Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

Apendiks disebut juga umbai cacing, istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat

awam adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah sekum. Organ yang tidak

diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan.

Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun

jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun.

Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun,

dimana laki-laki lebih tinggi. Sedangkan insiden apendisitis kronik sendiri adalah sekitar 1-

5%.

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi membentuk

jaringan parut yang melengket ke jaringan sekitarnya. Perlengketan ini bisa menimbulkan

keluhan berulang di perut kanan bawah. Dikatakan apendisitis kronik jika nyeri perut kanan

bawah lebih sari dua minggu, terbukti terjadi radang kronik apendiks baik secara

makroskopik maupun mikroskopik, dan keluhan menghilang pasca apendektomi.

Peradangan akut apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah

komplikasi yang umumnya berbahaya.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI1

Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm

dan berpangkal pada sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian

distal. Apendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu

bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari

sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup

ileosaecal.

Gambar 1 : Apendiks

Pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah

ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia tersebut.

Apendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada

apendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk

mendeteksi posisi appendiks.


Pada 65% kasus apendiks terletak intraperitoneal. Posisi tersebut memungkinkan

apendiks bergerak, dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks

penggantungnya. Pada kasus lainnya, apendiks terletak retroperitoneal yakni di belakang

sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala apendisitis

ditentukan oleh letak apendiks.

Gambar 2 : Variasi letak apendiks

Gambar 3 : Apendisitis
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri

mesenterika superior dari arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari

nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar

umbilikus. Apendiks didarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari bagian

bawah arteri ileocolica. Arteri apendiks termasuk end arteri. Bila terjadi penyumbatan pada

arteri ini, maka appendiks mengalami ganggren.

2.2 DEFINISI1-3

Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis kronik

baru bisa ditegakkan jika memenuhi beberapa syarat yakni riwayat nyeri perut kanan bawah

lebih sari dua minggu, terbukti terjadi radang kronik apendiks baik secara makroskopik

maupun mikroskopik, dan keluhan menghilang pasca apendektomi. Kriteria mikroskopik

meliputi adanya fibrosis menyeluruh pada dinding apendiks, sumbatan parsial atau total pada

dinding apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel

inflamasi kronik.

2.3 EPIDEMIOLOGI1

Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu

tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu

menurun. Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-

30 tahun, insiden pada laki-laki lebih tinggi.

2.4 ETIOLOGI1,4

Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit merupakan

penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan
limfoid, sisa barium dari pemeriksaan rontgen, diet rendah serat, dan cacing usus termasuk

ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada

apendiks. Post operasi apendisitis juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau

stasis fekal. Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit

ditemukan pada 40% dari kasus apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis

gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus apendisitis gangrenous dengan rupture.

Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi mukosa

apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran

kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya

apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya

sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.

Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisitis.

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi membentuk

jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini bisa

menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Sewaktu-waktu organ ini dapat

meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai eksaserbasi akut.

2.5 FISIOLOGI1

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke

dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks

berperan pada patogenesis apendisitis.

Dinding apendiks terdiri dari jaringan lymfe yang merupakan bagian dari sistem imun

dalam pembuatan antibodi. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut

Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,
adalah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun,

pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan

limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di

seluruh tubuh.

Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.

Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang

mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan

terjadi obliterasi lumen apendiks komplit.

2.6 PATOFISIOLOGI1,4-7

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia

folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,

atau neoplasma.

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya

dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi

tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama

mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya

sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60

cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat

mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangren atau

terjadi perforasi.

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,

menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan
pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis

pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal

yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36

jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan

menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.

Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri

didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti

dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah

rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan

bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate

apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.

Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai dimukosa

dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini

merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup

apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa

periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat

mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa

periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding

apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena

telah ada gangguan pembuluh darah.

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme,

daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum

parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan

melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi

perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi

masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh

karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).

2.6 GEJALA KLINIS8

Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu:

 Rasa sakit di kuadran kanan bawah, daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di

seluruh abdomen atau di merupakan gejala-gejala pertama. Rasa sakit ini samar-

samar, ringan sampai moderat, dan kadang-kadang berupa kejang. Sesudah empat jam

biasanya rasa nyeri tersebut sedikit demi sedikit menghilang kemudian beralih ke

kuadran bawah kanan. Rasa nyeri menetap dan secara progesif bertambah hebat

apabila pasien bergerak.

 Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan merupakan

kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan.

 Demam tidak tinggi (< 38⁰C), kekakuan otot, dan konstipasi.

 Apendicitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan terdapat nyeri

lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita hamil rasa nyeri terasa

lebih tinggi di daerah abdomen dibandingkan dengan biasanya.


 Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan juga di

daerah panggul sebelah kanan jika apendiks terletak retrosaecal. Rasa nyeri

ditemukan di daerah rektum pada pemeriksaan rektum apabila posisi apendiks di

pelvic. Letak apendiks mempengaruhi letak rasa nyeri.

