Anda di halaman 1dari 15

MEMILIH ALTERNATIF PENGELOLAAN

*)
TAMAN NASIONAL WAKATOBI YANG EFEKTIF
Summary
Determination of Wakatobi National Park with the Decree of the Minister of Forestry Number 7651/Kpts-
II/2002. Many experts call the Wakatobi Islands coral reef is one of the beautiful in the world. The
Wakatobi become autonomous district with Law Number 29 of 2003 could be changes to the national
park management system. Through descriptive analysis by considering the rationality, predicted the
future, the potential of bio-ecological, social, economic, cultural communities, and consideration of
District autonomous, then the prediction is poured on this article using the strategy's effectiveness
scenario. Expectation, this analysis considered the results usefull for realizing the effectiveness of the
management area at the time will come.

Sejarah Taman Nasional Wakatobi


Kawasan gugusan pulau-pulau atau kepulauan Tukang Besi yang dikenal luas
bernama Wakatobi diambil dari singkatan nama pulau-pulau besar yang menyusun,
yaitu; Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Wakatobi dan perairan di
sekitarnya telah kukuh ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui tahapan yang
amat panjang, yaitu sebagai berikut :
1. Bermula dari Survei Penilaian Potensi Sumberdaya Alam Laut Wakatobi yang
dilaksanakan Tim Ditjen PHPA bersama WWF (World Wild Life Fund) pada bulan
September 1989, dan beberapa kegiatan penelitian Tim Operasi Wallacea,
ekspedisi Tim Universitas Indonesia; penelitian Tim Kelautan dari P3O-LIPI;
2. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang
Besi/Wakatobi (Surat Sekwilda Tk. II Buton No. 523.3/1255 tanggal 3 Juni 1991);
3. Dukungan Rekomendasi Bupati KDH Tk. II Buton No. 522.51/3226 tanggal 3
Oktober 1993 dan Rekomendasi Gubernur KDH Tk. I Sulawesi Tenggara No.
522.51/2548 tanggal 7 Maret 1994.
4. Penunjukan Kawasan Perairan Kepulauan Wakatobi di Kabupaten Dati II Buton,
Propinsi Sulawesi Tenggara seluas ± 306.690 ha sebagai Taman Wisata Alam
Laut (≈marine conservation area) SK. Menhut No. 462/KPTS-II/1995 tanggal 4
September 1995);
5. Penunjukan Kepulauan Wakatobi dan perairan sekitarnya seluas 1.390.000 ha
sebagai Taman Nasional pada tanggal 30 Juli 1996 berdasarkan Keputusan
Menhut No.393/Kpts-VI/1996;
6. TN Kepulauan Wakatobi ditetapkan sebagai Unit Taman Nasional berdasarkan
Keputusan Menhut No.185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional (BTN) dan Unit Taman Nasional;.

*)
1. Hasil penugasan diklat SECEM-2008.
2. Oleh : Wahju Rudianto (Kepala Balai TN Wakatobi), dan Priyambudi Santoso (Widyaiswara Kehutanan).
1
7. Penetapan Kepulauan Wakatobi dan perairan sekitarnya seluas 1.390.000 ha
sebagai Taman Nasional (SK. Menhut No.7651/Kpts-II/2002);
8. Perubahan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi menjadi Taman Nasional
Wakatobi, Peraturan Menhut No. P.29/Menhut-II/2006 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional.
Pemetaan batas dan penetapan kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW) telah
dilakukan dengan Keputusan Menhut No.7651/Kpts-II/2002. Batas luar berupa garis-
garis pada peta dengan menghubungkan titik-titik pada koordinat sebagai berikut :
a) Titik 1, koordinat geografis 05011’57” LS dan 123020’00” BT;
b) Titik 2, koordinat geografis 05012’04” LS dan 123038’56” BT;
c) Titik 3, koordinat geografis 05012’04” LS dan 123039’01” BT;
d) Titik 4, koordinat geografis 05012’04” LS dan 123050’00” BT; dan
e) Titik 5, koordinat geografis 06036’04” LS dan 123020’00” BT.
Garis-garis batas mengacu koordinat geografis pada Titik Referensi/acuan yang
digunakan sebagai referensi menentukan posisi titik awal, yaitu :
a) TN-3201, terletak di P. Wangi-Wangi (05021’28’’ LS; 123033’24’’ BT);
b) TN-3202, terletak di Selatan P. Kaledupa (05034;12’’ LS; 12304618’’ BT);
c) TN-3203, terletak di ujung Selatan P. Binongko (06000’42 LS; 124002’31’’ BT);
d) TN-3204, terletak di P. Moromaho (06007’54” LS; 124035’59” BT); dan
e) TN-3205, terletak di P. Runduma (05019’27” LS; 124019’21” BT).

