Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an dan hadits telah memberi tuntunan yang begitu baik dan cukup
untuk pembinaan pribadi muslim dengan ajaran ibadah mahdhahnya (perbuatan
yang telah ditentukan syarat dan rukunnya), termasuk dalam pembinaan sebuah
keluarga. Tidak terlepas pula dalam hal tersebut salah satunya mengenai
pernikahan. Karena pada dasarnya manusia diciptakan berpasang-pasangan,
seperti yang dijelaskan ayat berikut:

‫ق اَلذزنوثجنينن اَلذذثكثر ثواَنللننثثىى‬


‫ثوأثنذهل ثخلث ث‬
dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.

Pernikahan menurut Undang-Undang Tentang Perkawinan ialah ikatan


lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa1. Pada makalah ini pemakalah mencoba untuk
membahas mengenai pernikahan dalam segi Ilmu Fiqh.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Itu Pernikahan?
2. Bagaimana Hukum Melakukan Pernikahan?
3. Bagaimana Tujuan Dari Sebuah Pernikahan?
4. Bagaimana Rukun dan Syarat Sah Pernikahan?
5. Apa Itu Mahram?
6. Apa Hikmah Pernikahan?
7. Bagaimana Hak dan Kewajiban Suami Istri?

C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Pernikahan
2. Mengetahui Hukum Melakukan Pernikahan
3. Mengetahui Tujuan Pernikahan?
4. Mengetahui Rukun dan Syarat Sah Pernikahan

1
Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, diakses dari hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm , pada tanggal
24 Februari 2018 pukul 00.20.

1
5. Mengetahui Tentang Mahram
6. Mengetahui Hak dan Kewajiban Suami Istri
7. Mengetahui Hikmah Pernikahan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Munakahat (Pernikahan)

2
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering
diterjemahkan dengan perkawinan2. Nikah menurut istilah syariat Islam adalah
akad yang menghalalkan pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang
tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan
kewjiban antara kedua insan.
Hubungan antara seorang laki – laki dan perempuan adalah merupakan
tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan
hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki – laki dn
perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan,
keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki – laki maupun perempuan, bagi
keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling
kedua insan tersebut.
Berbeda dengan pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang tidak
dibina dengan sarana pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi kedua
insan itu, keturunannya dan masyarakat disekelilingnya. Pergaulan yang diikat
dengan tali pernikahan akan membawa mereka menjadi satu dalam urusan
kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat menjadi hubungan saling
tolong menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga
kejahatan yang mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu. Dengan
pernikahan seseorang juga akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.

B. Hukum Pernikahan
Tentang hukum pernikahan, ibnu rusyd menjelaskan:
Segolongan fuqaha, yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa
nikah itu hukumnya sunnat. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah
itu wajib. Para ulama malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu
wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya, dan mubah untuk
segolongan lainnya. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan
kekhawatiran (kesusahan) dirinya.
1. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda
pada kejahatan (zina).
2. Sunat, bagi orang yang berkemauan dan kemampuan untuk melangsungkan
pernikahan, tetapi kalau tidak nikah tidak dikhawatirkan akan berbuat zina.
2
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm 7

3
3. Mubah, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi
apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila
melakukannya juga tidak akan melantarkan istri. Perkawinan orang tersebut
hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga
kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera3.
4. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
5. Haram, bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya.4
Terlepas dari para pendapat ulama serta imam – imam mazhab, baik Al-
Quran maupun As-Sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang
mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat dari
segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka
melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, haram,
makruh, ataupun mubah.

C. Tujuan Pernikahan
Hukum islam merumuskan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah yaitu
rumah tangga yang tentram, penuh kasih sayang serta bahagia lahir dan batin.
Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Ar-ruum ayat 21:
‫ق لثلكنم نمنن أثننفلنسلكنم أثنزثواَججاَ لنتثنسلكلنوُاَ إنلثنيثهاَ ثوثجثعثل‬
‫ثونمنن آثياَتننه أثنن ثخلث ث‬
‫ت لنقثنوُمم يثتثفثذكلرون‬ ‫ك لثياَ م‬ ‫بثنينثلكنم ثمثوُذدةج ثوثرنحثمةج إنذن نفيِ ثذلن ث‬
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.
Tujuan pernikahan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat biologis
yang menghalalkan hubungan seksual antara kedua belah pihak, tetapi lebih
luas meliputi segala aspek kehidupan rumah tangga, baik lahiriah maupun
batiniah. Sesungguhnya pernikahan itu ikatan yang mulia dan penuh barakah.
Allah SWT mensyari’atkan untuk keselamatan hambanya dan kemanfaatan
3
Abdul Rahman Ghozali: Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003), hlm 21.
4
H. Sulaiman Rasjid: Fiqh Islam (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2013), hlm. 381.

