Anda di halaman 1dari 2

Biaya Sertifikasi SNI Memberatkan Industri Kecil

JAKARTA. Sebagai standar sebuah hasil produksi, Standar Nasional Indonesia (SNI) bisa

menjadi tameng pelindung bagi konsumen. Namun kalangan industri berharap penerapan

SNI ini jangan sampai memberatkan dari sisi biaya.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat mengatakan, mendukung program

SNI di tengah serbuan tekstil impor, utamanya dari China dan beberapa negara tetangga.

Namun lantaran masih banyak industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang berstatus industri

kecil, penerapan SNI inipun jadi memberatkan. "Jangan memberatkan bagi industri kecil,"

kata Ade, kemarin.

Pengurusan sertiflkasi SNI memang membutuhkan biaya. Biaya ini diperlukan untuk audit

oleh Lembaga Sertiflkasi Produk (LSPro) hingga biaya perpanjangan sertiflkasi. Tiap tahapan

pengurusan sertifikat ini, pelaku industri harus mengeluarkan biaya.

Untuk produk tekstil misalnya. Untuk memperoleh sertifikasi produk bertanda SNI,

perusahaan perlu melakukan serangkaian kegiatan mulai dari pendaftaran sampai audit

serta mentaati ketentuan yang berlaku. Di mana semua biaya Sertifikasi ditanggung oleh

perusahaan.

Sebagai salah satu lembaga sertiflkasi TPT, Ade mencontohkan, Balai Besar Tekstil (BBT)

memasang biaya pengurusan SNI sebesar Rp 14,2 juta. Biaya ini mulai untuk pendaftaran

sebesar Rp 100.000, asesmen Rp 500.000, audit lapangan sebesar Rp 7 juta, biaya sertifikat

Rp 100.000, biaya tim teknis sebesar Rp 4 juta, biaya proses Sertifikasi Rp 1,5 juta, dan

pengambilan contoh produk Rp 1 juta. Masih ada lagi biaya pengujian yang tergantung

kepada jumlah contoh yang diambil dan dilakukan setiap enam bulan sekali.

Lalu biaya transportasi dan akomodasi auditor. Bahkan setelah sertiflkasi SNI, perusahaan

yang memiliki sertifikat pun tetap harus mengeluarkan biaya rutin berupa pengawasan

Sistem Manajemen Mutu sebesar Rp 5,5 juta per tahun. Lantas ada biaya perpanjangan masa

sertifikat sebesar Rp 8,7 juta.


Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo)

Ambar Tjahyono bilang, mayoritas pelaku industri mebel dan kerajinan masih berstatus

industri kecil. Sehingga jangan sampai tujuan baik dari program ini justru menyulitkan pelaku

industri mebel dan kerajinan. "Termasuk birokrasinya dipermudah," katanya.

Arryanto Sagala, Kepala Badan Pengkajian Iklim dan Mutu Industri Kementerian

Perindustrian bilang, pemerintah terus berupaya agar program yang dicanangkan tidak

menyulitkan industri.

Namun ia mengingatkan kalangan industri juga harus berupaya keras untuk meningkatkan

daya saing industri nasional di tengah serbuan produk impor yang terus menyasar Indonesia.

"Konsumen lah yang menjadi tujuan perlindungan dari produk tidak berkualitas," ujarnya.

sumber : Kontan Harian

Anda mungkin juga menyukai