W
AN
GI-
W Runduma
AN
G I

Karang Runduma

Karang Kapota
KA
L
ED
UP
A

Ndaa

Karang Koromaha
Kentiole
TOMIA

Karang Kaledupa
Cowo-cowo

Wakatobi
Marine National Park BIN
ON
G
CORAL REEFS and LAGOON KO

0 2.5 5
° 10 15 20

Kilometers

Karang Koka
Legend
Fringing reefs Atolls Seamounts
Barrier reefs Platform reefs Park boundary
Beaches Lagoon Moromaho

Source: Nautical chart No. 317 Dis hidros TNI AL 1984

Gambar : 1. Peta Kawasan Taman Nasional Wakatobi.

Luas kawasan TNW 1.390.000 ha kenyataannya tumpang-tindih atau menjadi bagian


yang berada di dalam wilayah Kabupaten Wakatobi yang luasnya ± 1.920.000 ha.

2
Kabupaten Wakatobi
Bersamaan dengan jalannya perkembangan pengelolaan kawasan Taman Nasional
Wakatobi, pada tahun 2003 terdapat persetujuan pembentukan Kabupaten Wakatobi
sebagaimana Keputusan DPRD Kabupaten Buton No.14/DPRD/2002 tanggal 3 Juli
2002. Setelah itu terbit UU No.29 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten
Bombana, Kabupaten Wakatobi, dan Kabupaten Kolaka Utara di Provinsi Sulawesi
Tenggara. Pemekaran ini sebagai implementasi pelaksanaan otonomi daerah, dalam
upaya mewujudkan perkembangan aspirasi masyarakat dan meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat di berbagai bidang. Menurut Pemprop Sulawesi Tenggara (2009)
Kabupaten Waktobi memiliki luas wilayah ± 19.200 km2, terdiri dari daratan ± 823
km2 (3 %), dan perairan ± 18.377 km2 (97 %). Secara geografis terletak di selatan
garis khatulistiwa, membentang ± 160 km dari utara ke selatan antara 5º12’ – 6º25’
LS dan sepanjang ± 120 km dari timur ke barat antara 123º20’ – 124º39’ BT.
Penduduknya pada tahun 2007 tercatat 99.492 jiwa terdiri atas laki-laki 48.199 jiwa
dan perempuan 51.293 jiwa, dengan pertumbuhannya rata-rata mencapai 1,73% per
tahun dan kepadatan rata-rata 119 jiwa/km2. Penyelenggaraan Pemerintahan
Kabupaten Wakatobi secara resmi dimulai pada tanggal 9 Januari 2004 yang ditandai
dengan pelantikan Bupati dan Wakilnya untuk masa bhakti 2006 – 2011.

Pariwisata bahari yang didukung oleh adanya TNW merupakan aktivitas yang
dikembangkan. Keunggulan aset yang memiliki potensi penting ini, terutama terumbu
karang dan berbagai biota laut yang beraneka ragam dengan nilai estetika dan
konservasi yang tinggi. Ini menjadikan kawasan sangat comfortable untuk aktivitas
wisata selam seperti; surfing, snorkeling, dan memancing. Menurut jurnalis selam
Perancis Jaques-Yves Cousteau, Wakatobi sebagai tempat penyelaman terindah di
dunia (Wakatobi is the finest diving site in the world). Malah banyak pakar kelautan
yang pernah melakukan penelitian menyebut bahwa terumbu karang di Kepulauan
Wakatobi merupakan salah satu terindah di dunia (The world's most beautiful reefs).

Kondisi Fisik
1. P. Wangi-wangi, bagian selatan bertopografi datar hingga curam. Kedalaman
perairan berkisar 5 – 1.884 m. Tipe pasang surut campuran semi diurnal
terendah ± 500 m dari garis pantai, khususnya bagian selatan. Bagian barat,
utara dan timur kondisi pantai relatif curam. Kecepatan arus perairan P. Wangi-

3
Wangi 0,09 – 0,6 m/detik. Musim timur gelombang sangat kuat dipengaruhi angin
Laut Banda, sedang musim barat tidak terlalu besar karena terhalang P. Buton.

Gambar : 2. Peta Wilayah Kabupaten Wakatobi (Sumber: Lampiran UU No.29 tahun 2003).

2. P. Kaledupa, bagian utara bertopografi datar. Kedalaman perairan 2 m – 1.404


m. Pantai curam di bagian selatan dan timur dengan kedalaman 35 m – 414 m.
Perairan terdalam di antara Pulau dengan karang Kaledupa sekitar 1.404 m. Tipe
pasang surut cenderung semi diurnal terendah sejauh ± 500 m dari garis pantai.
Kecepatan arus perairan berkisar 0,07 m/detik – 0,20 m/detik. Musim barat
gelombang tidak terlalu besar karena arah angin terhalang P. Wangi-Wangi dan P.
Buton. Beberapa bagian utara hingga ke timur terlindung gelombang musim barat
dan timur, karena karang penghalang P. Hoga, P. Lentea dan P. Darawa.
3. P. Tomia, umumnya bertopografi datar hingga curam. Kedalaman perairan 0 m –
1.404 m. Topografi landai di bagian selatan P.Tomia, P. Tolandono, dan P.
Lentea Selatan, kedalaman maksimum 280 m, sedang yang curam/bertubir di
bagian utara kedalaman 500 m. Pasang surut semi diurnal terendah ± 500 m.
Arus intertidal umumnya lemah, kecuali di perairan selat kuat. Pada musim barat
gelombang tidak terlalu kuat karena terhalang P.Buton.
4. P. Binongko, umumnya bertopografi curam, kedalaman perairan 181 m – 721
m. Bagian selatan mencapai 1.573 m. Kedalaman perairan pulau-pulau di
Kecamatan Binongko berkisar 18 m – 500 m, dan ± 198 m – 500 m di P. Kontiole
dan P. Cowo-Cowo. Perairan P. Moromaho ± 252 m – 500 m. Perairan Karang
4
Koko relatif dangkal. Tipe pasang surut semi diurnal. Kecepatan arus berkisar
0.10 – 0.19 m/detik. Sekitar perairan Binongko terdapat arus turbulen.

