Kulit
Kulit
LAPORAN KASUS
1.2 Anamesis
Keluhan utama : Timbul bintil-bintil merah kecil dan bersisik dikepala
sejak kurang lebih 3 minggu yang lalu.
Keluhan tambahan : Gatal dan rambut rontok sejak lebih kurang 1 minggu
yang lalu.
Riwayat penyait dahulu : Os belum pernah menderita penyakit yang seperti ini
sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit
yang serupa seperti os.
TINEA KAPITIS
PENDAHULUAN
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit kepala yang disebabkan oleh jamur
dermatofit. Tinea kapitis biasanya terjadi terutama pada anak – anak, meskipun ada juga
kasus pada orang dewasa yang biasanya terinfeksi Trichophyton tonsurans. Tinea kapitis juga
dapat dilihat pada orang dewasa sengan AIDS. Tinea kapitis dapat dibagi menjadi berbagai
tipe yaitu: meradang, tidak meradang, black dot, dan tinea favus.
Infeksi jamur dapat superfisial, subkutan dan sistemik, tergantung pada karateristik
dari host. Dermatofita merupakan kelompok jamur yang terkait secara taksonomi.
Kemampuan mereka untuk membentuk lampiran molekul keratin dan menggunakannya
sebagai sumber nutrisi memungkinkan mereka untuk berkoloni pada jaringan keratin, masuk
kedalam stratum korneum dari epidermis, rambut, kuku dan jaringan pada hewan. Infeksi
superfisial yang disebabkan oleh dematofit yang disebut dermatofitosis, dimana
dermatomikosis mengacu pada infeksi jamur (Fitzpatrick, 2008).
Banyak cara untuk mengklasifikasikan jamur superfisial, tergantung habitat dan pola
infeksi. Organisme geofilik berasal dari tanah dan hanya sesekali menyerang manusia,
biasanya melalui kontak langsung dengan tanah. Infeksi jamur biasanya disebarkan oleh
spora yang mana dapat bertahan hidup untuk satu tahun ataupun lebih pada selimut dan
barang-barang yang terbuat dari kain. Infeksi didapatkan dari organisme dermatofita yang
nantinya menyebabkan proses inflamasi. Microsporum canis merupakan pathogen umum
yang dapat dikultur dari tubuh manusia, dan bersifat lebih virulen dibandingkan organisme
lain yang hidup di tanah (Fitzpatrick, 2008).
Latar belakang penulisan referat ini ditujukan untuk mengetahui pola penyebaran
infeksi tinea kapitis. Penyebaran infeksi tinea kapitis dapat disebarkan oleh spesies zoofilik,
geofilik, dan antropofilik. Spesies zoofilik umumnya ditemukan di tubuh binatang, tetapi
ditransmisikan ke tubuh manusia. Binatang maupun hewan peliharaan merupakan sumber
utama infeksi di daerah perkotaan (contoh: M.canis pada anjing dan kucing). Transmisi dapat
terjadi melalui kontak langsung dengan binatang yang spesifik atau secara tidak langsung
ketika rambut binatang yang terinfeksi terbawa di baju atau terdapat pada gedung atau
makanan yang terkontaminasi. Daerah yang terekspos seperti kulit kepala, jenggot, muka,
dan tangan merupakan daerah favorit untuk organisme jamur tersebut Dermatofita yang
meradang biasanya disebabkan oleh infeksi yang disebabkan organisme zoofilik (Fitzpatrick,
2008).
Spesies antropofilik merupakan organisme yang sudah beradaptasi terhadap manusia
sebagai host-nya. Tidak seperti zoofilik sporadik dan infeksi zoofilik, spesies antropofilik
lebih endemis di lingkungan. Mereka ditransmisikan dari orang ke orang melalui kontak
langsung. Infeksi yang disebabkan oleh spesies antropofilik dapat bervariasi mulai dari yang
asimtomatik sampai yang mempunyai tingkat virulensi tinggi (Fitzpatrick, 2008).
Adapun pengobatan tinea dapat diberikan terapi topikal berupa selenium sulphide,
povidone iodine, atau ketokonazol, maupun terapi sistemik dengan griseofulvin (Andrews,
2006; Fitzpatrick, 2008).
Penulisan referat ini terutama ditujukan untuk me-review kajian mengenai tinea
kapitis.
