Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Imunitas spesifik merupakan mekanisme yang ampuh untuk
menyingkirkan pathogen dan antigen yang asing. Mekanisme efektor sistem
imun, seperti komplemen, fagosit, sitokin dan lain-lain yang tidak spesifik
untuk antigen yang asing. Karena itu respon imun dan reaksi inflamasi yang
menyertai respon imun kadang-kadang disertai kerusakan jaringan tubuh
sendiri, baik lokal maupun sistemik. Pada umumnya efek samping demikian
dapat dikendalikan membatasi diri (self-limited) dan berhenti sendiri dengan
hilangnya antigen asing. Disamping itu, dalam keadaan normal ada toleransi
terhadap antigen self sehingga tidak terjadi respon imun terhadap jaringan
tubuh sendiri. Namun ada kalanya respon atau reaksi imun itu berlebihan atau
tidak terkontrol dan reaksi demikian disebut reaksi hipersensitivitas.
Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi jika jumlah antigen yang masuk
relative banyak atau bila status imunologik seseorang, baik selular maupun
humoral meningkat. Reaksi itu tidak pernah timbul pada pemaparan pertama
dan merupakan ciri khas individu bersangkutan. Reaksi hipersensitivitas
menimbulkan manifestasi klinik dan patologik yang sangat heterogen, dan
heterogenitas itu: 1) jenis respon imun yang mengakibatkan kerusakn
jaringan, dan 2) sifat dan kolasi antigen yang menginduksi atau yang
merupakan sasaran dari respon imun tersebut. Berdasarkan mekanisme reaksi
imunlogik yang terjadi, secara umum reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi 4
bagian, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV. Klasifikasi itu
didasarkan pada mekanisme patologik utama yang bertanggung jawab atas
kerusakan sel atau jaringan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana defenisi reaksi hipersensitivitas tipe 1?
2. Bagaimana Peran IgE dan berbagai mediator lain?

1
3. Bagaimana Peran reseptor FceRI?
4. Bagaimana Peran Mastosit, Basofil dan eosinophil?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi reaksi hipersensitivitas tipe 1
2. Untuk mengetahui peran IgE dan berbagai mediator lain
3. Untuk mengetahui peran reseptor FceRI
4. Untuk mengetahui peran Mastosit, Basofil dan eosinophil

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Defenisi Hipersensitivitas Cepat atau Hipersensitivitas Tipe I


Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan perubahan respons imun tubuh
terhadap bahan yang ada dalam lingkungan hidup sehari-hari. Makanan atau
obat yang semula tidak menimbulkan reaksi, pada suatu saat
dapatmenimbulkan gatal-gatal, eksim, atausesak nafas. Pada vaksinasi cacar
pertama, reaksi imun maksimal terjadi setelah 10 – 15 hari sementara pada
vaksinasi cacar kedua, reaksi terjadi setelah 5 – 7 hari. Titer widal pada
vaksinasi tifus kedua meningkat lebih cepat dan lebih tinggi dibandingkan
dengan vaksinasi pertama. Dalam contoh reaksi vaksinasi cacar, tubuh
dirugikan sedangkan pada peningkatan titer widal, tubuh mendapat
keuntungan. Dewasa ini reaksi yang merugikan disebut hipersensitif dan yang
menguntungkan disebut imunitas.
Hipersensitivitas tipe I atau disebut juga dengan reaksi cepat, reaksi
alergi atau reaksi anafilaksis ini merupakan respon jaringan yang terjadi
akibat adanya ikatan silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini berhubungan
dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonasi, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat menimbulkan gejala yang beragam, mulai
dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara
15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami
keterlambatan awal hingga 10-12 jam.
Pada tipe hipersensitivitas ini, antigen bereaksi dengan antibodi yang
terikat pada sel mast jaringan atau basofil dalam sirkulasi. Antibodi, biasanya
IgE, melekat pada sel tersebut melalui fragmen Fc-nya. Kombinasi antigen
dengan antibodi terikat ini mengakibatkan aktivitas sel mast atau basofil dan
pelepasan berbagai amin vasoaktif, seperti histamin. Pengaruh utama factor-
faktor yang dilepaskan ini adalah vasodilatasi, kontraksi otot polos, dan
peningkatan permeabilitas kapiler.

