Anda di halaman 1dari 8

TEROR TURKI, DUKA SURIAH, DAN KEPEDULIAN KITA SEMUA

Perjalanan mengunjungi Turki kali ini penuh dengan air mata dan duka. Perjalanan
utama kami adalah memenuhi undangan Seminar Internasional ISRA ke-16 tentang “400
tahun Hubungan Turki-Usmani dengan Baitul Maqdis (Al-Quds)”. Acara yang dihelat pada
tanggal 8 sd 12 Desember 2016 di Istanbul Turki ini diselenggarakan oleh suatu badan wakaf
yang khusus bergerak dalam riset-riset mengenai Palestina dan Baitul Maqdis bernama
Islamic-Jerussalem Research Academy (ISRA) yang bermarkas di Istanbul Turki. Pendiri
lembaga ini adalah Prof. Dr. Abdul Fattah Al-Awaisi, ahli hubungan international dari
Universitas Shabahuddin Zaim Istanbul yang berasal dari Palestina.
Seminar ini sendiri membahas berbagai aspek dari 400 tahun hubungan Turki-Usmani
dengan Baitul Maqdis, seperti aspek politik, ekonomi, demografi, geografi, kebudayaan,
agama, dan sebagainya. Namun, di tengah-tengah seminar tiba-tiba Sabtu tengah malam
waktu Istanbul, kami dikejutkan dengan ledakan bom mobil dan bom bunuh diri yang
menewaskan sekurangnya 38 orang polisi dan puluhan lainnya luka-luka, terutama polisi.
Bom ini jelas diarahkan kepada polisi yang merupakan alat negara sehingga sasaran teror pun
jelas, yaitu negara. Sehari berikutnya kami dikejutkan lagi dengan jatuhnya Aleppo Timur
yang lagi-lagi untuk kesekian puluh kalinya menelah korban warga sipil Suriah. Dua hal
penting inilah yang sepertinya perlu menjadi perhatian para pembaca di Indonesia.

Bom Turki dan Penanganan Terorisme di Indonesia


Peledakan bom terjadi pada 11 Desember 2016 tengah malam, saat kami semua baru
lelap tidur selepas seminar hari ke-3. Lokasi peledakan hanya sekitar 2 km dari tempat kami
menginap. Korban ledakan sebagian besar adalah polisi. Markas polisi Istanbul kebetulan
persis ada di belakang Auditorium tempat kami berseminar. Pagi-pagi sekali Presiden
Erdogan sudah terbang dari Ankara ke Istanbul memberikan penghormatan terakhir kepada
para korban di Markas Kepolisian Istanbul yang sejak semalam sangat ramai oleh hilir mudik
ambulance dan kelurga korban yang ingin melihat kelurga mereka yang menjadi korban.
Seminar hari terakhir pun dibuka dengan tangisan dan ungkapan duka untuk korban teror
yang kesekian kalinya terjadi Turki.
Banyak analisis mengapa bom teror ini terus terjadi sejak bulan Juni 2016 di Bandar
Udara Internasional Istanbul yang saat itu menwaskan 41 orang warga sipil; dan setelah itu
terjadi berkali-kali terjadi di berbagai tempat di Istanbul. Ada analisis memperkirakan bom-
bom ini berasal dari kelompok garis keras Turki yang tidak menyetujui normalisasi hubungan
Turki-Israel yang tepat ditandatangani Erdogan pada bulan Juni 2016. Analisis lain
menyebutkan, walaupun isunya terkait dengan Israel, tapi kemungkinan ini adalah upaya-
upaya lawan politik Erdogan untuk menjatuhkan kekuasaannya. Ini terbukti dengan usaha
kudeta militer yang berhasil digagalkan pada 16 Juli 2016 lalu. Musuh-musuh yang dimaksud
bisa jadi adalah militer anti-Erdogan, bisa juga Partai Pekerja Kurdi (PKK) yang sangat anti-
Erdogan, dan bisa juga kelompok-kelompok yang berafiliasi ke ISIS yang beberapa kawasan
yang dikuasainya di Syiria berhasil diambil alih kelompok mujahidin yang dibantu oleh
Turki.
Tulisan ringan ini tidak akan terlalu jauh membahas mengenai teror bom di Turki.
