Anda di halaman 1dari 3

Sekilas tentang Hak Kekayaan Intelektual Indonesia

Artikel ini membahas:

1. definisi dan pentingnya HKI;


2. ruang lingkup HKI;
3. sekilas sejarah HKI Indonesia;
4. perdebatan mengenai HKI; dan
5. perangkat HKI Indonesia.

Sebelum memasuki topik entertainment law, satu hal yang harus dipahami dengan baik adalah Hak Kekayaan
Intelektual (HKI), atau Intellectual Property Rights dalam Bahasa Inggris. HKI merupakan dasar dari seluruh
peraturan terkait perlindungan suatu ciptaan yang pernah anda dengar (selain hukum perdata dan ilmu
perundang-undangan tentunya). Dalam post ini, kami akan membahas HKI secara singkat supaya anda memiliki
bayangan yang lebih jelas akan topik-topik lain yang akan dibahas ke depannya.

Sayangnya, HKI itu sulit untuk didefinisikan, meskipun praktiknya dapat diuraikan secara umum. Intinya, kita
sebagai manusia, memiliki imajinasi yang mampu menuntun kita untuk mewujudkan suatu ciptaan kreatif, dan
ciptaan kita ini dihargai dan untuk itu dilindungi oleh HKI. Tentunya sebagai pencipta, kita tidak ingin orang
lain menggunakan ciptaan kita begitu saja, tanpa membawa keuntungan untuk kita, itulah mengapa HKI
menjadi penting.

Lantas, apa saja yang termasuk di dalam dan dapat dilindungi oleh HKI? Menurut Tim Lindsey dkk dalam
bukunya Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar:

Hukum HaKI sering menampung mengenai apa yang muncul dan selalu berubah-ubah dan mengatur antara apa
yang dapat dan apa yang tidak dapat dilindungi. Oleh karena itu, hukum HaKI adalah satu dari cabang hukum
yang paling banyak dikritik.

Pada dasarnya, HKI terbagi menjadi dua bidang, yaitu Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. HKI Indonesia
sendiri meliputi hal-hal berikut:

1. Hak Cipta dan Hak Terkait, yang melindungi ciptaan di bidang ilmu pengtahuan, seni, dan sastra,
misalnya buku, program komputer, ceramah, kuliah, pidato, lagu atau musik dengan atau tanpa teks,
drama atau drama musikal, koreografi tari, seni rupa dalam segala bentuk, arsitektur, peta, fotografi,
sinematografi, bahkan hingga terjemahan dan karya lain dari hasil pengalihwujudan; dan
2. Hak Kekayaan Industri, yang terdiri dari:
1. paten, yaitu hak eksklusif yang diberikan kepada inventor untuk melindungi idenya yang
dituangkan untuk pemecahan masalah di bidang teknologi, baik berupa proses atau produk,
atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses, contohnya teknik pondasi cakar
ayam yang ditemukan oleh Ir. Sedijatmo dan digunakan untuk pembangunan Bandara Juanda;
2. merek, yang mengacu pada tanda berupa gambar, nama, huruf, angka, susunan warna atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut dan mempunyai daya pembeda dalam bidang
perdagangan barang dan/atau jasa, yang dapat terdiri dari merek dagang, merek jasa, maupun
merek kolektif, misalnya merek Starbucks yang membedakannya dengan merek Coffee Bean
untuk dagangan yang serupa;
3. rahasia dagang, informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau
bisnis, di mana mempunyai nilai ekonomis karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga
kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang, yang meliputi metode produksi, metode
pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis, yang
memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum. Contohnya rahasia
dagang atas resep makanan suatu restoran;
4. desain industri, yang mengacu pada kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis
atau warna, atau garis dan warna, atau gabungannya, baik dalam bentuk tiga dimensi atau dua
dimensi yang memberi kesan estetis dan dapat diwujudkan, atau menghasilkan suatu produk.
Misalnya desain handphone Apple;
5. indikasi geografis, yang merupakan suatu tanda yang menunjukkan daerah atau asal suatu
barang yang karena faktor lingkungan geografis memberikan ciri dan kualitas tertentu pada
barang yang dihasilkan. Contohnya indikasi geografis terhadap kopi Kintamani;
6. tata letak (topografi) sirkuit terpadu, yaitu kreasi berupa perancangan peletakan tiga dimensi
dari berbagai elemen, dengan minimal satu elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya
tergabung dalam suatu sirkuit terpadu, yang merupakan barang jadi atau setengah jadi, yang
tergabung dalam sebuah bahan semi konduktor dengan maksud menghasilkan fungsi
elektronik;

dan juga mencakup perlindungan informasi rahasia serta kontrol terhadap praktik persaingan usaha
tidak sehat dalam perjanjian lisensi.

