Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam Deklarasi Millenium (Millenium Development Goals 2015),

terdapat delapan tujuan umum, yaitu mencakup kemiskinan, pendidikan,

kesetaraan gender, angka kematian bayi, kesehatan ibu, beberapa penyakit

menular, lingkungan, permasalahan global, bantuan, dan uang. Tujuan umum

tersebut salah satunya adalah lingkungan. Lingkungan sangat berperan dalam

penyebaran penyakit menular seperti sanitasi umum, polusi udara, dan kualitas air.

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).1

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini

termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 6 Tahun

1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang

mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat meninggalkan

wabah (Widodo, 2006).2 Penyakit ini masih sering dijumpai secara luas di berbagai

negara berkembang terutama yang terletak di daerah tropis dan subtropik

(Pramitasari, 2013).3

Demam tifoid atau tifus abdominalis banyak ditemukan dalam kehidupan

masyarakat kita, baik diperkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat

kaitannya dengan higiene pribadi dan sanitasi lingkungan seperti hygiene

perorangan yang rendah, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat

umum (rumah makan, restoran) yang kurang serta perilaku masyarakat yang tidak

mendukung untuk hidup sehat. Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi yang

1
berkepanjangan akan menimbulkan peningkatan kasus-kasus penyakit menular,

termasuk tifoid ini.4

Penelitian terdahulu yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kejadian

Demam Tifoid berkaitan dengan faktor sanitasi lingkungan dan hygiene

perorangan. Pada penelitian Naelannajah Alladany (2010) mendapatkan hasil

bahwa sanitasi lingkungan dan perilaku kesehatan yang merupakan faktor risiko

kejadian demam tifoid adalah kualitas sumber air bersih, kualitas jamban

keluarga, pengelolaan sampah rumah tangga, praktek kebersihan diri, pengelolaan

makanan dan minuman rumah tangga.5

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di

berbagai Negara sedang berkembang. Data World Health Organization(WHO)

tahun 2003, memperkirakan angka insidensi di seluruh dunia terdapat sekitar 17

juta per tahun dengan 600.000 orang meninggal karena penyakit ini. WHO

memperkirakan 70% kematian terjadi di Asia. Diperkirakan angka kejadian dari

150/100.000 per tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000 per tahun di Asia.6,7

Berdasarkan data yang telah diuraikan di atas, maka pembahasan kami

tentang masih tingginya prevalensi demam tifoid baik di dunia, maupun di

Indonesia, terkhusus pada pasien rawat inap di Puskesmas Batua, maka kami

mengangkat topik untuk dilakukan pengkajian penyakit ini sebagai referat kami.

2
BAB II
GAMBARAN UMUM PUSKESMAS

A. Gambaran Umum Puskesmas Batua

1. Keadaan Umum
Geografi
Luas Wilayah kerja Puskesmas Batua adalah 1017,01 km dengan batas-
batas administrasi sebagai berikut.
1. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Panaikang
2. Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Antang
3. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Tamalate
4. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Pandang dan Kelurahan
Karapuang
Wilayah kerja Puskesmas Batua terdiri atas 3 kelurahan, yaitu:
1. Kelurahan Batua terdapat 11 RW dan 53 RT
2. Kelurahan Borong terdapat 12 RW dan 58 RT
3. Keluarahan Tello baru terdapat 11 RW dan 48 RT
Luas tanah Puskesmas Batua adalah 4500 m2, terdiri dari 2 gedung dengan
luas bangunan 147 m2 dan 422 m2. Terdapat 3 rumah dinas dan 1 mobil ambulans.
Puskesmas Batua memiliki 30 Posyandu Balita, 9 Posyandu Lansia, 1 Poskesdes
dan 2 Posbindu yang tersebardi 3 kelurahan.

Demografi
Wilayah kerja Puskesmas Batua berpenduduk 54.056 jiwa yang terdiri dari
laki-laki 28.109 jiwa dan 25.947 jiwa perempuan, serta jumlah kepala keluarga
sebanyak 9.941 KK berikut distribusi jumlah penduduk berdasarkan kelurahan.

3
Tabel 1.1. Distribusi Jumlah Penduduk.
No. Kelurahan Jumlah Penduduk Laki – Laki Perempuan
1 Batua 23.392 11.650 11.742
2 Borong 18.451 8.552 9.899
3 Tello Baru 12.213 6.921 5.292
Jumlah 54. 056 27.123 26.933
(Sumber Data : Data Penduduk Kelurahan)

B. Visi Dan Misi Puskesmas Batua

1. Visi Puskesmas Batua


Menjadi Puskesmas terbaik yang sehat, nyaman, dan mandiri untuk
semua
2. Misi Puskesmas Batua
a. Profesionalisme Sumber Daya Manusia
b. Penyediaan sarana prasarana sesuai standar Puskesmas
c. Penggunaan sistem informasi manajemen berbasis teknologi
d. Penajaman program pelayanan kesehatan dasar, melalui upaya
promotif preventif tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif
e. Pengembangan program inovasi unggulan
f. Peningkatan upaya kemandirian masyarakat
g. Pererat kemitraan lintas sektor

