Anda di halaman 1dari 10

Tugas

Azaz Metode Dan Perancangan Arsitektur II

Christina Tyas Justipava Auri


1704104010111

Program Studi Arsitektur


Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala

2018

Lokasi : Pasar Daging Bumb, Penayung, Banda Aceh


Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari studi kasus diatas adalah :
Mengetahui kendala-kendala dalam pengelolaan pasar tradisional dan sampah yang
berserakan. Membawa balita ke pasar yang tidak sehat, serta mencium aroma yang
kurang sedap. Serta, Kumuh dan kotornya pasar tradisional.
Perairan di pasar :
1. Air bersih kurang
2. Air tidak layak pakai
3. Menjadi sarang nyamuk
4. Air kotor
5. Selokan tertutup timbunan sampah
6. Jalan air kotor terhambat
Membawa balita ke pasar :
Menurut saya, hal tersebut sebaiknya tidak dilakukan. Balita rentan terkena penyakit, jadi
saran yang baik adalah tidak membawa balita ke pasar yang kurang baik sistem
kesehatannya.
Sampah :
Yang menjadi permasalahan yang terakhir yaitu sampah. Sampah yang banyak terdapat
di pasar yaitu sampah atau timbunan plastik. Hal tersebut menutup jalan keluar air kotor,
menyebabkan air tida dapat mengalir ke pembuangan, dan tersumbat, sehingga
menyebabkan tempat sarang nyamuk.

Maksud dan Tujuan


Maksud dan tujuan dari studi kasus ini adalah untuk mengetahui penyebab apa saja yang
ada di pasar tradisional, dan memberikan solusi dari masalah yg dihadapi.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari studi kasus ini adalah kebersihan pasar tradisional khususnya pasar
tradisional di daerah Penayung, Banda Aceh.
Metodologi
Metode penelitian yang dilakukan menggunakan langkah-langkah berikut:
1. Studi Lapangan
Melihat secara langsung keadaan pasar tradisional yang ada dibanten
2. Studi literatur
Mencari, mempelajari dan merangkum berbagai macam literatur yang berkaitan dengan
rumusan masalah dari koran situs-situs yang ada diinternet

Secara sederhana, definisi pasar selalu dibatasi oleh anggapan yang menyatakan
antara pembeli dan penjual harus bertemu secara langsung untuk mengadakan interaksi
jual beli. Namun, pengertian tersebut tidaklah sepenuhnya benar karena seiring kemajuan
teknologi, internet, atau malah hanya dengan surat. Pembeli dan penjual tidak bertemu
secara langsung, mereka dapat saja berada di tempat yang berbeda atau berjauhan.
Artinya, dalam proses pembentukan pasar, hanya dibutuhkan adanya penjual, pembeli,
dan barang yang diperjualbelikan serta adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli.
Contoh pasar yaitu pasar tradisional dan pasar modern.
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai
dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses
tawar-menawar yang terjadi. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-
bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian, barang
elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-
barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya
terletak dekat kawasan perumahan dan perkampungan agar memudahkan pembeli untuk
mencapai pasar. Sisi negatif dari pasar tradisional adalah keadaannya yang cenderung
kotor dan kumuh sehingga banyak orang yang segan berbelanja disana. Beberapa pasar
tradisional yang “legendaris” antara lain adalah pasar Beringharjo di Jogja, pasar Klewer
di Solo, pasar Johar di Semarang. Pasar tradisional di seluruh Indonesia terus mencoba
bertahan menghadapi “serangan” dari pasar modern.