Potensi Sumberdaya Hayati


1. Terumbu Karang perairan Wakatobi berada di pusat segitiga karang dunia (the
heart of coral triangle centre), yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu
karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya tertinggi di dunia, yang meliputi
Phillipina, Indonesia sampai Kepulauan Solomon.

Gambar 3. Pusat Segitiga Karang Dunia (Sumber : Marthen Welly, 2008).

Penafsiran citra Landsat 2003, diketahui luas terumbu di Wakatobi 54.500 ha. Di
P. Wangi-Wangi lebar terumbu 120 m dan 2,8 km. Untuk P. Kaledupa dan P. Hoga,
lebar 60 m dan 5,2 km. P. Tomia rataan terumbunya mencapai 1,2 km untuk jarak
terjauh dan 130 m terdekat. Kompleks atol Kaledupa mempunyai lebar terumbu 4,5
km dan 14,6 km. Panjang atol Kaledupa ± 48 km. Karang Kaledupa merupakan atol
memanjang ke Tenggara dan Barat Laut 49,26 km dan lebar 9.75 km (atol tunggal
terpanjang di Asia Pasifik). Ada 396 spesies karang Scleractinia hermatipic terbagi 68
genus, 15 famili, serta rataan setiap stasiun pengamatan berkeragaman 124 spesies.
2. Ikan, berdasar Indeks Keragaman Ikan Karang (RPTNW, 2008) menunjukkan ± 942
spesies di wilayah Wakatobi. Peringkat ini menempatkan Wakatobi pada kategori
keanekaragaman hayati sama dengan Teluk Milne di Papua Nugini dan di Komodo.
Famili paling beragam spesiesnya a.l.: wrasse (Labridae), damsel (Pomacentridae),
kerapu (Serranidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), surgeon (Acanthuridae), kakatua
(Scaridae), cardinal (Apogonidae), kakap (Lutjanidae), squirrel (Holocentridae), dan
angel (Pomacanthidae). Sepuluh famili ini meliputi hampir 70% total hewan tercatat.

5
Hasil survei “Rapid Ecological Assessment” lebih 80% ada di peringkat 2 - 3 dari
range 6 keanekaragaman hayati (luarbiasa = 1 s/d paling rendah = 6).
3. Keanekaragaman Lamun, jika dibanding dengan 12 jenis tumbuhan lamun
Indonesia, maka kekayaan lamun di Wakatobi tergolong tinggi (9 jenis). Padang
lamun di perairan Wakatobi didominasi oleh Thalassodendron ciliatum, prosentase
tutupan 66%, dan kerapatan 738,2 tegakan/m2.
4. Keanekaragaman Cetaceans, berdasarkan hasil monitoring Balai TNW-WWF-TNC
sampai tahun 2006 tercatat 12 jenis cetacean di kawasan TNW yang terdiri dari 8
jenis paus dan 5 jenis lumba-lumba (RPTNW, 2008).
5. Keanekaragaman Penyu, monitoring BTNW-WWF-TNC tahun 2006 ( RPTNW,
2008) tercatat jenis penyu dijumpai di Kepulauan Wakatobi 2 jenis, yaitu penyu sisik
(Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas). Ada 5 lokasi peneluran
penyu hijau yaitu Pulau Runduma, P. Anano, P. Kentiole, P. Tuwu-Tuwu (Cowo-Cowo)
dan P. Moromaho.
6. Keanekaragaman Mangrove, tercatat 22 jenis dari 13 famili mangrove sejati,
antara lain : Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Osbornia octodonta, Ceriops tagal,
Xylocarpus moluccensis, Scyphiphora hydrophyllacea, Bruguiera gymnorrhiza,
Avicennia marina, Pemphis acidula, dan Avicennia officinalis. Kondisi mangrove ini
sedang sampai baik. Luasan areal mangrove tertinggi di P. Kaledupa. Mangrove di P.
Wangi-Wangi, Kaledupa dan Tomia kondisinya sudah mengalami tekanan masyarakat
lokal. Sedang di P. Binongko kondisi mangrove relatif terjaga, karena umumnya
berstatus hutan adat (“Sara”).
7. Spesies Hewan Dilindungi, di kawasan perairan TNW terdapat beberapa jenis
hewan dilindungi, antara lain Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu hijau
(Chelonia mydas), Lumba-lumba (Delphinus delphis, Stenella longilotris, Tursiops
truncatus), ikan napoleon (Cheilinus undulatus), Kima (Tridacna sp), Lola (Trochus
sp), Ketam kelapa (Birgus latro). Di TNW kepiting kenari dijumpai relatif melimpah
pada bulan November sampai Februari.

