Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN KASUS

Topik : Krisis Hiperglikemi suspek HHS dd KAD ec ISK dd


suspek massa buli, Anemia

Diajukan dalam rangka praktek klinis dokter internsip sekaligus bagian dari
persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia di RSUD
Simo Boyolali

Disusun oleh :

dr. Aprilisasi Purnama Sari

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAHSAKIT UMUM DAERAH SIMO

KABUPATEN BOYOLALI

2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

Krisis Hiperglikemi suspek HHS dd KAD ec ISK dd suspek massa


buli, Anemia

Disusun oleh :
dr. Aprilisasi Purnama Sari

Telah dipresentasikan pada


Tanggal, Juli 2018

Pembimbing,

dr. Yopie Ibrahim

2
BORANG PORTOFOLIO KASUS MEDIK

Krisis Hiperglikemi suspek HHS dd KAD ec ISK dd suspek massa buli,


Topik : Anemia

Tanggal MRS : 9 Juni 2018


Presenter : dr. Aprilisasi PS
Tanggal Periksa : 9 Juni 2018
Tanggal Presentasi : 20 Juli 2018 Pendamping : dr. Yopie Ibrahim
Tempat Presentasi :
Objektif Presentasi :
□ Tinjauan
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran
Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia
Bumil
Wanita, 52 tahun 11 bulan dengan hiperglikemi hyperosmolar non ketotik ec
□ Deskripsi :
dd ISK, anemia
Aplikasi prosedur dan tindakan kedokteran berdasarkan atas sumpah dokter,
□ Tujuan :
kode etik dokter dan peraturan tentang praktik kedokteran
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :
Data Pasien : Nama :Ny. K, 52 tahun 11 bulan No. Registrasi : 150709xxxx
Nama RS : RSUD SIMO Telp : Terdaftar sejak:
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Keluhan Utama : lemas sejak 2 hari yang lalu
Pasien wanita usia 52 tahun, datang dibawa oleh keluarga dengan keluhan lemas
yang dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Lemas dirasakan pada seluruh tubuh, tidak

3
membaik setelah makan dan istirahat. Selain itu pasien juga mengeluhkan pusing dan
sulit buang air kecil. Pusing dirasakan cekot- cekot di pelipis dan tidak berputar. Sulit
buang air kecil dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Pasien sehari- hari menggunakan
pampers. BAK masih bisa keluar sedikit, anyang- anyangan (-), kencing berwarna
kuning, nyeri saat BAK (+), demam (-), perut terasa penuh (+) dan sedikit nyeri. BAB
tidak ada keluhan.
Pasien memiliki riwayat sakit gula sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu, sudah
rutin kontrol dan memakai suntikan insulin setiap malam sebelum tidur.
2. Riwayat Pengobatan : Pengobatan DM dengan suntik insulin malam hari sebelum tidur
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Pasien belum pernah mengalami keluhan lemas seperti
ini sebelumnya. Pasien terdiagnosis Diabetes mellitus tipe 2 kurang lebih 5 tahun lalu.
4. Riwayat Keluarga : Riwayat keluhan serupa disangkal.
5. Riwayat Pekerjaan : Pasien sudah tidak bekerja saat ini dan hanya di rumah
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik :Status ekonomi keluarga pasien termasuk
menengah ke bawah.
7. Lain-lain :
Sosial ekonomi menengah ke bawah, pasien berobat dengan biaya mandiri karena
tidak memiliki BPJS

Daftar Pustaka :
1. Adamson WJ, dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine, edisi 16. NewYork :
McGraw Hill, 2005.
2. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes.

3. Benoist B, dkk. Worldwide Prevalence of Anaemia 1993-2005. Switzerland : WHO, 2008.


4. Despopoulos A, dkk. Color Atlas of Physiology, edisi 5. USA : Thieme, 2003.
5. Foster, Daniel W. 2000. Diabetes Mellitus. Dalam : Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit
dalam edisi 13/ editor edisi bahasa inggris, Kurt J. Isselbacher et al; editor bahasa
Indonesia, Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC.
6. Hemphill, Robert R. 2012. Hyperosmolar Hyperglicemic State. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1914705-overview#a0156

4
6. Kurnia. 2010. Mekanisme Terjadinya Diabetes. Available at :
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/2094446-
mekanisme-terjadinya-diabetes/#ixzz1PmiprcMK
7. Mansjoer, Arif, Triyanti, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3. Jakarta : Media
Aesculapuis.
Price Sylvia A, dkk. Patofisiologi, edisi 6. Jakarta : EGC, 2005.
8. Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
9. Sherwood L, dkk. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi 6. Jakarta : EGC, 2011.
10.Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica
Ester, Yasmin asih. Jakarta : EGC.
11. Soegondo S. Obesitas. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, dkk (Eds). Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007;
4;3:1919-25.
12. Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Dalam : Aru
W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.
13. Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state, American Academy of Family Physician,
http://www.aafo.org/afp/20050501/1723.html
14. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : FKUI
15. WHO. Diabetes Mellitus, WHO Geneva, Available at : Http//www.who.int.inf.fs/en/fact
138.html
16. World Health Organization. Iron Deficiency Anaemia : Assessment, Prevention, and
Control. Switzerland : WHO, 2001.

Hasil Pembelajaran :
1. Krisis Hiperglikemi suspek HHS dd KAD ec ISK dd suspek massa buli, Anemia
2. Penegakan diagnosis Krisis Hiperglikemi suspek HHS dd KAD ec ISK dd suspek massa
buli, Anemia

5
3. Tatalaksana Krisis Hiperglikemi suspek HHS dd KAD ec ISK dd suspek massa buli,
Anemia

Keterangan Umum :
Nama : Ny. K
Usia : 52 tahun 11 bulan
No RM : 150709xxxx
Alamat : Poncol, Nogosari
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga Negara : Warga Negara Indonesia (WNI)
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status pernikahan : Menikah
A. ANAMNESIS
SUBJEKTIF
Keluhan Utama : lemas sejak 2 hari yang lalu
Pasien wanita usia 52 tahun, datang dibawa oleh keluarga dengan
keluhan lemas yang dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Lemas dirasakan pada
seluruh tubuh, tidak membaik setelah makan dan istirahat. Selain itu pasien
juga mengeluhkan pusing dan sulit buang air kecil. Pusing dirasakan cekot-
cekot di pelipis dan tidak berputar. Sulit buang air kecil dirasakan sejak 2
hari yang lalu. Pasien sehari- hari menggunakan pampers. BAK masih bisa
keluar sedikit, anyang- anyangan (-), kencing berwarna kuning, nyeri saat
BAK (+), demam (-), perut terasa penuh (+) dan sedikit nyeri. BAB tidak
ada keluhan.
Pasien memiliki riwayat sakit gula sejak kurang lebih 5 tahun yang
lalu, sudah rutin kontrol dan memakai suntikan insulin setiap malam
sebelum tidur.

B. PEMERIKSAAN FISIK
OBJECTIVE

6
PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum : Lemah
 Kesadaran : apatis (GCS E3V5M5)
 Vital sign
o Tekanan Darah : 120/80
o Nadi: 82x/menit
o RR: 20x/menit

o Temp: 360 C
 Kepala leher:

o Mata : Reflek pupil +/+ , Pupil isokor 2mm/2mm , konjunctiva
anemis +/+, ikterus -/-.

o THT :
 
 Telinga: sekret (-)
 
 Hidung : nafas cuping hidung (-)
 
Tenggorokan : dbn

o Bibir: sianosis (-), kering (+)


o pembesaran KGB (-)
 Thorax:

o Pulmo:
 
 Inspeksi : simetris, retraksi (-)
 
 Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
 
 Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
 
Auskultasi: Vesikuler +/+, rhonki basah halus -/-, wheezing -/-

o Cor:
 
 Inspeksi: tak tampak ictus cordis
 
 Palpasi: ictus cordis di ICS 5 MCL S
 
 Perkusi: batas jantung dalam batas normal
 
 Auskultasi: s1 s2 tunggal m- g- regular

 Abdomen:

7
o Inspeksi : distensi (+)
o Auskultasi : bising usus (+) normal
o Palpasi : teraba sedikit keras, Hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan +
suprapubik
o Perkusi : tymphani (+)
 Ekstremitas :
Superior : KM 5/5, RF +/+, RP -/-, tonus N/N, trofi eu/eu, edem -/-
Inferior : KM 5/5, RF +/+, RP -/-, tonus N/N, trofi eu/eu, edem -/-

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Darah
Tanggal 9 Juni 2018
No. Jenis Pemeriksaan Hasil Keterangan
1 Hb 8,7 g/dL Low
2 Ht 24,3 % Normal
3 MCV 74,1 fL Normal
4 MCH 26,5 pg Normal
5 MCHC 35,8 g/dL Normal
6 Leukosit 24.170 High
7 Trombosit 560.000 High
8 GDS 523 mg/dL High

Urin
Tanggal 10 Juni 2018
No. Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Makroskopis
1 Warna Kuning kemerahan Kuning
2 Kekeruhan Keruh Jernih
Kimia
3 Keton Positif 2 Negatif
4 Protein Positif 2 Negatif
5 Eritrosit Positif 3 Negatif
6 Glukosa Positif 2 Negatif
Mikroskopis
7 Leukosit Positif 3 0-3
8 Eritrosit Positif 2 0-4
9 Epithel Positif 1 1-5
10 Bakteri Positif 1 Negatif

8
2. EKG
Tanggal 9 Juni 2018

D. DIAGNOSIS
BANDING Hipoglikemi

E. DIAGNOSIS KERJA
Krisis Hiperglikemi suspek HHS dd KAD ec dd ISK dd suspek massa buli,
Anemia

F. PENATALAKSANAAN
a) Planning Therapy
1. IVFD RL loading 1L selama 1 jam
2. Insulin rapid drip 100 IU dalam 500 ml RL 10 tpm evaluasi GDS per

9
jam
3. Inj. Ciprofloxacin 200 mg/12 jam
4. Metronidazol drip 500 mg/12 jam
5. Inbion 2x1
b) Planning Monitoring
1. Keluhan Subyektif
2. Tanda Vital
3. GDS per jam
4. GDS <250 mg/dl IVFD RL tanpa drip insulin
5. Urin output
c) Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Rutin
2. EKG
3. GDS / jam
4. Urin rutin
5. USG urography
G. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

H. PERKEMBANGAN PASIEN DI IGD

Jam GDS Terapi


17.05 523 mg/dl Loading RL 2 fl
18.20 Hi *urin output 900 cc

Loading RL 2 fl
19.40 523 mg/dl Loading RL 2 fl
21.20 516 mg/dl Drip RI 50 IU dalam RL
500 cc 10 tpm

10
21.50 536 mg/dl Drip RI 50 IU dalam RL
500 cc 10 tpm + RI 25
IU bolus
22.25 493 mg/dl Drip RI 50 IU dalam RL
500 cc10 tpm + RI 25 IU
bolus
23.20 460 mg/dl Masuk bangsal
HASIL FOLLOW UP