Solusi Agar Pasar Tradisional Menjadi Lebih Baik dan


Nyaman:
Memang bukan hal yang mudah untuk mengubah image pasar tradisional yang selama
ini kita kenal kumuh, bau, becek, panas, sempit dan rawan kejahatan menjadi pasar yang
bagus, sejuk, bersih dan aman. Dibutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit.
Tapi jika pemerintah dibantu masyarakat memang memiliki niat dan motivasi yang kuat,
bukan mustahil hal itu untuk kita wujudkan. Menurut pendapat saya, ada beberapa cara
yang terfikir oleh saya untuk membuat pasar tradisional lebih baik dan nyaman, yaitu:
1. Membenahi pasar agar lebih bersih dengan cara, memperbaiki lantai yang becek,
memperbesar pasar, mengatur para pedagang sesuai dengan jenis barang yang
dijualnya, memperhatikan pengaturan saluran air dan kebersihan udara, lebih
meningkatkan keamanan dengan cara mengadakan security untuk berjaga. Membuat
susasana pasar senyaman mungkin dapat meningkatkan daya tarik pengunjung yang
nantinya akan berdampak pada naiknya pendapatan para pedagang.
2. Para pedagang harus lebih ramah dan bersih.
Contoh: selalu menjaga kebersihan lapak nya, menggunakan pakaian yang bersih, bagi
pedagang daging – dagingan harusnya mengenakan celemek agar kebersihan tetap
terjaga. Karena ketika orang ingin membeli sesuatu, apalagi makanan, kesan pertama
yang dilihat adalah penjualnya, kalau penjualnya bersih, akan menjadi nilai plus tersendiri
yang nantinya bisa membuat orang terdorong untuk berbelanja di sana. Dengan menjaga
kebersihan kita juga bisa mendapatkan kepercayaan konsumen dan meningkatkan daya
jual.
3. Turun Tangan Pemerintah
Pemerintah harus turun tangan menjaga kualitas barang yang diperjual belikan dipasar,
hal ini agar menjadi jaminan bagi masyarakat bahwa barang yang dijual dipasar itu
berkualitas. Pemerintah seharusnya mengadakan razia pasar setiap minggunya, dan terus
memantau kualitas barang para pedagang. Seperti razia pasar yang diadakan jika ada
hari raya saja, itupun juga terkadang belum optimal. Kenapa hanya diadakan ketika
datang hari besar saja? Kenapa tidak dilakukan secara rutin tiap minggunya, karena
dalam kasus ini yang dipertaruhkan adalah keselamatan pembeli.
4. Membuat pasar tradisional dalam bentuk indoor agar mempermudah penataan.
Dengan membuat pasar dalam bentuk indoor, pemerintah lebih mudah untuk menata
karena wilayah nya sudah diketahui pasti berapa ukurannya, dan juga bisa dipastikan hal
hal apa yang bisa terjadi kalau penataan dilakukan.
Perbedaan Pasar Tradisional Dan Modern
 Pasar modern menawarkan diskon dan freebies sedangkan pasar tredisional tidak
ada
 Pasar modern lebih bersih dari pasar tradisional
 Jenis-jenis barang yang dijual pada pasar tradisonal terfokus pada kebutuhan
sandang-pangan sehari-hari dan kebutuhan premir, sedangkan pasar modern jenis-
jenis barangyang di jual adalah beragam dari barang-barang premis, subtitusi
bahkan ekslusif.
 Pembeli yang datang pada pasar modern berasal dari masyarakat setempat
danmasyarakat luar daerah sedangkan pasar tradisional pembelinya hanya dari
masyarakatsetempat.
 Penjual yang beraktifitas dalam pasar modern pada dasar nya telah
memilikipengalaman dalam pengatahuan bisnis sedangkan penjual yang
beraktifitas dalam pasartradisional hanya berharap pada nasib keuntungan.
 Modal yang di milik oleh penjual di pasar modal jumlah nya relative besar
sedangpenjual di pasar tradisional memiliki modal yang relative rendah.
 Pembeli yang datang pada pasar tradisional pada umumnya masyarakat
menengahkebawah dan masyarakat. Perekonomi rendah. Sedangkan pembeli pada
pasar modernumumnya masyarakat menengah ke atas dan masyarakat ekonomi
tinggi.
 Pasar modern tidak dapat tawar menawar sedangkan pasar tradisional dapat tawar
menawar
Pasar sebagai suatu bentuk pelayanan umum tempat terjadinya transaksi jual beli barang
bagi masyarakat, merupakan salah satu cerminan perekonomian dan sosial budaya setiap
komunitas di dunia ini. Seiring dengan perkembangan zaman, dari waktu ke waktu pasar
mengalami evolusi bentuk tempat dan cara pengelolaannya, dari yang bersifat tradisional
menjadi modern. Perkembangan tempat perbelanjaan di kota-kota di dunia, baik di
