Anda di halaman 1dari 15

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Bp. M.I
Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : langsa lama
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Suku : Aceh
Status : belum menikah
Tanggal pemeriksaan : 23 juli 2018

1.2 Anamesis
Keluhan utama : Timbul bintil-bintil merah kecil dan bersisik dikepala
sejak kurang lebih 3 minggu yang lalu.

Keluhan tambahan : Gatal dan rambut rontok sejak lebih kurang 1 minggu
yang lalu.

Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke RSUD Langsa dengan keluhan


timbul bintil-bintil merah kecil dan terasa sangat gatal.
Os mengatakan apabila terkena sinar matahari gatal-
gatal semakin hebat sehingga os menggaruk-garuk
kepalanya hingga banyak timbul putih-putih seperti
ketombe. Os juga merasa kalau rambut kepala yang
terasa gatal juga rontok dan seperti botak dibagian
tersebut, sehingga os memotong pendek semua rambut
kepalanya.

Riwayat penyait dahulu : Os belum pernah menderita penyakit yang seperti ini
sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit
yang serupa seperti os.

1.3 Status Dermatologis


1.4 Resume
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Alamat :
Agama :
Suku :
Status :
Tanggal pemeriksaan :

TINEA KAPITIS
PENDAHULUAN

Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit kepala yang disebabkan oleh jamur
dermatofit. Tinea kapitis biasanya terjadi terutama pada anak – anak, meskipun ada juga
kasus pada orang dewasa yang biasanya terinfeksi Trichophyton tonsurans. Tinea kapitis juga
dapat dilihat pada orang dewasa sengan AIDS. Tinea kapitis dapat dibagi menjadi berbagai
tipe yaitu: meradang, tidak meradang, black dot, dan tinea favus.

Infeksi jamur dapat superfisial, subkutan dan sistemik, tergantung pada karateristik
dari host. Dermatofita merupakan kelompok jamur yang terkait secara taksonomi.
Kemampuan mereka untuk membentuk lampiran molekul keratin dan menggunakannya
sebagai sumber nutrisi memungkinkan mereka untuk berkoloni pada jaringan keratin, masuk
kedalam stratum korneum dari epidermis, rambut, kuku dan jaringan pada hewan. Infeksi
superfisial yang disebabkan oleh dematofit yang disebut dermatofitosis, dimana
dermatomikosis mengacu pada infeksi jamur (Fitzpatrick, 2008).

Banyak cara untuk mengklasifikasikan jamur superfisial, tergantung habitat dan pola
infeksi. Organisme geofilik berasal dari tanah dan hanya sesekali menyerang manusia,
biasanya melalui kontak langsung dengan tanah. Infeksi jamur biasanya disebarkan oleh
spora yang mana dapat bertahan hidup untuk satu tahun ataupun lebih pada selimut dan
barang-barang yang terbuat dari kain. Infeksi didapatkan dari organisme dermatofita yang
nantinya menyebabkan proses inflamasi. Microsporum canis merupakan pathogen umum
yang dapat dikultur dari tubuh manusia, dan bersifat lebih virulen dibandingkan organisme
lain yang hidup di tanah (Fitzpatrick, 2008).
Latar belakang penulisan referat ini ditujukan untuk mengetahui pola penyebaran
infeksi tinea kapitis. Penyebaran infeksi tinea kapitis dapat disebarkan oleh spesies zoofilik,
geofilik, dan antropofilik. Spesies zoofilik umumnya ditemukan di tubuh binatang, tetapi
ditransmisikan ke tubuh manusia. Binatang maupun hewan peliharaan merupakan sumber
utama infeksi di daerah perkotaan (contoh: M.canis pada anjing dan kucing). Transmisi dapat
terjadi melalui kontak langsung dengan binatang yang spesifik atau secara tidak langsung
ketika rambut binatang yang terinfeksi terbawa di baju atau terdapat pada gedung atau
makanan yang terkontaminasi. Daerah yang terekspos seperti kulit kepala, jenggot, muka,
dan tangan merupakan daerah favorit untuk organisme jamur tersebut Dermatofita yang
meradang biasanya disebabkan oleh infeksi yang disebabkan organisme zoofilik (Fitzpatrick,
2008).
Spesies antropofilik merupakan organisme yang sudah beradaptasi terhadap manusia
sebagai host-nya. Tidak seperti zoofilik sporadik dan infeksi zoofilik, spesies antropofilik
lebih endemis di lingkungan. Mereka ditransmisikan dari orang ke orang melalui kontak
langsung. Infeksi yang disebabkan oleh spesies antropofilik dapat bervariasi mulai dari yang
asimtomatik sampai yang mempunyai tingkat virulensi tinggi (Fitzpatrick, 2008).
Adapun pengobatan tinea dapat diberikan terapi topikal berupa selenium sulphide,
povidone iodine, atau ketokonazol, maupun terapi sistemik dengan griseofulvin (Andrews,
2006; Fitzpatrick, 2008).
Penulisan referat ini terutama ditujukan untuk me-review kajian mengenai tinea
kapitis.