Hanya saja perlu ditegaskan beberapa hal berikut. Pertama, ancaman teror di Turki sangat
nyata, bukan sesuatu yang jauh dari pikiran. Turki berada di kawasan yang berbatasan
langsung dengan daerah konflik, yaitu Syiria dan Kurdi. Turki juga terlibat langsung dalam
perang maupun penanganan pengungsi sehingga hubungan dengan kawasan yang tengah
bergolak boleh dikatakan langsung. Hampir tidak ada alasan untuk menolak ancaman nyata
teror terhadap Turki dari pihak-pihak yang tengah berperang; atau mengatakan bahwa isu
teror adalah isapan jempol belaka. Kedua, penanganan pemerintah Turki terhadap ancaman
teror ini sangat serius karena mengancam pertahanan dan keamanan negara secara nyata.
Masyarakat dalam hal ini sangat terancam dengan keberadaan para teroris ini.
Ketiga, keseriusan penanganan terorisme ini ditandai dengan kesigapan aparat polisi
maupun tentara dalam menangani ancaman ini. Tidak terlihat usaha-usaha mencari muka
pada negara atau kelompok tertentu untuk disebut negara anti-terorisme. Terorisme juga tidak
pernah dikait-kaitkan dengan usaha untuk menutupi kasus-kasus dalam negeri tertentu.
Penangannya betul-betul dilakukan untuk melakukan perlindungan terhadap rakyat dan
menciptakan suasana kondusif di dalam negeri. Ini terbukti sepanjang Ahmad Davidoglu
menjadi perdana menteri, ia berhasil menggagal lebih dari 2000 usaha-usaha peledakan bom
teror di berbagai kawasan di Turki.
Secara prinsip, penanganan tindakan teror oleh negara adalah kewajiban yang harus
ditunaikan negara. Negara harus menjamin keamanan dan ketenangan masyarakat agar dapat
menjalankan kehidupan secara normal. Dari pihak manapun teror diarahkan, maka negara
harus hadir untuk menghentikannya. Apa yang dilakukan Turki, menangkap para pelaku di
lapangan dan jaringannya yang diduga dilakukan oleh PKK hanya sehari setelah peledakan
11 Desember lalu adalah hal yang memang sudah semestinya. Sama seperti saat pemerintah
Indonesia saat mengusut kasus peledakan bom di Bali tahun 2003 yang lalu dan seterusnya.
Negara harus tampil menjadi pelindung seluruh masyarakat.
Hanya saja, patut disayangkan bahwa kian kemari penanganan terorisme di Indonesia
justru bukan melahirkan ketenangan masyarakat, melainkan malah melahirkan ketakutan
yang bisa jadi lebih besar daripada ketakutan atas peledakan bom. Ketakutan yang timbul di
tengah masyarakat salah satu di antaranya adalah ketakutan dicap “teroris” karena
kecenderungan penanganan terorisme justru malah diarahkan untuk kepentingan tertentu.
Di negeri ini, penangan terorsisme penuh ironi. Tindakan teor selalu dituduhkan pada
gerakan-gerakan Islam. Liputan-liputan besar-besaran penangkapan kasus bom teror di
Indonesia selalu dikaitkan dengan aktivis Islam. Walaupun tidak ada kaitannya, wartawan
sering menyandingkan gambar pelaku teror dengan suasana di kamarnya yang terdapat di
dalamnya Al-Quran dan beberapa buku bacaan Islami. Kalau hanya sekali mungkin hanya
ketidaksengajaan. Akan tetapi, bila berulang-ulang dilakukan begitu, sudah pasti ini
merupakan usaha sengaja untuk melakukan stigmatisasi dan “stereo-typing” tentang siapakah
pelaku teror ini. Media peliput yang menjadi mitra Densus 88 secara sengaja menciptakan
stigma di tengah masyarakat bahwa “pelaku teror adalah aktivis Islam”.