3
Hipersensitivitas tipe I ditandai dengan reaksi alergi yang terjadi segera
setelah kontak dengan antigen yang disebut alergen.
Mekanisme terjadinya alergi yaitu produksi IgE oleh sel B tergantung
pada penyajian antigen oleh sel penyaji antigen (APC) dan kerja sama antara
sel B dan sel Th2. IgE yang dihasilkan mula-mula akan mensensitisasi sel
mast di jaringan sekitarnya, sisanya akan masuk sirkulasi dan melekat pada
reseptor spesifik basofil. Atau dengan kata lain jika antigen, khususnya
alergen berikatan dengan molekul igE yang sebelumnya telah melekat pada
permukaan mastosit atau basofil, maka hal itu akan menyebabkan
dilepaskannya berbagai mediator oleh mastosit dan basofil yang secar
kolektif mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi,
kontraksi otot polos bronkus, dansluran cerna serta inflamasi lokal. Reaksi ini
disebut reaksi hipersensitivitas tipe segera karena terjadi sangat cepat, yaitu
hanya beberapa menit setelah paparan.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas
tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur
IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu
penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu
penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak
terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat
dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma,
dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I
adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin,
penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

2.2. Hipersensitifitas Tipe 1: Reaksi IgE atau Anafilaktik

Reaksi hipersensitifitas tipe 1 timbul segera setelah adanya pajanan


dengan alergen. Reaksi ini dapat terjadi dalam hitungan menit setelah terjadi
kombinassi antigen dengan antibodi yang terikat pada sel mast pada individu

4
yang telah tersensitisasi terhadap antigen. 3 Reaksi ini seringkali disebut
sebagai alergi dan antigen yang berperan disebut sebagai alergen. Alergen
yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun berupa produksi
IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, urtiakria, asma dan dermatitis
atopi. Reaksi tipe ini merupakan hipersensitifitas yang paling sering
terjadi. 4,5
Reaksi ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan.
Juga, merupakan kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat
dari peningkatan kepekaan, bukan penurunan ketahanan terhadap toksin.
Sementara itu, ada istilah atopi yang sering digunakan untuk merujuk pada
reaksi hipersensitifitas tipe I yang berkembang secara lokal terhadap
bermacam alergen yang terhirup atau tertelan. 3
Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4 yang
lebih banyak dibandingkan populasi umum. Gen yang kemungkinan terlibat
dikode sebagai 5q31 yang mengkode sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9,
IL-13 dan GM-CSF. Juga gen 6p yang dekat dengan kompleks HLA.
Hipersensitifitas tipe I memiliki dua fase utama yaitu reaksi inisial atau segera
yang ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, tergantung pada
lokasi, spasme otot polos atau sekresi glandular. Perubahan tersebut terjadi
dalam 5 sampai 30 menit sesudah eksposure dan menghilang dalam 60 menit.
Selanjutnya, seperti pada rinitis alergi dan asma bronkial, dapat terjadi juga
reaksi fase lambat yang terjadi dalam 2-24 jam kemudian, tanpa ada
tambahan eksposure antigen dan dapat bertahan dalam beberapa hari. Fase ini
ditandai dengan infiltrasi jaringan oleh eosinofil, netrofil, basofil, monosit,
dan sel T CD 4++ serta kerusakan jaringan yang seringkali bermanifestasi
sebagai kerusakan epitel mukosa.
Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa fase sensitisasi,
fase aktivasi dan fase efektor. Fase sensitisasi merupakan waktu yang
dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik
(Fcε-R) pada permukaan. Fase aktivasi merupakan waktu yang diperlukan
antara pajanan ulang dengan antigen spesifik dan sel mast/basofil melepas