Sebagai catatan, blawg ini mengkhususkan diri pada entertainment law, sehingga tidak semua jenis HKI di atas
akan ditemukan dalam topik-topik berikutnya. Dan ya, sebagian besar akan berputar di sekitar Hak Cipta.

Demi kemantapan perspektif, ada baiknya dibahas juga sedikit mengenai sejarah singkat HKI di Indonesia. Pada
awalnya, konsep HKI adalah sesuatu yang diwariskan kepada kita oleh hukum Belanda. Kemudian, pada tahun
1994, Indonesia bergabung dengan World Trade Organization (WTO), yang mana keanggotaan tersebut diikuti
oleh kewajiban untuk mengikuti peraturan yang terdapat dalam Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPs), yang memuat berbagai norma dan standar perlindungan bagi karya-karya
intelektual berikut dengan pengaturan pelaksanaan hukum di bidang HKI. Indonesia pun diberi waktu untuk
membenahi peraturan perundang-undangannya supaya mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
TRIPs, yang notabene cukup ketat.

Kewajiban mengikuti TRIPs ini berlaku bagi seluruh negara anggota WTO. Tidak heran jika kemudian
‘paksaan’ ini menimbulkan perdebatan, terutama antara negara-negara maju dan berkembang. Negara-negara
berkembang berpendapat bahwa HKI hanya menguntungkan negara maju sebagai eksportir kekayaan
intelektual. Contoh sederhana, yang sesuai dengan tema blawg, adalah lihat saja kebesaran industri musik, film,
maupun sastra di negara maju oleh karena kemajuan teknologi mereka. Negara berkembang khawatir bahwa
penerapan HKI yang ketat justru akan membuat harga royalti dan lisensi makin mahal, dan negara-negara
berkembang banyak yang belum mampu untuk membayarnya.

Sebaliknya, negara-negara maju berpendapat bahwa justru negara-negara berkembang harus menerapkan HKI
yang ketat supaya terdapat jaminan akan perlindungan suatu ciptaan, sehingga para penduduknya merasa aman
dan termotivasi untuk berkarya sebanyak-banyaknya, di mana kelak hal tersebut juga akan mendatangkan
pemasukan bagi masyarakat negara berkembang. Jika hal itu sudah terjadi, ke depannya, negara-negara
berkembang pun akan mampu bersaing dengan negara-negara maju.
Semakin kami ikuti perdebatan ini, semakin kami menyimpulkan bahwa hal ini tidak ada bedanya dengan
situasi ‘telur atau ayam’. Mau tidak mau, kedua kutub argumen ada benarnya. Kemudian, pertanyaan
selanjutnya adalah lebih baik kita menerapkan HKI atau tidak? Kami bilang iya, karena lebih banyak untungnya
daripada ruginya. Betul, kita tertatih-tatih pada awalnya, namun buahnya manis nantinya ketika insan kreatif
Indonesia bisa berkarya tanpa khawatir ciptaannya mudah dicuri. Mengutip Tim Lindsey dkk lagi:

1. kerugian yang ditimbulkan dari penerapan HKI itu bersifat sementara. Jika penerapan HKI sudah
optimal, nantinya kerugian tersebut akan berubah menjadi keuntungan bagi Indonesia;
2. seluruh negara WTO sudah sepakat untuk menerapkan HKI dengan segala konsekuensinya, sehingga
menolak kehadirannya justru akan merugikan kita; dan
3. HKI sudah menjadi standar internasional.

Penerapan HKI ini cukup dilematis memang, tapi kita ambil baiknya saja. Sampai saat ini, Indonesia sudah
memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur soal HKI. Salah satunya yang akan banyak
disinggung dalam blawg ini adalah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Selain itu,
pemerintah juga membina praktik HKI melalui Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual di Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam blawg ini, kami akan membahas mengenai praktik entertainment law
dalam kaitannya dengan hukum di Indonesia, salah satunya HKI. Dengan meluasnya pengenalan konsep ini,
diharapkan seniman-seniman Indonesia menjadi lebih bergairah untuk berkarya, karena tahu karyanya
dilindungi.

Anda mungkin juga menyukai