengendalikan bau mulut yang
amis. Rongga mulut harus
diinspeksi beberapa kali sehari dan
setiap perubahan harus dicatat,
serta dilaporkan. Vaselin (atau
salep yang diresepkan dokter)
dioleskan pada bibir.
4. Tingkatkan asupan nutrisi Diet TKP diperlukan untuk
meningkatkan asupan dari
kebutuhan pertumbuhan jaringan.
5. Evaluasi kerusakan jaringan dan Apabila masih belum mencapai
perkembangan pertumbuhan dari criteria evaluasi 5 x 24 jam,
jaringan maka perlu dikaji ulang factor-
faktor menghambat pertumbuhan
dan dari lesi
6. Lakukan intervensi untuk 9. Perawatan ditempat khusus
mencegah komplikasi untuk mencegah infeksi.
10. Monitor dan evaluasi adanya
tanda dan gejala komplikasi.
11. Pemantauan yang ketat
terhadap tanda-tanda vital dan
pencatatan setiap perubahan
yang serius pada fungsi
respiratorius, renal, atau
gastroinstestinal dapat
mendeteksi dengan cepat
dimulainya suatu infeksi
12. Tindakan asepsis yang mutlak
harus selalu dipertahankan
selama pelaksanaan perawatan
kulit yang rutin.
13. Mencuci tangan dan
mengenakan sarung tangan
steril ketika melaksanakan
prosedur tersebut diperlukan
setiap saat.
14. Ketika keadaannya meliputi
bagian tubuh yang luas, pasien
harus dirawat dalam sebuah
kamar pribadi untuk mencegah
kemungkinan infeksi silang dari
pasien-pasien lain.
15. Para pengunjungan harus
mengenakan pakaian pelindung
dan mencuci tangan mereka
sebelum menyentuh pasien.
16. Orang-orang yang menderita
penyakit menular tidak boleh
mengunjungi pasien sampai
mereka sudah tidak lagi
berbahaya bagi kesehatan
pasien tersebut.

7. Kolaborasi untuk pemberian Kolaborasi pemberian


kortikosteroid glukokortikoid misalnya metal
prednisolon 80-120 mg peroral
(1,5-2 mg/KgBB/hari
8. Kolaborasi untuk pemberian Pemberian antibiotic untuk infeksi
antibiotic dengan catatan menghindari
pemberian sulphonamide dan
antibiotic yang sering juga sebagai
penyebab SJS misalnya penisilin,
cephalosporin. Sebaiknya antibiotic
yang diberikan berdasarkan hasil
kultur, mukosa, dan sputum. Dapat
dipakai injeksi gentamitasin 2-3 x
80 mg iv (1-5 mg/Kg/BB {setiap
pemberian})
2.1.3.3 Risiko tinggi infeksi b.d. penurunan imunitas, adanya port de entree pada

lesi.
Definisi: mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik
Faktor faktor resiko:
- Penyakit kronis (diabetes melitus, obesitas)
- Pengetahuan yang tidak cukup untuk menghindari pemanjanan patogen
- Pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat (gangguan peritalsis,
kerusakan integritas kulit pemasangan kateter intra vena, prosedur inflasif,
Perubahan sekresi pH, Penurunan kerja siliaris,Pecah ketuban dini,Pecah
ketuban lama,Merokok, Statis cairan tubuh,Trauma jaringan (mis, trauma
destruktif jaringan).
- Ketidakadekuatan pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin,
imunosupresi (mis,imunitas didapat tidak adekuat,agen farmaseotikar
termasuk imunosupresan, steroid, anti body monoklonal, imunomudolator)
supresi musfor inflamasi).
- Faksinasi tidak adekuat
- Pemejanan terhadap patogen meningkat (wabah)
- Prosedur infasif
- Malnutrisi