5
isinya yang berisikan granul yang nantinya akan menimbulkan reaksi alergi.
Hal tersebut terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE. Fase efektor
yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast/basofil dengan aktivitas
farmakologik.
1. Fase Sensitisasi
Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap antigen yang
hanya dapat ditanggapi pada permukaan selaput mukosa saluran nafas,
selaput kelopak mata dan bola mata, yang merupakan fase sensitisasi.
Namun, hanya 10% yang menunjuka gejala klinis setelah terpapat alergen
dari udara. Respom-respon yang berbeda tersebut dikendalikan oleh gen
MHC/HLA,terpengaruh dari limfosit T dan IL-4 yang dihasilkan oleh limfosit
CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki kadar IL-4 yang senantiasa rendah
karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts).
Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak berulang,
penelanan, atau suntikan sementara IgE sudah dihasilkan, individu tersebut
dapat dianggap telah mengalami sensitisasi. IgE dibuat dalam jumlah tidak
banyak dan cepat terikat oleh mastosit ketika beredar dalam darah. Ikatan
berlangsung pada reseptor di mastosit dan sel basofil dengan bagian Fc dari
IgE. Ikatan tersebut dipertahankan dalam beberapa minggu yang dapat terpicu
aktif apabila Fab IgE terikat alergen spesifik.
2. Fase Aktivasi
Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembaran alergen menunjukan derajat
sensitifitasnya terhadap alergen tertentu. Respon anafilaktik kulit dapat
menjadi bukti kuat bagi pasien bahwa gejala yang dialami sebelumnya
disebabkan alergen yang diujikan.
Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang terdapat pada
jaringan ikat di sekitar pembuluh darah, dinding mukosa usus dan saluran
pernafasan. Selain mastosit, sel basofil juga berperan.
Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil
mempersiapkan sel tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan

6
alergen spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya dibutuhkan hubungan silang
antara 2 molekul reseptor yang mekanisme bisa berupa:
1. hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab
molekul IgE
2. hubungan silang dengan antibodi anti IgE
3. hubungan silang dengan antibodi-antireseptor
Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE
atau reseptornya. Anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi
komplemen dan berbagai obat seperti kodein, morfin dan bahan kontras juga
bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid. Faktor fisik seperi suhu panas, dingin
dan tekanan dapat mengaktifkan mastosit seperti pada kasus urtikaria yang
terinduksi suhu dingin.
Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor diawali
dengan perubahan fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi fosfolipid
yang diikuti masuknya ion Ca++ dalam sel. Kandungan cAMP dan cGMP
berperan dalam regulasi tersebut. Peningkatan cAMP dalam sitoplasma
mastosit akan menghambat degranulasi sedangkan cGMP dapat
meningkatkan degranulasi. Dengan begitu, aktivasi adenylate cyclase yang
mengubah ATP menjadi cAMP merupakan mekanisme penting dalam
peristiwa anafilaksis.
3. Fase Efektor
Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik
aktif yang dilepaskan oleh mastosit atau basofil yang teraktivasi. Terdapat
sejumlah mediator yang dilepaskan oleh mastosit dan basofil dalam fase
efektor.
Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain
histamin yang disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat
memproduksi mediator baru atau sekunder atau newly generated seperti LT
dan PG. Secara umum, mediator yang dihasilkan oleh sel mast dan
mekanisme aksinya adalah sebagai berikut:

7
 Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular: Histamin, PAF,
Leukotrien C4 D4 E4, protease netral yang mengaktivasi komplemen dan
kinin, prostaglandin D2.
 Spasme otot polos: Leukotrienes C4 D4 E4, Histamin, prostaglandin, PAF
 Infintrasi seluler: sitokin (kemokin, TNF), leukotrien B4, faktor
kemotaktik eosinofil dan netrofil.

a. Mediator Jenis Pertama (Histamin dan Faktor Kemotaktik)