EPIDEMOLOGI

Insiden tinea kapitis masih belum diketahui, tetapi biasanya ditemukan pada anak
berusia 3 tahun sampai 14 tahun. Penyakit ini jarang terjadi pada orang dewasa. Tinea kapitis
banyak ditemukan pada anak-anak keturunan Afrika, akan tetapi belum diketahui kenapa hal
tersebut dapat terjadi. Transmisi meningkat dengan berkurangnya higienitas personal, daerah
tempat tinggal yang padat, dan status sosial ekonomi rendah. Organisme penyebab tinea
kapitis dapat dikultur dari beberapa benda yang menjadi sarang organisme tersebut seperti:
sisir, topi, bantal, mainan, dan tempat duduk bioskop. Bahkan setelah disisir, rambut masih
dapat menyimpan berbagai organisme yang menyebabkan infeksi dalam waktu lebih dari 1
tahun. Pasien dengan carrier simtomatik sering ditemukan, dan hal tersebut menyebabkan
tinea kapitis sulit untuk dieradikasi (Fitzpatrick, 2008; Hryncewicz-Gwozdz dkk, 2011).

ETIOLOGI

Dermatofit ektotrik biasanya menginfeksi pada perifolikuler stratum korneum,


menyebar ke seluruh dan ke dalam batang rambut dari bagian medial sampai bagian distal
rambut sebelum turun ke folikel untuk menembus folikel rambut dan diangkut keatas pada
permukaannya. Dan biasanya disebabkan spesies dermatofita seperti golongan Trichophyton
dan Microsporum (Andrews, 2006; Fitzpatrick, 2008).

Tabel 1. Organisme yang berhubungan dengan tinea kapitis (Fitzpatrick, 2008).


Meradang Tidak meradang Black Dot Favus
M.audouinii M.audouinii T.tonsurans M.gypseum
M.canis M.canis T.violaceum T.schonleinii
M.gypseum M.ferrugineum T.violaceum
M.nanum T.tonsurans
T.mentagrophytes
T.scholeinii
T.tonsurans
T.verrucosum

Spesies tersering yang menyebabkan tinea kapitis tipe meradang dan tipe tidak
meradang adalah M.audounii. T.tonsurans menjadi penyebab utama terjadinya tinea kapitis
tipe black dot dan M.gypseum menyebabkan terjadinya tinea favus.