negara-negara Barat maupun Asia, semuanya melalui tahapan-tahapan, mulai dari pasar
tradisional, yang kemudian mengalami proses modernisasi menjadi toserba (toko serba
ada), jaringan toko, shopping center, department store, supermarket. Proses modernisasi
ini tidak terlepas dari perubahan pola demografi, spesialisasi dan diversifikasi profesi,
serta struktur sosial ekonomi dan perubahan budaya masyarakat (West, 1994).
Pada satu sisi keberadaan pasar-pasar modern (plaza/supermarket) tidak dapat diabaikan
seiring dengan perkembangan dan perubahan perilaku konsumtif masyarakat, namun
pada sisi lain keberadaan pasar tradisional sebagai tuntutan masyarakat kebanyakan juga
tidak bisa dipinggirkan. Situasi yang serba bertolak belakang ini senantiasa berdampak
pada terjadinya tarik menarik (trade off) antara pasar modern dengan pasar tradisional.
Keberadaan pasar tradisional di era modern seperti sekarang ini tidak saja masih
dibutuhkan, tetapi juga tidak dapat dipisahkan dari sistem kehidupan masyarakat
Indonesia. Kondisi ini disebabkan karena pada sebagian besar masyarakat Indonesia
masih banyak yang belum memahami manfaat dari perkembagan ilmu dan teknologi,
misalnya berbelanja melalui internet. Sampai saat ini menurut Basalah pasar tradisional
masih dominan peranannya di Indonesia dan masih sangat dibutuhkan keberadaannya,
terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Menurut Geertz di dalam pasar
tradisional tekanan terpenting dalam persaingan bukanlah antara kegigihan penjual
dengan penjual lainnya, tetapi persaingan antara kegigihan penjual dengan calon pembeli
dalam melakukan proses tawar menawar (Narwoko&Bagong, 2004 : 281) Manusia adalah
mahluk homo economics yang selalu ingin memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya
dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Karena itu kalau membeli barang selalu akan
memilih yang manfaatnya terbesar dengan harga tertentu atau harganya termurah.
Penjual yang ingin memperoleh harga yang inggi, barangnya tidak akan laku, karena
langsung disaingi sehingga terpaksa harus menurunkan harganya. Kebutuhan dan
keinginan pembeli yang bervariasi merupakan pedoman bagi pedagang dalam
melaksanakan usahanya. Pembeli biasanya memperlihatkan preferensi dan prioritas
barang yang berbeda-beda. Mereka pada umumnya menginginkan produk dan jasa yang
memuaskan kebutuhan mereka dengan harga yang besaing. Perbedaan-perbedaan inilah
yang menciptakan segmen pasar bagi para pembeli. Perilaku pembeli merupakan
tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh,
menggunakan, dan menentukan produk dan jasa, termasuk dalam proses pengambilan
keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan-tindakan tersebut (Setiadi, 2003 :
93)
Pada umumnya setiap pembeli selalu menginginkan barang-barang yang berkualitas
tinggi dengan harga yang murah dan suasana berbelanja yang nyaman, bersih dan
tersedia berbagai fasilitas yang dibutuhkan pembeli seperti transaksi elektronik (ATM dan
kartu kredit) dan tersedianya tempat parkir yang luas. Kesemua fasilitas tersebut
tentunya terdapat di pasar modern. Memuaskan pembeli adalah merupakan kunci sukses
dalam melaksanakan bisnis perdagangan. Berbagai tanggapan dari pelanggan perlu
diterima sebagai masukan yang berguna bagai pemgembangan suatu perdagangan, oleh
karena itu pedagang dalam mencapai tujuannya tersebut harus mengetahui apa yang
diinginkan dan yang dibutuhkan oleh pembelinya. Namun tidaklah mudah bagi pedagang
untuk mengenal watak dan prilaku dari pembelinya, karena bisa jadi apa yang
diungkapkan itu bertolak belakang dengan sebenarnya.
Pasar adalah salah satu dari berbagai sistem, institusi, prosedur, hubungan sosial dan
infrastruktur dimana usaha menjual barang, jasa dan tenaga kerja untuk orang-orang
dengan imbalan uang. Barang dan jasa yang dijual menggunakan alat pembayaran yang
sah seperti uang fiat. Kegiatan ini merupakan bagian dari perekonomian. Ini adalah
pengaturan yang memungkinkan pembeli dan penjual untuk item pertukaran. Persaingan
sangat penting dalam pasar, dan memisahkan pasar dari perdagangan. Dua orang
