Anda di halaman 1dari 17

1.1.

Konsep Dasar Hipertensi

a. Pengertian Hipertensi
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dengan
tekanan sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan darah diastolik diatas 90 mmHg
(Aspiani, 2014). Hipertensi sering menyebabkan perubahan pada pembuluh darah
yang dapat mengakibatkan semakin tingginya tekanan darah (Muttaqin,
2012).Pengukuran tekanan darah masing-masing dapat memberi hasil yang
bervariasi secara signifikan, sehingga membutuhkan konfirmasi, namun hipertensi
berat diketahui berdasarkan pengkuran berulang yang dilakukan paling sedikit
pada dua dan waktu yang berbeda (Aaronson & Ward, 2008).

1.2 Etiologi
Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik.
Hipertensi terjadi sebagai respons peningkatan curah jantung atau peningkatan
tekanan perifer. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
hipertensi:
a. Genetik: respon neurologi terhadap stress atau kelainan ekskresi atau transport
Na.
b. Obesitas: terkait dengan tingkat insulin yang tinggi yang mengakibatkan
tekanan darah meningkat.
c. Stress karena lingkungan.
d. Hilangnya elastisitas jaringan dan arterosklerosis pada orang tua serta
pelebaran pembuluh darah.
Pada orang lanjut usia, penyebab hipertensi disebabkan terjadinya perubahan
pada elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku,
kemampuan jantung memompa darah, kehilangan elastisitas pembuluh darah, dan
meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer. Setelah usia 20 tahun
kemampuan jantung memompa darah menurun 1% tiap tahun sehingga
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volume. Elastisitas oembuluh darah
menghilang karena terjadi kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk
oksigenasi (Reni, 2010).
2

1.3 Manifestasi Klinis


Klien yang menderita hipertensi terkadang tidak menampakkan gejala
hingga bertahun-tahun gejala jika ada menunjukkan adanya kerusakan vaskular,
dengan manifestasi yang khas sesuai system organ yang divaskularisasi oleh
pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat
bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan
azetoma (peningkatan nitrogen urea darah dan kreatinin) (Reni, 2010).
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan
darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti
perdarahan, eksudat, penyempitan pembuluh darah dan, dan pada kasus berat,
edema pupil (edema pada diskus optikus) (Reni, 2010).

Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan


iskemik transien (transient ischemic attack, TIA) yang bermanifestasi sebagai
paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan
(Smleltzer,2002 dalam Reni, 2010).
Gejala umum yang ditimbulkan akibat menderita hipertensi tidak sama pada
setiap orang, bahkan terkadang timbul tanpa gejala. Secara umum gejala yang
dikeluhkan oleh penderita hipertensi sebagai berikut.
a. Sakit kepala
b. Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk
c. Perasaan berputar seperti tujuh keliling serasa ingin jatuh
d. Berdebar atau detak jantung terasa cepat
e. Telinga berdenging
Sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-
tahun berupa:
a. Nyeri kepala saat terjaga, terkadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intracranial
b. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi
c. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat
d. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus
e. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler
Gejala lain yang yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi, yaitu pusing,
muka merah, sakit kepala, keluar darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk
terasa pegal dan lain-lain (Novianti, 2006 dalam Reni, 2010).
3