Tanggal S-O A P
10/06/18 Subyektif: HHS dengan Inf RL 20 tpm
Pasien merasa lemas, akut tubular Inj. Ciprofloxacin 200
pusing, nyeri perut nekrosis mg/12 jam
Obyektif : dd susp massa Metronidazol drip 500
TD :103/99 mmHg buli mg/12 jam
N : 100 x/menit Inbion 2x1
S : 37.0 C Rapid insulin 3x 6 IU
RR : 20 x/menit Lantus 1x 12 IU (malam)
GDS: 223 GDS /6 jam
Ur: 115,1
Cr: 1,97
11/06/18 Subyektif: HHS dengan Inf RL 20 tpm
Pasien mengatakan akut tubular Inj. Ciprofloxacin 200
tidak bisa tidur, lemas nekrosis mg/12 jam
Obyektif : susp massa buli Rapid insulin 3x 20 IU
KU: sedang, CM dd cystitis kronis Lantus 1x 20 IU
TD : 99/68mmHg Hidronefrosis GDS / 6 jam
N : 103 x/menit bilateral gr.I Cystography (Hasil
S : 36.5 C susp obstruksi terlampir)
RR : 20x/menit
GDS : 328

11
USG urologi (hasil
terlampir)
12/06/18 Subyektif: DM tipe2 Inf RA 20 tpm
Lemas, nyeri perut dengan cystitis Rapid insulin 3x 6 IU di cek
Obyektif : kronis GDS sebelum masuk
KU: sedang Lantus 1x 10 IU
TD : 93/60 mmHg Lasix 1 A/12 jam
N : 102 x/menit Tensi/ jam. Jika stabil ganti
S : 37,1 C Inf RA 10 tpm
RR : 20 x/menit GDS / 6 jam
GDS: 76
13/06/18 Subyektif: DM tipe 2 Inf RA 10 tpm
Pasien mengeluhkan CKD Rapid insulin 3x 6 IU di cek
lemas dan nyeri perut Cystitis kronis GDS sebelum masuk
Obyektif : Lantus 1x 10 IU
KU : sedang Lasix 1 A/12 jam
TD : 114/93 mmHg Acitral syr 3xCI
N : 105 x/menit GDS / 6 jam
S : 36,9 C
RR : 20 x/menit
GDS: 221
14/06/18 Subyektif: DM tipe 2 Inf RA 10 tpm
Pasien mengeluhkan CKD Rapid insulin 3x 6 IU di cek
lemas Cystitis kronis GDS sebelum masuk
Obyektif : Lantus 1x 10 IU
TD : 110/80 mmHg Lasix 1 A/12 jam
N : 108 x/menit Acitral syr 3xCI
S : 36,5 C GDS / 6 jam
RR : 26 x/menit
GDS:141

12
USG Urologi (11/06/2018)
-Ren dextra: ukuran 10,53 cm x 5,31 cm dan echostruktur meningkat, kapsul
intak, batas cortex dan medulla mengabur, SPC tampak melebar, tak tampak
massa/ batu -Ren sinistra: ukuran 9,28 cm x 4,81 cm dan echostruktur meningkat,
kapsul intak, batas cortex dan medulla mengabur, SPC tampak melebar, tak
tampak massa/ batu -VU: terisi cairan banyak, dinding tampak menebal, ireguler,
tak tampak batu, tampak lesi isoechoic oval, batas tegas, ukuran memanjang lk
6,72 cm, di aspek inferoposterior VU, balon cath (+)
-Uterus: ukuran dan echostruktur normal, tak tampak massa/kalsifikasi
Kesan:
-Mengarah gambaran massa VU dd cystitis kronis
-Hidronefrosis grade 1 ren bilateral curiga obstruksi ec massa di VU
-Uterus dalam batas normal

Cystography (11/06/2018)
Foto polos: struktur dan trabekulasi tulang yang tervisualisasi baik
Dimasukkan kontras yang diencerkan 1:4 sebanyak 300 cc melalui cateter,
dilakukan foto AP/RPO/LPO/Lat
Hasil: tampak kontras mengisi VU, bentuk dan ukuran normal. Dinding VU
tampak ireguler dengan trabecula prominent. Tak tampak filling defek di VU yang
tervisualisasi
Post miksi: residu urin tak habis
Kesan:
-Cystitis
-Tak tampak gambaran massa VU yang tervisualisasi

13
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetic ketoacidosis (DKA) atau ketoasidosis diabetikum (KAD) dan


keadaan hiperglikemik hiperosmolar (HHS) adalah dua penyakit akut yang
merupakan komplikasi metabolik paling serius dari diabetes. KAD merupakan
penyebab dari bertambahnya hari rawat di rumah sakit hingga lebih dari 500.000
hari dirawat per tahun dengan perkiraan tahunan biaya medis langsung dan biaya
tidak langsung 2,4 milyar USD. Trias yang terdiri dari hiperglikemia yang tidak
terkontrol, metabolik asidosis, dan peningkatan total konsentrasi keton tubuh
mencirikan KAD. HHS ditandai oleh hiperglikemia berat, hiperosmolalitas, dan
dehidrasi serta tidak adanya ketoasidosis yang signifikan. KAD merupakan
kerusakan metabolik hasil dari kombinasi defisiensi insulin absolut atau relatif
dan peningkatan hormon kontra-regulasi (glukagon, katekolamin, kortisol, dan
hormon pertumbuhan). Sebagian besar pasien dengan KAD memiliki diabetes tipe
1; namun, pasien dengan diabetes tipe 2 juga berisiko selama stres katabolik
penyakit akut seperti trauma, operasi, atau infeksi (Kitabchi, 2009).
Pada tahun 2009, ada 140.000 rawat inap untuk ketoasidosis diabetik
(KAD) dengan rata-rata lama tinggal 3,4 hari. Pemakaian insulin yang tidak
teratur adalah penyebab KAD yang paling umum. Infeksi, penyakit medis akut
yang melibatkan sistem kardiovaskular (infark miokard, stroke) dan saluran
pencernaan (perdarahan, pankreatitis), penyakit pada endokrin (akromegali,
sindrom Cushing), dan stres akibat prosedur bedah dapat berkontribusi pada
terjadinya KAD dengan menyebabkan dehidrasi, peningkatan hormon kontra-
regulasi insulin, dan memburuknya resistensi insulin perifer. Obat-obatan seperti
diuretik, beta-blocker, kortikosteroid, antipsikotik, dan / atau antikonvulsan dapat
mempengaruhi metabolisme karbohidrat serta status volume dan dapat
mempercepat terjadinya KAD. Faktor-faktor lain yang dapat berkontribusi untuk
KAD termasuk masalah psikologis, gangguan makan, kerusakan pompa insulin,
dan penggunaan zat ilegal. Diabetes mellitus tipe 2 yang baru terdiagnosis pun
dapat bermanifestasi dengan KAD (Gosmanov, 2014).

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. KETOASIDOSIS DIABETIK
A. Definisi
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai tanda
dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-
320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan anion gap (Soelistijo, 2015).
Hiperglikemia, hiperosmoler, koma non ketotik (HHNK) adalah
komplikasi metabolik akut diabetes, biasanya pada penderita diabetes mellitus
(DM) tipe 2 yang lebih tua. Pada kondisi ini, terjadi hiperglikemia berat (kadar
glukosa serum > 600 mg/dL) yang tanpa disertai ketosis. Hiperglikemia
menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Psien dapat
menjadi tidak sadar dan meninggal bila tidak segera ditanganin (Price, 2006).

B. Epidemiologi
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa angka rawat inap untuk KAD di
Amerika terus meningkat. Pada 1996 hingga 2006, terdapat peningkatan 35% pada
jumlah kasus, dengan total 136.510 kasus dengan diagnosis utama KDA di 2006 —
peningkatan ini lebih banyak dan cepat daripada peningkatan keseluruhan dalam
diagnosis diabetes. Sebagian besar pasien dengan KAD berusia antara 18 hingga 44
tahun (56%) dan 45 hingga 65 tahun (24%), dengan hanya 18% pasien berusia <20
tahun. Dua pertiga pasien KAD memiliki diabetes tipe 1 dan 34% menderita diabetes
tipe 2; 50% adalah perempuan, dan 45% kulit hitam. KAD adalah penyebab kematian
paling umum pada anak-anak dan remaja dengan diabetes tipe 1 dan menyumbang
setengah dari semua kematian pada pasien yang lebih muda dari 24 tahun. Angka
kematian <1% telah dilaporkan pada subyek dewasa dengan KAD, sedangkan pada
usia lanjut dan pasien yang memiliki komorbid mengancam jiwa, tingkat kematian
telah dilaporkan >5%. Kematian dalam kondisi ini jarang terjadi karena komplikasi
15ontrol15o hiperglikemia atau ketoasidosis tetapi

15
berhubungan dengan penyakit pencetus yang mendasari. Prognosis dari KAD
secara substansial memburuk pada ekstrem usia dengan penyulit koma, hipotensi,
dan komorbid yang berat (Kitabchi, 2009).
Epidemiologi HHS sendiri adalah sebagai berikut:
1. Statistik Amerika Serikat
Tidak ada studi berbasis populasi dari HHS yang telah dilakukan. Menurut
National Hospital Discharge Survey AS yang didanai oleh Pusat Statistik
Kesehatan Nasional Amerika serikat, ada 10.800 kejadian tahunan untuk HNS
di Amerika Serikat 1989-1991. HHS mempengaruhi sekitar 1 dari 500 pasien
dengan DM. Insiden keseluruhan HHS kurang dari 1 kasus per 1000 orang-
tahun, sehingga secara signifikan kurang umum daripada DKA (Diabetes
Ketoasidosis). Seperti prevalensi DM tipe 2 yang meningkat, kejadian HHS
kemungkinan akan meningkat juga (Hemphill, 2012).
2. Demografi Sehubungan dengan Usia
HHS memiliki usia rata-rata onset awal dekade ketujuh kehidupan. Rata-
rata usia pasien dengan HHS adalah 60 tahun. Laporan kejadian kasus yang
paling sering dipublikasikan adalah usia 57-69 tahun. Sebaliknya, usia rata-
rata onset untuk Diabetes Ketoasidosis adalah awal dekade keempat
kehidupan.. HHS juga dapat terjadi pada orang yang lebih muda. Secara
khusus, karena laju peningkatan obesitas pada anak-anak, prevalensi DM tipe
2 juga meningkat pada kelompok usia ini dan dapat menyebabkan peningkatan
insiden HHS pada populasi ini (Hemphill, 2012).
Masyarakat yang hidup di panti jompo beresiko untuk HHS. Hal hal yang
mendasari adanya pencegahan hidrasi yang memadai, termasuk imobilitas,
usia lanjut, kelemahan, demensia, agitasi, dan aktivitas yang menurun,
menempatkan pasien pada risiko. Gangguan indera, seperti tuli dan kebutaan,
dapat menyebabkan isolasi sosial dan juga meningkatkan risiko HHS
(Hemphill, 2012).
3. Demografi Sehubungan dengan Jenis Kelamin
Tidak ada predileksi seks dicatat dalam seri yang paling sering
dipublikasikan HHS. Namun, beberapa data menunjukkan bahwa prevalensi

16
sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada laki-laki. Dalam Survei
Discharge US National Hospital (lihat di atas), 3700 orang adalah laki-laki
dan 7100 adalah perempuan (Hemphill, 2012).
4. Demografi Sehubungan dengan Ras
Afrika Amerika, Hispanik, dan penduduk asli Amerika yang terpengaruh
oleh HHS sebagai konsekuensi dari peningkatan prevalensi DM tipe 2 .Dalam
Survey National Hospital Discharge AS dari 10.800 buangan rumah sakit
daftar HHS di Amerika Serikat antara tahun 1989 dan 1991, ada 6300 pasien
putih dan 2.900 pasien Amerika-Afrika, sisa pembuangan orang-orang dari ras
lain atau ras tidak diketahui (Hemphill, 2012).