NOC NIC
NOC : NIC :
- imune status Infection control (kontrol infeksi)
- knowledge : infeksi kontrol
- bersihkan lingkungan setelah
- resiko kontrol
dipakai pasien lain
KH :
- pertahnkan teknik isolasi
- kriteri bebas dari tanda dan - batasi pengunjung bila perlu
gejala infeksi - intruksikan pada pengunjung
- mendeskripsikan proses untuk mencuci tangan saat
penularan penyakit faktor berkungjung dan setelah
yang mempengaruhi berkunjung meninggalkan
penularan serta pasien
penatalaksanakannya - gunakan sabun antimikrobia
- menunjukkan kemampuan untuk cuci tangan
untuk mencegah timbulnya - cuci tangan setiap sebelum dan
infeksi sesudah tindakan keperawatan
- jumlah leukosit dalam batas - gunakan baju, sarung tangan
normal sebagai alat pelindung
- menunjukkan perilaku hidup - pertahankan lingkungan aseptik
sehat selama pemasangan alat
- ganti letak IV perifer dan line
central dan dressing sesuai
dengan petunjuk umum
- gunakan kateter intermiten untuk
menurunkan infeksi kandung
kencing
- tingkakan intake nutrisi
- berikan terapi antibiotik bila
perlu
- infection protection
- monitor tanda dan gejala
- monitor hitung granulosit
- monitor terhadap infeksi
- inspeksi kondisi luka/insisi
bedah
- inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap
kemerahan,panas,, drainase
- laporkan kecurigaan infeksi
- laporkan kultur positif

2.1.4 Implementasi

Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan mencapai tujuan


spesifik. Implementasi dilakukan pada pasien dengan Sindrome Stevens Jhonson,
Tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah dilakukan
sebelumnya. Dalam tindakan ini diperlukan kerjasama antara perawat sebagai
pelaksana asuhan keperawatan, tim kesehatan, pasien dan kluarga agar asuhan
keperawatan yang diberikan bias berkesinambungan sehingga pasien dan keluarga
dapat menjadi mandiri (Rahmad, Maifal A. 2017).

2.1.5 Evaluasi

Evaluasi adalah bagian terakhir dari proses keperawatan. Evaluasi adalah


penilaian dari perubahan keadaan yang dirasakan pasien sehubungan dengan
pencapaian tujuan atau hasil yang diharapkan. Tahap ini merupakan kunci dari
keberhasilan dalam melaksanakan proses keperawatan, dari hasil evalusi ini
merupakan kemungkinan yang akan terjadi untuk menentukan asuhan
keperawatan selanjutnya. Meskipun evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses
keperawatan tetapi tidak berhenti sampai disini, jika maslah belum teratasi atau
timbul masalah baru maka tindakan perlu dilanjutkan atau dimodifikasi kembali
(Rahmad, Maifal A. 2017).

DAFTAR PUSTAKA
Hudak & Gallo. 2010. Keperawatan Kritis Edisi 6. Jakarta: EGC.

Hamzah, M. 2007. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th
edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universtas Indonesia.

Herdman, T. (2015). NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: Definisi


& Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.

NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Edisi


10. Jakarta: EGC
Mansjoer, A., Dkk. 2002. Erupsi Alergi Obat. Jakarta: Kapita Selekta Kedokteran.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2013). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem


Integumen. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, A. H. & Kusuma, H., 2016. ASUHAN KEPERAWATAN PRAKTIS


BERDASARKAN PENERAPAN DIAGNOSA NANDA, NIC, NOC DALAM
BERBAGAI KASUS. 2 penyunt. Yogyakarta : Mediaction.
Parillo, S. J., 2010. Stevens-Jhonson Syndrome.
putri, N. D. et al., 2016. STEVEN-JOHNSON SYNDROM ET CAUSA
PATACETAMOL. JMedula Unila , Volume vo. 6 No. 1, pp. 1001-106.
Rahmad, Maifal A. 2017. ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. S DENGAN
DIAGNOSIS MEDIS SYNDROME STEVENS JOHNSON DI RUANG
H2 RUMKITAL Dr. RAMELAN SURABAYA. Karya Tulis Ilmiah.
Surabaya: Progam Studi D-III Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya.
Rahmawati, Y. W. & Indramaya, D. M., 2016. Studi Retrospektif: Sindrom
Steven-Johnson dan Nekrosis Epidermal Toksis. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit Dan Kelamin, Volume Vol. 28 No. 2, pp. 71-80.
Rahmayanti, S., 2011. MANIFESTASI ORAK DAN PENATALAKSANAAN
PAD APENDERITA SINDROM STEVENS-JOHNSON. Majalah
Kedokteran Andalas , Volume 35 No. 2, pp. 91-96.
Sharma, V.K. 2006. Management of Stevens Johnson Syndrome (SJS) and Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN). Proposed IADVL Consensus Guidelines.

Anda mungkin juga menyukai