Potensi Permasalahan Kawasan


Situasi-kondisi factual dan actual yang potensial dihadapi oleh Balai TNW dalam
mengelola kawasan yang efektif, antara lain dipengaruhi oleh :
1. Tumpang tindih (overlapping) kawasan. Pemekaran Wakatobi jadi kabupaten
otonom adalah mandat UU No. 29 tahun 2003. Ini dapat berimplikasi serius terhadap
perubahan sistem manajemen TNW. Secara yuridis, keberadaan Taman Nasional
yang kongruen dengan Kabupaten Waktobi merupakan satu fenomena unik dan

6
menarik, sekaligus menjadi salah satu pertimbangan penting terhadap kemungkinan
perubahan sistem pengelolaannya.
Di dalam TNW terdapat ruang-ruang ekologi yang jadi tumpuan pengembangan
daerah serta wilayah sosial-ekonomi bagi mata pencaharian masyarakat setempat,
sehingga perlu pengaturan ruang yang win-win solution. Secara tradisional
masyarakat juga memiliki social coherency tinggi, khususnya kearifan lokal dalam
pemanfaatan sumberdaya alam di sekitar mereka, seperti tuba dikatutuang. Ini
merupakan social capital yang dapat diakomodasikan dalam sistem pengelolaan TNW
ke depan. Pendekatan pengelolaan sumberdaya berbasis bioregion merupakan
keterpaduan antara ekologi dan ekonomi dalam mempromosikan pemanfaatan dan
pengembangan bentang alam (sea-landscapes) yang secara keseluruhan berorientasi
pada kepentingan masyarakat dan konservasi sumberdaya alam di setiap region.
2. Keberadaan laut-dalam (bathymetri). Kontur kedalaman laut yang ada di dalam
TNW sangat bervariasi, terdiri dari laut dangkal sampai laut dalam 0 m – 4.000 m.
Keberadaan laut dalam pada suatu taman nasional menyebabkan dis-efisiensi
pengelolaan, karena laut dalam tersebut sangat sulit dalam pengelolaannya
(khususnya di Indonesia), karena pemenuhan sarana prasarana dan kemampuan
sumberdaya manusia pengelola masih sukar untuk dipenuhi.
3. Letak pulau-pulau yang tersebar. Gugus kepulauan Wakatobi terdiri dari 39
pulau, letaknya tersebar, dan terdapat beberapa pulau terletak paling jauh, terpisah
dengan pulau-pulau kecil lainnya. Kondisi kepulauan tersebut mempersulit
pengelolaan, karena membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang besar untuk
menjangkau dan mengamankan seluruh kawasan.
4. Degradasi/kerusakan kawasan, antara lain disebabkan oleh :
a. Pencemaran lingkungan, diduga berasal dari limbah rumah tangga dan aktifitas
pelabuhan berupa tumpahan minyak.
b. Kerusakan habitat, dapat dikelompokan atas dua sumber, yakni kerusakan habitat
yang timbul alamiah dan yang disebabkan ulah manusia. Secara alamiah
kerusakan habitat kecil, tetapi kerusakan akibat manusia seperti penggunaan
sianida, bahan peledak, penambangan karang tergolong kritis.
c. Konflik pemanfaatan sumber alam oleh nelayan yang masih menggantungkan
dari penangkapan/pengambilan hasil laut tanpa ada upaya pelestarian
(restocking). Penangkapan ikan dengan purse seine (alat rumpon) dilakukan
masyarakat pendatang sering menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal.
Masyarakat lokal hanya menggunakan gill net yang tangkapannya lebih sedikit.
Fenomena ini menimbulkan kecemburuan sosial.

7
d. Abrasi pantai, karena geografis Kecamatan Wangi-Wangi sebagian besar berupa
pulau terbuka baik bagian utara, barat maupun timur, maka ada kecenderungan
signifikan terhadap abrasi pantai. Hal ini disebabkan kuatnya gelombang
menghantam badan pantai tanpa ada penyangga alam, seperti terumbu karang
dan lamun yang telah mengalami eksploitasi.
Kondisi di atas membuat Balai TNW dalam menyelenggarakan pengelolaan kawasan
lebih dominan ke arah perlindungan dan pengamanan kawasan, sehingga
anggaranpun banyak tersedot untuk kegiatan tersebut. Peningkatan fungsi kawasan
sebagai sistem penyangga kehidupan, dalam hal ini fungsi pengawetan dan
pemanfaatan lestari belum sepenuhnya dapat dilaksanakan.