2.7 DIAGNOSIS1,9

Diagnosis yang dilakukan antara lain:

 Anamnesis:

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena

hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga

nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi

n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika

timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5 -38,5⁰C.

Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi.

 Pemeriksaan Fisik:

 Inspeksi bisa memperlihatkan adanya distensi perut.

 Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri dan bila

tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan

kunci diagnosis apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri

pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan

di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang

disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).


 Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada apendicitis untuk menentukan

letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini

terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak di daerah pelvic.

 Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui

letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas

lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,

kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas

mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan

gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks

yang meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul

kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.

Kemungkinan apendisitis juga bisa mempergunakan Alvarado Score


Gejala
Perpindahan nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Pemeriksaan fisik
Nyeri tekan (perut kanan bawah) 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan suhu tubuh (38⁰C) 1
Laboratorium
Leukositosis 2
Pergeseran ke kiri (leukosit PMN) 1
Total 10

Keterangan Alavarado Score :

 Dinyatakan apendisitis akut bila > 7 point

 Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram:

 1–4 dipertimbangkan appendicitis akut

 5–6 possible appendicitis tidak perlu operasi

 7–9 appendicitis akut perlu pembedahan


 Penanganan berdasarkan skor Alvarado:

 1–4 : observasi

 5–6 : antibiotik

 7 – 10 : operasi dini

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG1,10

1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus

appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, C-reaktif

protein meningkat. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat.

b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di

dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan

diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang

mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.

2. Abdominal X-Ray

Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab apendisitis. Pemeriksaan

ini dilakukan terutama pada anak-anak.

3. USG

Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama

pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk

menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan

sebagainya.

4. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.

Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada

jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. Appendicogram

memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk

menegakkan diagnosis appendisitis khronis. Dimana akan tampak

pelebaran/penebalan dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan lumen hingga

sumbatan usus oleh fekalit.

5. CT-scan

Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat menunjukkan

komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.

6. Laparoscopy

Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan dalam

abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan di

bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan

peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan

pengangkatan appendiks.

7. Histopatologi

Secara histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia

mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub

mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

2.9 DIAGNOSIS BANDING1

Pasien yang mempunyai gejala yang muncul sama seperti apendisitis, antaranya adalah:

 Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih

ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan

leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis.

 Demam Dengue

Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes positif

untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan hematokrit meningkat.


 Kista ovarium terpuntir

Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga

pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal.

 Kelainan ovulasi

Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah

pada pertengahan siklus menstruasi.

 Infeksi panggul

Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih

tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus.

 Kehamilan di luar kandungan

Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika

ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan pendarahan, akan timbul

nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik.

 Endometriosis ovarium eksterna

Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat endometriosis

berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.

 Urolitiasis pielum/ ureter kanan

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan

gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan.


 Penyakit saluran cerna lainnya

Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah peradangan di perut, seperti divertikulitis

Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis,

divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis,

karsinoid, dan mukokel apendiks.

2.10 TATALAKSANA1,11

Bila diagnosis sudah jelas, tindakan paling tepat dan satu-satunya pilihan yang baik

adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi , biasanya tidak perlu diberikan

antibiotik. Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau laparaskopi. Bila dilakukan

secara terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih. Pada pasien dengan diagnosis yang

meragukan, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu. Bila tersedia laparoskop, tindakan

laparoscopy diagnostic pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan

operasi atau tidak.

Pada daerah dengan kesulitan akses bedah, diberikan antibiotik untuk mencegah

infeksi. Akan tetapi, penundaan apendektomi dengan pemberian antibiotik dapat

mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses apendiks dilakukan drainage (mengeluarkan

nanah).

2.11 KOMPLIKASI1,12-13

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi

bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa

yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.

Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata.
Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :

 nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh

 Suhu tubuh naik tinggi sekali.

 Nadi semakin cepat.

 Defense Muskular yang menyeluruh

 Bising usus berkurang

 Perut distended

Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :

1. Pelvic Abscess

2. Subphrenic absess

3. Intra peritoneal abses lokal

Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen,

dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.


BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. L

Umur : 55 thn

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Kanang JR Bonjo Alam Ampang Gadang

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

No. RM : 36 78 89

Masuk RS : 10-11-2015

3.1 ANAMNESIS

Telah dirawat seorang pasien perempuan, 55 tahun di bangsal bedah CW RSAM Bukittinggi

dengan:

Keluhan Utama: Nyeri perut kanan bawah sejak 1 bulan SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:

 Nyeri perut kanan bawah sejak sebulan yang lalu SMRS

 Nyeri dirasakan terus menerus, hilang ketika beraktivitas, nyeri seperti ditusuk pisau

 Mual (+) Muntah (+)

 Nafsu makan normal, tapi susah makan karena mual

 BAB normal, BAK normal


Riwayat Penyakit Dahulu:

 Nyeri ulu hati sejak lama (pasien tidak ingat sejak kapan)

 Pernah berobat ke puskesmas dan diberi obat, nyeri hilang setelah diberi obat namun

setelah obat habis nyeri timbul kembali

3.2 PEMERIKSAAN FISIK

a. Status Generalisata :

Keadaan umum : sakit sedang

Kesadaran : composmentis cooperative

Tekanandarah : 130/80 mmHg

Nafas : 20x/menit

Nadi : 87x/menit

Suhu : afebril

b. Status lokalis

 Kepala : tidak ada kelainan (normochepal)

 Mata : Pupil bulat, reflex cahaya (+), konjungtiva tidak anemis,

sclera tidak ikterik, tidak ada kelainan

 Kulit : tidak ada kelainan, turgor kulit baik

 Hidung : tidak ada kelainan

 Telinga : tidak ada kelainan

 Mulut : tidakadakelainan

 Leher : JVP 5-2 cmH20


 Pemeriksaan Thorax

1. Paru-paru

Inspeksi : bentuk dinding dada normal, pergerakan dinding dada simetris

kiri dan kanan

Palpasi : fremitus kanan = kiri

Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi : suara nafas vesicular pada seluruh lapangan paru, wheezing (-

), ronkhi (-)

2. Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba pada 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : irama teratur, BJ normal

3. Abdomen

Inspeksi : distensi (-)

Palpasi : nyeri tekan perut kanan bawah (+)

Nyeri lepas perut kanan bawah (+)

Mc Burney sign (+), Psoas sign (+), Obturator sign (+)

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

4. Ekstremitas: akral hangat, perfusi baik


3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium

Hb : 13 g/dl

Leukosit : 5.270/mm3

Trombosit : 256.000/mm3

Hematokrit : 39,6 %

PT : 8,9 detik

APTT : 33,7 detik

b. Apendikogram : Apendisitis kronis

3.5 DIAGNOSIS PRE OPERASI

 Apendisitis kronik

3.6 TATALAKSANA

 Apendektomi

3.7 DIAGNOSIS POST OPERASI

 Apendisitis kronik

3.8 PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Quo ad sanationam : bonam


BAB 4

ANALISIS KASUS

Telah dirawat seorang pasien perempuan, usia 55 tahun dengan keluhan utama nyeri

perut kanan bawah sejak 1 bulan SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus, hilang ketika

beraktivitas dan terasa seperti ditusuk pisau. Terdapat riwayat mual muntah pada pasien.

Nafsu makan normal, tapi susah makan karena mual. BAB dan BAK normal. Pada riwayat

penyakit dahulu pasien mengatakan terdapat nyeri ulu hati sejak lama (pasien tidak ingat

sejak kapan), pernah berobat ke puskesmas dan diberi obat, nyeri hilang setelah diberi obat

namun setelah obat habis nyeri timbul kembali.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada perut kanan bawah (+). Mc

Burney sign (+) menandakan terdapat nyeri lepas pada perut kanan bawah. Psoas sign

(+)menunjukkan apendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor. Obturator sign (+)

menandakan apendiks yang meradang bersentuhan dengan obturator interna (appendisitis

pelvika). Tidak ditemukan defense muscular pada pasien menunjukkan belum terjadi

perforasi yang mengiritasi pada peritonium. Pada pemeriksaan apendikogram didapatkan

hasil apendisitis kronis.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan,

dapat disimpulkan pasien menderita apendisitis kronis. Tatalaksana yang telah dilakukan

pada pasien ini adalah terapi bedah yakni apendektomi. Didapatkan hasil post operasi berupa

apendisitis kronis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, 2011.Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3, Jakarta : EGC.

2. Way, L., Doherty, G., 1994. Current Diagnosis & Treatment. Edisi 11 Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta

3. Thomson, A.D., Cotton, R.E., 1997. Catatan Kuliah Patologi. Edisi 3. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta.

4. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-
Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic
Publication.
5. Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran UNAIR.
Surabaya.
6. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua.
Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
7. Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15.
www.emedmag.com
8. Schrock, T., 1995. Ilmu Bedah. Edisi 7. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

9. Martalena, S.K., 2008. Karakteristik Penderita Appendicitis Yang Dirawat Inap Di

Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2004-2007. Skripsi FKM

USU Medan.

10. Soeparman, 1998. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta

11. Dudley, H., 1992. Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat. Edisi 11. Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta.

12. Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran UNAIR.
Surabaya.
13. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human Services.
National Institute of Health. NIH Publication No. 04–4547.June 2004.
www.digestive.niddk.nih.gov
Case Report

APENDISITIS KRONIK

Oleh:
Femmy Maysara
1110312146

Pembimbing:
dr. Arsil Hamzah, Sp B

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSAM BUKITTINGGI
2015

Anda mungkin juga menyukai