PATOFISIOLOGI

Periode inkubasi dari tinea kapitis antropofilik adalah 2 sampai 4 hari, meskipun pada
periode ini carrier asimtomatik masih dapat terjadi. Hifa tumbuh kearah bawah menuju
folikel, pada permukaan rambut, dan hifa intrafolikular dipecah menjadi rantai spora. Hal
tersebut merupakan periode penyebaran (4 hari sampai 4 bulan) yang terjadi selama lesi
membesar dan muncul lesi baru. Sekitar 3 minggu rambut mulai lepas sekitar beberapa
millimeter diatas permukaan kulit. Di dalam rambut, hifa turun ke bagian atas zona
keratogenus dan pada zona inilah Adamson “fringe” terbentuk pada hari ke 12. Tidak
terdapat lesi baru muncul selama periode refraktori (4 bulan sampai beberapa tahun).
Tampilan klinis tampak tidak berubah, dengan host dan parasit dalam keadaan yang
seimbang. Hal ini diikuti dengan periode involusi yang mana pembentukan spora mulai
berkurang. Infeksi fungal zootik mempunyai reaksi inflamasi yang lebih tinggi, tetapi
mempunyai fase evolusi yang sama (Welsh dkk, 2006; Fitzpatrick, 2008).
Dermatofita ektotrik tipikal biasanya muncul sebagai infeksi yang menyerang
perifolikular stratum korneum, meluas ke daerah sekitarnya dan menuju mid-to-late-anagen
sebelum turun ke folikel untuk masuk kedalam folikel rambut. Artrokonidia kemudian
mencapai kortek dari rambut dan ditransportasikan ke atas permukaan rambut. Secara
mikroskopis, hanya artrokonidia yang dapat divisualisasi pada daerah rambut yang tercabut,
meskipun hifa intrapilari masih terlihat jelas (Fitzpatrick, 2008).
Patogenesis dari infeksi endotrik sama dengan ektotrik kecuali artrokonidia masih
terdapat dalam batang rambut, menggantikan keratin intrapilari, dan mengurangi adanya intak
dengan kortek. Sebagai hasilnya, rambut mudah rusak dan lepas pada permukaan kepala
dimana dinding folikular tidak mendukung lagi, meninggalkan titik hitam kecil (Fitzpatrick,
2008).

GAMBARAN KLINIS

Gambaran tinea kapitis berdasarkan dari etiologinya.

1. Grey patch ringworm


Merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus Microsporum dan sering
ditemukan pada anak-anak. Penyebabnya berupa organisme antropofilik ektotrik seperti
M.audounii atau M.canis. Bentuk dari tinea kapitis ini dikenal juga sebagai bentuk seboroik
dari skuama yang menonjol. Peradangan bersifat minimal. Rambut yang terinfeksi menjadi
abu-abu dan kusam pada selubung artrokonidianya, dan rambut putus pada bagian atas dari
kulit kepala. Umumnya, lesi memberikan tampilan berbatas tegas, hiperkeratotik, skuama
pada daerah alopecia akibat putusnya rambut. Pada pemeriksaan lampu Wood didapatkan
floresensi berwarna hijau pada sisa rambut dan skuama. Penyakit mulai dengan papul merah
yang kecil disekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak, yang menjadi pusat
dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu – abu dan
tidak berkilat lagi. Rambut mulai patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut
dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang oleh jamur,
sehingga dapat terbentuk alopesia setempat. Tempat – tempat ini terlihat sebagai grey patch
(Andrews, 2006; Fitzpatrick 2008).
Gambar 1 : Grey patch ringworm (Fitzpatrick, 2008).

2. Kerion celcii
Adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa pembengkakan yang
menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang padat disekitarnya. Bila
penyebabnya Microsporum canis dan Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini lehih
sering dilihat. Agak kurang bila penyebabnya Tricophyton tonsurans, dan sedikit sekali bila
penyebabnya adalah Tricophyton violaceum. Tipe ini sebagai hasil dari reaksi
hipersensitifitas terhadap infeksi. Spektrum inflamasi dapat terjadi mulai dari folikulitis
postular hingga kerion, yang memberikan gambaran seperti “lumpur”, masa inflamasi dengan
taburan rambut rusak dan orifisium folikular yang mengeluarkan pus. Lesi inflamasi biasanya
gatal/pruritik, dan mungkin juga nyeri, adanya limfadenopati servikal posterior, demam, dan
lesi tambahan pada kulit kepala yang gundul. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut
dan berakibat alopesia yang menetap. Jaringan parut yang menonjol dapat terbentuk
(Andrews, 2006; Fitzpatrick 2008).

Gambar 2 : Kerion Celcii (Fitzpatrick, 2008).

3. Black dot ringworm


Terutama disebabkan oleh Tricophyton tonsurans dan Tricophyton violaceum. Pada
permulaan penyakit, gambaran klinisnya menyerupai kelainan yang disebabkan oleh genus
Microsporum. Rambut yang terkena infeksi patah tepat pada muara folikel, dan yang
tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam didalam folikel
rambut ini memberi gambaran khas, yaitu black dot. Ujung rambut yang patah, kalau tumbuh
kadang – kadang masuk ke bawah permukaan kulit. Dalam hal ini perlu dilakukan irisan kulit
untuk mendapat bahan biakan jamur (Andrews, 2006; Fitzpatrick 2008).