C. Upaya Kesehatan Puskesmas Batua

Dalam upaya pelaksanaan program kesehatan Puskesmas, ada dua upaya


kesehatan Puskesmas, yaitu :
1. Upaya Kesehatan Wajib
a. Promosi Kesehatan
b. Kesehatan Ibu dan Anak
c. Perbaikan Gizi Masyarakat
d. Pemberantasan Penyakit
e. Penyehatan Lingkungan

4
f. Pengobatan
2. Upaya Kesehatan Pengembangan
a. Upaya Kesehatan Lansia
b. Upaya Kesehatan Jiwa
c. UKS, UKGM
d. Program penyakit tidak menular
e. Kesehatan Olahraga

D. Data Status Kesehatan Di Wilayah Kerja Pkm Batua

Data status kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Batua meliputi data


distribusi 10 penyakit terbanyak pada tahun 2015, 2016, dan 2017.
Tabel 1.2. Distribusi 10 Penyakit Terbanyak Rawat Inap Tahun 2015
No Nama Penyakit Jumlah
1 GEA 165
2 Demam Tifoid 146
3 Vomitus 38
4 Dispepsia 31
5 ISPA 31
6 DBD 30
7 Febris 27
8 Suspek Demam Tifoid 23
9 Hipertensi 20
10 Hiperemesis Gravidarum 17

5
Tabel 1.3. Distribusi 10 Penyakit Terbanyak Rawat Inap tahun 2016

No Nama Penyakit Jumlah


1 Diare dan GEA 98
2 Demam Tifoid 77
3 Dispepsia 38
4 Vomitus 20
5 Hipertensi 19
6 Febris 14
7 Vertigo 13
8 Suspek Demam Tifoid 12
9 DBD 11
10 ISPA 11

Tabel 1.4. Distribusi 10 Penyakit Terbanyak Rawat Inap Triwulan I 2017


No Nama Penyakit Jumlah
1 Dispepsia 14
2 Diare dan GEA 13
3 Demam Tifoid 8
4 Hipertensi 3
5 Hiperemesis Gravidarum 3
6 Kejang Demam 3
7 Morbili 2
8 Vomitus 2
9 Febris 2
10 ISPA 1

6
Tabel 1.5. Distribusi 10 Penyakit Terbanyak Rawat Inap Triwulan II 2017
No Nama Penyakit Jumlah
1 GEA 22
2 Dispepsia 8
3 Vomitus 6
4 Kejang Demam 5
5 Demam Tifoid 4
6 Diare 3
7 Hyperemesis 3
8 Vertigo 2
9 Enteritis 2
10 Febris 2

Tabel 1.6. Distribusi 10 Penyakit Terbanyak Rawat Inap Triwulan I 2018


No Nama Penyakit Jumlah
1 Demam Tifoid 10
2 Gastroenteritis Akut 9
3 Infeksi Saluran Nafas Atas Akut Lainnya 4
4 Vomitus 3
5 Hiperemesis 3
6 Dyspepsia 2
7 Vertigo 1
8 Enteritis 1
9 Bronchopneumonia 1
10 Kejang Demam 1

7
Tabel 1.7. Distribusi 10 Penyakit Terbanyak Rawat Inap Triwulan II 2018
No Nama Penyakit Jumlah
1 Demam Tifoid 15
2 Gastroenteritis Akut 8
3 Dyspepsia 5
4 DBD/DHF 4
5 Enteritis 3
6 Susp. Demam Tifoid 3
7 Febris 3
8 Infeksi Saluran Nafas Atas Akut dan Lainnya 2
9 Diare 1
10 Vertigo 1

8
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEMAM TIFOID

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang

menjadi masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di

negara-negara subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di

negara berkembang. World Health Organization (WHO) mencatat pada tahun

2003 lebih dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan

angka kematian mencapai 600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut

terdapat di negara-negara Asia.8

Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian

demam tifoid di Indonesia pada tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per 10.000

penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia tahun 1981 sampai

dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8%,

yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.6

WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk

demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid

dengan angka kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya. Berdasarkan Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid

secara nasional adalah 1,6%.8,9

Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya

berhubungan dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000

penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per 10.000

9
penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan

penyediaan air bersih secara merata yang belum memadai, serta sanitasi

lingkungan terutama cara pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat

kesehatan ligkungan.7

Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08%

dari seluruh kematian di Indonesia. Namun berdasarkan hasil Survei

Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI)

tahun 1995, demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas

tinggi.8

B. ETIOLOGI DEMAM TIFOID

Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella.

Salmonella memiliki dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella

bongori. Salmonella enterica terbagi dalam enam subspesies, yaitu : I.

Salmonella enterica subsp. enterica; II. Salmonella enterica subsp.

salamae;IIIa. Salmonella enterica subsp. arizonae;IIIb. Salmonella enterica

subsp. diarizonae;IV. Salmonella enterica subsp. hotenae;V. Salmonella

enterica subsp.indica.10

Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya 1454

serotipe, beberapa diantaranya adalah : Salmonella Choleraesuis, Salmonella

Dublin, Salmonella Enteritis, Salmonella Gallinarum, Salmonella Hadar,

Salmonella Heidelberg, Salmonella Infantis, Salmonella Paratyphi,

Salmonella Typhi, Salmonella Typhimurium, dan Salmonella Genrus.10

10
Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi adalah bakteri penyebab demam

tifoid.

Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora,

motil, berkapsul dan mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai

beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.

Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 66o C) selama 15 – 20 menit,

pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi.11

Gambar 3.1. Struktur antigenik Salmonellae. 11

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 12

1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman.

Bagian ini mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga

endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan

terhadap formaldehid.

11
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari

kuman. Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap

formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi

kuman terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan

menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang disebut agglutinin.

C. EPIDEMIOLOGI DEMAM TIFOID

1. Distribusi dan Frekuensi

a. Orang

Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada

perbedaan yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan.

Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 –30 tahun 70 –80 %,

usia 31 –40 tahun 10 –20 %, usia > 40 tahun5 –10 %. Menurut

penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat

terdapat 77 % penderita demam tifoid pada umur 3 –19 tahun dan

tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan insiden rate 687,9 per

100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 –3 tahun sebesar 263

per 100.000 penduduk.

b. Tempat dan Waktu

Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000,

insiden rate demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000

penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di

12
Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta

Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per100.000

penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per

100.000 penduduk.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan)

a. Faktor Host

Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella

thypi. Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui

makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari

penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja

atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu

hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya. Penelitian

yangdilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case

control, mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai

resiko terkena penyakit demam tifoidpada anak 3,6 kali lebih besar

dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar dan anak yang

mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan

beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan

dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan.

b. Faktor Agent

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi.

Jumlah kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105

–109 kuman yang tertelan melalui makanan dan minuman yang

13
terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang

tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam

tifoid.

c. Faktor Environment

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai

secara luas di daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas

sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi

yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran

demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk,sumber air

minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang

masihrendah. Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr.

Soetomo (2000) dengandesain case control, mengatakan bahwa

higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena penyakit

demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang

higiene perorangan yang baik dan kualitas air minum yang tercemar

berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena penyakit demam

tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak

tercemar berat coliform.

D. MEKANISME PENULARAN DAN PATOGENESIS DEMAM TIFOID

Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia

melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari

penderita tifoid.13

14
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :

1. Penderita Demam Tifoid, yang menjadi sumber utama infeksi adalah

manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit,

baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam

penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih

mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.

2. Karier Demam Tifoid, penderita tifoid karier adalah seseorang yang

kotorannya (feses atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu

tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita

demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 –3 bulanmasih dapat ditemukan

kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier

pasca penyembuhan. Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis

adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan

anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti

tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau

memperbaiki kelainanan atominya. Karier dapat dibagi dalam beberapa

jenis, yaitu :

a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak

pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi

mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti

pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.

b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa

tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai

15
sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus

hepatitis.

c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru

sembuh dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber

penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya

kemungkinan hanya sampaitiga bulan umpamanya kelompok salmonella,

hepatitis B dan pada dipteri.

d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama

sepertipada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.

Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke

dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang

terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung,

sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila

respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan

menembus sel-sel epitel usus dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina

propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama

makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan

selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah

bening mesenterika.11

16
Gambar 3.2. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi .13

Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam

makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia

pertama yang asimptomatik) kemudian menyebar ke seluruh organ

retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode waktu yang

bervariasi antara 1-3 minggu, kuman bermultiplikasi di organ-organ ini

kemudian meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak di luar

makrofag dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan

bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit

infeksi sistemik.12

Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak,

dan bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus

secara intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian

17
masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama

terulang kembali, oleh karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka

saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator

inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya

akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,

mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan

koagulasi.12

Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan

reaksi hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe

lambat. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di

sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat

akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan

limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat

mengakibatkan perforasi usus.12

E. MANIFESTASI KLINIS DEMAM TIFOID

Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting

untuk membantu mendeteksi secara dini. Masa tunas demam tifoid

berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat

bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran

penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.12

Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.

Pada minggu pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit

infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,

18
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,

batuk, dan epistaksis.10 Karakteristik demamnya adalah demam yang

meningkat secara perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu

makin tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi terutama

pada sore hingga malam hari. Pada akhir minggu pertama, demam akan

bertahan pada suhu 39-40°C. Pasien akan menunjukkan gejala rose spots,

yang warnanya seperti salmon, pucat, makulopapul 1-4 cm lebar dan

jumlahnya kurang dari 5; dan akan menghilang dalam 2-5 hari. Hal ini

disebabkan karena terjadi emboli oleh bakteri di dermis.12

Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas,

berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1o C tidak diikuti

peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah

yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor),

hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,

stupor, koma, delirium, atau psikosis.11 Beberapa penderita dapat menjadi

karier asimptomatik dan memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk

jangka waktu yang tidak terbatas.