C. Etiologi
1. Infeksi
a. Selulitis
b. Infeksi gigi
c. Pneumonia
d. Sepsis
e. Infeksi saluran kemih
2. Pengobatan
a. Obat kemoterapi
b. Glukokortikoid
c. Fenitoin
d. Diuretik tiazid
e. Propanolol
3. Noncompliance, maksudnya adalah ketidakpatuhan penderita Diabetes
Melitus terhadap penatalaksanaan yang dianjurkan, misalnya dalam hal
mengkonsumsi makanan, tidak patuh meminum obat, melewatkan jadwal
penyuntikan, dan lain-lain.
4. Diabetes Melitus tidak terdiagnosis.
5. Penyalahgunaan obat, seperti alkohol dan kokain.
6. Penyakit penyerta

17
a. Infark miokard akut
b. Tumor yang menghasilkan hormone adrenokortikotropin
c. Kejadian serebrovaskular
d. Sindrom cushing
e. Hipertermia
f. Hipotermia
g. Trombosis mesenterika
h. Pankreatitis
i. Emboli paru
j. Gagal ginjal
k. Luka bakar berat
l. Tirotoksitosis

D. Patofisiologi
Defisiensi insulin, peningkatan 18ontrol kontra-regulasi insulin (kortisol,
18ontrol18, 18ontrol pertumbuhan, dan katekolamin), dan resistensi insulin perifer
menyebabkan hiperglikemia, dehidrasi, ketosis, dan ketidakseimbangan elektrolit,
yang mendasari patofisiologi KAD. Peningkatan lipolisis dan penurunan
lipogenesis menyebabkan asam lemak bebas yang melimpah diubah menjadi
badan keton: β-hidroksibutirat (β-OHB) dan asetoasetat. Diuresis 18ontrol yang
diinduksi hiperglikemia, jika tidak disertai dengan asupan cairan oral yang cukup,
menyebabkan dehidrasi, hiperosmolaritas, kehilangan elektrolit, dan penurunan
tingkat filtrasi glomerulus. Dengan penurunan fungsi ginjal, glikosuria berkurang
dan hiperglikemia memburuk. Gangguan kerja insulin dan kondisi hiperosmolar
menyebabkan serapan kalium oleh otot skeletal berkurang secara signifikan;
hiperosmolaritas juga dapat menyebabkan habisnya kalium dari sel. Hal ini
menyebabkan deplesi kalium intraseluler dan kehilangan kalium melalui
18ontrol18 18ontrol, menyebabkan pengurangan kalium total tubuh 3–5 mmol /
kg berat badan. Namun demikian, pasien KAD dapat hadir dengan berbagai
konsentrasi serum kalium. Konsentrasi kalium plasma “normal” dapat
menunjukkan bahwa total penyimpanan kalium tubuh sangat berkurang, dan

18
pemberian terapi insulin serta koreksi hiperglikemia akan menyebabkan
hipokalemia. Rata-rata, pasien dengan KAD mungkin mengalami 19ontrol air dan
elektrolit penting per kg berat badan berikut: air bebas 100 Ml / kg; natrium 7-10
mEq / kg; kalium 3–5 mEq / kg; klorida 3-5 mmol / kg; dan fosfor 1 mmol / kg
(Gosmanov, 2014).
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa hiperglikemia pada pasien
dengan krisis hiperglikemik dikaitkan dengan inflamasi berat yang ditandai oleh
tingginya sitokin proinflamasi (tumor necrosis factor-α dan interleukin-β, -6, dan -
8), protein C-reaktif, spesies oksigen reaktif, dan peroksidasi lipid, serta faktor
risiko kardiovaskular, plasminogen activator inhibitor-1 dan asam lemak bebas
dengan tidak adanya infeksi yang jelas ataupun patologi kardiovaskular. Semua
parameter ini kembali ke mendekati nilai normal dengan terapi insulin dan hidrasi
dalam 24 jam. Prokoagulan dan keadaan inflamasi dapat disebabkan karena
fenomena 19ontro nonspesifik dan dapat sebagian menjelaskan asosiasi krisis
hiperglikemik dengan keadaan hiperkoagulasi (Kitabchi, 2009).
Sindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik mengambarkan
kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin
menyebabkan hambatan pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi
akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan hormon glukagon menyebabkan
glikogenolisis yang dapat meningkatkan kadar glukosa plasma. Peningkatan kadar
glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar serum akan menarik
cairan intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat menurunkan volume cairan
intraselluler. Bila klien tidak merasakan sensasi haus akan menyebabkan
kekurangan cairan (Sudoyo, 2006).
Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga
timbul glikosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan
(poliuria). Dampak dari poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan berlebihan
dan diikuti hilangnya potasium,sodium dan phospat (Sudoyo, 2006).
Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi
glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak
dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah

19
180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring
dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula
yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urin yang disebut
glukosuria. (Sudoyo, 2006).
Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non
ketotik (HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan
pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin
memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi
mengeliminasi glukosa diatas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan
volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan
menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan konsentrasi glukosa meningkat.
Hilangnya air yang lebih banyak dibandingkan natrium menyebabkan keadaan
hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan konsentrasi glukosa
darah, terutama jika terdapat resistensi insulin (Soewondo, 2009).
Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine
yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraselluler, hal ini akan
merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus
sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun
mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar
hiperglikemik (Sudoyo, 2006).
Kemudian produksi insulin yang kurang pun akan menyebabkan
menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan
dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan
untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar
sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia. Kegagalan tubuh
mengembalikan ke situasi homestasis akan mengakibatkan hiperglikemia,
hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat. Disfungsi sistem
saraf pusat karena ganguan transport oksigen ke otak dan cenderung menjadi
koma. Hemokonsentrasi akan meningkatkan viskositas darah dimana dapat
mengakibatkan pembentukan bekuan darah, tromboemboli, infark cerebral,
jantung (Sudoyo, 2006).

20
Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan
cairan tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul
dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi
dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma
merupakan stadium terakhir dari proses hiperglikemik ini, dimana telah timbul
gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi (Soewondo, 2009).

Gambar 1. Patofisiologi KAD dan HHS (Kitabchi, 2009)


D. Diagnosis
Proses HHS biasanya berkembang beberapa hari hingga minggu, sedangkan
perkembangan episode KAD akut pada diabetes tipe 1 atau pada diabetes tipe 2
cenderung menjadi jauh lebih pendek. Meskipun gejala diabetes yang tidak terkontrol
dengan baik tampak selama beberapa hari, perubahan 21ontrol21o khas dari
ketoasidosis biasanya berkembang dalam rentang waktu yang singkat (< 24 jam).
Kadang-kadang, seluruh gejala dapat berkembang lebih cepat dan pasien dapat jatuh
dalam keadaan KAD tanpa petunjuk atau gejala sebelumnya. Gambaran klinis klasik
KAD maupun HHS termasuk riwayat poliuria, polidipsia, penurunan

21
berat badan, muntah, dehidrasi, kelemahan, dan perubahan status mental. Temuan
fisik mungkin termasuk turgor kulit yang buruk, respirasi Kussmaul (KAD),
takikardia, dan hipotensi. Status mental dapat bervariasi dari kewaspadaan penuh
hingga mengantuk atau koma, dengan yang terakhir lebih sering terjadi HHS.
Meskipun infeksi adalah faktor pencetus yang umum untuk KAD dan HHS,
pasien bisa menjadi normotermik atau bahkan hipotermik terutama karena
vasodilatasi perifer. Hipotermia berat, jika ada, adalah tanda 22ontrol22on yang
buruk. Mual, muntah, nyeri perut difus sering terjadi pada pasien dengan KAD
(>50%) tetapi jarang terjadi di HHS. Hati-hati pada pasien yang mengeluh sakit
perut saat presentasi karena gejalanya bisa merupakan hasil dari KAD atau
indikasi dari penyebab KAD, terutama pada pasien yang lebih muda atau dalam
ketiadaan asidosis 22ontrol22o berat. Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika keluhan
ini tidak berkurang dengan resolusi dehidrasi dan asidosis 22ontrol22o.
Laboratorium awal yang dievaluasi pada pasien adalah glukosa plasma,
BUN, kreatinin, elektrolit (dengan penghitungan anion gap), osmolalitas, keton di
serum dan urin, urinalisis, gas darah arteri awal dan hitung darah lengkap dengan
diferensial.
Elektrokardiogram, rontgen dada, dan kultur urine, sputum, atau kultur
darah seharusnya juga diperiksa. Tingkat keparahan KAD diklasifikasikan sebagai
ringan, sedang, atau berat berdasarkan pada keparahan asidosis 22ontrol22o (Ph
darah, bikarbonat, dan keton) dan perubahan status mental. Hiperglikemia berat
dan dehidrasi dengan status mental yang berubah dalam ketiadaan karakterisasi
asidosis yang signifikan dapat berarti adanya HHS, yang secara klinis hadir
dengan kurangnya
ketosis dan hiperglikemia lebih besar dari KAD.
Fitur 22ontrol22on utama dalam DKA adalah tingginya konsentrasi keton
dalam sirkulasi darah. Penilaian ketonemia biasanya dilakukan oleh reaksi
nitroprusid, yang menyediakan estimasi semikuantitatif dari kadar asetoasetat dan
aseton. Meskipun tes nitroprusid (baik dalam urin dan dalam serum) sangat
22ontrol22o, tidak dapat menentukan beratnya ketoasidosis karena pengujian ini
tidak mengenali β-hidroksibutirat, produk 22ontrol22o utama dalam ketoasidosis.

