Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang
sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal, merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.1
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Bila mengenai beberapa
sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Sesuai dengan anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid. Pada anak hanya
sinus maxilla dan sinus ethmoid yang berkembang sedangkan sinus frontal dan sinus
sphenoid mulai berkembang pada anak berusia kurang lebih 8 tahun. 2,3
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
dunia. Di Amerika Serikat diperkirakan 0,5% dari ISPA karena virus dapat
menyebabkan sinusitis akut. Sinusitis kronis mengenai hampir 31 juta rakyat
Amerika Serikat. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit
hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama
atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi
Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi
pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. 2,4,5
Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia dewasa 18-75 tahun dan kemudian
anak-anak berusia 15 tahun akibat rentannya usia ini dengan infeksi Rhinovirus.
Perempuan lebih sering terkena sinusitis dibandingkan laki-laki karena mereka lebih
sering kontak dengan anak kecil. Angka perbandingannya 20% perempuan dibanding
11.5% laki-laki. 2,3,4

1
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga
sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit
inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya.
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri.
Rhinitis alergi dan infeksi virus pada saluran nafas atas yang berkepanjangan akan
menyebabkan terjadinya sinusitis. 2,3,5
Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan
maksila. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan
intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor
predisposisi yang tak dapat dihindari, sehingga diperlukan tatalaksana dan
pengenalan dini yang baik untuk mencegah komplikasi yang ditimbulkan. 2,3,4

2
BAB II
ISI

2.1 Anatomi dan Fisiologi


2.1.1 Hidung
Hidung terdiri dari nasus externus (hidung luar) dan cavum nasi. 6
 Nasus externus
Melekat di dahi melalui radix nasi atau jembatan hidung. Lubang luar
hidung adalah kedua nares. Setiap nares dibatasi oleh ala nasi dan di medial
oleh septum nasi.
 Cavum nasi
Cavum nasi terletak dari nares sampai choana. Bagian dari kavum nasi
yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut sebagai
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang memiliki banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut yang disebut dengan vibrise. Septum nasi
membagi menjadi belahan kanan dan kiri yan memiliki dasar,atap, dinding
lateral dan dinding medial.
Dasar dibentuk oleh proc.palatinus maxillae dan horizontal ossis palatini
yaitu permukaan atas palatum durum. Bagian atap sempit dan dibentuk oleh
corpus ossis sphenoid, lamina cribosa, ossis ethmoidalis, os frontale dan
cartilagines nasi. Dinding lateral ditandai dengan tiga tonjolan disebut concha
nasalis superior, media dan inferior. Area dibawah concha disebut meatus. 5
Terdapat dua membran mucosa yang melapisi cavum nasi, kecuali
vestibulum yang dialapisi oleh kulit yang mengalami modifikasi. Terdapat
membran mucosa olfactorius yang melapisi permukaan atas concha nasalis
superior, recessus sphenoidalis serta septum nasi. Membran ini berfungsi
menerima rangsangan penghidu dengan sel penghidu khusus. Terdapat juga
membran mucosa respiratorius yang melapisi bagian bawah cavum nasi

3
berfungsi untuk menghangatkan, melembabkan dan membersihkan udara
inspirasi. Proses ini ditimbulkan oleh banyaknya sekresi mucus yang
diproduksi oleh sel goblet.
Suplai arteri untuk cavum nasi terutama berasal dari cabang a.maxillaris.
cabang yang terpenting adalah a.sphenopalatina yang beranastomosis dengan
cabang septal a.labialis superior yang merupakan cabang dari a.facialis di
daerah vestibulum. Daerah ini sering terjadi epistaksis. Vena-vena membentuk
plexus yang luas didalam submucosa. Plexus ini dialirkan oleh vena yang
menyertai arteri.
N. Olfactorius berasal dari sel olfactorius khusus yang sudah dibicarakan
diatas. Saraf ini naik ke atas melalui lamina cribosa dan mencapai bulbus
olfactorius. Saraf sensasi umum berasal dari divisi ophtalmicus dan maxillaris
n.trigeminus.
Pembuluh limfe mengalirkan limfe dari vestibulum ke nodi
submandibulares. Bagian lain dari cavum nasi mengalirkan limfenya ke nodi
cervicalis profunsi superior. 6

Gambar 1. Anatomi hidung

4
2.1.2 Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada setiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. 2,6
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3 – 4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus etmoid dan maksila telah ada sejak anak lahir,
sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8 – 10
tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus – sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15 – 18 tahun. 2,6
Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami
modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus, bersilia, sekret disalurkan ke dalam
rongga hidung. Pada orang sehat, rongga terutama berisi udara. 2,6
 Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6 – 8 ml, sinus kemudian berkembang dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk
segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut
fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila,
dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya
ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

5
Dasar dari sinus maksila sangat berdekatan dengan rahang gigi atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C)
dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam
sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi mukosa
sinus melalui cabang dari nervus maksilaris.2,6
 Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat
fetus, berasal dari sel – sel resessus frontal atau dari sel – sel infundibulum
etmoid. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat – sekat dan tepi sinus berlekuk
– lekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan
fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di
resessus frontal. Resessus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.
Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear yang
berasal dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari arteri
carotis interna. Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital dan
supratrochlear cabang dari nervus frontalis yang berasal dari nervus trigeminus.
2,6

 Sinus Etmoid
Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4,5 cm, tinggi 2,4 cm, dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid
berongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di
dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan
dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-
rata 9 sel).