F. DIAGNOSIS DEMAM TIFOID

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis

yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini

masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode

diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan

penderita demam tifoid secara menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium untuk

19
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat

kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis

dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan

kuman secara molekuler.13

1. Pemeriksaan Darah Tepi

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit

normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan

trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke

kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis.12 Penelitian oleh

beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit

serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan

nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara

penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan

limfositosis menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.13

2. Pemeriksaan Bakteriologis dengan Isolasi dan Biakan Kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri

Salmonella Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum

tulang. Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum

tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam

urine dan feses.12 Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid

akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena

hasilnya tergantung pada beberapa faktor, seperti :(1) Telah mendapat

terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah

20
mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat

dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah darah yang diambil terlalu sedikit

(diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu

sedikit hasil biakan bisa negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa

lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat

menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat negatif; dan (4) Waktu

pengambilan darah yang dilakukan setelah minggu pertama, pada saat

aglutinin semakin meningkat. 11,12

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak

kecil dibutuhkan 2-4 mL.Sedangkan volume sumsum tulang yang

dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.18 Bakteri dalam sumsum

tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah. Hal ini mendukung teori bahwa kultur sumsum tulang lebih

tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan

volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi

antibiotika sebelumnya.12 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk

Salmonella Typhi adalah media empedu dari sapi. Media ini dapat

meningkatkan positivitas hasil karena hanya Salmonella Typhi dan

Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.13

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat

pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan

biakan darah positif 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan

positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.12 Sensitivitasnya akan menurun

21
pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat

sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang

dipakai.

Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-

15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine

positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode

yang mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat

pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan

menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat

untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur

darah negatif sebelumnya. Namun prosedur ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat

dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan

memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas

karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. 13

3. Uji Serologis

a. Uji Widal

Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen

kuman Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang

spesifik terhadap Salmonella Typhi terdapat dalam serum penderita

demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella Typhi,dan orang

yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang

digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang

22
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah

untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang

diduga menderita demam tifoid.12

Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O

dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum,

aglutinin O mulai muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai

muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya demam.

Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan

didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,

titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan

pada selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat

kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam

tifoid.12

Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :

Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi

akut.

Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah

mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi.

Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada

carrier.

b. Test Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi.13 Uji ini

sering dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap

23
antigen O9 LPS, antibodi IgG terhadap antigen flagela d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi. Chaicumpa dkk

mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%

pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum tulang.8

c. Pemeriksaan Dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda

dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS

Salmonella Typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang

mengandung antigen Salmonella Typhi sebagai pita pendeteksi dan

antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.

Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak

memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.5

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini

sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan

86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar

88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh

Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan

sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.

d. Uji Tubex®

Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh

IDL Biotech, Broma, Sweden.Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan

waktu 5-10 menit, sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum

24
antibodi IgM terhadap antigen O9 LPS yang sangat spesifik terhadap

bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat normalnya tidak

memiliki IgM anti-O9 LPS.

Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan

cara membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex®

color scale yang tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0

(warna paling merah) hingga nilai 10 (warna paling biru).

Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut IDL

Biotech 2008: 12

Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).

Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan

pemeriksaan ulang.

Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.

Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).

Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan

gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi

demam tifoid yang sangat kuat.

e. Uji Typhidot®

Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang

diproduksi oleh Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji

Typhidot® dinilai positif apabila didapatkan reaksi dengan intensitas yang

sama dengan atau lebih besar dari reaksi kontrol, terlihat pada kertas

25
saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini memperingatkan, jika hasil

yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48 jam.

4. Identifikasi Kuman secara Molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat

adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella

Typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi

DNA.

G. TERAPI DEMAM TIFOID

1. Non-Medikamentosa

a. Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu.

Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai

pemulihan.2,3,8,12

b. Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah

serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita

namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa

(rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk

penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur

lunak, tim, dan nasi biasa.

c. Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun

parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada

26
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus

mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak

pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.

d. Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan

suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh

akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang.

Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang,

sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan

vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat

vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh

hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya

vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas

melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan

suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali. Hal ini

sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa

tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus.

Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha

menurunkannya begitu juga sebaliknya.

2. Medikamentosa

1. Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi

antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman

27
dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,

sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna

yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah

mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,

obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na

yaitu antrain atau Novalgin. 11, 12

2. Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah :

a. Kloramfenikol

Merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi demam tifoid

terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-

100mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena

biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau

sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak

dianjurkan oleh karena hidrolisis esterini tidak dapat diramalkan dan

tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan

infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai21 hari. Kelemahan

dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh,

dan carier.11

b. Cotrimoxazole

Merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika Trimetoprim dan

Sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10

28
mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.

Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5

mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping

dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan

sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan

granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini

sudah dilaporkan resisten.11

c. Ampicillin dan Amoxicillin

Memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan dengan

kloramfenikol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-anak golongan

obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yangdiberikan

untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama

2minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan

terapi kloramfenikol.11

d. Sefalosporin Generasi Ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime)

Merupakanpilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan

lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive

terhadap Salmonellatyphi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan

dosis 50-100 mg/kg/hariper IV dibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200

mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral

dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.11

29
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma

sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3

mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6

jam sampai 48 jam. Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan

usus kadang- kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah

terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol.11

H. PENCEGAHAN DEMAM TIFOID

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang

sehat agar tetapsehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin

yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah

ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :

1. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang

diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin

ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang

mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.

2. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni,

K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol

preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 –12 tahun 0,25 ml dan

anak 1 –5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu.

Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada

30
tempat suntikan. Kontraindikasi demam, hamil dan riwayat demam pada

pemberian pertama.

3. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin

diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi

pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2

tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik,

orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas

laboratorium/mikrobiologi kesehatan.

Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,

memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan

sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun,

peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara

yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal

pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan

sanitasi lingkungan.

Pencegahan sekunder dapat berupa :

1. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha

surveilans demam tifoid.

2. Perawatan umum dan nutrisi

Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di

rumahsakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.Penderita

yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi,

terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat

31
total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap,

sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita.

Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan

diet.Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun

parenteral.Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada

komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus

mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Sedangkan diet harus

mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk

mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya

diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.

3. Pemberian anti mikroba (antibiotik)

Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat.

Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga.

Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup

sering menimbulkan karier dan relaps. Kloramfenikol tidak boleh diberikan

pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan

partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang

paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.

I. KOMPLIKASI DEMAM TIFOID

Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan mengancam

nyawa, terggantung dari faktor inang (terapi imunosupresi, terapi antasida,

riwayat vaksinasi), virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik.

32
Pendarahan gastrointestinal (10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%), hal ini biasa

terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4. Pendarahan gastrointestinal dan perforasi

intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulsersi dan nekrosis dari plak peyeri ileocecal.

Keuda komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan membutuhkan resusistasi

cairan segera dan intervensi bedah dengan pemberian antibiotik spektrum luas

untu periotinits polimikrobial. Manifestasi neurologikal dapat ditemukan pada 2 -

40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome, neuritits dan gejala

neuropsikiatrik.

Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular

coagulation, hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis,

orkitis, glomerulonefritis, pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis, osteomielitis.

Namun komplikasi ini sudah jarang terjadi akibat pemberian antibiotik yang tepat.

Gambar 3.3 : Perforasi ileum akibat infeksi S. typhi

J. PROGNOSIS DEMAM TIFOID

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan

kesehatansebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan

terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,

33
angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,

dan pengobatan. Munculnya komplikasi, sepertiperforasi gastrointestinal atau

perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan

morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Relaps dapat timbul beberapa kali. Ind bulan setelah infeksi umumnya

menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak –anak rendah dan

meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam

tifoid.13

34
BAB IV

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : DC

Umur : 3 tahun

Jenis kelamin : Peremuan

Agama : Katolik

Pendidikan : PAUD

Status perkawinan : Belum kawin

Alamat : Jalan Swadaya 4 Sungguminasa, Kota Makassar

Tanggal Pemeriksaan : 5 september 2018

B. ANAMNESIS

Keluhan utama : Demam

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke Puskesmas Batua dengan keluhan demam yang dirasakan

sejak ± 2 minggu yang lalu (tanggal 21 Agustus 2018). Demam dirasakan naik

turun, demam memberat mulai sore hari dan semakin tinggi pada malam hari,

kemudian demam turun pada pagi hari. Selain itu menurut ibu pasien, pasien

mengeluhkan nyeri kepala dan batuk berlendir, lendir berwarna putih,

dirasakan muncul bersamaan dengan demam pasien. Pasien juga mengeluhkan

35
seluruh tubuh terasa lemah dan pegal-pegal. Nafsu makan pasien menurun.

Ibu Pasien juga mengeluhkan anaknya sulit BAB. BAK lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien memiliki riwayat penyakit demam tifoid 1 tahun yang .

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada riwayat keluarga mengeluh keluhan yang sama

Riwayat Pengobatan :

Pasien sudah meminum obat Paracetamol yang dibeli sendiri di warung.

Riwayat Pribadi

1. Riwayat Nutrisi : Makanan pasien sehari-hari adalah masakan ibu pasien,

tetapi pasien lebih sering membeli jajanan atau makanan di sekitar

rumahnya, pasien dan keluarganya jarang menyimpan atau menyisakan

makanan, biasanya makanan yang ada dihabiskan untuk satu kali waktu

makan. Sebelum disantap biasanya makanan diletakkan di atas kompor

dan tidak ditutup, diletakkan di meja yang ada di dapur.

2. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

 Pasien memiliki 1 saudara kandung dan bersama kedua orangtuanya

tinggal dirumah permanen.

 Pasien merupakan keluarga ekonomi menengah ke bawah.

 Untuk keperluan mandi dan keperluan untuk memasak, pasien

menggunakan air sumur timba. Sumur terletak di belakang rumah

pasien.

36
 Ibu pasien mengaku bahwa selalu memasak air hingga mendidih untuk

keperluan konsumsi rumah tangga.

 Pasien memiliki fasilitas kamar mandi yang berada di dalam rumah

pasien. Di dalam kamar mandi terdapat jamban jongkok.

 Untuk memasak, keluarga pasien menggunakan kompor gas.

 Pasien memiliki tempat pembuangan sampah di halaman depan rumah.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Sedang Kesadaran : Compos Mentis

GCS : E4V5M6 BB : 38 kg

1. Vital Sign

Nadi : 84 x/menit

Pernapasan : 22 x/menit, teratur tipe torakoabdominal

Temperatur : 39,3oC

2. Status General :

Kepala dan Leher :

1. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

2. THT : struktur normal, tidak nampak tanda radang

3. Mulut : Bibir sianosis (-), mulut normal, gigi geligi dalam batas

normal, lidah kotor (+)

4. Leher : Pembesaran KGB (-), kelenjar tiroid tidak membesar, leher

simetris

37
Thorax :

1. Inspeksi : Retraksi (-), pergerakan dinding dada simetris

2. Palpasi : Gerakan dinding dada simetris, fremitus vokal sama

antara kiri dan kanan

3. Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru. Batas jantung tidak

dievaluasi.