Gambar 3 : Tinea Favus (Fitzpatrick, 2008).

4. Tinea favus
Tinea favus merupakan infeksi krinis dermatofita pada kepala, kulit tidak berambut, dan
atau kuku, ditandai krusta kering dan tebal dalam folikel rambut yang menyebabkan
terjadinya alopesia jaringan parut. Tinea favus umumnya diderita sebelum dewasa hingga
berlanjut sampai dewasa, dan berhubungan dengan malnutrisi dan gizi buruk. Penyebab
tersering adalah T.scholeinii, kadang-kadang T.violaceum, dan M.gypseum. Lesi ditandai
dengan bercak-bercak eritem folikuler disertai skuama ringan peri-folikuler dan invasi hifa
yang progresif menggelembungkan folikel sehingga terjadi papul kekuningan. Dan akhirnya
terjadi krusta kekuningan cekung, mengelilingi rambut yang kering dan kusam (Andrews,
2006; Fitzpatrick 2008).

DIAGNOSIS

Diagnosis klinis dari infeksi dermatofit dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan


mikroskopis dapat membuktikan infeksi jamur dalam beberapa menit, tidak sering kali
memungkinkan untuk spesiasi atau untuk mengidentifikasi kerentanan terhadap agen.
Evaluasi mikroskopis juga dapat menghasilkan hasil negatif palsu, dan kultur jamur
sebaiknya dilakukan ketika diduga adanya infeksi klinis dermatofit (Fitzpatrick, 2008).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan lampu Wood


Pemeriksaan lesi yang melibatkan kulit kepala atau jenggot dengan menggunakan lampu
Wood mungkin memperlihatkan gambaran pteridin dari patogen tertentu. Jika demikian,
rambut dengan flouresensi tersebut harus diperiksa lebih jauh. Perlu diketahui bahwa
organisme ektotrik seperti Microsporum canis dan Microsporum audouinii akan tampak
flouresensi pada pemeriksaan lampu Wood, sedangkan organisme endotrik, Tricophyton
tonsurans tidak tampak flouresensi (Fitzpatrick, 2008).
Flouresensi positif terinfeksi oleh Microsporum audouinii, Microsporum canis,
Microsporum femgineum, Microsporum distorturn, dan Trichopiton schoenleinii. Pada
ruangan yang gelap kulit dibawah lampu ini berflouresensi agak biru. Ketombe umumnya
cerah putih kebiruan. Rambut yang terinfeksi berflouresensi hijau terang atau kuning
kehijauan (Andrews, 2006; Fitzpatrick 2008).
2. Pemeriksaan KOH
Pada pemeriksaan KOH, rambut harus dicabut tidak di potong untuk visualisasi di
mikroskop dengan pemeriksaan KOH 10 – 20%. Rambut yang terinfeksi diletakkan pada
object glass, dan ditetesi dengan larutan KOH 10 – 20%, kemudian ditutup dengan gelas
penutup, dipanaskan dengan api Bunsen 2-3 kali untuk melarutkan keratin dan dilihat
dibawah mikroskop dengan pembesaran rendah (Fitzpatrick, 2008).

Hasil positif ada 2 kemungkinan:


 Ektotrik: tampak artrokonidia kecil atau besar membentuk lapisan
mengelilingi bagian luar batang rambut.
 Endotrik: tampak artrokonidia di dalam batang rambut.
Gambar 4 : Ektotrik dan endotrik (Fitzpatrick, 2008).

Untuk bahan dari skuama, daerah lesi dibersihkan dengan kapas alkohol, setelah kering
skuama dikerok dengan scalpel terutama pada tepi lesi, diletakkan diatas object glass dan
ditetesi larutan KOH 10 – 20%, ditutup dengan gelas penutup, dipanaskan diatas api Bunsen,
dilihat di bawah mikroskop. Hasil positif jika tampak hifa bersepta dan bercabang
(Fitzpatrick, 2008).

3. Pemeriksaan Kultur
Spesiasi jamur didasarkan pada karakteristik mikroskopik, makroskopik dan metabolisme
organisme. Sabouraud Dextrose Agar (SDA) adalah media isolasi yang paling umum
digunakan dan sebagai basis untuk gambaran yang paling morfologis. Namun kontaminasi
saprobes tumbuh pesat pada media ini (Andrews, 2006).