4
bagi manusia agar tercapai maksud dan tujuan yang baik. Secara garis besarnya
tujuan dari penikahan adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh Kebahagiaan dan Ketenteraman Hidup
Seseorang yang telah melangsungkan pernikahan hidupnya menjadi lebih
tenteram dan bahagia.
2. Memperoleh Keturunan yang Sah
Pernikahan bertujuan memperoleh keturunan yang sah menurut agama.
Pernikahan juga akan memberikan status dan kedudukan kepada anak yang
dilahirkan. Oleh karena itu, Allah swt. melarang hamba-Nya berbuat zina.
Larangan tersebut difirmankan Allah swt. dalam Al-Quran al-Isr-a' Ayat 32
‫ثوثل تثنقثرلبوُاَ اَلززثناَ إننذهل ثكاَثن ثفاَنحثشةج ثوثساَثء ثسنبيجل‬
"Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan
keji dan suatu jalan yang buruk”
3. Menjaga Kehormatan dan harkat Manusia
Dengan pernikahan yang sah, kehormatan seseorang akan terjaga. Ia juga
akan mendapatkan tempat dalam masyarakat di sekelilingnya.
4. Mengikuti Sunah Rasulullah saw.
Pernikahan merupakan sunah Rasulullah saw. Hal ini dijelaskan
Rasulullah saw. dalam hadis yang artinya
"Nikah adalah sunahku. Barang siapa tidak mengerjakan sunahku, ia tidak
termasuk golonganku. Menikahlah! Sesungguhnya aku ingin memperbanyak
umatku dengan (pernikahan) kalian. Barang siapa memiliki kemampuan (untuk
menikah), hendaklah ia segera menikah. Barang siapa yang belum mampu,
hendaklah ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu akan menjadi perisai (dari
berzina) baginya. (H.R. Ibnu Majah dari Aisyah: 1836)5
Dengan tercapainya tujuan di atas akan didapatkan keluarga yang skinah
dan selalu mendapat limpahan rahmat, berkah, dan hidayah dari Allah swt.

D. Rukun Nikah
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu teridiri atas:6
1. Adanya calon suami istri yang melakukan pernikahan
2. Sigat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali,
“Saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama...”. Jawab mempelai

5
http://www.medrec07.com/2016/01/pengertian-nikah-beserta-hukum-tujuan.html, diakses
pada 4 maret 2018, pukul 20:00 WIB.
6
Slamet Abidin dan H. Aminudin, Fiqh Munakahat 1 (Bandung: Pustaka Setia, 1999) hlm 64

5
laki-laki, “Saya terima menikahi...”. Tidak sah akad nikah kecuali dengan
lafaz nikah, tazwij, atau terjemahan dari keduanya.
3. Wali (wali si perempuan). Keterangannya adalah dari sabda Nabi
Muhammad SAW: “Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang
lain, dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.”
(Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni). Penjelasan lebih lanjut mengenai
salah satu rukun nikah yakni mengenai wali mempelai perempuan ialah
dianggap sahnya suatu pernikahan tentu tak lepas dari yang namanya
aturan. Susunan di dalam menjadi wali mempelai perempuan yang di
perbolehkan seperti telah diketahui pada umumnya, yaitu:
1. Bapaknya.
2. Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan).
3. Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
4. Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak
dengannya.
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja
dengannya.
7. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak).
8. Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya.
9. Hakim.7
Syarat Wali dan Dua Saksi
1. Islam. Orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali
atau saksi.
2. Balig (sudah berumur sedikitnya 15 tahun).
3. Berakal.
4. Merdeka.
5. Laki-laki.
6. Adil.8
4. Dua orang saksi. Sabda Nabi Muhammad SAW: “Tidak sah nikah kecuali
dengan wali dan dua saksi yang adil.” (Riwayat Ahmad).