Padahal, stereo-type dan stigma semacam itu sama sekali tidak bermakna apa-apa untuk
penanganan terorisme, karena tindakan teror bisa dilakukan siapa saja. Misalnya, saat terjadi
pengeboman di Alam Sutera Tangerang 28 Oktober 2015 lalu, ternyata pelakunya beragama
Kristen dan beretnis China. Anehnya, pengeboman jelas dilakukan, tapi tindakan ini tidak
pernah dianggap sebagai ancaman serius. Yang disetel tetap lagi lama, yaitu pelaku
pengeboman adalah para aktivis Islam. Berkali-kali dilakukan penangkapan terhadap orang-
orang yang diduga akan melakukan teror. Semuanya digambarkan sebagai aktivis Islam.
Padahal mereka sama sekali belum melakukan apapun. Ironis. Pelaku yang sudah jelas
melakukan pengeboman tidak dianggap penting, yang belum melakukan malah diperlakukan
seolah-olah akan mendatangkan marabahaya amat besar terhadap bangsa ini.
Realitas penanganan terorisme stigamatif dan amburadul semacam ini sangat wajar bila
kemudian malah menimbulkan kecurigaan masyarakat awam. Pihak-pihak yang berwenang
melakukan penanganan terorisme dinilai main-main; dan cenderung digunakan secara politis
untuk menggebuk kelompok-kelompok politik tertentu di negeri ini, yaitu kelompok Islam.
Isu terorisme digunakan senjata ampuh untuk mengebiri gerakan-gerakan kelompok Islam;
yang artinya isu terorisme justru digunakan untuk mengebiri demokrasi, mengebiri suara
umat dan suara rakyat.
Kalau memang pemerintah sungguh-sungguh ingin menangani terorisme ini secara
serius, yang harus dilakukan jutru harus lebih banyak silent operation seperti yang dilakukan
Davidoglu di Turki. Ia berhasil menggagalkan lebih dari 2000 usaha peledakan tanpa harus
digembar-gembor di media yang justru malah menciptakan ketakutan baru bagi masyarakat.
Kalau pemerintah tahu siapa dalang dan di mana saja jaringannya, segera dekati secara
efektif. Semua tahu, kalaupun ada, jaringan ini jumlahnya tidak banyak. Jadi, program
deradikali diarahkan saja pada kelompok kecil ini. Sudah banyak ustadz dan kiai yang siap
diajak bekerja sama untuk mendekati kelompok ini. Oleh sebab itu, program ini tidak perlu
secara membabi-buta ditembakkan ke pesantren-pesantren pada umumnya dengan
mengintervensi kurikulum dan lainnya. Justru dengan tindakan membabi buta seperti ini,
masyarakat menjadi semakin yakin bahwa penangan terorisme tidak sungguh-sungguh untuk
meradam teror, melainkan untuk “menghantam umat Islam”.
Efek dari ketidakpercayaan ini dapat dilihat di media sosial. Setiap ada peristiwa
penangkapan terduga teroris sebagian besar ditanggapi secara nyinyir, bukan diapresiasi
sebagai tindakan heroik menyelamatkan masyarakat. Kasus “Bom Panci” yang hampir
berbarengan dengan bom di Turki dan Mesir justru malah jadi bahan bercandaan dan
gunjingan masyarakat. Wibawa pemerintah bukan semakin naik, malah terus terjun bebas
entah ke level berapa. Ini bukan yang pertama kali. Kasus-kasus penangkapan Siyono,
penggerebekan Bekasi, Solo, Bandung, Majalengka, dan sebagainya malah semakin
memperburuk citra pemerintah dalam penanganan terorisme. Kalau penanganan terhadap
pemerintah Indonesia terhadap terorisme masih seperti ini, hampir bisa dipastikan bahwa
pemerintah akan semakin hilang wibawa dan terorisme-nya sendiri tidak akan tertangani
dengan baik dan menentramkan masyarakat.

Derita Korban Perang Suriah


Belum selesai berita duka Turki kami dengar, tiba-tiba malam hari selepas penutupan
seminar pada tanggal 12 Desember, kami dikejutkan lagi dengan kabar jatuhnya sisa kawasan
Aleppo yang masih belum dikuasai tentara Bashar Asad yang disokong Rusia dan Iran. Soal
politiknya tentu saja debatable. Pendukung Bashar dan Iran yang umumnya orang-orang
Syiah dan liberal pasta akan mengatakan ini adalah kemenangan yang layak bagi Bashar.