22
Akumulasi asam keton meningkatkan anion gap asidosis 23ontrol23o. Anion gap
dihitung dengan mengurangi jumlah klorida dan konsentrasi bikarbonat dari
konsentrasi natrium: [Na – (Cl +HCO3)]. Anion gap normal adalah antara 7 dan 9
mEq / l dan anion gap > 10–12 mEq / l menunjukkan adanya peningkatan anion
gap asidosis 23ontrol23o.
Hiperglikemia adalah 23ontrol23 23ontrol23on utama dari KAD; Namun,
berbagai macam tingkat glukosa plasma bisa didapatkan. Sekitar 10% dari
populasi KAD 23ontro dengan yang disebut “KAD euglikemik” dengan glukosa
≤250 mg / dl. Hal ini dapat disebabkan oleh kombinasi faktor, termasuk injeksi
insulin eksogen dalam perjalanan ke rumah sakit, pembatasan makanan
sebelumnya dan penghambatan glukoneogenesis.
Leukositosis dengan sel dalam kisaran 10.000 –15.000 mm3 sering
didapatkan pada KAD dan bisa jadi tidak mengindikasikan infeksi. Namun,
leukositosis dengan jumlah sel >25.000 mm3 mungkin menunjukkan infeksi dan
membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Dalam ketoasidosis, leukositosis disebabkan
oleh 23ontro dan mungkin berkorelasi dengan peningkatan kadar kortisol serta
norepinefrin. Tingkat natrium serum biasanya rendah karena aliran 23ontrol air
dari intraseluler ke ruang ekstraseluler akibat hiperglikemia. Peningkatan atau
bahkan konsentrasi natrium serum normal saat hiperglikemia menunjukkan
keparahan dehidrasi. Untuk menilai keparahan 23ontrol natrium dan air, serum
natrium dapat dikoreksi dengan menambahkan 1,6 mg / dl 23ontrol23on serum
yang diukur untuk setiap 100 mg / dl glukosa di atas 100 mg / dl (Kitabchi, 2009).
Kriteria 23ontrol23on untuk KAD adalah glukosa darah >250 mg / Dl, Ph
arteri ≤7.30, tingkat bikarbonat ≤18 mEq / L, dan anion gap >10–12. Keton serum
dan urin yang positif dapat mendukung diagnosis KAD.

23
Gambar 2. Kriteria diagnosis KAD dan HHS (Kitabchi, 2009)
Pada KAD awal, konsentrasi asetoasetat rendah, tetapi merupakan substrat
utama untuk pengukuran keton oleh banyak laboratorium; Oleh karena itu,
pengukuran keton dalam serum dengan teknik laboratorium biasa memiliki
spesifisitas tinggi tetapi sensitivitas rendah untuk diagnosis KAD. Sebaliknya, β-
OHB adalah asam ketoasida awal dan berlimpah, yang mungkin pertama kali
menandakan perkembangan KAD. Namun, penentuannya membutuhkan
penggunaan alat tes khusus yang berbeda dari yang digunakan untuk pengukuran
badan keton standar. Tingkat β-OHB sebesar ≥ 3,8 mmol / L yang diukur dengan
alat tes spesifik terbukti sangat 24ontrol24o dan spesifik untuk diagnosis KAD.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 4-5, diagnosis KAD bisa
menjadi tantangan karena bersamaan dengan asidosis 24ontrol24o kronis atau
gangguan asam-basa campuran. Anion gap >20 biasanya mendukung diagnosis
DKA pada pasien-pasien ini (Gosmanov, 2014)
Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui
mempunyai DM, dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau
obat hipoglikemi oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang semakin
memperberat masalah, misalnya diuretic (Soewondo, 2009).
Keluhan pasien HHNK ialah : rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki
kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika
dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien dating dengan disertai keluhan saraf
seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma (Sewondo, 2009).

24
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor
yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin
dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh
yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen,
yang membaik setelah rehidrasi adekuat (Soewondo, 2009).
Perubahan pada status mental dapat bekisar dari disorientasi sampai koma.
Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan
osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih
dari 350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien,
dan dapat berupa kejang umum, local, maupun, mioklonik. Dapat juga terjadi
hemiparesis yang bersifat reversible dengan koreksi deficit cairan (Soewondo,
2009).
Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHNK adalah konsentrasi
glukosa darah yang sangat tinggi (> 600 mg per dL) dan osmolaritas serum yang
tinggi (> 320 mOsm per kg air [normal = 290 ± 5]), dengan pH lebih besar dari
7,30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak. Separuh pasien akan menunjukkan
asidosis metabolik dengan anion gap yang ringan (10 – 12). Jika anion gap nya
berat (>12), harus dipikirkan diagnosis diferensial asidosis laktat atau penyebab
lain. Muntah dan penggunaan diuretik tiazid dapat menyebabkan alkalosis
metabolik yang dapat menutupi tingkat keparahan asidosis. Konsentrasi kalium
dapat meningkat atau normal. Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen (BUN),
dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHNK menyebabkan tubuh banyak
kehilangan berbagai macam elektrolit (Soewondo, 2009).

E. Penatalaksanaan
1. Prinsip Penatalaksanaan
Angka kematian pada koma hiperosmolar tinggi (>50%). Akibatnya terapi
segera sangat mendesak. Tindakan yang paling penting adalah pemberian cairan
intravena dalam jumlah besar untuk memulihkan sirkulasi dan aliran urin. Defisit
cairan rata-rata adalah 10 sampai 11 liter. Sementara air tawar akan sangat
diperlukan, terapi awal harus berupa larutan garam isotonik, 2 sampai 3

25
liter harus diberikan dalam 1 sampai 2 jam pertama. Kemudian salin separuh
kekuatan dapat digunakan. Begitu kadar glukosa mencapai normal, dapat
diberikan dekstrose 5 persen sebagai pembawa air tawar. Jika
komahiperosmolar dapat dipulihkan dengan cairan saja, insulin harus
diberikan untuk mengendalikan hiperglikemia lebih cepat. Banyak penulis
menganjurkan dosis kecil insulin tetapi mungkin diperlukan jumlah yang lebih
besar terutama pada pasien obesitas. Garam kalium biasanya diperlukan lebih
awal dalam terapi koma hiperosmolar disbanding pada ketoasidosis karena
pergeseran K+ plasma intraseluler selama peningkatan terapi tanpa asidosis.
Jika terdapat asidosis laktat, natrium bikarbonat harus diberikan sampai
perfusi jaringan dapat dipulihkan. Antibiotika diperlukan jika infeksi
merupakan penyakit (Foster, 2000).
Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK)
meliputi lima pendekatan (Soewondo, 2009) :
a. Rehidrasi intravena agresif
b. Penggantian elektrolit
c. Pemberian insulin intravena
d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
e. Pencegahan
2. Penatalaksanaan Medikamentosa
a. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK adalah
penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per
kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan larutan isotonik akan dapat
menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat
mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian
dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L normal
saline per jam. Jika pasiennya mengalami syok hipovolemik, mungkin
dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik,
maka diperlukan monitor hemodinamik (Soewondo, 2009).

26
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan
sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik
akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa
darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini
biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan
ginjal (Soewondo, 2009).
b. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti,
karena konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi.
Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin,
karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel.
Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung
pasien juga harus dimonitor (Soewondo, 2009).
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L),
pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan
1/3 kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq
per L). Jika konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0 mEq per L (5,0 mmol
per L), konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per
L, namun sebaiknya konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam.
Jika konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30 mEq
kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan
(2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan
konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq
per L (Soewondo, 2009).
c. Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya
pamberian cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan
sebelum pemberian cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan
berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular, atau
kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB
secara intravena, dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai

27
konsentrasi glukosa darah turun antara 250 mg per dL (13,9 mmol per L)
sampai 300 mg per Dl. Jika konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun
50-70 mg/dL per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika
konsentrasi glukosa darah sudah mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya
diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara
sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar
(Soewondo, 2009).
Tujuan manajemen terapeutik KAD termasuk optimalisasi 1) status volume;
2) hiperglikemia dan ketoasidosis; 3) kelainan elektrolit; dan 4) faktor pencetus
potensial. Mayoritas pasien dengan KAD 28ontro ke ruang gawat darurat. Oleh
karena itu, dokter jaga harus memulai manajemen krisis hiperglikemik sementara
pemeriksaan fisik dilakukan, parameter 28ontrol28on dasar diperoleh, dan
diagnosis akhir dibuat. Beberapa langkah penting harus diikuti pada tahap awal
pengelolaan KAD:
1. mengumpulkan darah untuk profil 28ontrol28o sebelum memulai cairan
intravena;
2. 1 L natrium klorida 0,9% selama 1 jam setelah pengambilan sampel darah awal;
3. memastikan kadar kalium 0,3,3 mEq / L sebelum memulai terapi insulin
(suplemen kalium intravena jika diperlukan);
4. memulai terapi insulin hanya ketika langkah 1–3 dieksekusi.
Harus ditekankan bahwa pengobatan yang berhasil membutuhkan pemantauan
parameter klinis dan 28ontrol28o yang mendukung resolusi KAD.

28
Gambar 3. Manajemen KAD pada dewasa (Gosmanov, 2014)

Kehilangan cairan rata-rata sekitar 6–9 L di KAD. Tujuannya adalah untuk


mengganti total volume yang hilang dalam 24-36 jam dengan 50% cairan
resusitasi yang diberikan selama 8-12 jam pertama. Cairan kristaloid adalah cairan
awal pilihan. Rekomendasi saat ini adalah untuk memulai pemulihan kehilangan
volume dengan bolus-cairan saline 29ontrol29 (0,9% NaCl) secara intravena
berdasarkan status hemodinamik pasien. Setelah itu, 29ontro intravena 0,45%
larutan NaCl berdasarkan konsentrasi natrium serum yang dikoreksi akan
memberikan pengurangan lebih lanjut dalam osmolalitas plasma dan membantu
air untuk masuk ke kompartemen intraseluler. Hiponatremia hiperosmolar akibat
hiperglikemia sering ditemukan di KAD dan biasanya berhubungan dengan
dehidrasi dan peningkatan konsentrasi natrium terkoreksi.
Setelah hidrasi awal, cairan dapat diberikan pada tingkat penurunan 4-14 Ml
/ kg / jam. Tonisitas larutan berikutnya tergantung pada status hidrasi,
keseimbangan elektrolit, dan output urin. Koreksi cepat natrium serum dan,
karenanya, osmolalitas serum oleh cairan hipotonik dapat meningkatkan risiko
edema serebral. Di sisi lain, terapi cairan 29ontrol29 kontinu pada pasien anak
ditemukan memiliki peningkatan risiko asidosis hiperkloremik non-anion yang

29
mungkin menyebabkan rawat inap yang lebih lama karena diagnosis ketoasidosis
yang salah. Dengan demikian, praktik resusitasi cairan yang aman pada pasien KAD
termasuk penyediaan bolus 30ontrol30 awal pada 15-20 Ml / kg / jam diikuti oleh
larutan garam hipotonik (0,45% saline) pada tingkat 4-14 Ml / kg / jam selama pasien
hemodinamik stabil dan natrium serum yang dikoreksi normal ke tinggi. Jika pasien
menjadi hiponatremia berdasarkan natrium serum yang dikoreksi, inisiasi saline 0,9%
pada tingkat 150-250 Ml / jam dianjurkan sampai eunatremia tercapai. Penggantian
30ontrol air menggunakan pemberian cairan intravena tingkat tinggi belum diteliti
pada populasi pasien anak dan, oleh karena itu, pendekatan ini tidak dapat
direkomendasikan untuk pengelolaan KAD 30ontrol30o.
Resusitasi volume 30ontrol30onal30 dan ekstravaskuler akan menurunkan
hiperglikemia dengan menstimulasi 30ontrol30 30ontrol jika fungsi ginjal tidak
terganggu dan meningkatkan kerja perifer insulin (efek insulin pada transport
glukosa menurun oleh hiperglikemia dan hiperosmolaritas). Ketika kadar glukosa
turun di bawah 200-250 mg / Dl, cairan intravena harus dialihkan ke larutan NaCl
0,45% yang mengandung dekstrosa untuk mencegah hipoglikemia, dan / atau
tingkat 30ontro insulin harus menurun. Pertimbangan khusus harus diberikan
kepada pasien dengan gagal jantung kongestif dan penyakit ginjal kronis. Pasien-
pasien ini cenderung mempertahankan cairan; oleh karena itu, kewaspadaan harus
dilakukan selama resusitasi volume pada kelompok pasien ini. Pemantauan output
urin merupakan langkah penting pada pasien dengan krisis hiperglikemik
(Gosmanov, 2014).