DIAGNOSA BANDING

1. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang didasari oleh faktor
konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik. Kelainan kulit terdiri dari
eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan (Andrews, 2006).
Gambar 5 : Dermatitis seboroik (Fitzpatrick, 2008).

2. Folikulitis
Radang folikel rambut yang disebabkan Staphylococcus aureus. Kelainan berupa papul
dan pustul yang eritematosa dan ditengahnya terdapat rambut, biasanya multipel (Andrews,
2006).

Gambar 6 : Folikulitis (Fitzpatrick, 2008).

3. Dermatitis atopik
Keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang umumnya sering terjadi
selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam
serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita. Kelainan kulit berupa papul gatal,
yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di daerah lipatan
(Andrews, 2006).
Gambar 7 : Dermatitis atopik (Fitzpatrick, 2008).

PENATALAKSANAAN

Anti jamur sistemik dan topikal memiliki beberapa khasiat melawan dermatofita.
Infeksi yang melibatkan rambut dan kulit memerlukan antijamur oral untuk menembus
dermatofit yang menembus folikel rambut. Pengobatan standar tinea kapitis di Amerika
Serikat masih menggunakan griseofulvin, triazol oral (itrakonazole, flukonazol) dan
terbinafin merupakan antijamur yang aman, efektif dan memiliki keuntungan karena durasi
pengobatan yang lebih pendek (Fitzpatrick, 2008).
 Pengobatan topikal
Pengobatan topikal saja tidak direkomendasikan untuk penatalaksanaan tinea
kapitis. Bagaimanapun juga, pengobatan topikal berfungsi untuk mencegah transmisi ke
tempat lain pada tahap awal pengobatan sistemik. Sampo selenium sulphide dan povidone
iodine digunakan 2 kali seminggu. Selenium sulphide dan povidone iodine berfungsi
mengurangi hantaran spora dan mengurangi infeksi (Higgins, Fuller, & Smith, 2000).
 Pengobatan sistemik (Higgins, Fuller, & Smith, 2000)
- Griseofulvin 20-25mg/kg/hr/8minggu
Griseofulvin bersifat fungistatik, dan menghambat sintesis asam nukleat,
menghambat pembelahan sel pada metafase, dan mencegah sintesis dinding sel fungi.
Griseofulvin juga merupakan anti-inflamasi. Dosis yang direkomendasikan untuk anak
berusia lebih dari 1 bulan adalah 10 mg/Kg per hari. Mengkonsumsi griseofulvin
bersamaan dengan makanan berlemak mempercepat absorpsi dan bioavailabilitas dari
obat tersebut. Dosis yang direkomendasikan tergantung pada formulasi yang digunakan,
dosis yang lebih tinggi direkomendasikan oleh beberapa klinisi untuk micronized
griseofulvin sebagai lawan dari ultramicronized griseofulvin, tetapi dosis diatas 25 mg/Kg
masih dapat ditoleransi. Durasi terapi tergantung pada organisme penyebab tinea (contoh:
infeksi T.tonsurans memerlukan pengobatan yang lebih panjang) tetapi juga bervariasi
antara 8 sampai 10 minggu.
Efek samping berupa mual dan ruam pada 8-15% penderita. Obat ini kontraindikasi
dengan wanita hamil. Keuntungan obat ini tidak mahal, berlisensi, sirupnya mempunyai
rasa yang lebih enak, dan mempunyai keakuratan dosis yang lebih baik untuk anak-anak
apabila griseofulvin dibuat dalam bentuk suspensi.
Kerugian dari griseofulvin adalah proses pengobatan yang lama, dan kontraindikasi
pada pasien lupus eritematosus, porfiria, dan penyakit hati berat. Griseofulvin dapat
bereaksi dengan warfarin, siklosporin, dan pil kontrasepsi oral.
- Flukonazol 6 mg/kg/hr/20hr
Flukonazol biasanya digunakan untuk tinea kapitis tetapi diketahui mempunyai efek
samping yang lebih sedikit. Dosis flukonazol adalah 3-5 mg/Kg per hari selama 4 minggu
efektif untuk anak-anak dengan tinea kapitis.
- Itrakonazol 3-5mg/kg/hr/4-6minggu
Itrakonazol menghambat aktifitas baik fungisatatik dan fungisidal bergantung pada
konsentrasi obat pada jaringan, tetapi seperti kelompok azol lainnya, mekanisme aksi
itrakonazol yang utama adalah fungistatik, melalui penipisan membran sel ergosterol,
yang mana mengganggu permeabilitas membran. Dosis itrakonazol 100 mg/hari untuk 4
minggu sampai 5 mg/Kg per hari untuk anak-anak sama efektifnya dengan griseofulvin
dan terbinafin. Keuntungan itrakonazol dapat memberikan impuls regimen yang lebih
pendek jika memungkinkan. Itrakonazol dapat memiliki toksisitas yang meningkat jika
berinteraksi dengan antikoagulan (warfarin), antihistamin (terfenadine dan astemizol),
antipsikotik (midazolam), digoxin, cisapride, siklosporin, dan simvastatin (meningkatnya
resiko miopati).
- Terbinafin 3-6mg/kg/hr/2-4minggu
Terbinafin bekerja pada membrane sel fungal dan bersifat fungisidal. Obat ini
efektif melawan dermatofita. Terbinafin mempunyai keefektifan yang sama dengan
griseofulvin dan aman untuk penatalaksanaan tinea kapitis jenis ringworm yang
disebabkan oleh Trichophyton sp pada anak-anak. Kefektifan terbinafin untuk
Microsporum masih diperdebatkan. Berdasarkan evidence base medicine(EBM) terbaru
menyarankan agar tingginya dosis atau lamanya terapi (> 4 minggu) bergantung pada
infeksi Microsporum. Dosis tergantung pada berat pasien, tetapi biasanya 3 dan 6 mg/Kg
per hari. Efek samping mencakup gangguan gastrointestinal, dan ruam pada 5% dan 3%
kasus. Konsentrasi plasma dapat berkurang jika berinteraksi dengan rifampisin dan
meningkat jika berinteraksi dengan simetidin.