1.4 Klasifikasi hipertensi


Menurut Nugraha (2016) ada pun klasifikasi hipertensi terbagi menjadi:
a. Berdasarkan penyebab
1. Hipertensi primer
Hipertensi primer atau hipertensi esensial ini merupakan jenis hipertensi yang
tidak diketahui penyebabnya. Ini merupakan jenis hipertensi yang paling banyak
yaitu sekitar 90-95% dan insidensi hipertensi secara keseluruhan. Hiperetnsi
primer ini sering tidak disertai dengan gejala dan biasanya gejala baru muncul saat
hipertensi sudah berat atau sudah menimbulkan komplikasi. Hal inilah yang
kemudian menyebabkan hipertensi dijuluki sebagai silent killer.
2. Hipertensi sekunder
Jumlah hipertensi sekunder hanya sekitar 5_10% dari kejadian hipertensi
secara keseluruhan. Hipertensi jenis ini merupakan dampak sekunder dari
penyakit tertentu. Berbagai kondisi yang bisa menyebabkan hipertensi antara lain
penyempitan arteri renalis, penyakit parenkim ginjal, hiperaldosteron maupun
kehamilan. Selain itu, obat-obatan tertentu bisa juga menjadi pemicu jenis
hipertensi sekunder.
Hipertensi primer maupun sekunder memiliki potensi untuk berkmbang
menjadi hipertensi berat atau dengan pula sebagai krisis hipertensi. angka kejadian
krisis hipertensi ini di Amerika berkisar 2-7% pada populasi penderita hipertensi
yang tidak melakukan pengobatan secara teratur. Sedangkan seiring perbaikan
penanganan yang dilakukan, angka kejadian menurun hingga tinggal !% saja.
Sayangnya kejadian krisis hipertensi di Indonesia hingga saat ini belum ada
laporan mengenai hal tersebut.

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC-6 dan JNC-7 (mmHg)

Kategori Tekanan Darah Sistolik (TDS)/ Kategori


JNC-6 Tekanan Darah Diastolik (TDD) JNC-7
Optimal Sistolik :<120 Diastolik: 80 Normal
Normal Sistolik: 120-129 diastolik : 80-84 Prehipertens
Borderline Sistolik: 130-139 diastolik :85-89 i
Hipertensi Prehipertens
Sistolik: diastolik: 140/90
Stadium 1 i
Stadium 2 Sistolik: 140-159 diastolik: 90-99 Hipertensi
4

Sistolik: 160-179 diastolik: 100- Stadium 1


Stadium 3 109 Stadium 2
Sistolik: 180 diastolik: 110
Stadium 3
(Askandar, 2015).

1.5 Patofisiologi
Tekanan darah merupakan hasil interaksi antara curah jantung (cardiac out
put) dan derajat dilatasi atau konstriksi arteriola (resistensi vascular sistemik).
Tekanan darah arteri dikontrol dalam waktu singkat oleh baroreseptor arteri yang
mendeteksi perubahan tekanan pada arteri utama, dan kemudian melalui
mekanisme umpan balik hormonal menimbulkan berbagai variasi respons tubuh
seperti frekuensi denyut jantung, kontraksi otot jantung, kontraksi otot polos pada
pembuluh darah dengan tujuan mempertahankan tekanan darah dalam batas
normal. Baroreseptor dalam komponen kardiovaskuler tekanan rendah, seperti
vena, atrium dan sirkulasi pulmonary, memaikan peranan penting dalam
pengaturan hormonal volume vaskuler. Penderita hipertensi dipastikan mengalami
peningkatan salah satu catau kedua komponen ini,yakni curah jantung dan atau
resistensi vascular sistemik (Nugraha, 2016).
Hemodinamik yang khas dari hipertensi yang menetap bergantung pada
tingginya tekanan arteri, derajat kontriksi pembuluh darah, dan adanya
pembesaran jantung. Hipertensi sedang yang tidak disertai dengan pembesaran
jantung memiliki curah jantung normal. Namun demikian, terjadi peningkatan
resistensi vaskukar perifer dan penurunan kecepatan ejeksi ventrikel kiri
(Nugraha, 2016).
Saat hipertensi bertambah berat dan jantung mulai mengalami pembesaran,
curah jantung mengalami penurunan secara progresif meskipun belum terdapat
tanda-tanda gagal jantung. Hal ini disebabkan resistensi perifer sistemik semakin
tinggi dan kecepatan ejeksi ventrikel kiri semakin menurun (Nugraha, 2016).
Penurunan curah jantung ini akan menyebabkan gangguan perfusi ke
berbagai organ tubuh, terutama ginjal. Kondisi ii berdampak pada penurunan
volume ekstra sel dan perfusi ginjal yang berujung dengan iskemik ginjal.
5