Pengobatan KAD dengan insulin intravena


Pemberian insulin sangat penting dalam pengobatan KAD karena membantu
pemanfaatan glukosa oleh jaringan perifer, mengurangi glikogenolisis dan
glukoneogenesis, dan menekan ketogenesis. Infus intravena adalah rute pemberian
insulin yang lebih disukai pada pasien dengan KAD. Infus insulin tanpa resusitasi
volume awal tidak disarankan karena hanya memperburuk dehidrasi. Pengobatan
insulin telah berevolusi dari penggunaan insulin dosis tinggi, dengan dosis hingga 100
U / jam oleh berbagai rute pemberian, kemudian menurunkan

30
dosis dalam kisaran 5–10 U / jam. Rekomendasi adalah bolus awal insulin
31ontrol. 0,1 U / kg diikuti dengan 31ontro insulin terus menerus. Jika glukosa
plasma tidak turun paling sedikit 10% pada jam pertama setelah 31ontro insulin,
0,1 U / kg bolus insulin dapat diberikan sekali lagi sambil melanjutkan 31ontro
insulin. Signifikansi klinis adalah fenomena resistensi insulin yang diinduksi
hiperglikemia. Dengan pengurangan hiperglikemia, dapat terjadi penurunan
kebutuhan insulin secara nonlinier. Ketika glukosa plasma mencapai 200-250 mg /
Dl, tingkat insulin dapat menurun 50% atau ke tingkat 0,02-0,05 U / kg / jam.
Kepentingan klinis dari bolus insulin awal dalam manajemen insulin KAD
baru-baru ini diteliti dalam penelitian yang membandingkan efikasi dan keamanan
dua strategi 31ontro insulin – dengan dan tanpa bolus. Para peneliti menemukan
bahwa tidak ada perbedaan hasil antara sekelompok pasien yang diobati dengan
31ontro insulin 31ontrol dengan dosis 0,14 U / kg / jam tanpa pemberian bolus
insulin awal dan sekelompok pasien yang dilakukan pemberian insulin bolus
priming 0,07 U / kg diikuti oleh 31ontro insulin terus menerus di 0,07 U / kg /
jam. Kemanjuran pendekatan terapeutik dengan dosis insulin 0,1 U / kg tidak
dinilai dalam penelitian itu.
Sebuah penelitian yang lebih baru menunjukkan tidak ada perbedaan
signifikan dalam kejadian hipoglikemia, tingkat perubahan glukosa atau kesenjangan
anion, lama tinggal di unit gawat darurat, atau rawat inap di rumah sakit pada pasien
yang menerima laju 31ontro 0,1 U / kg / jam dengan atau tanpa bolus insulin. Tidak
ada studi sebelumnya yang membandingkan hasil klinis pada pasien KAD
31ontrol31o yang diobati dengan dan tanpa bolus insulin. Oleh karena itu,
penggunaan bolus priming pada perawatan KAD 31ontrol31o tidak dianjurkan.
Dasar untuk penggunaan bolus priming berasal dari penelitian pada pasien
dengan diabetes hiperosmolar hiperglikemik non-ketotik, yang menunjukkan
bahwa bolus awal dapat membantu memperbaiki resistensi insulin 31ontrol31
KAD. Dengan demikian, hasil yang tidak konsisten mungkin disebabkan oleh
31ontrol31 pasien seperti tidak adanya ketosis dan / atau adanya hiperglikemia
berat.

31
Gambar 4. Manajemen pasien KAD atau HHS (Kitabchi, 2009)
Rekomendasi Asosiasi Diabetes Amerika saat ini menyarankan salah satu
dari dua opsi di atas untuk terapi insulin intravena (dengan atau tanpa bolus
insulin), mempertimbangkan serum 32ontrol32o .3,3 mEq / L. Mayoritas pasien
dengan KAD dapat dengan cepat menjadi insulin 32ontrol32o setelah pemberian
cairan intravena dan perbaikan hiperglikemia. Oleh karena itu, untuk menghindari
hipoglikemia dan pergeseran glukosa dan air yang cepat antara kompartemen
ekstraseluler dan intraseluler, tingkat 32ontro insulin yang lebih besar harus
disediakan untuk pasien KAD yang obesitas dan lebih resisten terhadap insulin.
Pemberian bolus insulin priming dapat dilakukan pada pasien KAD yang resisten
terhadap insulin awal atau dengan hiperglikemia ekstrim (Gosmanov, 2014).
Transisi ke insulin subkutan
Pasien dengan KAD dan HHS seharusnya diobati dengan intravena insulin
yang terus menerus sampai krisis hiperglikemik terselesaikan. Kriteria untuk

32
resolusi ketoasidosis termasuk glukosa darah < 200 mg / dl dan dua dari
33ontrol33 berikut: tingkat bikarbonat serum ≥15 mEq / l, Ph vena >7.3, dan anion
gap ≤12 mEq / l. Setelah terjadi resolusi, terapi insulin subkutan bisa dimulai.
Untuk mencegah terulangnya hiperglikemia atau ketoasidosis selama masa transisi
ke insulin subkutan, penting untuk memungkinkan 1–2 jam pemberian insulin
subkutan sambil dilakukan penghentian insulin intravena. Jika pasien harus tetap
puasa / tidak ada asupan melalui mulut, lebih baik untuk melanjutkan 33egula
insulin intravena dan penggantian cairan. Pasien dengan diabetes yang telah
diketahui sebelumnya dapat diberikan insulin sesuai dosis yang didapat sebelum
onset KAD selama itu mengendalikan glukosa dengan baik. Pada pasien yang
belum pernah menggunakan insulin, regimen insulin multidosis harus dimulai
dengan dosis 0,5- 0,8 unit/kg/hari. Insulin manusia (NPH dan regular) biasanya
diberikan dua atau tiga dosis per hari. Baru-baru ini, regimen basal-bolus dengan
basal (glargine dan detemir) dan analog insulin kerja cepat (lispro, aspart, atau
glulisine) diusulkan sebagai insulin yang lebih fisiologis pada pasien dengan
diabetes tipe 1.
Uji coba acak prospektif yang membandingkan pengobatan regimen basal-
bolus insulin, seperti glargine sekali sehari dan glulisine sebelum makan, dengan
splitmix regimen NPH ditambah insulin regular dua kali sehari setelah resolusi
DKA. Transisi ke insulin subkutan, glargine dan glulisine menghasilkan 33ontrol
glikemik yang serupa dengan NPH dan insulin 33egular; namun, perawatan
dengan basal bolus dikaitkan dengan tingkat kejadian hipoglikemik yang lebih
rendah (15%) daripada tingkat pengobatan dengan NPH dan insulin 33egular
(41%) (Kitabchi, 2009).

33
Gambar 6. Farmakokinetik dan farmakodinamik insulin subkutan
(Gosmanov,2014)
I. Komplikasi
a. Hipoglikemia
b. Asidosis hiperkloremik non-anion
c. Rabdomiolisis
d. Edema pulmonal

2. ANEMIA
A. Definisi
Secara fungsional, anemia diartikan sebagai penurunan jumlah eritrosit
sehingga eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan (Sudoyo,2009). Anemia dapat didefinisikan
pula sebagai berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah,
hemoglobin, dan volume hematokrit per 100 ml darah (Price,2005). Namun, kadar
normal hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi sesuai dengan usia, jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut, serta keadaan tertentu

34
seperti kehamilan. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu gambaran
perubahan patofisiologi yang didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang (Price,2005).
Karena sulitnya menentukan kadar hemoglobin normal akibat variasi usia,
jenis kelamin, tempat tinggal, dan lain-lain, maka anemia telah didefinisikan oleh
WHO berdasarkan kadar hemoglobin berikut ini (WHO,2001):
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Anak 6-59 bulan < 11 g/dl
Anak 5-11 tahun < 11,5 g/dl
Anak 12-14 tahun < 12 g/dl
Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl

B. EPIDEMIOLOGI ANEMIA
Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita
oleh 1,62 milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia belum
sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara merupakan
salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam prevalensi anemia, termasuk
Indonesia.
Anemia terjadi pada 58% populasi di Asia, dimana prevalensi tertinggi
terjadi pada anak usia belum sekolah (47,7%), wanita hamil (41,6%), dan wanita
dewasa tidak hamil (33,0%). Di Indonesia, sekitar 44,5% populasi diperkirakan
mengalami anemia dengan kadar Hb <11,0 g/dl, sehingga Indonesia masuk ke
dalam kategori berat dalam prevalensi anemia (Benoist B,2008).

C. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA


Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan :
I. Etiopatogenesis
A. Gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit

35
a) Anemia defisiensi besi
b) Anemia defisiensi asam folat
c) Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a) Anemia akibat penyakit kronik
b) Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a) Anemia aplastik
b) Anemia mieloplastik
c) Anemia pada keganasan hematologi
d) Anemia diseritropoietik
e) Anemia pada sindrom mielodisplastik
4. Anemia akibat kekurangan eritropoietin
B. Anemia hemoragik
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a) Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
 Anemia akibat defisiensi G6PD

c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
 Thalassemia

 Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll

2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a) Anemia hemolitik autoimun
b) Anemia hemolitik mikroangiopati
c) Lainnya
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis
yang kompleks

36
II. Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan darah tepi)
A. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg
B. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34
pg
C. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl

Penggabungan penggunaan klasifikasi etiopatogenesis dan morfologi akan


sangat menolong dalam mengetahui penyebab anemia. Berikut ini klasifikasi
anemia berdasarkan morfologi dan etiologi
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik
II.Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik
(Sudoyo,2009).