4. Auskultasi :

Pulmo : Vesikuler (+/+) , Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

1. Inspeksi : Massa (-), distensi (-), massa (-), skar (-)

2. Auskultasi : Peristaltik (+)

3. Perkusi : Timpani

4. Palpasi : Nyeri tekan (-) pada regio epigastrik, massa (-), hepar

danlien tidak teraba

Anggota Gerak : Dalam batas normal

Kulit : tidak didapatkan kelainan

Urogenital : tidak didapatkan kelaian.

Vertebrae : nyeri ketok costovertebra (-)

38
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 29Maret 2017

 Hasil Pemeriksaan Darah Rutin (-)

 Hasil Pemeriksaan Serologi

Widal Slide : O = 1/320 H = 1/320

E. DIAGNOSIS KERJA

Demam Tifoid

F. RENCANA TERAPI

Tirah baring

Kompres hangat

Diit rendah serat, cukup vitamin dan mineral

IVFD Kaen 3B 14 tpm

Kotrimoksasol syr 2 x ½ cth

Paracetamol syr 3 x ½ cth

G. PROGNOSIS

Bonam

H. KONSELING, INFORMASI, DAN EDUKASI (KIE)

1. Mengkonsumsi makanan yang dianjurkan pada pasien ini adalah makanan

yang cukup mengandung cairan, tinggi kalori dan tinggi protein serta

rendah serat.

2. Menjaga kebersihan makanan, mengurangi kebiasaan makan dan minum

di luar rumahyang kebersihannya diragukan dan membiasakan mencuci

tangan dengan sabun sebelum makan dan menjaga kebersihan kuku

39
3. Edukasi kepada keluarga atau orang yang kontak dengan pasien diberikan

penjelasan mengenai rute tranmisi, gejala-gejala, dan cuci tangan yang

efektif, terutama setelah BAB dan BAK, dan sebelum menyiapkan

makanan atau makan.

40
BAB V

PEMBAHASAN

Suatu penyakit dapat terjadi oleh karena adanya ketidakseimbangan faktor-

faktor utamayang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Paradigma

hidup sehat yang diperkenalkan oleh H. L. Blum mencakup 4 faktor yaitu faktor

genetik (keturunan), perilaku (gaya hidup) individu atau masyarakat, faktor

lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik) dan faktor pelayanan kesehatan (jenis,

cakupan dan kualitasnya). Berikut akan dijelaskan kondisi penyakit yang dialami

pasien berdasarkan paradigma hidup sehat Blum.

1. Faktor Biologis

Keadaan malnutrisi, gizi kurang, atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat

besi danlain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga

rentan terhadap penyakit termasuk Demam tifoid. Daya tahan tubuh pasien

dalam kondisi yang tidak baik karena pasien kelelahan akibat waktu untuk

sekolah dan bermain yang mencapai 8 jam dalam sehari. Asupan nutrisi pasien

cukup, namun pasien lebih senang mengonsumsi jajanan di luar rumah

daripada makan makanan yang dimasak oleh ibunya di rumah. Pasien juga

tidak menyukai memakan sayur-sayuran.

2. Faktor Perilaku

Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Sabun setelah Buang Air Besar dan

sebelumMakan

Tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri atau

virus patogen dari tubuh, feses atau sumber lain ke makanan. Oleh karenanya

41
kebersihan tangan dengan mencuci tangan perlu mendapat prioritas tinggi,

walaupun hal tersebut sering disepelekan. Cuci tangan yang baik adalah

dengan membilas tangan pada air yang mengalir dan menggunakan sabun atau

cairan antiseptik. Pada pasien dan keluarganya, kebiasaan mencuci tangan ini

sudah diterapkan, terutama cuci tangan dengan sabun setelah buang air besar,

namun biasanya sebelum makan keluarga pasien hanya mencuci tangan

dengan air yang mengalir tanpa menggunakan sabun. Hal ini menjadi salah

satu faktor resiko terjadinya penularan infeksi Salmonella thypi, karena

kurangnya higienitas tangan pasien.

Kebiasaan Makan di Luar Rumah

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella

thyphi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan

minuman yang mereka konsumsi. Penularan tifus dapat terjadi dimana saja

dan kapan saja, biasanya terjadi melalui konsumsi makanan di luar rumah atau

di tempat-tempat umum, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi

kurang bersih. Dapat juga disebabkan karena makanan tersebut disajikan oleh

seorang penderita tifus laten (tersembunyi) yang kurang menjaga kebersihan

saat memasak. Pasien sering makan di luar rumah terutama saat pasien berada

di sekolah dan ketika bermain bersama teman-teman, maka kemungkinannya

kebiasaan makan pasien ini menjadi salah satu faktor resiko terjadinya demam

tifoid pada pasien.