EPIDEMOLOGI
Insiden tinea kapitis masih belum diketahui, tetapi biasanya ditemukan pada anak
berusia 3 tahun sampai 14 tahun. Penyakit ini jarang terjadi pada orang dewasa. Tinea kapitis
banyak ditemukan pada anak-anak keturunan Afrika, akan tetapi belum diketahui kenapa hal
tersebut dapat terjadi. Transmisi meningkat dengan berkurangnya higienitas personal, daerah
tempat tinggal yang padat, dan status sosial ekonomi rendah. Organisme penyebab tinea
kapitis dapat dikultur dari beberapa benda yang menjadi sarang organisme tersebut seperti:
sisir, topi, bantal, mainan, dan tempat duduk bioskop. Bahkan setelah disisir, rambut masih
dapat menyimpan berbagai organisme yang menyebabkan infeksi dalam waktu lebih dari 1
tahun. Pasien dengan carrier simtomatik sering ditemukan, dan hal tersebut menyebabkan
tinea kapitis sulit untuk dieradikasi (Fitzpatrick, 2008; Hryncewicz-Gwozdz dkk, 2011).
ETIOLOGI
Spesies tersering yang menyebabkan tinea kapitis tipe meradang dan tipe tidak
meradang adalah M.audounii. T.tonsurans menjadi penyebab utama terjadinya tinea kapitis
tipe black dot dan M.gypseum menyebabkan terjadinya tinea favus.
PATOFISIOLOGI
Periode inkubasi dari tinea kapitis antropofilik adalah 2 sampai 4 hari, meskipun pada
periode ini carrier asimtomatik masih dapat terjadi. Hifa tumbuh kearah bawah menuju
folikel, pada permukaan rambut, dan hifa intrafolikular dipecah menjadi rantai spora. Hal
tersebut merupakan periode penyebaran (4 hari sampai 4 bulan) yang terjadi selama lesi
membesar dan muncul lesi baru. Sekitar 3 minggu rambut mulai lepas sekitar beberapa
millimeter diatas permukaan kulit. Di dalam rambut, hifa turun ke bagian atas zona
keratogenus dan pada zona inilah Adamson “fringe” terbentuk pada hari ke 12. Tidak
terdapat lesi baru muncul selama periode refraktori (4 bulan sampai beberapa tahun).
Tampilan klinis tampak tidak berubah, dengan host dan parasit dalam keadaan yang
seimbang. Hal ini diikuti dengan periode involusi yang mana pembentukan spora mulai
berkurang. Infeksi fungal zootik mempunyai reaksi inflamasi yang lebih tinggi, tetapi
mempunyai fase evolusi yang sama (Welsh dkk, 2006; Fitzpatrick, 2008).
Dermatofita ektotrik tipikal biasanya muncul sebagai infeksi yang menyerang
perifolikular stratum korneum, meluas ke daerah sekitarnya dan menuju mid-to-late-anagen
sebelum turun ke folikel untuk masuk kedalam folikel rambut. Artrokonidia kemudian
mencapai kortek dari rambut dan ditransportasikan ke atas permukaan rambut. Secara
mikroskopis, hanya artrokonidia yang dapat divisualisasi pada daerah rambut yang tercabut,
meskipun hifa intrapilari masih terlihat jelas (Fitzpatrick, 2008).
Patogenesis dari infeksi endotrik sama dengan ektotrik kecuali artrokonidia masih
terdapat dalam batang rambut, menggantikan keratin intrapilari, dan mengurangi adanya intak
dengan kortek. Sebagai hasilnya, rambut mudah rusak dan lepas pada permukaan kepala
dimana dinding folikular tidak mendukung lagi, meninggalkan titik hitam kecil (Fitzpatrick,
2008).
GAMBARAN KLINIS
2. Kerion celcii
Adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa pembengkakan yang
menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang padat disekitarnya. Bila
penyebabnya Microsporum canis dan Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini lehih
sering dilihat. Agak kurang bila penyebabnya Tricophyton tonsurans, dan sedikit sekali bila
penyebabnya adalah Tricophyton violaceum. Tipe ini sebagai hasil dari reaksi
hipersensitifitas terhadap infeksi. Spektrum inflamasi dapat terjadi mulai dari folikulitis
postular hingga kerion, yang memberikan gambaran seperti “lumpur”, masa inflamasi dengan
taburan rambut rusak dan orifisium folikular yang mengeluarkan pus. Lesi inflamasi biasanya
gatal/pruritik, dan mungkin juga nyeri, adanya limfadenopati servikal posterior, demam, dan
lesi tambahan pada kulit kepala yang gundul. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut
dan berakibat alopesia yang menetap. Jaringan parut yang menonjol dapat terbentuk
(Andrews, 2006; Fitzpatrick 2008).