37
D. PATOFISIOLOGI ANEMIA I.
Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan


zat besi (Fe), yang disebabkan oleh beberapa hal berikut
a. Kurangnya asupan Fe

 Diet tidak adekuat, misalnya karena rendahnya asupan besi total


dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang dikonsumsi kurang baik
(makanan banyak serat, rendah daging, rendah vitamin C)

 Gangguan absorpsi zat besi, misalnya pada gastrektomi, colitis


kronik, atau achlorhydria
b. Kehilangan Fe

 Perdarahan saluran cerna 


Perdarahan saluran kemih 
Hemoglobinuria

 Hemosiderosis pulmonari idiopatik 


Telangiektasia hemoragik herediter 
Gangguan hemostasis

 Infeksi cacing tambang c.


Meningkatnya kebutuhan Fe
 Bayi
prematur
 Anak-anak dalam
pertumbuhan  Ibu hamil dan
menyusui

Laktasi

Defisiensi zat besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif zat besi
yang telah berlangsung lama. Terdapat tiga stadium defisiensi zat besi,
yaitu :7

1) Deplesi besi (iron depleted


state)
Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk
eritropoiesis belum terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum

3
8
feritin, peningkatan absorpsi besi dari usus, dan pengecatan besi pada
apus sumsum tulang berkurang.
2) Iron deficient erythropoiesis
Cadangan Fe dalam tubuh kosong, tetap belum menyebabkan anemia
secara laboratorik karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi,
sumsum tulang melakukan mekanisme mengurangi sitoplasmanya
sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik, bahkan
ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma (naked nuclei).
Selain itu, kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah peningkatan
kadar free protoporfirin dalam eritrosit, saturasi transferin menurun,
total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter lain yang
sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
3) Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang, eritropoiesis akan semakin terganggu,
sehingga kadar hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah
eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Pada saat ini,
terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim
sehingga menimbulkan berbagai gejala
(Sudoyo,2009).
II. Anemia penyakit kronik
Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi
akibat infeksi kronis, peradangan, trauma, atau penyakit neoplastik yang
telah berlangsung 1-2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal, dan
endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi,
sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Anemia
penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi,
seperti infeksi kronik (infeksi paru, endokarditis bakterial), inflamasi
kronik (artritis reumatoid, demam reumatik), penyakit hati alkoholik, gagal
jantung kongestif, dan idiopatik.
Secara garis besar, patogenensis anemia penyakit kronis dititik
beratkan pada 3 abnormalitas utama :

39
1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis
eritrosit
2) Adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang
terganggu atau menurun
3) Gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi
(Adamson,2005)

Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan interpretasi


pemeriksaan status besi. Proses terjadinya radang merupakan respon
fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan termasuk infeksi dan
trauma. Pada fase awal proses inflamasi terjadi induksi fase akut oleh
makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan sitokin radang seperti
Tumor Necrotizing Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-1, IL- 6 dan IL-8.
Interleukin-1 menyebabkan absorbsi besi berkurang akibat pengelepasan
besi ke dalam sirkulasi terhambat, produksi protein fase akut (PFA),
lekositosis, dan demam. Hal itu dikaitkan dengan IL-1 karena episode
tersebut kadarnya meningkat dan berdampak menekan eritropoesis. Bila
eritropoesis tertekan, maka kebutuhan besi akan berkurang, sehingga
absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat mengaktifasi sel
monosit dan makrofag, menyebabkan ambilan besi serum meningkat.
TNF-α juga berasal dari makrofag dam berefek sama, yaitu menekan
eritropoesis melalui penghambatan eritropoetin. IL-6 menyebabkan
hipoferemia dengan menghambat pembebasan cadangan besi jaringan ke
dalam darah (Adamson,2005).
Pada respon fase akut sistemik diperlihatkan bahwa akibat induksi IL-
1, TNF-α, dan IL-6, maka hepatosit akan memproduksi secara berlebihan
beberapa PFA utama seperti C-reactive protein, serum amyloid A (SAA) dan
fibrinogen. Selain itu terjadi pula perangsangan hypothalamus yang berefek
menimbulkan demam serta perangsangan di sumbu hipothalmus-
kortikosteroid di bawah pengaruh adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang
berefek sebagai akibat umpan balik negatif terhadap induksi PFA oleh

40
hepatosit. Selain CRP, SAA, dan fibrinogen, protein fase akut lain yang
berhubungan penting dengan metabolisme besi antara lain: apoferritin,
transferin, albumin dan prealbumin (Adamson,2005).
Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan
makrofag teraktivasi meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 2–3 kali
normal, sedangkan transferin, albumin dan prealbumin merupakan protein
fase akut yang kadarnya justru menurun saat proses inflamasi
(Adamson,2005).
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia
defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi
serum. Oleh karena itu penentuan parameter besi yang lain diperlukan
untuk membedakannya. Rendahnya besi di anemia penyakit kronis
disebabkan aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial ke plasma
menurun, sedangkan penurunan saturasi transferin diakibatkan oleh
degradasi transferin yang meningkat. Kadar feritin pada keadaan ini juga
meningkat melalui mekanisme yang sama. Berbeda dengan anemia
defisiensi, gangguan metabolisme besi disebabkan karena kurangnya
asupan besi atau tidak terpenuhinya kebutuhan besi sebagai akibat
meningkatnya kebutuhan besi atau perdarahan (Adamson,2005).
III. Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan oleh abnormalitas
hematopoiesis dengan karakteristik dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel
myeloid dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA. Penyebab
anemia megaloblastik adalah :
1. Defisiensi asam folat
a. Asupan kurang
 Gangguan nutrisi : alkoholisme, bayi premature, orang
tua, hemodialisis, anoreksia nervosa.
 Malabsorpsi : alkoholisme, gastrektomi, reseksi
usus halus, Crohn’s disease, scleroderma, obat anti
konvulsan, hipotiroidisme.

41
b. Peningkatan kebutuhan, misalnya pada kehamilan, anemia
hemolitik, keganasan, hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa,
eritropoiesis yang tidak efektif.
c. Gangguan metabolisme asam folat, misalnya akibat obat-
obatan penghambat dihidrofolat reduktase (metotreksat,
pirimetamin, triamteren, pentamidin, trimetoprim),
alkoholisme, dan defisiensi enzim.
d. Penurunan cadangan asam folat di hati, misalnya pada
alkoholisme, sirosis non alkoholik, dan hepatoma.
e. Obat-obatan yang mengganggu metabolism DNA, seperti
antagonis purin, antagonis pirimidin, prokarbazin, hidroksiurea,
acyclovir, dan zidovudin.
f. Gangguan metabolic, misalnya pada asiduria urotik herediter
dan sindrom Lesch-Nyhan.
2. Defisiensi vitamin B12 (kobalamin)
a. Asupan kurang, misalnya pada vegetarian.
b. Malabsorpsi
 Dewasa : anemia pernisiosa, gastrektomi, gastritis
atrofikan, Crohn’s disease, parasit, scleroderma, obat-
obatan.
 Anak : anemia pernisiosa, gangguan sekresi faktor
intrinsic lambung, Imerslund-Grasbeck syndrome.
c. Gangguan metabolisme seluler, misalnya akibat defisiensi
enzim, abnormalitas protein pembawa kobalamin
(transkobalamin II), paparan NO yang berlangsung lama.

Defisiensi kobalamin menyebabkan defisiensi metionin intraseluler,


kemudian menghambat pembentukan folat tereduksi dalam sel. Folat intrasel
yang berkurang akan menurunkan prekurson tidimilat yang selanjutnya akan
mengganggu sintesis DNA. Model ini disebut sebagai

42
methylfolate trap hypothesis karena defisiensi kobalamin mengakibatkan
penumpukan 5-metil tetrahidrofolat.
Defisiensi kobalamin yang berlangsung lama mengganggu perubahan
propionate menjadi suksinil CoA yang mengakibatkan gangguan sintesis
myelin pada susunan saraf pusat. Proses demyelinisasi ini menyebabkan
kelainan medulla spinalis dan gangguan neurologis. Sebelum diabsorpsi, asam
folat harus diubah menjadi monoglutamat. Bentuk folat tereduksi
(tetrahidrofolat, FH4) merupakan koenzim aktif. Defisiensi folat
mengakibatkan penurunan FH4 intrasel yang akan mengganggu sintesis

tidimilat yang selanjutnya akan mengganggu sintesis DNA.3

Ketidakmampuan sel untuk mensintesis DNA dalam jumlah yang


memadai akan memperlambat reproduksi sel, tetapi tidak menghalangi
kelebihan pembentukan RNA oleh DNA dalam sel-sel yang berhasil
diproduksi. Akibatnya, jumlah RNA dalam setiap sel akan melebihi
normal, menyebabkan produksi hemoglobin sitoplasmik dan bahan-bahan
lainnya berlebihan, dan membuat sel menjadi besar.
IV. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh peningkatan
destruksi eritrosit yang melebihi kemampuan kompensasi eritropoiesis
sumsum tulang. Pada prinsipnya anema hemolitik dapat terjadi akibat
defek molekular hemoglobinopati atau enzimopati, abnormalitas struktur
dan fungsi membran, dan faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau
autoantibodi. Klasifikasi anemia hemolitik berdasarkan etiologinya :
1. Anemia hemolitik herediter
a. Enzimopati
b. Hemoglobinopati
c. Membranopati
2. Anemia hemolitik didapat
a. Anemia hemolitik imun
b. Mikroangiopati
c. Infeksi

43
(Sudoyo,2009)

Hemolisis dapat terjadi di ekstravaskular dan intravaskular. Sebagian


besar kondisi hemolitik terjadi di ekstravaskular, dimana eritrosit disingkirkan
oleh makrofag di sistem retikuloendotelial, terutama limpa. Pada hemolisis
intravaskular, sel darah merah akan terdestruksi dalam sirkulasi, sehingga
hemoglobin terlepas kemudian terikat pada haptoglobin plasma, tetapi
mengalami saturasi. Hb plasma bebas ini difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan
masuk ke urin, meskipun sebagian kecil direabsorpsi oleh tubulus renal.
Dalam sel tubulus renal, Hb pecah dan terdeposit di sel sebagai hemosiderin.
Sebagian Hb plasma yang bebas dioksidasi menjadi methemoglobin, yang
terpecah lagi menjadi globin dan Heme-Fe
Hemopexin plasma mengikat heme-Fe, namun jika kapasitas
pengikatannya berlebihan, maka heme-Fe bersatu dengan albumin
membentuk metheamalbumin. Hati berperan penting dalam mengeliminasi
Hb yang terikat dengan haptoglobin dan haemopexin dan sisa Hb bebas
(Adamson,2005).
V. Anemia aplastik
Anemia aplastik merupakan anemia dengan karakteristik adanya
pansitopenia disertai hipoplasia / aplasia sumsum tulang tanpa adanya
penyakit primer yang mensupresi atau menginfiltrasi jaringan
hematopoietik. Etiologi anemia aplastik adalah sebagai berikut :
1. Didapat
 Zat kimia dan Fisika

o Zat yang selalu menyebabkan aplasia pada dosis tertentu :
radiasi, bensen, arsen, sulfur, nitrogen mustard, antimetabolit,
antimitotik : kolsisin, daunorubisin, adriamisin

o Zat yang kadang-kadang mnyebabkan hipoplasia:
kloramfenicol, kuinakrin, metilfenil, hidantoin, trimetadion,
fenilbutazon, senyawa emas