42
Kebiasaan Mencuci Bahan Makanan Mentah yang Akan Dimakan

Langsung

Penularan tifoid dapat terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang

berasal dari airyang tercemar, buah-buahan, sayuran mentah yang dipupuk

dengan kotoran. Bahan mentah yang hendak dimakan tanpa dimasak terlebih

dahulu misalnya sayuran untuk lalapan, hendaknya dicuci bersih dibawah air

mengalir untuk mencegah resiko kontaminasi bahan makanan oleh Salmonella

typhi. Konsumsi makanan mentah ini masih memiliki kemungkinan kecil

untuk menjadi factor resiko kontaminasi makanan oleh Salmonella typhi,

mengingat sumber air bersih pasien belum dapat dikatakan aman dari resiko

pencemaran.

Kebiasaan Membersihkan Peralatan Makan dan Minum pada Rumah

Tangga

Permukaan alat yang digunakan untuk menyimpan makanan harus dijaga

agar selalu bersih untuk menghindari kontaminasi makanan dari Salmonella

typhi, sehingga peralatan makan dan minum harus dicuci dengan sabun agar

menjadi bersih. Pasien selama ini selalu mencuci peralatan makannya dengan

sabun, namun terkadang peralatan makan pasien sering dibiarkan bertumpuk

dalam keadaan kotor hingga lebih dari sehari oleh ibunya, dan setelah di cuci

peralatan makan pasien tidak disimpan dalam lemari atau wadah yang bersih.

Hal ini menjadi salah satu faktor resiko penyebab kontaminasi Salmonella

typhi.

43
Kebiasaan Menyimpan Makanan

Makanan yang telah siap saji namun tidak langsung dimakan seharusnya

disimpan pada tempat penyimpanan makanan terolah yang bersih dan dalam

keadaan tertutup untuk melindung makanan dari serangga (lalat). Pada rumah

pasien, makanan siap saji hanya diletakkan di atas meja makan dengan

ditutup menggunakan tudung saji ataupun penutuplainnya.

Kebiasaan Memasak Air yang Akan Diminum

Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan

beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63°C.

Organisme ini juga mampu bertahan beberapa minggu di dalam air, es, debu,

sampah kering dan pakaian, mampu bertahan disampah mentah selama satu

minggu dan dapat bertahan dan berkembang biak dalam susu,daging, telur

atau produknya tanpa merubah warna atau bentuknya. Oleh sebab itu

memasakair yang akan diminum merupakan salah satu upaya penting untuk

mencegah kolonisasi Salmonella typhi pada air yang akan diminum.Ibu

pasien menjelaskan bahwa air yang dikonsumsi berasal dari air galon isi

ulang yang dibeli dan tidak dimasak terlebih dahulu hingga mendidih

sebelum dikonsumsi sebagai air minum.

3. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan dianggap cukup berperan dalam proses penyebaran infeksi

Salmonellatyphi, terutama hal yang berkaitan dengan kebersihan lingkungan

44
a. Sarana air bersih

Sarana air bersih merupakan salah satu sarana sanitasi yang berkaitan

dengan kejadian demam tifoid. Prinsip penularan demam tifoid adalah

melalui fekal-oral. Kuman berasal dari tinja atau urin penderita atau

bahkan carrier (pembawa penyakit yang tidak sakit) yang masuk ke dalam

tubuh melalui air dan makanan. Pemakaian air minum yang tercemar

kuman secara massal sering bertanggung jawab terhadap terjadinya

Kejadian Luar Biasa (KLB). Didaerah endemik, air yang tercemar

merupakan penyebab utama penularan penyakit demam tifoid.

Sarana air bersih adalah semua sarana yang dipakai sebagai sumber

air bersih bagi penghuni rumah yang digunakan untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari, sehingga perlu diperhatikan dalam pendirian

sarana air bersih. Apabila sarana air bersih dibuat memenuhi syarat teknis

kesehatan diharapkan tidak ada lagi pencemaran terhadap air bersih, maka

kualitas air yang diperoleh menjadi baik. Keluarga pasien menggunakan

sarana air bersih berupa sumur gali.

Persyaratan kesehatan sarana air bersih untuk sumur gali adalah jarak

sumur gali dari sumber pencemar minimal 11 meter, lantai harus kedap

air, tidak retak atau bocor, mudah dibersihkan, tidak tergenang air, tinggi

bibir sumur minimal 80 cm dari lantai, dibuat daribahan yang kuat dan

kedap air, dibuat tutup yang mudah dibuat. Sumur gali yang terdapatdi

rumah pasien merupakan sumur gali yang belum memenuhi persyaratan

kesehatan sarana air bersih, karena sumur gali yang terdapat pada rumah

45
pasien memiliki tinggi bibir sumur kurang dari 80 cm (tinggi bibir sumur

gali 70 cm), jarak sumur gali dari sumber pencemar kurang dari 11 meter

(jarak ke sumber pencemar 7 meter), dan sumur gali pasien tidak

memiliki penutup. Pada daerah di sekitar sumber air bersih pasien tidak

ada sumber pencemar lain seperti tempat pembuangan sampah dan limbah

yang memungkinkan pencemaran air sumur dirumah pasien.

b. Jamban

Jamban sehat adalah jamban yang memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut:

1) Tidak mencemari sumber air bersih (jarak antara sumber air bersih

dengan lubang penampungan minimal 10 meter).