mungkin melakukan perdagangan, tetapi dibutuhkan setidaknya tiga orang untuk
memiliki pasar, sehingga ada persaingan pada setidaknya satu dari dua belah pihak.
Pasar bervariasi dalam ukuran, jangkauan, skala geografis, lokasi jenis dan berbagai
komunitas manusia, serta jenis barang dan jasa yang diperdagangkan. Beberapa contoh
termasuk pasar petani lokal yang diadakan di alun-alun kota atau tempat parkir, pusat
perbelanjaan dan pusat perbelanjaan, mata uang internasional dan pasar komoditas,
hukum menciptakan pasar seperti untuk izin polusi, dan pasar ilegal seperti pasar untuk
obat-obatan terlarang.
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai
dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses
tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran
terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual
kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran,
telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang
menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di
Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli
untuk mencapai pasar. Beberapa pasar tradisional yang "legendaris" antara lain adalah
pasar Beringharjo di Yogyakarta, pasar Klewer di Solo, pasar Johar di Semarang. Pasar
tradisional di seluruh Indonesia terus mencoba bertahan menghadapi serangan dari pasar
modern.
Maraknya pembangunan pasar modern seperti hypermarket dan supermarket telah
menyudutkan pasar tradisional di kawasan perkotaan, karena menggunakan konsep
penjualan produk yang lebih lengkap dan dikelola lebih profesional. Kemunculan pasar
modern di Indonesia berawal dari pusat perbelanjaan modern Sarinah di Jakarta pada
tahun 1966 dan selanjutnya diikuti pasar-pasar modern lain (1973 dimulai dari Sarinah
Jaya, Gelael dan Hero; 1996 munculnya hypermarket Alfa, Super, Goro dan Makro; 1997
dimulai peritel asing besar seperti Carrefour dan Continent; 1998 munculnya minimarket
secara besar-besaran oleh Alfamart dan Indomaret; 2000-an liberalisasi perdagangan
besar kepada pemodal asing), serta melibatkan pihak swasta lokal maupun asing.
Pesatnya perkembangan pasar yang bermodal kuat dan dikuasai oleh satu manajemen
tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintah untuk memperkuat kebijakan penanaman
modal asing.
Dampak dari hal yang dikemukakan, menurut survei AC Nielsen pada tahun 2004
didapatkan data bahwa pertumbuhan pasar modern 31,4% dan pasar tradisional bahkan
minus 8,1%. Hal ini menunjukkan adanya masalah yang dihadapi pasar tradisional
sebagai wadah utama penjualan produk-produk kebutuhan pokok yang dihasilkan oleh
para pelaku ekonomi skala menengah kecil.
Pasar tradisional selama ini kebanyakan terkesan kumuh, kotor, semrawut, bau dan
seterusnya yang merupakan stigma buruk yang dimilikinya. Namun demikian sampai saat
ini di kebanyakan tempat masih memiliki pengunjung atau pembeli yang masih setia
berbelanja di pasar tradisional. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga pasar
tradisional yang dalam perkembangannya menjadi sepi, ditinggalkan oleh pengunjung
atau pembelinya yang beralih ke pasar moderen.
Stigma yang melekat pada pasar tradisional secara umum dilatarbelakangi oleh perilaku
dari pedagang pasar, pengunjung atau pembeli dan pengelola pasar. Perilaku pedagang
pasar dan pengunjung dan pengunjung atau pembeli yang negatif secara perlahan dan
bertahap dapat diperbaiki, sekalipun memerlukan waktu lama. Keterlibatan pengelola
pasar dalam perbaikan perilaku ini adalah suatu keniscayaan.
Melekatnya stigma buruk pada pasar tradisional, seringkali mengakibatkan sebagian dari
para pengunjung mencari alternatif tempat belanja lain, di antaranya mengalihkan tempat
berbelanja ke pedagang kaki lima dan pedagang keliling yang lebih relatif mudah
dijangkau (tidak perlu masuk ke dalam pasar). Bahkan kebanyakan para pengunjung yang
tergolong di segmen berpendapatan menengah bawah ke atas cenderung beralih ke
pasar moderen, seperti pasar swalayan (supermarket dan minimarket) yang biasanya
lebih mementingkan kebersihan dan kenyamanan sebagai dasar pertimbangan beralihnya