Penurunan perfusi gijal ini akan mengaktivasi system renin angiostensin


(Nugraha, 2016).
Renin yang dikeluarkan oleh ginjal ini merangsang angiotensinogen untuk
mengeluarkan angiotensinogen I (AI) yang bersifat vasokonstriktor lemah.
Adanya angiotensin I pada peredaran darah akan memicu pengeluaran angiotensin
converting enzyme (ACE) di endotelium pembuluh paru. ACE ini kemudian akan
mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II (AII) yang merupakan
vasokpnstriktor kuat sehingga berpengaruh pada sirkulasi tubuh secara
keseluruhan (Nugraha, 2016).
Selain sebagai vasokonstriktor kuat, AII memiliki efek lain yang pada
akhirnya meningkatkan tekanan darah. Dampak yang ditimbulkan oleh AII antara
lain hipertrofi jantung dan pembuluh darah, stimulasi rasa haus, memicu produksi
aldosterone dsn snit-diuretic hormone (ADH) (Nugraha, 2016).
Peningkatan tekanan darah sebagai dampak dari adanya AII ini terjadi melalui
dua cara utama yaitu efek vasokonstriksi kuat dan perangsangan kelenjar adrenal.
a. Vasokonstriktor: AII menyebsbksn vsdokondtriksi baik pada arteriol maupun
vena. Konstriksi arteriol akan meningkatkan tahanan perifer sehingga
membutuhkan usaha jantung lebih besar dalam melakukan pemompaan.
Sedangkan pada vena dampak konstriksinya lemah, tetapi sudah mampu
menimbulkan peningkatan aliran balik darah vena ke jantung. Peningkatan
aliran balik ini akan menyebabkan peningkatan preload yang membantu
jantung untuk melawan resistensi perifer.
b. Perangsangan kelenjar endokrin: AII merangsang kelenjar adrenal untuk
mengeluarkan hormone aldosterone. Hormone ini bekerja pada tubula distal
nefron. Dampak dari keberadaan hormone aldosterone ini adalah peningkatan
penyerapan kembali air dan NaCl oleh tubulus distal nefron. Hal ini akan
mengurangi pengeluaran garam dan air melalui ginjal. Kondisi ini membuat
volume darah meningkat yang diikuti pula dengan peningkatan tekanan darah.
Dampak hipertensi ke jantungadalah semakin meningkatnya beban jantung
sehingga dapat menimbulkan hipertrofi jantung. Kondisi hipertrofi ini
menyebabkan penyempitan ruang jantung sehingga menurunkan preloaddan curah
6

jantung. Jika jantung tidak dapat mengompensasi lagi, maka terjadilah gagal
jantung (Nugraha, 2016).
Sedangkan tekanan intracranial yang berefek pada tekanan intraocular danakan
mempengaruhi fungsi penglihatan.bahkan jika penanganan tidak segera dilakukan,
penderita akan mengalami kebutaan. Penurunan aliran darah ke ginjal akibat dari
resistensi sitemik ini dapat menyebabkan kerusakan pada parenkim ginjal. Jika
tidak segera ditangani, akan berakhir dengan gagal ginjal (Nugraha, 2016)

PATOFISIOLOGI HIPERTENSI
7

1.6 Manifestasi Klinis (Sudoyo, 2009)

Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi:


a. Tidak ada gejala
8

Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan


peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter
yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah
terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
b. Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi
meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan
gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari
pertolongan medis.
Beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu:
1) Mengeluh sakit kepala, pusing
2) Lemas, kelelahan
3) Sesak nafas
4) Gelisah
5) Mual
6) Muntah
7) Epistaksis
8) Kesadaran menurun