 Infeksi virus : hepatitis, Epstein Barr, HIV, Dengue

44
 Infeksi mikobakterium

 Idiopatik

2. Familial : Sindroma Fanconi

Kegagalan produksi eritrosit, leukosit, dan trombosit merupakan


kelainan dasar pada anemia aplastik, yang menurut penelitian disebabkan
oleh sel T sitotoksik yang teraktivasi. Sel T tersebut akan menghasilkan
interferon gamma (IFN-γ) dan tumor necrosis factor (TNF) yang bersifat
menginhibisi langsung sel-sel hematopoietik.
Supresi hematopoietik oleh IFN-γ dan TNF juga merangsang
reseptor Fas pada sel hematopoietik CD34 sehingga menghasilkan 3
proses :
1. Perangsangan reseptor Fas akan menginduksi terjadinya apoptosis.
2. Terjadi induksi produksi nitric oxide synthetase dan nitrit oksida oleh
sumsum tulang sehingga terjadi sitotoksisitas yang diperantarai system
imun.
3. Perangsang reseptor Fas akan mengaktivasi jalur intraseluler yang
menyebabkan penghentian siklus sel.
Sel T sitotoksik juga menghasilkan interleukin-2 (IL-2) yang berfungsi
mengaktifkan klon-klon sel T yang kemudian juga akan mengeluarkan
TNF dan IFN-γ dan menginhibisi hematopoietik.

E. MANIFESTASI KLINIS ANEMIA


Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simstomatik) apbila kadar
hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dL. Berat ringannya gejala umum anemia
tergantung pada : derajat penurunan hemoglobin, kecepartan penurunan
hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia
dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:
a) Gejala umum anemia

45
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ
target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu ( HB<7). Sindrom
anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging
(tinnitus), mata berkunang – kunang, kaki terasa dingin, sesak napas
dan sispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah
dilihat pada konjunctiva, mukosa mulut, telapak tangn dan jaringan
dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat
ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena
timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7 g/dL).
b) Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :

lidah, stomatitis
Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil
 angularis, dan kuku sendok (koilonychia).

 Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada
defisiensi vitamin B12.
 
 Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali.
 
 Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi.

c) Gejala penyakit dasar


Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia
sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut.
Contohnya, pada anemia akibat infeksi cacing tambang dapat
ditemukan keluhan sakit perut, pembengkakan parotis dan warna
kuning pada telapak tangan.

F. PENEGAKAN DIAGNOSIS ANEMIA


Penegakan diagnosis anemia dapat ditentukan melalui anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemerikksaan penunjang. Dari anamnesa dan pemeriksaan
fisik dapat ditemukan tanda seperti yang tertera di bagian manifestasi klinis.

46
Sementara untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan beberapa macam
pemeriksaan yang dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Sediaan apus darah tepi
 
 Ukuran sel
 
 Anisositosis
 
 Poikilositosis
 
Polikromasia

Sediaan apusan darah tepi akan memberikan informasi yang penting apakah
ada gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis
menunjukkan ukuran eritrositnya bervariasi, sedangkan poikilositosis
menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit yang beraneka ragam.
2. Hitung retikulosit
Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi
anemia. Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas
dari sumsum tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan
dimetabolisme dalam waktu 24 -36 jam (waktu hidup retikulosit dalam
sirkulasi). Kadar normal retijulosit 1 – 2% yang menunjukkan penggantian
harian sekitar 0,8 – 1% dari jumlah sel darah merah isirkulasi.
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah.
Nilai retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan
hematrokit pasien berdasarkan usia, gender, serta koreksi lain bila
ditemukan pelepasan retikulosit prematur (polikromasia). Hal ini
disebabkan karena waktu dari retikulosit premature lebih panjang sehingga
dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolah olah tinggi. Faktor
koreksi HT 35% : 1,5 HT 25%:2,0 HT 15% : 2,5.
3. Persediaan dan penyimpanan besi
 
 Kadar Fe serum (N: 9 -27 µmol/liter)
 
 Total iron binding capacity (N: 54 – 64 µmol/liter)


 (N: perempuan : 30 µmol/liter, laki –laki : 100
Feritin serum
µmol/liter)

47
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan
TIBC dikali 100 ( N: 25 – 50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan
persen saturasi transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya
pada pukul 09.00 dan pukul 10.00.
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun,
feritin jga merupakan suatu rekatan fase akut, dan pada keadaan inflamasi
baik akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat.
4. Pemeriksaan sumsung tulang
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada
sumsum tulang misalnya yelofibrosis, gangguan pematangan, atau
penyakit infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu
kelompok sel (myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dan dihitung jenis
sel –sel berarti pada sumsum tulang ( ratio eritroit dan granuloid).
Pemeriksaan sumsung tulang dibagi menjadi 2 cara:
Aspirasi : EG ratio, Morfologi sel, Pewarnaan Fe
Biopsi : Selularitas, Morfologi
5. Pemeriksaan complete blood count (CBC )
Selain dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokrit, indeks eritrosit dapat
digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sibtesa
hemoglobin. Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila >100
dapat disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat
menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin (hipokromia).

Kriteria diagnosa anemia :


I. Anemia defisiensi besi menurut WHO
 
 Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
 
 Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% ( normal 32-35%)
 
 Kadar Fe serum < 50 µg/dL (normal 80 – 180 µg/dL)
 
Saturasi transferin < 15% (normal 20 – 50%)

Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit nomor 1,3, dan 4. Tes yang paling
efisien untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu feritin serum. Bila sarana

48
terbatas, diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan: anemia tanpa perdarahan,
tanpa organomegali, gambaran darah tepi, mikrositik, hipokromik,
anisositosis, sel target, respons terhadap pemberian terapi besi.

II. Anemia penyakit kronik


 Dijumpai anemia ringan sampai sedang pada setting penyakit dasar
yang sesuai ( seperti disebutkan pada tabel 3-4 di depan)
 
 Anemia hipokromik mikrositer ringan atau normokromik normositer


Besi serum menurun disertai dengan TIBC menurun dengan
 cadangan besi sumsum tulang masih positif

Dengan menyingkirkan adanya gagal ginjal kronik, penyakit hati
 kronik dan hipotiroid

III. Anemia megaloblastik
Diagnosis anemia megaloblastik dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan
klinik dimana terjadi anemia, makrositer pada sarah tepi yang disertai sel
megaloblast dalam sumsum tulang. Pada defisiensi vitamin B 12 dijumpai
gejala neurologik, sedangkan pasa defisiensi asam folat tidak dijumpai
gejala neurologik.

IV. Anemia hemolitik


Penegakan anemia hemolitik dilakukan dalam dua tahap, yaitu
menentukan adanya anemia hemolitik bila terdapat anemia yang disertai
dengan tanda-tanda destruksi eritrosit, dan/atau tanda tanda peningkatan
eritropoesis. Sedangkan menurut wintrobe, memberikan petunjuk praktis
anemia hemolitik patut dicurigai bila didapatkan:

Tanda tanda destruksi eritrosit berlebihan bersamaan dengan tanda-
tanda peningkatan eritropoiesis. Hal ini ditandai oleh anemia, 
retikulosis dan peningkatan bilirubin indirek dalam darah. Apabila

49
tidak dijumpai tanda perdarahan ke dalam rongga tubuh atau jaringan
maka didiagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan.

Anemia persisten disertai retikulositosis tanpa adanya tanda-tanda
perdarahan yang jelas. Jika perdarahan dan pemulihan anemia
defisiensi akibat terapi dapat disingkirkan, diagnosis anemia

 hemolitik dapat ditegakkan.

Apabila terdapat penurunan hemoglobin >1 g/dL dalam waktu satu
minggu serta perdarahan akut dan hemodelusi
 dapat disingkirkan
maka anemia hemolitik dapat ditegakkan.
 
Aapabila dijumpai hemoglobinuria atau tanda hemolisis intravaskuler
lain.
Menentukan penyebab spesifik anemia hemolitik dimulai dari anamnesis
yang teliti, pemeriksaan apusan darah, dan tes Coombs. Pasien dapat
dikelompokkan menjadi lima kelompok :
a) Kasus dengan diagnosis yang sudah jelas karena adanya
pemaparan terhadap infeksi, bahan kimia, dan bahan fisik.
b) Kasus dengan tes Coombs direk positif ditetapkan sebagai
anemia imunohemolitik.
c) Kasus dengan anemia sferositik disertai tes Coombs negatif.
d) Kaasus dengan kelainan morfologi eritrosit lain seperti yang
menjurun pada thalasemia.
e) Kasus tanpa kelainan morfologi yang khas dan tes Coombs
negatif memerlukan suatu baterai tes penyaring seperti
elektroforesis hemoglobin.

V. Anemia aplastik
Diagnosa anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia atau
bisitopenia di darah tepi dengan hipoplasia sumsum tulang, serta dengan
menyingkirkan adanya infiltrasi atay supresi pada sumsum tulang. Kriteria
diagnosis anemia aplastik menurut international agranulocytosis and

50
aplastic anemia study group (IAASG) adalah satu dari tiga sebagai berikut
:
 
 Hemoglobin kurang dari 10 gd/dL atau hematokrit kurang dari 30%

  
Trombosit kurang dari 50x109//L

Leukosit kurang dari 3,5 x 109/L atau netrofil kurang dari 1,5 x
 
10 dengan retikulosit <30x109/l (<1%).
Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat) :
penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel
hematopoietik atau selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal
dengan depleso seri granulosit atau infiltrasi neoplastik. Tidak adanya

 fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik.

Pansitopeni karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus diesklusi.

Setelah diagnosa ditegakkan, perlu dilakukan penentuan derajat penyakit


dari anemia apalstik yang berguna untuk menentukan strategi terapi.
Kriteria yang diapakai pada umumnya ialah kriteria Camitta et al. Yang
tergolong anemia apalstik berat (severe aplastic anemia) bial memenuhi
kriteria paling sedikit dua dari tiga :
  
Granulosit < 0,5 x 109 /L
  
Trombosit < 20 x 109 /L
 
Corrected reticulocte <1%

Selularitas sumsum tulang tulang < 25% atau selularitas < 50% dengan <
30% sel sel hematopoietik. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila
netrofil < 0,2 x 109 /L.

G. TATALAKSANA ANEMIA
I. Anemia defisiensi besi
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui
faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian
dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab anemia defisiensi besi
dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat.