Kerangka Analisis dan Skenario Pengelolaan Taman nasional


Analisa deskriptif dengan pertimbangan rasionalitas, prediksi ke depan, potensi bio-
ekologi, sosial-ekonomi-budaya masyarakat, dan pertimbangan pembangunan
Kabupaten otonom, maka prediksi dituangkan dalam strategi skenario efektifitas sbb.:

TN PEMKAB
Wakatobi WAKATOBI
(1996) (2003)

ANALISIS

KAWASAN TETAP KAWASAN BERUBAH


STRATEGI
Argumentasi
SKENARIO
Argumentasi

Konsekuensi Konsekuensi

EFEKTIFITA MANAJEMEN :
- Win-win solution
- Berkelanjutan
- Kesejahteraan masyarakat

Gambar 4. Kerangka analisis kajian efektifitas pengelolaan TNW

Beberapa pertimbangan pemilihan Skenario Pengelolaan dengan integrasi interdisiplin


dalam pengelolaan taman nasional, antara lain :
1. Pertimbangan biologi, yaitu mendudukkan taman nasional untuk proteksi proses-
proses ekologi, suatu biota yang utuh/yang khusus, subset biota tertentu. Tujuan-
tujuan ini membutuhkan pertimbangan-pertimbangan lokasi, ukuran, dan bentuk
geometri kawasan, ketergantungan dan hubungan-hubungan spatialnya dengan

8
daerah sekitarnya, ukuran populasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan spesies
kritis, kolonisasi lokal dan dinamika kepunahan biota pada tingkat lebih tinggi,
dinamika ekologi kawasan konservasi, serta ancaman-ancaman yang mungkin timbul
oleh penggunaan lahan di sekitar kawasan.
2. Pertimbangan pengaruh anthropologis, bila mungkin pengelolaan taman
nasional tidak mengganggu budaya lokal, tidak menghalangi pemanfaatan tradisional
berkelanjutan. Sebaliknya, dukungan sosial penduduk lokal terhadap kawasan
konservasi, terhadap pengunjung, dan masyarakat umum diharapkan membuka
peluang berhasilnya pengelolaan.
3. Pertimbangan keterbatasan lahan, pengelolaan taman nasional perlu bekerja
dalam kendala/keterbatasan lahan. Lahan dan produk-produknya akan terus menjadi
sumberdaya terbatas bagi populasi manusia yang terus bertambah. Memposisikan
keutuhan dan integritas kawasan sebagai penyangga kehidupan mutlak diperlukan,
strategi pengelolaan prioritas dalam menghadapi isu lapar lahan yang terus
meningkat, dan antisipasi berbagai isu kepentingan lain dalam jangka pendek. Posisi
tawar mutlak harus dimiliki kawasan konservasi dan dipahami oleh para pihak.
4. Pertimbangan homerange, adanya batas legal dan definitip dengan batas ekologis
dapat ditentukan berdasarkan batas Daerah Aliran Sungai (DAS) atau daerah-daerah
lain yang diperkirakan perlu untuk mempertahankan viabilitas populasi binatang
dengan daerah jelajahnya (home range) yang paling besar.
5. Pertimbangan sebaran pulau dan bentuk kawasan, pertimbangan atas batas
taman nasional, ratio keliling batas/luas suatu kawasan juga penting. Jika ratio ini
besar, seperti kawasan taman nasional yang berukuran kecil, atau yang bentuk
geometrinya memanjang yang secara proporsional memiliki keliling batas lebih
panjang, maka spesies yang membutuhkan habitat tidak terganggu dan jauh dari
tepi, ini akan berbeda dengan yang menderita gangguan efek tepi. Hal tersebut juga
berarti akan lebih banyak memerlukan tindakan manajemen, karenanya lebih banyak
energi, uang, dan waktu diperlukan untuk mempertahankan ciri-ciri suatu kawasan
konservasi.
6. Pertimbangan hubungan kawasan dengan daerah sekitarnya, harus
mempertimbangkan intervensi manusia, baik langsung maupun tidak langsung, legal
ataupun illegal. Di sini termasuk pemanenan hasil secara legal, pencurian, industri,
pertanian, pertambangan, pembangunan kota dan sub-sub kota. Taman nasional
dapat dirancang untuk meminimumkan beberapa kemungkinan pengaruh dari
penggunaan lahan di sekitarnya dengan menggunakan daerah penyangga.
Selanjutnya, memasukkan keseluruhan unsur alami tertentu yang memungkinkan
pengendalian dan proteksi seluruh unit kawasan konservasi. Misalnya; kawasan
9
taman nasional yang memasukkan seluruh DAS akan lebih baik dari pada hanya
bagian dari DAS keluar dari kawasan, terutama daerah hulu. Kasus pertama,
manajemen taman nasional memiliki kewenangan pengendalian atas kegiatan-
kegiatan dalam seluruh DAS. Kasus kedua, kawasan taman nasional diperburuk oleh
kejadian-kejadian di hulu. Demikian halnya Kawasan Konservasi Laut (KKL) yang
wilayahnya berada di pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebuah KKL yang memasukkan
pesisir dan pulau pulau kecil serta perairannya, akan lebih menjamin upaya
konservasi keanekaragaman hayatinya dalam jangka panjang daripada KKL yang tidak
memasukkan pesisir dan pulau pulau kecilnya. Inilah hubungan timbal balik ekologis
antara ekosistem-ekosistem tersebut.
7. Pertimbangan Prinsip Pengelolaan, pengelolaan harus dilaksanakan oleh otoritas
tertinggi dalam suatu negara yang berkuasa terhadap kawasan dengan tetap
memperhatikan kepentingan pemerintah daerah, masyarakat sekitar, dan institusi lain
yang berkepentingan terhadap konservasi jangka panjang. Untuk mencapai tujuan
utama pembangunan maka pengelolaan taman nasional harus tetap mengacu pada
strategi konservasi:
a. Perlindungan terhadap proses-proses ekologi yang essensial dan sistem
penyangga kehidupan,
b. Pengawetan keanakeragaman hayati (genetik, spesies, dan ekosistem), dan
c. Pemanfaatan lestari terhadap sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya.
8. Pertimbangan tujuan utama pembangunan taman nasional, berdasarkan
International Union for Conservation of Nature (IUCN), meliputi :
a. Melindungi kawasan secara alami memiliki nilai kepentingan nasional dan
internasional bertujuan; spiritual, IPTEK, pendidikan, rekreasi maupun wisata.
b. Mempertahankan sealami mungkin keterwakilan fisiografis, komunitas biotik,
sumberdaya genetik dan jenis, dan menjamin stabilitas keragaman ekologis.
c. Mengelola pengunjung untuk tujuan inspirasi, pendidikan, budaya, dan rekreasi
pada kondisi terpeliharanya kawasan secara alami.
d. Mengeliminasi/bahkan menghindarkan tindakan eksploitasi atau pendudukan yang
mengancam tujuan penunjukan dan penetapan kawasan.
e. Memelihara atribut ekologis, geomorfologis, dan keindahan yang menjamin
pencapaian tujuan penunjukan dan penetapannya.
f. Mengakomodasikan kebutuhan masyarakat lokal (indigenous and/or local people),
termasuk pemanfaatan subsisten sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan
pengelolaan.