4. Tinea favus
Tinea favus merupakan infeksi krinis dermatofita pada kepala, kulit tidak berambut, dan
atau kuku, ditandai krusta kering dan tebal dalam folikel rambut yang menyebabkan
terjadinya alopesia jaringan parut. Tinea favus umumnya diderita sebelum dewasa hingga
berlanjut sampai dewasa, dan berhubungan dengan malnutrisi dan gizi buruk. Penyebab
tersering adalah T.scholeinii, kadang-kadang T.violaceum, dan M.gypseum. Lesi ditandai
dengan bercak-bercak eritem folikuler disertai skuama ringan peri-folikuler dan invasi hifa
yang progresif menggelembungkan folikel sehingga terjadi papul kekuningan. Dan akhirnya
terjadi krusta kekuningan cekung, mengelilingi rambut yang kering dan kusam (Andrews,
2006; Fitzpatrick 2008).
DIAGNOSIS
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk bahan dari skuama, daerah lesi dibersihkan dengan kapas alkohol, setelah kering
skuama dikerok dengan scalpel terutama pada tepi lesi, diletakkan diatas object glass dan
ditetesi larutan KOH 10 – 20%, ditutup dengan gelas penutup, dipanaskan diatas api Bunsen,
dilihat di bawah mikroskop. Hasil positif jika tampak hifa bersepta dan bercabang
(Fitzpatrick, 2008).
3. Pemeriksaan Kultur
Spesiasi jamur didasarkan pada karakteristik mikroskopik, makroskopik dan metabolisme
organisme. Sabouraud Dextrose Agar (SDA) adalah media isolasi yang paling umum
digunakan dan sebagai basis untuk gambaran yang paling morfologis. Namun kontaminasi
saprobes tumbuh pesat pada media ini (Andrews, 2006).
DIAGNOSA BANDING
1. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang didasari oleh faktor
konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik. Kelainan kulit terdiri dari
eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan (Andrews, 2006).
Gambar 5 : Dermatitis seboroik (Fitzpatrick, 2008).
2. Folikulitis
Radang folikel rambut yang disebabkan Staphylococcus aureus. Kelainan berupa papul
dan pustul yang eritematosa dan ditengahnya terdapat rambut, biasanya multipel (Andrews,
2006).
3. Dermatitis atopik
Keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang umumnya sering terjadi
selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam
serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita. Kelainan kulit berupa papul gatal,
yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di daerah lipatan
(Andrews, 2006).
Gambar 7 : Dermatitis atopik (Fitzpatrick, 2008).
PENATALAKSANAAN
Anti jamur sistemik dan topikal memiliki beberapa khasiat melawan dermatofita.
Infeksi yang melibatkan rambut dan kulit memerlukan antijamur oral untuk menembus
dermatofit yang menembus folikel rambut. Pengobatan standar tinea kapitis di Amerika
Serikat masih menggunakan griseofulvin, triazol oral (itrakonazole, flukonazol) dan
terbinafin merupakan antijamur yang aman, efektif dan memiliki keuntungan karena durasi
pengobatan yang lebih pendek (Fitzpatrick, 2008).
Pengobatan topikal
Pengobatan topikal saja tidak direkomendasikan untuk penatalaksanaan tinea
kapitis. Bagaimanapun juga, pengobatan topikal berfungsi untuk mencegah transmisi ke
tempat lain pada tahap awal pengobatan sistemik. Sampo selenium sulphide dan povidone
iodine digunakan 2 kali seminggu. Selenium sulphide dan povidone iodine berfungsi
mengurangi hantaran spora dan mengurangi infeksi (Higgins, Fuller, & Smith, 2000).
Pengobatan sistemik (Higgins, Fuller, & Smith, 2000)
- Griseofulvin 20-25mg/kg/hr/8minggu
Griseofulvin bersifat fungistatik, dan menghambat sintesis asam nukleat,
menghambat pembelahan sel pada metafase, dan mencegah sintesis dinding sel fungi.