1.6 Pemeriksaan diagnostik/penunjang (Aspiani, 2014)


a. Pemeriksaan laboratorium
1) Albuminuria pada hipertensi karena kelainan parenkim ginjal
2) Kreatinin serum dan BUN meningkat pada hipertensi karena parenkim ginjal
dengan gagal hinjal akut
3) Darah perifer lengkap: Kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah
puasa)

b. EKG
1) Hipertrofi ventrikel kiri
2) Iskemia atau infark miokard
3) Gangguan Konduksi
4) Peninggian konduksi
9

c. Foto Rontgen
1) Bentuk dan besar jantung Noothing dari iga pada koartrasi aorta
2) Pembendungan, lebarnya paru
3) Hipertrofi parenkim ginjal
4) Hipertrofi vaskular ginjal

1.8 Komplikasi (Askandar, 2015)


Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum dijumpai pada
pasien hipertensi adalah:
a. Jantung
1) Hipertrofi ventrikel kiri
2) Angina atau infark miokard
3) Gagal jantung

b. Otak
1) Stroke atau transient ischemic attack
2) Penyakit ginjal kronis
3) Penyakit arteri perifer
4) Retinopati

1.9 Penatalaksanaan
a. Non Farmakologis
1) Modifikasi gaya hidup, seperti pengontrolan berat badan, pembatasan konsumsi
alkohol, latihan fisik yang teratur, dan berhenti merokok.
2) Untuk pasien yang mengalami hipertensi sekunder, perbaikan penyebab yang
mendasari dan pengendalian efek hipertensi.
3) Diet rendah lemak jenuh dan rendah natrium.
4) Diet kalsium, magnesium, dan kalium yang adekuat

b. Farmakologis
10

1) Diuretik, seperti furosemid 0.5-4 mg/hari, frekuensi pemberian pagi hari dan
sore untuk mencegah diuresis malam hari; dosis lebih tinggi mungkin
diperlukan untuk pasien dengan GFR sangat rendah atau gagal ginjal.
2) Penghambat beta-adrenergik, seperti atenolol 25-100 mg/hari, grekuensi
pemberian 1,dan metoprolol 50-200 mg/hari, frekuensi pemberian 1.
Pemberhentian tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension; dosis
rendah s/d reseptor ß1, pada dosis tinggi menstimulasi reseptor ß2; dapat
menyebabkan eksaserbasi asma bila selektifitas hilang.
3) Penghambat saluran kalsium, seperti nisoldipin10-40 mg/hari, frekuensi
pemberian 1.
4) Inhibitor ACE, seperti benazepril 10-40 mg/hari, frekuensi pemberian 1 atau 2.
Dosis awal harus dikurang 50% pada pasien yang sudah dapat diuretik, yang
kekurangan cairan, atau sudah tua sekali karena resiko hipotensi; dapat
menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan penyakit yang juga mendapat
diuretik penahan kalium.
5) Penghambat alfa, seperti doksazosin 1-8 mg/hari, frekuensi pemberian 1dan
prazosin 2-20, frekuensi pemberian 2 atau 3. Dosis pertama harus diberikan
malam sebelum tidur; beritahu pasien untuk berdiri perlahan-lahan dari posisi
duduk atau berbaring untuk meminimalkan resiko hipotensi ortostatik;
keuntungan tambahan untuk laki-laki dengan BPH (Benign Prostatic
Hyperplasia).
6) Vasodilator, seperti hidralazin 20-100 mg/hari, frekuensi pemberian 2atau 4
dan minoksidil 10-40 mg/hari, frekuensi pemberian 1 atau 2. Gunakan dengan
diuretik dan penyekat beta untuk mengurangi retensi cairan dan refleks
takikardi.
7) Penghambat reseptor angiotensin, seperti olmesartan, kandesartan, dan
irbesartan.
8) Antagonis aldosteron, seperti eplerenon 50-100 mg/hari, frekuensi pemberian 1
atau 2. Pemberian pagi dan sore untuk mencegah diuresis malam hari.
9) Kombinasi penghambat alfa dan beta, seperti karvedilol dan labetalol.
11