Orang-orang yang secara objektif mengikuti politik kelurga Asad (sejak Hafezh Asad hingga
Bashar) di Suriah yang sekuler, anti-Islam, dan despotik (menindas) melihat bahwa
munculnya para mujahidin yang mengangkat senjata melawan Asad adalah suatu kewajaran
belaka untuk menantang kezhaliman rezim. Rakyat Suriah pun terpecah antara pendukung
dan penentang Asad. Para pendukungnya diperlakukan istimewa, sementara yang menentang
ditendang dan dinista hingga harus angkat kaki dari kampungnya sendiri. Bagaimanapun
situasi politik di Suriah, namun kejatuhan sisa kawasan Aleppo ini untuk kesekian puluh
kalinya menyisakan duka amat mendalam.
Senjata yang dijatuhkan tentara Asad dan Rusia sangat membabi buta. Bukan para
tentara lagi yang diserang. Senjata-senjata pemusnah masal yang dijatuhkan dari atas langit
Aleppo menyasar warga sipil. Ratusan ribu anak, wanita, orang tua jompo, dan penduduka
sipil yang tidak ikut menjadi pasukan perang menjadi korban. Ribuan rumah penduduk,
sekolah, rumah sakit, pasar, dan fasiltas umum lainnya juga tidak luput menjadi korban.
Alhasil kengerian akibat serangan terakhir ini sangat dahsyat dan berhasil memukul mundur
tentara Mujahidin dari Aleppo Timur ini. Dengan kemenangan ini Basyar menyempurnakan
penguasaannya atas seluruh kawasan Aleppo. Lagi-lagi rakyat yang tidak mendukung Asad
diintimidasi dan memilih untuk meninggalkan kampung halamannya. Beruntung Turki di
bawah Erdogan tidak menyulitkan mereka untuk masuk ke kawasan kekuasaannya yang
memang berbatatasan langsung dengan Suriah.
Konflik di Suriah ini semula hanyalah gerakan demonstrasi yang berusaha menuntut
Rezim turun dari kekuasaannya, tapi akhirnya berubah menjadi perang yang melibatkan
banyak faksi. Demonstrasi damai rakyat yang menuntut Presiden Bashar Asad mundur tiba-
tiba dibalas secara brutal oleh tentara Asad yang menembaki para demonstran secara
membabi-buta. Mula-mula demonstrasi sekelompok anak muda di kota Dar’a dibubarkan gas
air mata dan tembakan. Satu orang menjadi korban. Beberapa hari berikutnya 17 orang
sekaligus meninggal akibat tembakan tentara Asad. Setelah itu demontsrasi dan protes di
berbagai kota terhadap Asad tidak bisa dibendung. Anehnya responnya tetap sama: ditembaki
hingga jatuh korban dalam jumlah yang sangat banyak. Dalam satu bulan saja, telah jatuh
korban lebih dari 300 warga sipil yang berdemonstrasi. Akhirnya, medan demonstrasi
berubah menjadi medan pembantaian rezim Asad. Tidak heran bila para demonstran akhirnya
memilih jalan perang karena rezim yang semakin sewenang-wenang. Pecahlah Perang Suriah
yang hingga kini terus berlangsung.
Sebelum datangnya pasukan-pasukan milisi, perlawanan rakyat sebetulnya disokomg
oleh kalangan sebagian kecil tentara Asad yang masih punya hati nurani ikut membela rakyat.
Kemudian secara bergelombang masuk berbagai milisi yang tergerak hati untuk membela
rakyat dari kekejaman rezim Asad. Pasukan Jabhah Nusrah (kemudian berubah menjadi
Jabhah Fath Syam), Ahrar Syam, Milisi Kurdi, hingga kelompok ISIS ikut turun dalam
pertempuran ini hingga pertempuran menjadi asimetris. Keluranya pasukan-pasukan milisi
bersenjata ini juga menarik perhatian hadirnya “tamu tak diundang” kekuatan negara-negara
adidaya dan negara-negara sekitar yang berkepentingan untuk ikut mendulang untung dari
konflik Suriah.
Tidak mengherankan bila kemudian datang Iran dan Rusia ikut mendukung Asad.