51
Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian
peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian secara
parenteral. Pemberian parenteral dilakukan, pada pendeita yang tidak
dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak terpenuhi secara
peroral karena ada gangguan pencernaan. Cara pemberian preparat besi :
a) Preparat besi peroral :
Dosis besi elemntal yang dianjurkan :
 Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan, dianjurkan 1
mg/KgBB/hari

 Bayi 1,5 – 2,0 Kg, 2mg/KgBB/hari, diberikan sejak usia 2
minggu

 Bayi 1,0 – 1,5 Kg, 3 mg/KgBB/hari diberikan sejak usia 2
minggu

 Bayi < 1 Kg, 4 mg/KgBB/hari, ddiberikan sejak usia 2 minggu
Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai 4 -
6 mg/KgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi
yang ada dalam garam ferous maupun feri. Garam ferous sulfat
mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan
menimbulkan efek samping pada saluran cerna dan tidak memberikan
efek penyembuhan yang lebih cepat. Obat diberikan 2 – 3 dosis sehari.
Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia
pada penderita teratai. Respon terapi pemberian preparat besi dapat
dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium.
Preparat yang tersedia, yaitu: ferrous sulphat ( sulfat ferosus) :
preparat pilihan pertama ( murah dan efektif). Dosis 3 x 200 mg. Ferrous
gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate, harga
lebih mahal, tetapi efektivas dan efek samping bhampir sama.
b) Preparat besi parenteral
Pemberian besi secara parenteral melalui dua cara yaitu secara
intramuskular dalam dan intravena pelan. Efek samping yang
ditimbulkan dapat berbahaya, yaitu reaksi anafilakksis, flebitis, sakit

52
kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop. Indikasi
pemberian parenteral: intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang,
kolitis ulseratif, perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi,
hamil trimester akhir). Kemampuan menaikkan kadar Hb tidak lebih baik
dibanding peroral. Preparat yang sering digunakan adalah dekstran besi.
Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis berdasarkan :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB(Kg) x 3
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric acid
complex.

II. Anemia Penyakit Kronik


Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia penyakit
kronik berupa:

 dengan baik, anemia akan
Jika penyakit dasar dapat diobati
 sembuh dengan sendirinya.

  respons pada pemberian besi, asam folat,
Anemia tidak memberi
atau vitamin B 12.
 
 Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan.
 
Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan

hemoglobin, tetapi harus diberikan terus menerus.


Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi pemberian
preparat besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan
berhenti setelah hemoglobin mencapai kadar 9 – 10 g/dL.
III. Anemia Sideroblastik
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan anemia
sideroblastik adalah:


Terapi untuk anemia sideroblastik herediter bersifat simtomatik
 dengan transfusi darah

Pemberian vitamin B 6 dapat dicoba karena sebagian kecil
penderita responsif terhadap peridoksin.

53

Untuk bentuk didapat (RARS) pengobatannya dapat dilihat pada
bab sindroma mielodisplastik.


Penyebab anemia megaloblastik tersering pada anak adalah
defisiensi asam
 folat. Terapi dapat digunakan dengan pemberian
 asam folat.

selama 4 bulan atau
Asam folat, diberikan 5 mg/hari per oral
 parenteral dan vitamin C 200 mg/hari.

Vitamin B12 (bila pemberian terapi asam folat gagal) 15-30 µgi,
diberikan 3 -5 kali/minggu sampai Hb normal, ppada anak besar
dapat diberikan 100 µg. Bila perlu diteruskan pemberian vitamin

B12 tiap bulan.
 
 Pengobatan penyakit kausal/penyakit primer.

Transfusi darah bila terdapat indikasi: gagal jantung yang

mengancam, menghadapi tindakan operatif darah lengkap dosis
10-20 ml/KgBB/hari, PRC pada penderita tanpa perdarahan, whole
blood bila ada kehilangan  volume darah, dosis disesuaikan
banyaknya darah yang hilang.
Respons terhadap terapi: retikulosit mulai naik hari 2 -3 dengan puncak
pada hari 7 – 8. Hb harus naik 2 – 3 g/dL tiap minggu.
V. Anemia hemolitik
Tergantung etiologinya :
a) Anemia hemolitik autoimun :

 Glukokortikoid : prednison 40 mg/m2 luuas permukaan tubuh


(LPT)/hari.

 Splenektomi : pada kausa yang tidak berespon dengan pemberian
glukoortikoid.

 Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan
splenektomi. Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan,

54
kemudian tappering off, biasanya dikombinasi dengan Prednison 40
mg/m2 . dosis prednison diturunkan bertahap dalam waktu 3 bulan.

 Azatioprin : 80mg/m2/hari

 Siklofosfamid : 60 – 75 mg/m2/hari

 Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan.

 Stop obat-obatan yang diduga menjadi penyebab

b) Kelainan kongenital, misalnya thalasemia :
 Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr%

 Desferal untuk mencegah penumpukan besi. Diberikan bila serum
Feritin mencapai 1000 µg/dL biasanya setelah transfusi ke 12. Dosis
inisial 20 mg/KgBB, diberikan 8 – 12 jam infus SC di idnding anterior
abddomen, selama 5 hari/minggu. Diberkan bersamaan dengan
vitamin C oral 100 – 200 mg untuk meningkatkan ekskresi Fe. Pada
keadaan penumpukan Fe berat terutama disertai dengan
komplikasi jantung dan endokrin, deferoxamine diberikan 50
mg/KgBB secara infuse kontinue IV.
VI. Anemia aplastik

 
 Terapi kausal

Terapi suportif, dengan menghindari kontak dengan penderita infeksi,
isolasi, menggunakan sabun antiseptik, sikat gigi lunak,obat peunak
 buang ait besar, pencegahan menstruasi obat anovulator.

Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang : 
terapi untuk
 merangsang pertumbuhan sumsum tulang, berupa :

 Anabolik steroid dapat diberikan oksimetolon atau stanozol.
Oksimetolon diberikan dlam dosis 2 -3 mg/KgBB/hari. Efek terapi
tampak setelah 6 – 12 minggu.

 Rh GM-CSF (rekombinan Human Granulocyte-Macrophage
Colony Stimulating Factor) digunakan untuk meningkatkan jumlah
neutrofil, tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoietin juga

55
dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah
merah.
 Kortikosteroid : prednison 1 -2 mg/KgBB/hari diberikan
maksimum 3 bulan. Atau ada yang memberikan 60 – 100 mg/hari,
namun jika dalam 4 minggu tidak ada respons sebaiknya
dihentikan karena memberikan efek samping yang serius.
 
 Terapi definitif yang terdiri atas :
 ATG (anti Thymocyte Globulin)

Dosis 10 – 20 mg /KgBB/hari, diberikan selama 4 – 6 jam dalam
larutan NaCl dengan filter selama 8 – 14 hari. Untuk mencegah

serum sickness, diberikkan Prednison 40mg/m2/hari selama 2
minggu, kemudian dilakukan tappering off.

 Cyclosporin A

Dosis 3 – 7 mg/KgBB/hari dalam 2 dosis, penyesuaian dosis
dilakukan setiap mingggu untuk mempertahankan kadar dalam
darah 400-800 mg/ml. pengobatan diberikan miimal selama 3
bulan, bila ada respon, diteruskan sampai respon maksimal,
kemudian dosis diturunkan dalam beberapa bulan.

 Kombinasi ATG dan Cyclosporin A


 Transplantasi sumsum tulang terapi yang memberikan harapan

kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan


canggih, serta adanya kesulitan dalam mencari donor yang
kompatibel. Transplantasi sumsum tulang, yaitu: merupakan
pilihan untuk kasus berumur di bawah 40 tahun, diberikan
siklosporin A untuk mengatasi GvHD (graft versus host disease),
memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60 – 70% kasus,
dengan kesembuhan komplit.


Transfusi : diberikan PRC jika Hb < 7 g/dL atau ada tanda payah
jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai 9 – 10
g%, tidak perlu sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoesis

internal.

56
 
Trombosit profilaksis untuk penderita dengan trombosit < 10.000–
3
20.000/mm . Bila terdapat infeksi, perdarahan, atau demam,  maka
 diperlukan transfusi pada kadar trombosit yang lebih tinggi.
 
Granulosit tidak bermanfaat sebagai profilaksis. Dapat
dipertimbangkan pemberian 1 x 1010 neutrofil selama 4  – 7 hari pada
 infeksi yang tidak berespon dengan pemberian antibiotik.

H. PROGNOSIS
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi
saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang
adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan
pemberian preparat besi. Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu
dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut :
 Diagnosis salah

 Dosis obat tidak adekuat

 Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa

 Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlangsung menetap

 Penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi
Pada anemia aplastik, prognosis tergantung pada tingkatan hipoplasia, makin
berat prognosis semakin jelek, pada umumnya penderita meninggal karena infeksi,
perdaraham atau akibat dari komplikasi transfusi. Prognosa dari anemia aplastik akan
menjadi buruk bila ditemukan 2 dari 3 kriteria berupa jumlah neutrofil <500/µL,
jumlah platelet <20000/µL, andcorrected reticulocyte count <1% ( atau absolute
reticulocyte count < 60000/µL). Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita
bertahan hidup selama 4 bulan, 25% selama 4 – 12 bulan, 35% selama lebih dari 1
tahun, 10-20% mengalami perbaikan spontan (parsial/komplit).

57
DAFTAR PUSTAKA

Adamson WJ, dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine, edisi 16.


NewYork : McGraw Hill, 2005.
American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes.
Diabetes Care. 2004;27(Suppl 1):S15-S35.
Benoist B, dkk. Worldwide Prevalence of Anaemia 1993-2005. Switzerland :
WHO, 2008.
Despopoulos A, dkk. Color Atlas of Physiology, edisi 5. USA : Thieme, 2003.
Foster, Daniel W. 2000. Diabetes Mellitus. Dalam : Harrison prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam edisi 13/ editor edisi bahasa inggris, Kurt J. Isselbacher et
al; editor bahasa Indonesia, Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC.
Hemphill, Robert R. 2012. Hyperosmolar Hyperglicemic State. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1914705-overview#a0156
Kurnia. 2010. Mekanisme Terjadinya Diabetes. Available at :
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-
health/2094446-mekanisme-terjadinya-diabetes/#ixzz1PmiprcMK
Mansjoer, Arif, Triyanti, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3. Jakarta :
Media Aesculapuis.
Price Sylvia A, dkk. Patofisiologi, edisi 6. Jakarta : EGC, 2005.
Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Sherwood L, dkk. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi 6. Jakarta : EGC,
2011.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry
Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta : EGC.
Soegondo S. Obesitas. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, dkk (Eds). Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2007; 4;3:1919-25.

58
Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik.
Dalam : Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta : Interna Publishing.
Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state, American Academy of Family
Physician, http://www.aafo.org/afp/20050501/1723.html
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : FKUI
WHO. Diabetes Mellitus, WHO Geneva, Available at :
Http//www.who.int.inf.fs/en/fact 138.html
World Health Organization. Iron Deficiency Anaemia : Assessment, Prevention,
and Control. Switzerland : WHO, 2001.

59

Anda mungkin juga menyukai