tempat berbelanja.
Seringkali dikesankan bahwa perilaku pedagang yang menjadi penyebab utama terjadinya
kondisi di kebanyakan pasar tradisional memiliki stigma buruk. Sebaliknya, di lapangan di
lapangan dijumpai peran pengelola pasar terutama dari kalangan aparatur pemerintah
dalam mengupayakan perbaikan perilaku pedagang pasar tradisional masih sangat
terbatas. Banyak penyebab yang melatarbelakangi kondisi ini. Dimulai dari keterbatasn
jumlah tenaga dan kemampuan (kompetensi) individu tenaga pengelola pengelola serta
keterbatasan kelembagaan (organisasi) pengelola pasar untuk melakukan pengelolaan
pasar dan pembinaan pedagang,
Selanjutnya permasalahan yang dihadapi oleh para pengelola pasar di lapangan tidak
terlepas dari Kebijakan pimpinan daerah dan para pejabat di bawahnya (Kepala Satuan
Kerja Perangkat Daerah-SKPD) di tingkat Kabupaten atau Kota. Dari kebijakan yang
dikeluarkan dapat diketahui kepedulian mereka terhadap pasar tradisional berserta para
pedagang di dalamnya dan para Pedagang Kaki Lima (PKL). Seperti diketahui pembiaran
PKL dapat menyebabkan gangguan terhadap pasar tradsional dan para pedagang di
dalamnya, sehingga para PKL juga perlu ditata dan dibina seperti halnya dengan pasar
tradisional dan para pedagangnya.
Kepedulian Pimpinan Daerah dan Para Pejabat di bawahnya terhadap pasar tradisional
menentukan kebijakan dan bentuk organisasi dari instansi (SKPD) yang membidangi pasar
tradisional di daerahnya. Di beberapa daerah, pimpinan daerah meletakkan posisi pasar
semata-mata sebagai salah satu sumber utama. Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui
retribusi yang dipungut dari para pedagang. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pimpinan Daerah (Bupati/Walikota) dan Pejabat Daerah di tingkat bawahnya (Kepala
SKPD) lebih menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan
retribusi pasar, seperti Pengaturan Pemungutan dan Penyetoran Retribusi serta
Administrasi Keuangan (pembukuan) Retribusi semata daripada penekanan pada
pembinaan pasar termasuk di dalamnya pembinaan para pengelola pasar dan pedagang
pasar. Akibat dari adanya kebijakan optimalisasi pemungutan retribusi tersebut, maka
kepada para Kepala Pasar diberikan target-target yang untuk mencapainya pasar
diusahakan sedemikian rupa agar dapat menampung pedagang dalam jumlah sebanyak
mungkin, termasuk mengisi sebagian tempat-tempat kosong seperti tangga dan lorong-
lorong pasar yang seharusnya dibiarkan tetap kosong tanpa pedagang agar para
pengunjung tetap nyaman berlalu lalang.
Dalam situasi di mana peran pasar lebih ditekankan sebagai salah satu penghasil PAD,
maka di beberapa daerah mendudukan pasar tradisional di bawah Dinas Pendapatan
Daerah (DINPENDA). Karena kompeteinsi utama DINPENDA adalah penghimpun PAD,
maka sudah barang tentu SKPD ini tidak memiliki kompetensi sebagai pembina pasar
tradisional. Pembinaan para pedagang pasar biasanya diserahkan kepada dinas (SKPD)
yang membidangi perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Model pembinaan yang melibatkan dua SKPD ini biasanya sulit berjalan dengan baik,
mengingat masalah koordinasi di antara dua SKPD tersebut. Di sini SKPD pembina
pedagang pasar ketika melakukan pembinaan harus merasuk ke dalam unit kerja pasar
tradisional yang secara keorganisasian berada di bawah kewenangan DINPENDA.
Kesulitan dalam melakukan koordinasi ini sudah menjadi sesuatu hal yang lumrah karena
kentalnya ego sektoral yang pada akhirnya masalah ini menjadi salah satu sebab
munculnya stigma buruk yang melekat pada pasar tradisional sehingga tidak menarik
untuk dikunjungi oleh masyarakat konsumen. Sebenarnya kondisi ini berujung pada
berkurangnya jumlah pedagang yang berjualan di pasar tersebut yang pada akhirnya
dapat mengurangi besarnya retribusi yang dikumpulkan. Pembinaan pasar tradsional yang
ideal adalah mewujudkan terjadinya keseimbangan antara peran pasar sebagai penghasil
PAD dengan sebagai penyedia fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk melakukan
jual beli secara ekonomis dan mengikuti tradisi sosial budaya yang berkembang di daerah
setempat.