E. Mahram

‫خ‬ ‫ت ثعلثنيلكنم ألذمثهاَتللكنم ثوبثثناَتللكنم ثوأثثخثوُاَتللكنم ثوثعذماَتللكنم ثوثخاَثلتللكنم ثوبثثناَ ل‬


‫ت اَنلث ن‬ ‫لحزرثم ن‬
‫ضاَثعنة‬‫ضنعنثلكنم ثوأثثخثوُاَتللكنم نمثن اَلذر ث‬ ‫ت ثوألذمثهاَتللكلم اَلذلنتيِ أثنر ث‬ ‫ت اَنللنخ ن‬ ‫ثوبثثناَ ل‬
7
H. Sulaiman Rasjid: Fiqh Islam (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2013), hlm. 383.
8
Ibid., hlm. 384.

6
‫ت ننثساَئنلكنم ثوثرثباَئنبللكلم اَلذلنتيِ نفيِ لحلجوُنرلكنم نمنن ننثساَئنلكلم اَلذلنتيِ ثدثخنلتلنم‬ ‫ثوألذمثهاَ ل‬
‫بننهذن فثإ ننن لثنم تثلكوُلنوُاَ ثدثخنلتلنم بننهذن فثثل لجثناَثح ثعلثنيلكنم ثوثحثلئنلل أثنبثناَئنلكلم اَلذنذيثن نمنن‬
‫صثلبنلكنم ثوأثنن تثنجثملعوُاَ بثنيثن اَنللنختثنينن إنذل ثماَ قثند ثسلث ث‬
‫ف َ إنذن ذ‬
َ‫اث ثكاَثن ثغلفوُجرا‬ ‫أث ن‬
َ‫ما‬
‫ثرنحي ج‬

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang


perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu
yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-
saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan
dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu)
istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara , kecuali yang telah terjadi pada
masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-
Nisa’ 4:23).
Ayat Al-Qur’an dari QS. An-Nisa’ ayat 23 tersebut sedikit banyaknya
dapat menjelaskan tentang mahram. Mahram adalah orang yang tidak halal untuk
dinikahi. Mahram sendiri ada 14 macam, yaitu:
a. Tujuh orang dari pihak keturunan:
- Ibu dan ibunya (nenek), ibu dari bapak, dan seterusnya sampai ke atas.
- Anak dan cucu, dan seterusnya ke bawah.
- Saudara perempuan seibu sebapak, sebapak, atau seibu saja.
- Saudara perempuan dari bapak.
- Saudara perempuan dari ibu.
- Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya.
- Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya.
b. Dua orang dari sebab menyusu:
- Ibu yang menyusuinya.
- Saudara perempuan sepersusuan.
c. Lima orang dari sebab pernikahan:
- Ibu istri (mertua).

7
- Anak tiri, apabila sudah campur dengan ibunya.
- Istri anak (menantu).
- Istri bapak (ibu tiri).
- Haram menikahi dua orang dengan cara dikumpulkan bersama-sama, yaitu
dua orang perempuan yang ada hubungan mahram.9

F. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Pernikahan


a. Hak suami atas istri, diantaranya:
- Istri hendaklah taat kepada suami dalam melaksanakan urusan rumah
tangga selama suami menjalankan ketentuan-ketentuan Islam yang
berhubungan dengan kehidupan suami istri.
- Istri mengurus dan menjaga rumah tangga, termasuk mengasuh dan
memelihara anak dan harta rumah tangga.
b. Hak istri atas suami, diantaranya:
- Memperoleh mahar dan nafkah dari suami. Meliputi makanan dan
minuman, pakaian, tempat tinggal, pengobatan, dan lain-lain. Jikalau suami
tidak memberikan nafkah, istri boleh mengambil harta kepemilikan suami
tanpa sepengetahuannya yang mencukupi baginya dan anaknya dengan cara
yang baik.
- Mendapat perlakuan yang baik dari suami.
- Suami menjaga dan memelihara istrinya. Seperti menjaga kehormatan istri,
tidak menyia-nyiakannya dan menjaganya agar selalu melaksanakan
perintah Allah SWT.
c. Hak bersama suami istri, diantaranya:
- Halalnya pergaulan sebagai suami istri dan kesempatan saling menikmati
atas dasar kerja sama dan saling memerlukan.
- Perlakuan dan pergaulan yang baik.
- Haram hukumnya istri dinikahi oleh ayah suaminya, diganti dengan kata,
anaknya dan cucunya juga ibu istri, anak perempuannya, dan seluruh
cucunya haram dinikahi oleh suaminya.
- Saling mewarisi.
- Sahnya menasabkan anak kepada suami.10
d. Kewajiban suami, diantaranya:
- Suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya.
- Menuntun dan membimbing istri serta anak-anaknya agar taat dan patuh
menjalankan ajaran agama.