KESIMPULAN

Tinea kapitis merupakan penyakit dermatofitosis paling banyak pada anak-anak,


mengenai kulit kepala dan rambut, ditandai dengan skuama dan bercak alopesia. Etiologi
penyebab tinea kapitis adalah semua dermatofita yang patogen terkecuali E.flocossum dan
T.concentricum. Penyebab tersering adalah T.tonsurans. Bentuk klinis dari tinea kapitis
bervariasi. Dikelompokkan menjadi kelompok non inflamasi (gray patch ringworm dan black
dot ringworm), dan inflamasi (kerion celcii, favus). Diagnosis umumnya ditegakkan dengan
melihat gambaran klinis dan dibantu dengan pemeriksaan laboratorik dan pemeriksaan lampu
Wood. Pengobatan tinea kapitis dapat berupa pengobatan topikal dan sistemik. Pengobatan
topikal berupa sampo selenium sulphide dan povidone iodine digunakan 2 kali seminggu.
Pengobatan sistemik dapat berupa Griseofulvin dengan dosis 20-25mg/kg/hr/8minggu. Selain
Griseofulvin dapat diberikan obat sistemik berupa flukonazol, itrakonazol, dan terbinafin.

DAFTAR PUSTAKA
Higgins EM, Fuller LC, Smith CH, 2000. Guidelines for the management of tinea capitis.
BJD Vol. 143, Hal 53-58

Hryncewicz-Gwozdz A, Beck-Jendroscheck V, Brasch J, Kalinowska K, Jagielski T, 2011.


Tinea capitis and tinea corporis with a severe inflammatory response due to trichophyton
tonsurans. Acta Derm Venerol Vol. 91, Hal 708-710

James.WD, Berger TG, Elston DM, 2006. Disease resulting from fungi and yeasts. Andrew’s
Diseases of The Skin : Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada . Hal. 297-299

Verma. S, Heffernan. MP. (2008) Fungal Disease. Fitzpatrick’s Dermatology in General


Medicine 8th Ed. Vol. 1 & 2. New York, USA. Hal. 1807-1818

Welsh O, Welsh E, Ocampo-Candiani J, Gomez M, Vera Cabrera L, 2006. Dermatophytoses


in Monterrey, Mexico. Mycoses. Vol. 49, Hal. 119-123

Anda mungkin juga menyukai