6
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior
yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di
meatus superior. Sel – sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan
banyak, letaknya dibawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus
etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak
di postero-superior dari perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus
etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resessus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Atap sinus etmoid yang disebut fovea
etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah
lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga
orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid.
Suplai darah berasal dari cabang nasal dari arteri sphenopalatina. Inervasi
mukosa berasal dari divisi oftalmika dan maksilaris nervus trigeminus. 2,6
 Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm.
Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml.
Batas- batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna dan di sebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. 2,6

7
Gambar 2. Anatomi Sinus

Gambar 3. Anatomi Sinus

8
2.1.3 Kompleks ostiomeatal
Kompleks ostiomeatal dideskripsikan sebagai area yang terdapat di dinding
lateral hidung dimana terdapat meatus medius yang merupakan muara dari sinus
paranasalis (kecuali sinus sfenoid). KOM merupakan unit fungsional yang merupakan
tempat ventilasi dan draenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus
maksila, sinus etmoid anterior, dan sinus frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah
yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-
sinus yang terkait.2,6
Struktur fungsional dari kompleks ini terdiri dari prosesus uncinatus, hiatus
semilunaris, resesus frontalis, bulla ethmoid, infundibulum ethmoid dan muara dari
sinus maksila. 2,6

Gambar 4. Kompleks ostiomeatal

 Sistem Mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia
dan palut lender di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk

9
mengalirkan lender menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang
sudah tertentu polanya. 2,6
Pada sinus maksila sistem transport mukosiliar menggerakan secret
sepanjang dinding anterior, medial, posterior, dan lateral serta atap rongga sinus
membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah.
Setinggi ostium secret akan lebih kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk
mencegah tekanan negative dan berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa
yang ringan tidak akan menghentikan atau menguba transport dan secret akan
melewati mukosa yang rusak tersebut. Tetapi jika secret lebih kental, secret
akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek.
Gerakan sistem mukosiliar pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral.
Secret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian ke atap, dinding
lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posterior menuju ressesus
frontal. Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sphenoid
sedangkan pada sinus etmoid terjadi gerakan rektilinier jika ostiumnya terletak
di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah satu
dindingnya.
Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transport mukosiliar dari sinus.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di
infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di ressesus
sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah
sebabnya pada sinusitis didapati secret pasca nasal (post nasal drip), tetapi
belum tentu ada secret di rongga hidung. 2,6

2.1.3 Fisiologi Sinus Paranasal 2,7


a. Sebagai Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembapan udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena

10
ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus dan
rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa
jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak
mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai Penahan Suhu (Thermal Insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita
dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung da
organ-organ yang dilindungi.
c. Membantu Keseimbangan Kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
ini dianggap tidak bermakna.
d. Membantu Resonansi Suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi
sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator
yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan
besarnya sinusa pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai Peredam Perubahan Tekanan Udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu Produksi Mukus
Mucus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
disbanding dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena
mucus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

11
2.2 Pansinusitis
2.2.1 Definisi
Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau
dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Definisi lain menyebutkan,
sinusitis adalah inflamasi dan pembengkakan membrana mukosa sinus disertai nyeri
lokal .Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis. 2,3
Sesuai dengan anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.

2.2.2 Etiologi
Seperti yang diketahui, terdapat banyak faktor menjadi penyebab sesuatu
penyakit timbul, antaranya faktor internal seperti daya tahan tubuh yang menurun
akibat defisiensi gizi yang menyebabkan tubuh rentan dijangkiti penyakit dan faktor
eksternal seperti perubahan musim yang ekstrim, terpapar lingkungan yang tinggi zat
kimiawi, debu, asap tembakau dan lain-lain. Adapun etiologinya adalah : 2,3,8
 Virus
Virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas, infeksi virus yang
lazim menyerang hidung dan nasofaring juga menyerang sinus. Mukosa sinus
paranasalis berjalan kontinyu dengan mukosa hidung dan penyakit virus yang
menyerang hidung perlu dicurigai dapat meluas ke sinus. Antara agen virus
tersering menyebabkan sinusitis antara lain: Rhinovirus, influenza virus,
parainfluenza virus dan adenovirus
 Bakteri
Organisme penyebab tersering sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab
otitis media. Yang sering ditemukan antara lain: Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenza, Branhamella cataralis, Streptococcus alfa,
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Penyebab dari sinusitis

12
kronik hampir sama dengan bakteri penyebab sinusitis akut. Namun karena
sinusitis kronik berhubungan dengan drainase yang kurang adekuat ataupun
fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung
bersifat opportunistik, dimana proporsi terbesar merupakan bakteri anaerob
(Peptostreptococcus, Corynobacterium, Bacteroides, dan Veillonella).
 Jamur
Biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes, terapi immunosupresif, dan
immunodefisiensi misalnya pada penderita AIDS. Jamur penyebab infeksi
biasanya berasal dari genus Aspergillus dan Zygomycetes.