Dalam praktik yang paling banyak dijumpai adalah penggabungan antara tugas
pembinaan teknis bagi pengelola dan pedagang pasar dengan penghimpunan retribusi
sebagai PAD yang ditangani oleh satu SKPD yang sering disebut dengan Dinas
Pengelolaan Pasar (DPP). Penggabungan kedua tugas ini tampaknya merupakan jalan
tengah, antara di satu sisi ekstrim yaitu meletakkan peran pasar tradisional sebagai
penyumbang PAD semata dengan di sisi lain yaitu meletakkan peran pasar tradisional
untuk menyediakan tempat bagi masyarakat pedagang dan kalangan masyarakat
konsumen dalam bertransaksi jual beli. Kebijakan pembinaan dengan mengambil jalan
tengah yang menggabungkan kedua tugas seperti ini memang tidak sebaik jika fokus
pembinaan pasar tradisional diserahkan kepada salah satu SKPD yang memang memiliki
kompetensi inti pembinaan pasar dan pedagang.
Keterbatasan kemampuan manajerial pengelola pasar tradisional mempengaruhi kondisi
pasar yang bersangkutan, bahkan hal ini menjadi salah satu penyebab utama melekatnya
stigma negatif yang kini melekat di pasar-pasar tradisional pada umumnya. Berdasarkan
pengalaman empiris di 30 Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah, pasar-pasar tradisional
yang memiliki tingkat kebersihan, keamanan dan kenyamanan yang tinggi biasanya
memiliki Tim Pengelola Pasar dengan organisasi yang berstruktur lengkap dengan
pedoman kerja jelas dan cukup rinci. Selain itu pengelola pasar tersebut juga secara
intensif dibina dan disupervisi oleh SKPD yang membidangi pasar tradisional dan
pedagang (pedagang pasar dan PKL), dengan perkataan lain pasar tradisional tidak
semata difungsikan sebagai pengkontribusi PAD.
Seringkali Kepala Pasar memiliki keterbatasan wewenang (otoritas) dalam mengelola
pasar tradisonal yakni menghadapi petugas-petugas yang berada di bawah kendali SKPD
lain di luar SKPD yang mebidangi pasar dan pedagang, seperti petugas-petugas yang
menangani perparkiran, kebersihan dan pertamanan, pembangunan dan perawatan
sarana dan prasarana (bangunan, fasilitas air bersih, listrik, pengolahan sampah dan air
limbah), dan juga terkadang yang menangani ketertiban PKL. Di sini peran SKPD pembina
sangat diperlukan untuk berkoordinasi dengan SKPD lain yang terkait.
Bentuk organisasi pengelola pasar juga seringkali menentukan efektivitas pengelolaan
pasar tradisional. Di beberapa kabupaten/kota bentuk organisasi pengelola adalah Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang membawahi lebih dari satu pasar ( tiga atau empat
pasar). Seringkali kemampuan manajerial Kepala UPTD tidak seimbang dengan jumlah
pasar yang harus dikelolanya, sehingga terkesan pasar-pasar tersebut sebatas sebagai
unit sumber PAD.
Di beberapa kota, organisasi pengelola pasar tradisional berbentuk Perusahaan Daerah
(PERUSDA) seperti di DKI Jakarta, Surabaya dan Bogor. PERUSDA biasanya memiliki
kemampuan manajemen yang lebih baik dibanding pihak-pihak penngelola pasar
ttradisional di bawah SKPD yang membidangi pasar. Namun tampaknya kemampuan
dalam membina para pedangan di pasar-pasar tersebut masih lemah, sehingga ciri
kekumuhan pasar-pasar tradisional di bawah PERUSDA masih terlihat.

ss

SOLUSI
Sosialisasikan aturan-aturan mengenai pasar tradisional, larangan-larangan dan perintah
serta hak dan kewajiban pedagang, serta penegasan sangsi bagi yang melanggarnya.
Pemerintah harus berani menertibkan pedagang kaki lima yang menempati tempat yang
tidak seharusnya ditempati.
Hendaknya pembangunan pasar tradisional terdiri dari pembangunan fisik dan
pembangunan non fisik. Pembangunan fisik menurut permendagri antara lain:
a. penentuan lokasi;
b. penyediaan fasilitas bangunan dan tata letak pasar; dan
c. sarana pendukung
Sarana pendukung sebagaimana dimaksud antara lain:
a. kantor pengelola;
b. areal parkir;
c. tempat pembuangan sampah sementara/sarana pengelolaan sampah;
d. air bersih;
e. sanitasi/drainase;
f. tempat ibadah;
g. toilet umum;
h. pos keamanan;
i. tempat pengelolaan limbah/Instalasi Pengelolaan Air Limbah;
j. hidran dan fasilitas pemadam kebakaran;
k. penteraan;
l. sarana komunikasi; dan
m. area bongkar muat dagangan.

Anda mungkin juga menyukai