Reaksi tipe I dapat mencapai puncak dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi,
terjadi perubahan dalam membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang
diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase
ini, energi dilepas akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan
menggerakan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP
dalam sel berpengaruh pada degranulasi. Peningkatan cAMPakan mencegah
degranulasi sementara peningkatan cGMP akan memacu degranulasi.
Pelepasan granul ini merupakan proses fisiologis dan tidak menimbulkan lisis
atau matinya sel. Degranulasi juga dapat terjadi akibat pengaruh dari
anafilatoksis, c3a dan c5a.
Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari
berat granul. Histamin akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan
distribusi berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamin,
menunjukan berbagai efek.
Manifestasi yang dapat muncul dari dilepasnya histamin di antaranya adalah
bintul dan kemerahan kulit di samping pengaru lain seperti perangsangan
saraf sensoris yang dirasakan gatal dan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah kecil yang menyebabkan edema. Pada saluran pernafasan, dapat terjadi
sesak yang disebabkan oleh kontaksi otot-otot polos dan kelenjar saluran
pernafasan.
Pengaruh histamin pada sel-sel sasaran utamanya melalui reseptor H1.
Namun, pada membran mastosit terdapat pula reseptor H2 yang dapat
berfungsi sebagai umpan balik negatif. Hal tersebut karena pengikatan

8
histamin pada reseptor tersebut justru menghambat pelepasan histamin oleh
sel mastosit tersebut.
Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan secara cepat saat mastosit
teraktivasi. Ada dua macam ECF-A (eosinophil chemotactic factor id
anaphylaxis) untuk menarik eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic
factor of anaphylaxis) untuk menarik netrofil. Dalam2-8 jam, terjadi
kumpulan granulosit berupa netrofil, eosinofil dan basofil, sedang dalam 24
jam yang lebih dominan adalah sel limfosit.
Meski dilepaskan secara cepat, inflitrasi ECF-A dan NCF-A berlangsung
lambat sehingga perannya akan lebih penting dalam reaksi tahap lambat.
b. Mediator Jenis Kedua
Mediator kategori ini terikat erat dengan proteoglikan yang terlepas apabila
ada kenaikan kadar NaCl. Mediator ini mencakup heparin, kemotripsin,
tripsin dan IF-A (inflammatory factor of anaphylaxis). IFA-A memiliki
potensi kemotaktik yang lebih besar dari ECF-A dan NCF-A dan berperan
dalam reaksi tahap lambat. Pelepasan yang perlahan membuat mediator ini
memiliki pengaruh lebih lama di jaringan.
Dalam reaksi tahap lambat, selain mediator yang dilepaskan oleh mastosit
terdapat juga keterlibatan sistem komplemen dan sistem koagulasi. Secara
umum, mediator yang dilepaskan akan berperan daam vaodilatasi dan
peningkatan permeabilitas lokal dan mendorong berkumpulnya netrofil dan
eosinofil
c. Mediator Jenis Ketiga
Selain dari degranulasi mastosit, terdapat juga pelepasan asam arakhidonat
yang bersumber dari fosfolipid membran sel. Asam arakhidonat ini menjadi
substrat enzim siklooksigenase dan lipooksigenase. Aktivasi siklooksigenase
akan menghasilkan prostaglandin dan tromboxan yang menyebabkan reaksi
radang dan mengubah tonus pembuluh darah.1,2 Sedangkan aktivasi
lipooksigenase akan menghasilkan leukotrien. Leuktrien C,D, dan E
seringkali disebut sebagai SRS-A (slow reactive substance of anaphylaxis)
karena pengaruhnya lebih lambat dari histamin.

9
LT berperan dalam bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas vaskular dan
produksi mukus. Leuktrien B4mempunyai efek kemotaktik untuk sel netrofil
dan eosinofil dan mempercepat ekspresi reseptor untuk C3b pada permukaan
sel tersebut.
Di antara sel-sel yang direkrut pada saat fase lambat, eosinofil merupakan
yang paling penting. Eosinofil ditarik oleh eotaxin dan kemokin lainnya yang
dihasilkan oleh sel epitelial, sel Th2 dan sel mast. Eosinofil membebaskan
enzim proteolitik berupa major basic protein dan eosinofil catationic protein
yang bersifat toksik terhadap sel epitel. Aktivasi eosinofil dan leukosit lain
juga menghasilkan leukotrien C4 dan PAF yang secara langsung
mengaktifkan sel mast untuk melepaskan mediator. Oleh karena itu,
perekrutan sel tersebut akan mengamplifikasi dan menjaga respon inflamasi
tanpa tambahan eksposure antigen pemicu. 3