10) Antagonis reseptor alfa, seperti klonidin. (Direktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik, 2008 dalam Widiarti, 2011)

Diagnosa keperawatan yang sering muncul dari hipertensi:


a. Nyeri akut
b. Gangguan perfusi jaringan
c. Intoleran aktifitas
d. Insomnia
e. Penurunan curah jantung
f. Kurang pengetahuan
g. Pola nafas tidak efektif
h. Kerusakan pertukaran gas
i. Gangguan pola tidur
j. Resiko injuri

2.1 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Hipertensi


Menurut Muttaqin, A (2009) aspek yang perlu dikaji antara lain:
a. Pengkajian keperawatan
1) Keluhan: fatigue, lemah, nyeri kepala, pusing. Temuan fisik meliputi
peningkatan frekuensi denyut jantung dan takipneu.
2) Riwayat hipertensi, ateroskelerosis, penyakit katup jantung, penyakit jantung
koroner/stroke, serta berkeringat banyak.
3) Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, rasa marah kronis, (mungkin
mengindikasikan gangguan cerebral). Temuan fisik meliputi kegelisahan,
penyempitan lapang perhatian, menangis, otot wajah tegang terutama di sekitar
mata, menarik napas panjang, dan pola bicara cepat.
4) Riwayat mengonsumsi makanan tinggi lemak atau kolesterol, tinggi garam,
tinggi kalori. Selain itu, juga melaporkan mual, muntah, perubahan berat
badan, dan riwayat pemakaian diuretik. Temuan fisik meliputi berat badan
normal atau obesitas, edema, kongesti vena, distensi vsena jugularis, dan
glikosuria (riwayat diabetes militus)
5) Neurosensori: melaporkan serangan pusing/pening, sakit kepala berdenyut di
suboksipital, episode matii rasa, atau kelumpuhgan salah satu sisi badan.
Gangguan visual (diplopia-pandangan ganda atau pandangan kabur) dan
episode epistaksis.
6) Melaporkan nyeri intermitten pada paha-claudication (indikasi arterosklerosis
pada ekstermitas bawah), sakit kepala hebat di oksipital, nyeri atau teraba
massa di abdomen (pheochromocytoma)
12

7) Respirasi: mengeluh sesak nafas saat aktivitas, takipneu, batuk dengan atau
tanpa sputum, riwayat merokok (Udjianti, W.J., 2010).

2.2 Diagnosa keperawatan


Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskular serebral.
a. Definisi
Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau digambarkan
dengan istilah seperti (Internasional Assosiation for the Study of Pain); awitan
yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir
yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari 6 bulan.
(Wilkinson, 2011).
b. Batasan karakteristik
1) Subjektif
Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri.
2) Objektif
a) Posisi untuk menghindari nyeri
b) Tingkah laku berhati-hati
c) Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau,
menyeringai)
d) Terfokus pada diri sendiri
e) Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir,
penurunan interakksi dengan orang dan lingkungan)
f) Respon autonomy (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah , perubahan
nafas, nadi dan dilatasi pupil)
g) Perubahan autonomic dalam (mungkin dalam renang dari lemah ke kaku)
h) Tingkah laku ekspresif (contoh:gelisah, merintih, menangis, waspada, irritable,
nafas panjang atau berkeluh kesah)
i) Perubahan dalam nafsu makan dan minum (NANDA, 2012).
2. Faktor yang berhubungan
Agen-agen penyebab cidera (misalnya biologis, kimia, fisik, dan psikologis),
kerusakan jaringan.
13

2.2.3 Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)


Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Nyeri
tekanan vaskular serebral. selama ...x24 jam klien dapat mengontrol a. Kaji nyeri secara komprehensif,
nyeri, dengan kriteria: meliputi lokasi, karakteristik dan
a. Mengenal faktor penyebab nyeri awitan, durasi,frekuensi, kualitas,
b. Awitan nyeri intensitas/beratnya nyeri, dan faktor
c. Tindakan pencegahan presipitasi.
d. Tindakan pertolongan non analgetik b. Observasi isyarat non-verbal dari
e. Menggunakan analgetik dengan tepat ketidaknyamanan, khususnya dalam
f. Mengenal tanda pencetus nyeri untuk ketidakmampuan untuk komunikasi
mencari pertolongan secara efektif.
g. Melaporkan gejala kepada tenaga c. Berikan analgetik sesuai dengan
tenaga kesehatan (perawat/dokter) anjuran.
h. Menunjukkan tingkat nyeri, dengan d. Gunakan komunikasi terapeutik agar
kriteria: klien dapat mengekspesikan nyeri.
i. Melaporkan nyeri e. Kaji latar belakang hubungan klien.
j. Pengaruh pada tubuh f. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri
k. Frekuensi nyeri terhadap kualitas hidup:pola tidur,
l. Lamanya episode nyeri nafsu makan, aktivitas kognisi,
m. Ekspresi nyeri mood, hubungan, pekerjaan,
n. Posisi melindungi bagian tubuh yang tanggung jawab peran.
nyeri g. Kaji pengalaman individu terhadap
o. Kegelisahan nyeri.
p. Perubahan respirasi h. Evaluasi efektivitas dari tindakan
q. Perubahan nadi mengontrol nyeri yang telah
Tabel 1.1 Intervensi Keperawatan
(Reni, 2010).
14

r. Perubahan tekanan darah digunakan.


s. Perubahan tekanan ukuran pupil i. Berikan dukungan terhadap keluarga
t. Perspirasi/berkeringat dan klien.
u. Kehilangan nafsu makan j. Berikan informasi tentang nyeri,
seperti penyebabnya berapa lama
terjadi, dan tindakan pencegahan.
k. Kontrol faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respons klien
terhadap ketidaknyamanan
(misalnya, temperatur ruangan,
penyinaran, dll).
l. Anjurkan klien untuk memonitor
sendiri nyeri.
m. Tingkatkan tidur/istirahat yang
cukup.
n. Ajarkan penggunaan teknik non-
farmakologis (misalnya: relaksasi,
imajinasi terbimbing, terapi musing,
distraksi, terapi panas-dingin,
masase)
o. Evaluasi efektivitas tindakan
mengontrol nyeri
p. Modifikasi tindakan mengontrol
nyeri berdasarkan respons klien.
q. Anjurkan klien untuk berdiskusi
tentang pengalaman nyeri secara
cepat.
r. Beritahu dokter jika tindakan tidak
15

berhasil atau terjadi keluhan.


s. Informasikan kepada tim kesehatan
lainnya/anggota keluarga saat
tindakan non-farmakologi dilakukan,
untuk pendekatan preventif.
t. Monitor kenyamanan klien tehadap
manajemen nyeri.
Pemberian Analgetik
a. Tentukan lokasi nyeri,
karakteristik, kualitas, dan
keparahan sebelum pengobatan.
b. Berikan obat dengan prinsip 5
benar.
c. Cek riwayat alergi obat.
d. Libatkan klien dalam pemilihan
analgetik yang akan digunakan.
e. Pilih analgetik secara tepat atau
kombinasi lebih dari satu
analgetik jika telah diresepkan.
16

2.2.4 Evaluasi
Diagnosa keperawatan nyeri akut:
a. Klien mengidentifikasi metode penghilangan nyeri
b. Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
c. Klien mendemonstrasikan ketrampilan teknik relaksasi dan distraksi sesuai indikasi (Reni,
2010).

Daftar Pustaka
17

Aspiani, R.Y., 2010. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan


Kardiovaskuler. Jakarta: EGC.

Nugraha, A., 2016. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah: Diagnosis


NANDA-I 2015-2017 Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta: EGC.

Wilkinson, 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Nanda Edisi 9. Jakarta:


EGC.

Anda mungkin juga menyukai