Selain asad masih berpengaruh dan kuat di beberapa kawasan, mendukung Asad pasti akan
dapat menguntungkan mereka. Minimal mereka bisa berjualan senjata kepada Asad.
Selebihnya konsesi politik apabila mereka menang juga pasti menggiurkan. Amerika juga
tidak mau ketinggalan. Untuk mendapat keuntungan maksimal, tentu Amerika harus mencari
mitra strategis lain. Kelihatannya Jabhah Fath Syam dan Ahrar Syam menjadi mitra Amerika.
Turki juga secara langsung harus ikut dalam pertarungan ini karena kawasannya langsung
berbatasan dengan Suriah. Dukungan Turki mengalir paling besar ke Ahrar Syam; begitu juga
dukungan Saudi dan Qatar. Kurdi juga kelihatannya mendapatkan bantuan negara-negara lain
yang berkepentingan hanya tidak spesifik. Kemungkinan Amerika juga ada di belakangnya.
Mencermati perkembangan politiknya, memang konflik di Suriah ini amat rumit.
Perang sudah berubah menjadi asimetris. Tidak jelas siapa lawan siapa. Belum lagi
kedatangan “tamu-tamu” asing yang sengaja diundang atau tidak semakin menambah
kerumitan peta konflik di Suriah. Bahkan, medan perang Suriah pun berubah menjadi medan
perang proxy. Pihak-pihak yang berperang di lapangan bisa jadi bukan pemilik kepentingan
yang sesungguhnya. Entah siapa yang mengendalikan dan berusaha mengambil untung dari
perang ini. Penguasa yang bertahta resmi pun sudah berubah bak boneka; tidak memiliki
indepensi lagi dan tidak rela berkorban demi kepentingan rakyatnya yang lebih luas.
Kekuasaan masih lebih dicintainya, daripada kepentingan umum. Akibatnya, korban yang
paling menderita adalah rakyat.
Di hadapan mata dunia, Perang Suriah yang sudah berlangsung selama lebih dari empat
tahun ini sudah menyebabkan banyak sekali duka dan nestapa yang amat dalam bagi
kemanusiaan. Saat pertama kali jatuh korban pun dunia amat menyayangkannya. Seandainya
pun kita berusaha tutup mata atas tindakan gelap matanya Asad, terhadap korban perang kita
tidak bisa melakukan itu. Saat ini jumlah korban meninggal sudah hampir tidak terhitung,
apalagi di kalangan rakyat sipil. Perang sudah tidak mengenal lagi mana tentara mana sipil.
Semua dilibas, terutama oleh tentara Asad bersama koalisi Iran dan Rusia yang ada di
belakangnya. Sebab, mereka yang paling punya alasan untuk membunuh rakyat sipil yang
dianggap melakukan makar terhadap Rezim. Anadolu Agancy memperkirakan hingga tahun
2016 ini jumlah korban sipil meninggal sekitar 235.140. Jumlah kematian tertinggi di Aleppo
(71.000), kemudian di Damaskus (67.000), Idlib (36.000), dan Daraya (28.000), sisanya
tersebar di berbagai kota lain. Hitungan ini tentu saja hitungan kasar yang masih sangat
mungkin bertambah angkanya, apalagi setelah jatuhnya Aleppo Timur 12 Desember 2016
lalu. Setelah jatuhnya Aleppo Timur korban diperkirakan mencapai angkat 312.000.
Jumlah korban sipil ini tentu ada efek lanjutannya, yaitu ratusan ribu anak menjadi
yatim dan perempuan menjadi janda. Sisanya yang lain yang masih punya kesempatan untuk
menyelamatkan diri dan tidak ingin terlibat dengan perang memilih untuk mengungsi.
Dilaporkan dari 24,5 juta penduduk Suriah, kini tersisa sekitar 18 juta saja. Selain yang
menjadi korban jiwa, sekitar 6 juta warga Suriah memilih meninggalkan kampung halaman
mereka. Di Turki saja yang terdata ada sekitar 3 juta pengungsi Suriah yang ditampung
Erdogan dan dibuatkan flat-flat dalam jumlah besar di sepanjang perbatasan Turki-Suriah
seperti di Provinsi Gaziantep dan Iskanderun. Jerman menampung ratusan ribu pengungsi.