2.3. Peran IgE dan Berbagai Mediator lain


Faktor terpenting yang berperan pada reaksi anafilaktik adalah IgE, yang
disebut antibodyhomositotropik atau regain. IgE mempunyai sifat khas yang
tidak dimiliki oleh immunoglobulin kelas lain yaitu afinitas yang tinggi pada
mastosit dan basophil melalui reseptor Fc pada permukaan sel permukaan sel
bersangkutan yang mengikat fragmen FcIgE. Sekali terikat, IgE dapat
melekat pada permukaan mastosit dan basophil selama beberapa minggu, dan
IgE yang terikat inilah yang berperan besar pada reaksi anafilaksis. Selain
IgE, IgG4 diketahui mempunyai kemampuan serupa, tetapi dengan afinitas
yang jauh lebih randah. Penelitian-penelitian terakhir mengungkapkan bahwa
berbagai jenis limfokin dan sitokin dengan peran multifungsi juga dilepaskan
pada reaksi ini sebagai akibat aktivasimastosit oleh IgE. IL-3 dan IL-4
mungkin mempunyai dampak autokrin pada sel mastosit bersangkutan dan
substansi ini bersama-sama dengan sitokin yang lain meningkatkan produksi
IgE oleh sel B. Di samping itu beberapa jenis sitokin lain, termasuk IL-5, IL-
8, dan IL-9, berperan dalam proses khemotaksis dan aktivasi sel-sel inflamasi
di daerah terjadinya alergi.

10
Bukti bahwa IgE dan mastosit berperan pada reaksi hipersensitivitas
diperoleh dari percobaan-percobaan berikut:
1. Hipersensitivitas tipe segera dapat dibangkitkan pada individu non-responsif
kalau pada tempat masuknya antigen dimasukkan terlebih dahulu IgE yang
berasal dari individu yang responsive
2. Reaksi hipersensitivitas tipe segera dapat timbul bila sebagai pengganti
antigen diberikan anti-IgE. Anti-IgE bekerja analog dengan antigen yang
secara langsung mengaktifkan mastosit dan basophil yang mengikat IgE pada
permukaannya
3. Reaksi hipersensitivitas dapat dibangkitkan bila diberikan zat lain yang
mampu menyebabkan degranulasi sel mastosit, misalnya C5a, dan reaksi ini
dapat dihambat oleh zat yang mencegah degranulasimastosit.
Apabila IgE yang melakat pada mastosit atau basophil, mengalami
paparan ulang dengan allergen spesifik, maka allergen akan diikat oleh IgE
demikian rupa sehingga allergen tersebut membentuk jembatsn antara 2
molekul IgE pada permukaan sel (crosslinking). Crosslinking hanya terjadi
dengan antigen yang bivalen atau multivalent tetapi tidak terjadi dengan
antigen yang univalen. Crosslinking yang sama dapat terjadi bila fragmen Fc-
IgE bereaksi dengan anti-IgE, atau bila reseptor FcɛRI dihubungkan satu
dengan lain oleh anti-reseptor-Fc. Crosslinkingmerupakan mekanisme awal
atau sinyal untuk degradasi basofil.
Ada perbedaan yang jelas dalam produksi IgE antara individu atopik
dengan individu normal. Individu atopik memproduksi IgE lebih banyak
sebagai respon terhadap stimulasi antigen tertentu, sedangkan individu
normal biasanya memproduksi kelas immunoglobulin lain, misalnya IgM
atau IgG dan hanya sedikit IgE bila distimulasi oleh antigen yang sama.
Ada 4 faktor yang berperan mengatur sintesis IgE, yaitu;
1. factor keturunan
2. Pemaparan antigen sebelumnya
3. Sifat antigen
4. Sel Th dan sitokin yang diproduksi.