10
9. Pertimbangan kontrol kegiatan masyarakat, beberapa mekanisme yang dapat
diterapkan untuk mengontrol kegiatan masyarakat dalam kegiatan perikanan di dalam
taman nasional, diantaranya:
a. Mengembangkan batas untuk kegiatan tertentu melalui system zonasi, termasuk
wilayah larangan menangkap,
b. Memberikan pembatasan yang ketat terhadap waktu atau musim tertentu setiap
tahun untuk penangkapan spesies tertentu,
c. Mendefinisikan pembatasan ukuran, kapasitas tangkap maksimum yang diijinkan,
dan kuota tangkap,
d. Melarang/membatasi praktik-praktik perikanan yang merusak,
e. Membatasi dan mengendalikan perijinan bagi masyarakat yang memanfaatkan
sumberdaya laut,
f. Membatasi akses sesuai dengan daya dukung kawasan, dan
g. Mengatur jenis-jenis ikan yang boleh ditangkap/dibatasi kuota tangkapnya serta
alat tangkap yang dipergunakannya
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka dirumuskan skenario
Pengelolaan efektif yang di dasarkan pada luasan kawasan, yaitu :
1. Skenario 1 : Luas Kawasan TNW tetap (1,39 juta ha). Dibangun dari asumsi
bahwa hubungan harmonis antara Pemkab Wakatobi, DPRD, masyarakat, LSM dan
Pengelola TNW, dalam arti terjadi sinergi program pembangunan Kabupaten
Wakatobi, kepentingan masyarakat dan para pihak serta kepentingan konservasi yang
direpresentasikan oleh rencana pengelolaan TNW. Argumentasinya adalah:
a. Argumentasi Bio-Ekologi:
1) Kawasan perlindungan dan pertumbuhan biodiversity relatif terpelihara baik
karena terdapat sinergisitas erat antara pengelolaan kawasan daratan dan
pesisir/laut. Hubungan timbal balik ini bersifat saling mempengaruhi sehingga
pengelolaannya tidak dapat dipisahkan.
2) Terjadi secara terus menerus spill over biota (sustainable stock of fisheries) ke
kawasan perairan sekitar Marine Protected Area.
3) Tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya perairan akan lebih terkendali
karena mekanisme kontrol terhadap pemanfaatannya.
4) Luas TNW merupakan keterwakilan ekosistem perairan laut Banda dan Flores,
sehingga keterwakilan keanakaragaman hayati dapat terpenuhi.
5) Ekosistem pulau-pulau kecil tidak terpisahkan dengan perairan sekitarnya.
Ekosistem pulau kecil cukup sensitif dan rentan terhadap tekanan ekologis
6) Perairan TNW merupakan jalur tetap migrasi berbagai jenis Cetacean.