Griseofulvin juga merupakan anti-inflamasi. Dosis yang direkomendasikan untuk anak
berusia lebih dari 1 bulan adalah 10 mg/Kg per hari. Mengkonsumsi griseofulvin
bersamaan dengan makanan berlemak mempercepat absorpsi dan bioavailabilitas dari
obat tersebut. Dosis yang direkomendasikan tergantung pada formulasi yang digunakan,
dosis yang lebih tinggi direkomendasikan oleh beberapa klinisi untuk micronized
griseofulvin sebagai lawan dari ultramicronized griseofulvin, tetapi dosis diatas 25 mg/Kg
masih dapat ditoleransi. Durasi terapi tergantung pada organisme penyebab tinea (contoh:
infeksi T.tonsurans memerlukan pengobatan yang lebih panjang) tetapi juga bervariasi
antara 8 sampai 10 minggu.
Efek samping berupa mual dan ruam pada 8-15% penderita. Obat ini kontraindikasi
dengan wanita hamil. Keuntungan obat ini tidak mahal, berlisensi, sirupnya mempunyai
rasa yang lebih enak, dan mempunyai keakuratan dosis yang lebih baik untuk anak-anak
apabila griseofulvin dibuat dalam bentuk suspensi.
Kerugian dari griseofulvin adalah proses pengobatan yang lama, dan kontraindikasi
pada pasien lupus eritematosus, porfiria, dan penyakit hati berat. Griseofulvin dapat
bereaksi dengan warfarin, siklosporin, dan pil kontrasepsi oral.
- Flukonazol 6 mg/kg/hr/20hr
Flukonazol biasanya digunakan untuk tinea kapitis tetapi diketahui mempunyai efek
samping yang lebih sedikit. Dosis flukonazol adalah 3-5 mg/Kg per hari selama 4 minggu
efektif untuk anak-anak dengan tinea kapitis.
- Itrakonazol 3-5mg/kg/hr/4-6minggu
Itrakonazol menghambat aktifitas baik fungisatatik dan fungisidal bergantung pada
konsentrasi obat pada jaringan, tetapi seperti kelompok azol lainnya, mekanisme aksi
itrakonazol yang utama adalah fungistatik, melalui penipisan membran sel ergosterol,
yang mana mengganggu permeabilitas membran. Dosis itrakonazol 100 mg/hari untuk 4
minggu sampai 5 mg/Kg per hari untuk anak-anak sama efektifnya dengan griseofulvin
dan terbinafin. Keuntungan itrakonazol dapat memberikan impuls regimen yang lebih
pendek jika memungkinkan. Itrakonazol dapat memiliki toksisitas yang meningkat jika
berinteraksi dengan antikoagulan (warfarin), antihistamin (terfenadine dan astemizol),
antipsikotik (midazolam), digoxin, cisapride, siklosporin, dan simvastatin (meningkatnya
resiko miopati).
- Terbinafin 3-6mg/kg/hr/2-4minggu
Terbinafin bekerja pada membrane sel fungal dan bersifat fungisidal. Obat ini
efektif melawan dermatofita. Terbinafin mempunyai keefektifan yang sama dengan
griseofulvin dan aman untuk penatalaksanaan tinea kapitis jenis ringworm yang
disebabkan oleh Trichophyton sp pada anak-anak. Kefektifan terbinafin untuk
Microsporum masih diperdebatkan. Berdasarkan evidence base medicine(EBM) terbaru
menyarankan agar tingginya dosis atau lamanya terapi (> 4 minggu) bergantung pada
infeksi Microsporum. Dosis tergantung pada berat pasien, tetapi biasanya 3 dan 6 mg/Kg
per hari. Efek samping mencakup gangguan gastrointestinal, dan ruam pada 5% dan 3%
kasus. Konsentrasi plasma dapat berkurang jika berinteraksi dengan rifampisin dan
meningkat jika berinteraksi dengan simetidin.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Higgins EM, Fuller LC, Smith CH, 2000. Guidelines for the management of tinea capitis.
BJD Vol. 143, Hal 53-58
James.WD, Berger TG, Elston DM, 2006. Disease resulting from fungi and yeasts. Andrew’s
Diseases of The Skin : Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada . Hal. 297-299