11
2.4. Peran Reseptor Fc€Ri
IgE seperti imonoglobulin kelas lain hanya diproduksi oleh sel B, tetapi
IgE dapat berfungsi berbagai reseptor antigen
pada permukaan selmastosit dan basophil. Pada permukaan selmastosit dan
basophil IgE terikat dengan afinitas kuat pada reseptor Fc€RI. Cross- linking
reseptor akibat pengikatan allergen oleh IgE
menyebabkan sel mastosit dan basofil melepaskan mediator inflamasi. Akhir-
akhir ini diketahui bahwa selain pada permukaan selmastosit dan basofil,
Fc€RI juga terdapt pada permukaan seleosinophil dan sel APC, sehingga sel-
sel ini dapat mengikat IgE, dan dengan
demikian meningkatkan kemungkinan cross-lingking reseptor oleh u allergen.
Ligase Fc€RI Menyebabkan sel tersebut aktif, merangsang
respon sekunder dan meningkatkan sintesis IgEmelalui rekrutmen lebih banya
k sel Th2. Eosinophil sendiri merupakan sel yang menghasilkan berbagai
mediator inflamasi yang dilepaskan bila sel itu diaktivasi, misalnya
majorbasic protein (MBP), dan neorotoksin. Adanya sel APC yang
mengepresikan Fc€RI dan molekul IgE
pada permukaanya merupakan syarat terjadinya dermatitis
pada pada tempat aplikasi allergen dikulit individu atopic. Ada reseptor IgE
lain yaitu Fc€RI lain yaitu Fc€RII, yang terdiri atas Fc€RII-A yang
spesifik untuk sel B, dan Fc€RII-B atau CD23 yang
ekspresinya diinduksi oleh sel B, monosit dan eosinophil sebagai respons
terhadap rangsangan IL-4. Di banding Fc€RII terhadap IgE jauh lebih rendah.

2.5 Peran MastositBasofil Dan Eosinofil


Diketahui bahwa populasi mastosit merupakan populasi yang
heterogen dan distribusinya dalam berbagi jaringan juga berbeda. Sel-
sel mastosit terdapat disekitar pembuluh darah dan dalam sebagian besar
jaringan tubuh tetapi pada manusia sebagaian
besar mastosit berkumpul dalam mukosa panjang saluran cerna

12
(mucosamastcell=MMC) dan paru-paru (connective tissue mastcell=CTMC).
Ada perbedaan dalam morfologi dan fungsi mastosit antara spesies yang
satu dengan spesies lainya maupun mastosit yang berasal dari lokasi yang
berbeda, misalnya mastosit dalam dinding saluran cerna mempunyai jumlah
dan ukuran granula yang lebih besar dibandingkan dengan mastosit yang
terdapat pada kulit. Akhir-akhir ini terbukti bahwa MMC dan CTMC
berasal dari sel induk yang sama, yang
pada akhir perkembanganya menujukkan
perbedaan dalam fenotip bergantung pada lingkungan mikro
(microenviroment) local. Granula mastosit mengandung beberapa jenis
mastosit mengandung beberapa jenis protease
dua diantaranya adalah tryptase dancymase. Protease
ini mempunyai makna klinik cukup penting karena tryptase terbukti dapat
menyebabkan respons berlebihan pada bronkus dan cymase dapat merangsan
g peningkatan sekresi mucus oleh broncus keduanya merupakan ciri asma.
Kedua jenis protease juga dapat merombak peptide intestinal vasoaktif yang
merupakan mediator relaksasi bronkus.