Sisanya yang lain tersebar di berbagai negara, baik di Timur Tengah maupun di Eropa. Dari
18 juta yang masih ada di dalam Suriah pun sekitar 4,5 juta hidup dalam situasi yang sangat
sulit karena diblokade Rezim Asad. Mereka tidak bisa melakukan banyak hal, karena akses
ekonomi yang sangat sulit dan dibatasi. Akan tetapi, untuk keluar pun tidak bisa karena selalu
diancam untuk dibunuh bila keluar kawasan.
Situasi bertambah buruk ketika pemerintah menguras anggaran negara sebagian besar
untuk perang. Ekonomi turun drastis. Hampir tidak ada pembangunan. Bahkan kawasan yang
tadinya sangat maju secara ekonomi seperti Aleppo, saat ini menjadi seperti kota mati dengan
sirkulasi ekonomi yang sangat rendah. Alhasil, angka pengangguran pun bertambah tinggi.
Lapangan pekerjaan semakin sempit. Kini sekitar 70 persen penduduk Suriah hidup dalam
kemiskinan dan terancam kelaparan. Inilah yang semakin memotivasi penduduk Suriah untuk
keluar dari negerinya sendiri mencari penghidupan baru di negeri orang. Turki menjadi
tempat paling dekat dan paling diburu.
Sebaris dengan itu, pendidikan anak-anak pun terancam terbengkalai. Sekitar 1 juta
orang anak putus sekolah selama masa perang. Ratusan ribu anak-anak lain yang seharusnya
bersekolah tidak bisa mendapatkan sekolah karena sekolahnya yang hancur atau ditinggalkan
oleh guru-guru mereka. Sebagian lain disebabkan tidak memiliki biaya untuk bersekolah.
Sistem pendidikan di Suriah hancur berantakan gara-gara perang ini. Ini bahaya yang lebih
mengerikan bagi masa depan bangsa Suriah. Inilah derita yang tengah dialami saudara-
saudara kita di Suriah.

Menjenguk Korban dan Merasakan Penderitaan


Bersama-sama dengan para relawan Sahabat Suriah dan Sahabat Al-Aqsha, saya yang
mewakili Pusat Zakat Umat Persis menyampaikan bantuan untuk saudara-saudara Muslim
kita di Palestina dan Suriah, berkesempatan untuk langsung datang menemui korban-korban
Perang Suriah yang mengungsi di Turki. Perjalan kali ini diarahkan menuju kawasan Turki
sebelah timur yang berbatasan langsung dengan Idlib, Suriah. Kawasan ini bernama
Raihaniyah (Rayhanli) yang berada di Provinsi Iskanderun. Di provinsi ini juga terdapat kota
tua Antokya (Antioch) yang pernah menjadi salah satu pusat kekuatan Romawi Timur selain
Konstantinopel (Istanbul). Jarak dari pusat kota Antokia ke pantai Laut Mediterania hanya
sekitar 20 km. Artinya kota ini sangat mudah diakses dari kota-kota di Eropa yang satu garis
pantai seperti Prancis dan Italia.
Untuk sampai di Rayhanli, dari Istanbul menggunakan pesawat sekitar 2 jam menuju
bandar udara Hatay. Dari bandara berjarak sekitar 40 km ditempuh melalui darat. Di bandara
rombongan dijemput oleh Abu Usamah penanggungjawab operasional Al-Sarra Foundation
Istanbul untuk penanganan pengungsi Suriah di Turki. Sebelum sampai ke Rayhanli,
Rombongan diperknankan menemui salah seorang ulama asal Palestina yang kini ditugaskan
oleh Persatuan Ulama Palestina di Luar Negeri untuk membina para pengungsi Suriah di
kawasan ini. Beliau adalah Syekh Abu Bakar Al-Awaidah. Kedua matanya sudah tidak bisa
digunakan lagi untuk melihat akibat luka saat ikut berperang di Palestina pada masa lalu.
Namun, semangatnya dalam membina umat sangat luar biasa. Setiap hari ia menemui banyak
komunitas pengungsi untuk memberikan nasehat dan arahan-arahan ruhiyah kepada mereka.