2) Tidak berbau.

3) Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus.

4) Tidak mencemari tanah disekitarnya.

5) Mudah dibersihkan dan aman digunakan.

6) Dilengkapi dinding dan atap pelindung.

7) Penerangan dan ventilasi yang cukup.

8) Lantai kedap air dan luas ruangan memadai

9) Tersedia air, sabun dan alat pembersih.

Pada rumah pasien terdapat jamban model leher angsa yang terdapat di

dalam rumah serta tidak tertutup atap. Jamban di rumah pasien belum

memenuhi persyaratan diatas, dalam hal mencemari sumber air bersih,

karena tempat penampungan jamban pasien berjarak 7 meter dari sumur

46
gali yang ada di rumah pasien. Kemungkinan proses penyebaran fekal-oral

penyakit tifoid di rumah pasien yang diperantarai oleh lalat sangat kecil,

dan jamban pasien kotor dan tidak rutin dibersihkan setiap seminggu

sekali.

c. Hewan penyebar infeksi (Vektor infeksi)

Berbagai hama dan hewan peliharaan dapat menjadi vektor pembawa

penyakit tifoid, lalat,semut, kecoa, dan hama serangga lain dapat

memindahkan organisme dari sumber yang tercemar organisme patogen

ke dalam makanan. Penularan penyakit tifoid adalah melalui tinja

penderita. Tinja penderita yang dihinggapi kecoak, lalat atau semut, siap

disebarkan kemana saja kecoak, lalat atau semut itu pergi. Kalau merayap

di piring, pada makanan, kue, sayuran dan lain-lain, bisa menular kepada

orang lain, yang menggunakan piring atau memakan makanan-makanan

tersebut.

d. Faktor Pelayanan Kesehatan

Sepengetahuan kelompok kami tidak ada program promotif dan

preventif untuk kasus tifoid, walaupun penyakit ini merupakan salah satu

penyakit dari 10 penyakit yang angka kejadian rawat inapnya cukup

tinggi. Sehingga proses penyampaian informasi mengenai demam Tifoid

jarang diterima oleh masyarakat umum. Hal ini merupakan salah satu

permasalahan yang menyebabkan kurangnya pengetahuan pasien

mengenai demam tifoid dan mempengaruhi keputusan pasien dalam

mencari upaya kesehatan bagi diri pasien.

47
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Tidak terdapat program terkait promotif dan preventif demam Tifoid di

Puskesmas Batua.

2. Permasalahan yang ada pada pasien adalah pada faktor biologis: imunitas;

faktor perilaku: kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang

air besar dan sebelum makan (pasien mencuci tangan tanpa menggunakan

sabun), kebiasaan membersihkan peralatan makan danminum pada rumah

tangga (ibu pasien sering menumpuk peralatan makan yang kotor

hinggalebih dari sehari), kebiasaan memasak air yang akan diminum (ibu

pasien menjelaskan bahwa air yang dikonsumsi berasal dari air galon isi

ulang yang dibeli dan tidak dimasak terlebih dahulu hingga mendidih

sebelum dikonsumsi sebagai air minum), dan pada faktor lingkungan:

sarana air bersih (sarana air bersih mungkin saja terkontaminasi

pencemar).

B. SARAN

Perlu dibuat program khusus untuk demam Tifoid di Puskesmas Batua,

yang terutama fokus pada aspek promotif (misalnya: penyuluhan tentang

PHBS) dan preventif (misalnya: program perbaikan sanitasiatau upaya

48
imunisasi Tifoid). Pemantauan penggunaan air bersih di masyarakat. Serta,

penyuluhan tentang STOP buang air besar sembarangan.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Millenium Development


Goals 2015. Jakarta. 2008.

2. Widodo, D. Demam tifoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

3. Pramitasari, O.P. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid Pada


Penderita Yang Dirawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. 2013.

4. Depkes RI. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: Direktorat


Jendral PP & PL; 2006.
5. Alladany N. Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Kesehatan
terhadap kejadian Demam Tifoid di kota Semarang. Skripsi. Semarang:
Universitas Diponegoro; 2010.

6. World Health Organitation. Background Document : The Diagnosis,


Treatment An Prevention Of Typhoid Fever, WHO/V&B/03.07. Geneva :
World Health Organization;2003.

7. Sumarmo, dkk. Infeksi & Penyakit Tropis. Jakarta: FKUI; 2002.

8. World Health Organization [internet]. 2014. Available from :


www.who.int/immunization/topics/typhoid/en/index.html. Diakses tanggal
13 September 2018.

9. Ashkenazy S, Cleary TG. Infeksi Salmonella dalam Buku Ilmu Kesehatan


Anak Nelson. Vol. II. 15th ed. Jakarta: EGC; 2000.

10. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Riset Kesehatan


Dasar 2007 Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia;2008.

50
11. Tumbelaka AR. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update, Edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2003.

12. Soedarmo SS et al. Demam tifoid dalam Buku ajar infeksi & pediatri
tropis, Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2008.

13. Vollaard AM et al. Risk factors for typhoid and paratyphoid fever in
Jakarta, Indonesia. JAMA. 2004; 291: 2607-15.

51

Anda mungkin juga menyukai