Seperti telah diuraikan diatas, rangsangan


pada mastosit untuk degranulasi terjadi bila ada cross linking
IgE oleh interaksi antara IgE yang
melekat pada permukaan matosit melalui Fc€RI, dengan molekul allergen
atau molekul lain yang menyebabkan agregasi reseptor Fc€RI. Degranulasi
juga terjadi bila cross linkingan atar reseptor Fc€RI secara langsung,
misalnya oleh pengiktana jenis lectin seperti PHA dan COnA.Hal ini dapat
menjelaskan mengapa urtikaria dapat timbul setelah menyantap makanan
yang mengandung lectin, misalnya strawberry. Komponenl ain yang
dapat juga merangsang degranulasi mastosit adalah C3a dan C5a, obat-
obat seperti ACTH sintetik, kodein danmorfin. Mastosit yang terdapat pada
mukosa (MMC) memerlukan mediator untuk maturasi yang
dilepaskan olehsel T, yaitu IL-3 dan IL-4 dan untuk melepaskan mediaotor-

13
mediator itu diperlukan interaksi langsung dengan sel T. mediator-mediator
ini yang diperiksa oleh sel T-DTH hanya dapat
mengaktivasi mastosit selama beberapa jam, beberapa IgE yang
dapat mensensitisasi selama beberapa minggu.
Interaksi dengan inti genmenyebabkaninflux Ca++
kedalam mastosit danhal ini mengakibatkan terjadinya 2 proses :
1. Eksositosisisi granula di antaranya histamine
2. Induksi pembentukan mediator yang merangsang pembentukan
prostaglandin dan leukotriene yang mempunyai dampak langsung pada
jaringanlocal. Pada paru-paru ia segera menyebabkan kontriksi bronkus
edema dan hipersekresimucus.

Mediator yang terbentuk kemudian


Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam
arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam
arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang
masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi
berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).
1. Produk siklooksigenase Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti
akan menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu
prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2). Tiap sel
mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya
membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan
TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel
yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil,
makrofag, dan limfosit). Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus,
tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi
lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus
dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2,
prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang

14
mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang
pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.
2. Produk lipoksigenase Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase.
Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow reacting substance of
anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil
dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan
SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta
merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru
yang tersensitisasi.

‘Slow reacting substance of anaphylaxis’


Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja
lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan
sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A
dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya
asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin.
Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang
sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil
metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.
o Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’) Mediator ini
pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat
menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari
trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta
peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi
pada reaksi yang diperan oleh IgE.
o Serotonin Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa
saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel
mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator
sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi pro duk sel mast yaitu
PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.

15
2.6. PERAN SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI
Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber
beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.
Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen
menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE. Individu normal tidak mempunyai
respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa
individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan
tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin,
respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik
dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat
terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein
atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen.
Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel
Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab
itu, individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai
respons terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian
besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan
banyak gen yang berperan.
Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4
yaitu Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF
tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen
diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan
mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang
sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga
diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai
peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan
dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator
sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi
sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi

16
reseptor Fcε (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut
faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini
diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi dihambat oleh IFNα, IFNγ, TGFβ,
PGE2, dan IL-I0 (lihat Gambar 12-5).
Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti
dapat menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE-
alergen pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang
mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and
activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T expressed and
presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin
yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi
pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi
antigen
Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan
mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih
nyata dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF.
Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi
peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF
(nerve growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi,
pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag
atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami
peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-
CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan
eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini
eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila
diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan perubahan respons imun tubuh
terhadap bahan yang ada dalam lingkungan hidup sehari-
hari.Hipersensitivitas tipe I atau disebut juga dengan reaksi cepat, reaksi
alergi atau reaksi anafilaksis ini merupakan respon jaringan yang terjadi
akibat adanya ikatan silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini berhubungan

18
dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonasi, dan saluran
gastrointestinal.

B. Saran
Makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih terdapat banyak
kekurangan disana dan disini dalam penulisan dan penyusunan atas rumusan
masalahnya.Dimohonkan kepada pembimbing dan pembaca makalah ini
dapat memberikan saran yang sebanyak-banyaknya agar kami dapat
melakukan penulisan yang lebih baik lagi dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

Boedina, Kresno. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium.


Jakarta; FKUI.
Barata, widjaya. 2010. Imunologi Dasar. Jakarta; FKUI.
Subowo. 2010. Imunologi Klinik. Jakarta; Sagung seto.
Windowati, R. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; Pengetahuan Dasar
Imunologi. Jakarta; FKUI.

19

Anda mungkin juga menyukai