Beliau tinggal di perbatasan antara Rayhanli dan Antokya Dalam menjalankan tugas-tugasnya
ini dibantu juga seorang da’i asal Suriah Syaikh Abu Abdurrahman.
Dengan sangat ramah kami diterima di rumahnya. Selain disuguhi masakah khas
Palestina, kami juga dibekali nasihat yang amat berharga untuk dibawa ke Indonesia. Di
antara nasihatnya yang paling penting adalah bahwa di atas semua bentuk perjuangan, bahkan
politik dan perang sekalipun, yang paling utama adalah “pendidikan Islam” (tarbiyah
Islâmiyah). Kekuatan umat Islam yang sesungguhnya bukan ada pada kekuasaan politik,
senjata canggih, atau kekayaan yang tiada kira. Kekuatan umat Islam itu yang paling utama
adalah “pertolongan Allah Swt.” Tidak ada kekuatan apapun yang mampun menyaingi
kekuatan Allah Swt. Hanya saja, pertolongan Allah Swt. ini tidak akan turun kepada
hambanya yang tidak beriman pada Allah Swt., tidak mengenal-Nya, tidak mengibadahi-Nya,
dan tidak berusaha sekuat tenaga untuk berjihad menolong agama-Nya dengan segala sumber
daya yang dimilikinya.
Datangnya pertolongan Allah Swt. ini disebabkan keimanan dan ketakwaan yang kokoh
dalam diri setiap Muslim dan diwujudkan amal terbaik yang dilakukan setiap Muslim. Tanpa
usaha seperti ini tidak mungkin akan datang pertolongan Allah Swt. Orang-orang kafir tidak
pernah punya harapan dari Allah Swt. Mereka hanya mengandalkan kekuatan lahiriyah yang
mereka milik belaka seperti kekuasaan, senjata, dan kekayaan. Walaupun di hadapan manusia
terlihat kuat dan menakjubkan, akan tetapi justru di hadapan Allah Swt. sangat kecil dan
lemah. Oleh sebab itu, sebelum apapun yang harus diperkuat adalah pendidikan umat;
pendidikan yang akan mengarahkan umat agar lebih taat dan takwa pada Allah Swt. pada
awal mulanya baru kemudian pendidikan yang mengarahkan umat pada tugas-tugas
kemanusiaannya di dunia.
Nasihat ini terasa sangat luar biasa bagi kami di Indonesia yang juga menghadapi
kepongahan penguasa yang hampir dilanda penyakit Islamophobia. Kami dinasihati untuk
tetap optimis menjemput kemenangan perjuangan Islam di manapun kami berada. Tugas kita
memang hanyalah tetap bersabar dalam amal dan tetap memohon pertolongan Allah Swt.
Sisanya Allah Swt. yang menentukan segalanya, termasuk kemenangan dan kekalahan kaum
Muslim.
Selepas bersilaturhami ke rumah Syaikh Abu Bakar Al-Awaidah, kami sampai sekitar
bada Isya waktu setempat dan istirahat di kantor yayasan Al-Sarra di Rayhanli. Kantor ini
sengaja didesain sekaligus untuk tempat menginap tamu-tamu dari jauh. Kantor ini jangan
dibayangkan kantor megah. Kantor ini hanyalah satu kamar flat sederhana di tengah
perkampungan di Rayhanli. Walaupun sederhana, tapi proyek-proyek yang digarap sangat
penting. Menusuknya musim dingin dengan suhu -4 sd 2 derajat disertai hujan hampir tidak
berhenti sepanjang malam mengantarkan istirahat kami.
Keesokan harinya kami diajak menemui anak-anak yatim yang ternyata jumlahnya
ribuan di kawasan ini. Karena banyaknya jumlah para pengungsi, kawasan di ujung timur
Turki yang tadinya sangat sepi kini menjadi sangat rami. Lebih dari 2/3 penduduknya adalah
pengungsi Suriah. Tentu tidak semua anak yatim bisa kami sambangi. Hanya sebagian kecil
saja sekedar menyambung silaturahmi dan menyampaikan amanah umat yang tidak seberapa
jumlahnya. Beruntung bukan hanya kami yang peduli pada mereka. Ratusan atau bahkan
ribuan lembaga kemanusiaan lain di seluruh dunia juga menaruh perhatian yang sama. Di
sinilah indahnya persaudaraan iman yang telah ditautkan langsung oleh Allah Swt. Dari
pengalaman ini saja kita bisa memetik pelajaran bahwa sepanjang kita beriman pada Allah
Swt., maka saudara-saudara seiman kita yang dipersaudarakan Allah Swt. pasti akan siap
membantu ketika kita dirundung duka.