9
H. Sulaiman Rasjid: Fiqh Islam (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2013), hlm. 389.
10
Hj. Huzaimah Tahido Yanggo: Masail Fiqhiyah (Bandung: Penerbit Angkasa, 2005), hlm. 134.

8
- Bergaul dengan cara yang baik kepada istrinya, yaitu menghormati dan
memperlakukannya secara wajar, menahan diri dari sikap yang tidak
menyenangkannya, dan tidak boleh berlaku kasar terhadap istrinya.
- Menciptakan suasana kehidupan rumah tangga yang aman dan tenteram,
rukun, dan damai yang dijalin dengan kemesraan dan kasih sayang.
- Membantu tugas-tugas istri terutama dalam hal memelihara dan mendidik
anak-anaknya.
- Memberi kebebasan berpikir dan bertindak kepada istri sesuai dengan
ajaran agama, tidak mempersulit, apalagi membuat istri menderita lahir dan
batin yang dapat mendorong istri berbuat salah.
- Dapat mengatasi keadaan dan kesulitan, mencari penyelesaian secara
bijaksana dan tidak berbuat sewenang-wenang.
e. Kewajiban bersama suami istri, diantaranya:
- Saling menghormati keluarga dan orang tua dan keluarga kedua belah
pihak.
- Memupuk rasa cinta dan kasih sayang.
- Hormat menghormati, sopan santun, penuh pengertian, serta bergaul
dengan baik.
- Matang dalam berbuat serta berpikir tidak bersikap emosional dalam
memecahkan persoalan yang dihadapi.
- Memelihara kepercayaan dan tidak saling membuka rahasia pribadi.11
Sesungguhnya peran suami dan istri dalam penjelasan lebih lanjut
mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam pernikahan itu masing-masing dari
keduanya sama-sama penting dan keduanya dibutuhkan untuk saling melengkapi
dan menyempurnakan.

G. Hikmah Pernikahan
1. Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan
maksiat.
2. Perkawinan untuk melanjutkan keturunan12
3. Bisa saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak.
4. Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh
– sungguh dalam mencukupi keluarga.
5. Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang
lain bekerja diluar.
11
Ibid, hlm. 136.
12
Ali Ahmad Al – Jurjawi, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, (Semarang: CV As-Syifa, 1992), hlm
256

9
6. Menumbuhkan tali kekeluargaan dan mempererat hubungan.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
a. Pengertian Munakahat (Pernikahan), nikah menurut istilah syariat
Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki – laki
dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan
akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.
b. Hukum Melakukan Pernikahan, baik Al-Quran maupun As-
Sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu
untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat
dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan
melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat
dikenakan hukum wajib, sunnat, haram, makruh, ataupun mubah.
c. Tujuan Pernikahan, tujuan pernikahan tidak hanya terbatas pada
hal-hal yang bersifat biologis yang menghalalkan hubungan
seksual antara kedua belah pihak, tetapi lebih luas meliputi segala
aspek kehidupan rumah tangga, baik lahiriah maupun batiniah.
d. Rukun Nikah, terdiri atas Akad, Wali, dan Saksi.
e. Mahram, Mahram adalah orang yang tidak halal untuk dinikahi.

10
f. Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Pernikahan, mengenai hak
dan kewajiban suami istri dalam pernikahan itu masing-masing
dari keduanya sama-sama penting dan keduanya dibutuhkan untuk
saling melengkapi dan menyempurnakan.
g. Hikmah Melakukan Pernikahan, diantaranya perkawinan dapat
menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan maksiat,
Perkawinan untuk melanjutkan keturunan, bisa saling melengkapi
dalam suasana hidup dengan anak – anak.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini kami harap pembaca serta penulis dapat
memahami lebih dalam mengenai pernikahan berdasarkan ilmu fiqh.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,


diakses dari hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.html
Ghozali, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana
Abidin, Slamet dan H. Aminudin. 1999. Fiqh Munakahat 1. Bandung: Pustaka
Setia.
H. Sulaiman Rasjid. 2013. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
http://www.medrec07.com/2016/01/pengertian-nikah-beserta-hukum-tujuan.html
Hj. Huzaimah Tahido Yanggo. 2005. Masail Fiqhiyah. Bandung: Penerbit
Angkasa.
Ali Ahmad, Al – Jurjawi. 1992. Falsafah dan Hikmah Hukum Islam. Semarang:
CV As-Syifa.
Tihami, dan Sohari Sahrani. 2010. Fikih Munakahat. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

11

Anda mungkin juga menyukai