11
b. Argumentasi Sosial-Ekonomi:
1) Kegiatan masyarakat akan lebih menjamin keberlanjutan, seperti; perikanan,
jasa pariwisata bahari dan kegiatan ekonomi produktif lainnya.
2) Secara global Pemerintah mempunyai komitmen kuat terhadap konservasi.
Hal ini akan dapat mempromosikan nilai jasa dari biodiversity TNW.
3) Kesempatan untuk membuktikan bahwa antara konservasi dan pembangunan
ekonomi dapat berjalan seiring dalam pemanfaatan SDA.
4) Kawasan TNW menjadi prasyarat utama mendukung pembangunan
Kabupaten Wakatobi bertumpu pada sektor perikanan dan pariwisata.
c. Argumentasi Aspek Pengelolaan:
1) Terdapat keterpaduan pengelolaan ekosistem darat dengan laut/pesisir.
2) Selain itu ada keterpaduan/sinergisitas pengelolaan kawasan antara Pemkab
Wakatobi dengan Balai TNW, walaupun masih ada konflik antara masyarakat
dengan Pemkab Wakatobi dan BTNW dalam pengelolaan lahan/daratan.
2. Skenario 2 : Luas Kawasan TNW Berubah (dikurangi pulau-pulau yang
berpenduduk). Pengurangan luasan kawasan dengan mengeluarkan wilayah
daratan pulau-pulau berpenduduk. Lazimnya, definisi kawasan konservasi laut tidak
termasuk kawasan daratan atau dengan kawasan daratan yang relatif kecil
dibandingkan kawasan perairannya. Selain itu, kondisi pada saat penunjukan TNW
tahun 1996, pulau-pulau besar di Wakatobi telah berpenduduk hingga 80.000 jiwa
dengan berbagai aktivitas masyarakat, sehingga mengeluarkan kawasan daratan
merupakan satu pilihan yang tepat. Argumentasi yang jadi dasar adalah:
a. Argumentasi Aspek Bio-Ekologi
1) Dasar penunjukan Wakatobi menjadi kawasan konservasi adalah
mempertahankan biodiversitas perairan laut, sehingga kawasan daratan yang
telah berstatus hak milik seharusnya tidak termasuk kawasan.
2) Pada saat penunjukan TNW tidak didukung oleh data sumberdaya yang ada di
daratan, melainkan hanya bertumpu pada kondisi keanekaragaman hayati laut
(Laporan Survai Penilaian Potensi SDA Laut TNW, 1990).
3) Tidak ada keunikan, keaslian dan kealamian yang harus dipertahankan di
darat (kecuali bakau, pantai peneluran penyu dan danau pasang surut).
4) Tetap mempertahankan keberadaan laut dalam yang merupakan wilayah
migrasi mamalia laut, sebagai salah satu objek wisata.
b. Argumentasi Sosio-Ekonomi
1) Saat penunjukan Wakatobi menjadi kawasan konservasi telah ada penduduk
di daratan pulau-pulau dengan kepadatan tinggi, termasuk di daerah pesisir
(BPS Kabupaten Buton 1995, dan zonasi TNW, 2007).
12
2) Masalah land tenurial, karena secara adat masyarakat mengklaim atas
kepemilikan lahan di daratan. Hal ini ditunjukkan oleh adanya kesulitan
Pemkab Wakatobi maupun BTNW mendapatkan lahan untuk lokasi
pembangunan fasilitas pemerintahan dan pengelolaan.
3) Kesempatan masyarakat mengembangkan usaha perekonomian leluasa.
4) Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya laut sangat tinggi.
c. Argumentasi Aspek Pengelolaan
1) BTNW secara finansial dan Sumberdaya Manusia tidak mampu mengelola
kawasan seluas 1,39 juta ha.
2) Dengan di keluarkan wilayah daratan, maka pengelolaan TNW lebih fokus
pada wilayah pesisir dan laut.
3) Konflik kewenangan dalam pengelolaan wilayah daratan antara BTNW dengan
Pemkab Wakatobi dapat dihindari/dikurangi.
4) Luas kawasan konservasi berkurang, sehingga efektifitas pengelolaannya
dapat lebih ditingkatkan.
5) TNW tidak dapat mengontrol langsung aktivitas yang terjadi di daratan,
karena tidak terdapat ekosistem khas yang jadi bagian dari ekosistem pesisir
dan laut, keculai kawasan mangrove dan tempat peneluran penyu.
3. Skenario 3 : Luas Kawasan TNW Berubah (dikurangi pulau-pulau
berpenduduk dan laut dalam). Pengurangan luasan kawasan TNW dengan
mengeluarkan wilayah daratan berpenduduk dan laut dalam menjadi salah satu
alternatif. Selain pulau-pulau berpenduduk, keberadaan laut dalam yang sangat luas
pada suatu kawasan konservasi laut menjadi salah satu kesulitan dalam pengelolaan.
Argumentasi yang dijadikan dasar penetapan skenario 3 ini adalah:
a. Argumentasi Aspek Bio-Ekologi
1) Dasar penunjukan Wakatobi menjadi kawasan konservasi untuk
mempertahankan biodiversitas perairan laut, sehingga kawasan daratan yang
telah berstatus hak milik seharusnya tidak termasuk kawasan.
2) Pada saat penunjukan TNW tidak didukung oleh data sumberdaya yang ada di
daratan maupun sumberdaya yang berada di laut dalam.
3) Konservasi wilayah laut dalam yang merupakan tempat migrasi mamalia laut
diatur bersama antara Pemkab Wakatobi dengan BTNW.
b. Argumentasi Sosio-Ekonomi
1) Saat penunjukan Wakatobi menjadi kawasan konservasi telah ada penduduk
tinggal di daratan pulau-pulau dengan kepadatan tinggi, termasuk di daerah
pesisir (BPS Kab. Buton 1995, dan zonasi TNW, 2007).
2) Keberadaan laut dalam selama ini merupakan jalur lalulintas kapal.
13
3) Program Pemkab Wakatobi untuk mengalihkan mata pencaharian nelayan
menjadi nelayan pelagis (laut dalam) butuh ruang ekonomi di laut dalam.
c. Argumentasi Aspek Pengelolaan
1) BTNW secara finansial, SDM dan sarpras tidak mampu mendukung
pengelolaan kawasan laut dalam.
2) Dengan dikeluarkan wilayah laut dalam, maka pengelolaan TNW lebih fokus
pada wilayah perairan karang.