Selesai menemu anak-anak Yatim, Abu Usamah mengajak kami menemui korban luka-
luka akibat terkena peluru, bom, reuntuhan bangunan, dan sebagainya. Kami hampir tidak
kuat melihat luka-luka yang mereka alami, padahal kami hanya diajak melihat 1 flat yang
berisi 25 orang yang terluka. Di Rayhanli ada lebih dari 300 orang korban luka-luka yang
dirawat dari segala usia. Korban yang kami temua semuanya berasal dari kota Daraya, tempat
pertama kali insiden pembantaian oleh tentara Asad terjadi. Dari tempat ini kami belajar
betapa memilukan efek yang ditimbulkan oleh perang ini. Ada anak muda yang lengannya
patah, kakinya hanya tinggal tulang, tulang rusuk patah, dan sebagainya. Kami bersyukur
Indonesia masih dijauhkan dari perang oleh Allah Swt.
Rupanya yang sudah dibantu oleh saudara-saudara kita bukan hanya mengurusi anak-
anak yatim dan yang luka-luka akibat perang. Para pengungsi ini terdiri atas anak-anak muda
usia produktif, laki-laki dan perempuan, yang tentu saja tidak bisa selamanya hidup
bergantung dari belas kasihan orang lain. Tahun 2016 dan 2017 ini, Sahabat Suriah
membiayai sebuah lembaga kursus yang secara khusus hanya mengajarkan berbagai
keterampilan bagi anak-anak muda pengungsi Suriah. Keterampilan yang diajarkan antara
lain: bahasa Turki; servis alat-alat elektronik seperti HP, AC, dan televisi; mengemudi, dan
lainnya. Keterampilan praktis ini sangat penting bagi para pengungsi yang akan terjun hidup
di tanah orang lain, yaitu di Turki.
Selain hal-hal praktis semacam ini, bantuan yang dihimpun Sahabat Suriah dari
berbagai kalangan juga digunakan untuk proyek strategis seperti pendirian madrasah Al-
Quran yang sangat penting untuk mengajarkan agama sejak dini kepada anak-anak pengungsi
ini. Sebagian lain digunakan juga untuk memberikan beasiswa kuliah anak-anak muda Suriah
dan Palestina yang cerdas-cerdas. Ada yang dikuliahkan jurusan teknik, kedokteran, ekonomi,
politik, dan dirosah islamiyah. Umumnya mereka dikuliahkan di negara-negara berbahasa
Arab seperti Sudan, Mesir, dan Yordania. Diharapkan proyek-proyek ini di masa yang akan
datang dapat mempersiapkan SDM-SDM yang mumpuni bagi kemajuan bangsanya sendiri
dan umat Islam pada umumnya.
Melihat bagaimana umat Islam dari seluruh belahan dunia saling membantu saudaranya
seiman secara ikhlas, tidak mengharapkan apapun selain perkenan Allah Swt., rasanya umat
Islam tidak perlu banyak kekawatiran akan masa depan mereka. Persaudaraan yang erat atas
nama iman ini juga semestinya melahirkan kesadaran kemestian persaudaraan ini terjalin
pada level yang lebih tinggi, yaitu antar-negara Islam. Kalau antar-penguasa Muslim sudah
saling membantu, maka umat Islam tidak akan perlu lagi mengemis-ngemis bantuan ke
Amerika, China, Rusia, Inggris, Prnacis, dan negara kafir manapun yang hanya akan semakin
melemahkan umat Islam. Sudah saatnya umat Islam bangkit di atas kakinya sendiri; di atas
kekuatan yang dasarnya adalah ketakwaan dan keimanan pada Allah Swt. Wallâhu A’lamu bi
Al-Shawwâb.

Anda mungkin juga menyukai