Saran Rekomendasi
Berdasarkan pertimbangan analisis dan skenario, serta kondisi faktual lapangan, serta
demi mewujudkan efektifitas pengelolaan kawasan maka skenario 2 dirujuk sebagai
pilihan terbaik. Namun beberapa hal harus diperhatikan berbagai pihak, a.l. :
1. Batas administratif Kabupaten Wakatobi harus didefinisikan terlebih dahulu bersama
para pihak terkait; Badan Pertanahan Nasional, Depdagri-Ditjen OTODA, Dephut dan
UPT di daerah bersama Ditjen Planologi Kehutanan.
2. Perubahan luasan kawasan TNW dilakukan melalui mekanisme evaluasi fungsi, dikaji
Tim Terpadu, bersama UPT Taman Nasional dan Pemerintah Kab. Wakatobi.
3. Implikasi dari butir 2 akan menempatkan penduduk di Kabupaten Wakatobi sebagai
warga negara yang sah/legal setelah memiliki kartu identitas berupa Kartu Tanda
Penduduk, sehingga mereka memiliki hak-hak sipil serta kewajiban legalisasi
kepemilikan lahan mereka. Akumulasi dari sertifikasi kepemilikan lahan di suatu
wilayah administratif merupakan target utama Pemkab Wakatobi dalam menata
wilayahnya untuk selanjutnya dituangkan ke dalam RTRWK Wakatobi
4. Sistem pembangunan dan pembinaan masyarakat yang dilakukan di wilayah Kab.
Wakatobi harus berorientasi pada kaidah konservasi, sehingga dampak yang timbul
terhadap ekosistem pesisir dan laut dapat direduksi. Dengan itu aspek konservasi
harus “melekat” (inheren) pada setiap sektor pembangunan daerah, termasuk
masyarakatnya. Diseminasi nilai-nilai konservasi jadi target penting mempersiapkan
penyelenggaraan roda pembangunan di Kabupaten Wakatobi.
Hasil kajian efektifitas pengelolaan TNW ini jelas belum ideal dan masih deskriptif
analisis, sebab itu untuk penyempurnaannya perlu kajian lebih mendalam dengan
menggunakan perangkat analisis yang komprehensif, misal dengan metode ”scenario
planning” yang prosesnya lebih ”scientific-based decision making”, dan dilakukan
terpadu oleh para pihak, khususnya Dephut dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi.
Namun demikian, kajian ini bisa menggambarkan permasalahan yang ada dalam
rangka pengelolaan kawasan, khususnya yang terkait luas kawasan, gambaran
rekomendasi dan langkah-langkah pelaksanaannya. Semoga tulisan ini menjadi bahan
14
yang bisa lebih mengarahkan sistematika untuk mewujudkan peningkatan efektifitas
pengelolaan TN Wakatobi ke depan.

Referensi
Balai Taman Nasional Wakatobi, 2008. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi
Periode Tahun 1998 – 2023 (Revisi Tahun 2008).
Sekretariat Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004. Peraturan Perundang-
undangan Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta.
Sekretariat Negara RI, 2003. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Kolaka Utara di
Propinsi Sulawesi Tenggara. Produk Hukum, www.setneg.go.id.
Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara, 2009. Kabupaten Wakatobi–Sekilas.
http://www.sultra.go.id/id/?mod=statik&show=wakatobi, download internet
Rabu, 25 Februari 2009. Copyright Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara,
Kendari. webmaster@sultra.go.id.
Welly Marthen, 2008. Coral Triangle Initiative (CTI). Download Internet-Website TNC.
Rabu, 25 Februari 2009. Penulis adalah aktifis pemerhati lingkungan pesisir.

15

Anda mungkin juga menyukai