2.2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat diperkirakan 0,5% dari ISPA karena virus dapat
menyebabkan sinusitis akut. Sinusitis kronis mengenai hamper 31 juta rakyat
Amerika Serikat.
Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia dewasa 18-75 tahun dan kemudian
anak-anak berusia 15 tahun. Pada anak-anak berusia 5-10 tahun. Infeksi saluran
pernafasan dihubungkan dengan sinusitis akut. Sinusitis jarang pada anak-anak
berusia kurang dari 1 tahun karena sinus belum berkembang dengan baik sebelum
usia tersebut.

2.2.4 Klasifikasi
 Sinusitis Akut, yaitu sinusitis yang berlangsung sampai 4 minggu, memiliki
tanda-tanda peradangan akut.
 Sinusitis Sub Akut, yaitu sinusitis yang berlangsung antara 4 minggu sampai 3
bulan. Memiliki tanda-tanda peradanga akut yang telah mereda. Perubahan
histologik mukosa sinus paranasal masih reversible.

13
 Sinusitis Kronis, yaitu sinusitis yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Perubahan
histologik mukosa sinus paranasal sudah irreversible. Misalnya berubah
menjadi jaringan granulasi dan polipoid. 2,3

2.2.5 Patofisiologi
Sinus paranasal ditemukan normal steril dalam keadaan fisiologis. Sekresi
yang dihasilkan oleh sinus dialirkan melalui silia melalui ostia dan keluar melalui
rongga hidung. Mukus yang dihasilkan juga mengandung substansi antimikroba dan
zat-zat yang berfungsi untuk mekanisme pertahanan tubuh. Pada orang
normal, laju sekresi selalu menuju ke ostia yang mencegah adanya kontaminasi pada
ruang sinus. Ostium sinus maksilaris hanya berdiameter 2,5mm, apabila ada edema
mukosa sebesar 1-3mm, akan menyebabkan kongesti (dapat disebabkan oleh alergi,
virus iritasi bahan kimia) dan obstruksi dari sekresi sinus. Keadaan ini
menimbulkan tekanan negatif di dalam sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi
serosa.
Mukus yang terhambat ini, apabila terinfeksi akan menyebabkan sinusitis.
Ada hipotesa mekanis yang mengatakan bahwa karena rongga sinus ini berhubungan
dengan rongga hidung, maka koloni bakteri dari nasofaring dapat menginfeksi rongga
sinus. Patofisiologi dari rhinosinusitis berhubungan dengan 3 faktor, yaitu : 2,3,4
 Obstruksi jalan keluar sekresi sinus.
Obstruksi dari ostia sinus mencegah drainase yang baik.ostia dapat tertutup
oleh pembengkakan mukosa atau karena penyebab lokal (trauma, rinitis), dapat
juga oleh reaksi inflamasi yang disebabkan oleh penyakit sistemik dan
gangguan imunitas. Obstruksi mekanik yang disebabkan oleh polip hidung,
benda asing, septum deviasi atau tumor juga dapat menyebabkan obstruksi
ostia.Biasanya, batas mukosa yang edematous memiliki penampilan bergigi,
tetapi dalam kasus yang parah, mukus dapat benar-benar mengisi sinus,
sehingga sulit untuk membedakan prosesalergi dari sinusitis infeksi. Secara

14
karakterisitik, semua sinus paranasal dan konka yang berdekatan membengkak.
Air fluid level dan erosi tulang tidak ditemukan pada sinusitis alergi ringan,
tetapi pembengkakan mukosa disertai buruknya drainase sinus dapat dicuragai
adanya infeksi sekunder bakteri.
 Kelainan pada mukosiliar
Drainesa sinus paranasal bergantung pada gerakan mukosiliar, bukan
bergantung pada gravitasi. Koordinasi dari sel epitel kolumner bersilia
menyebabkan drainase selalu menuju ke ostia sinus. Ada beberapa hal yang
dapat mengganggu fungsi mukosilia ini, yaitu berkurang sel epitel bersilia,
aliran udara yang tinggi, virus, bakteri, sitotoksin lingkungan, mediator
inflamasi, udara dingin/kering, jaringan parut, asap rokok, dehidrasi, obat
antihistamin dan antikolinergik, serta kartagener sindrom.
 Berubahnya kualitas dan kuantitas mukus.
Adanya kurangnya sekresi atau hilangnya kelembapan pada permukaan yang
tidak dapat terkompensasi oleh kelenjar mukus dan sel goblet mukus menjadi
sangat kental. Berubahnya konsistensi mukus menjadi lebih kental
menyebabkan drainase menuju ostia berjalan lambat, dan mukus ini akan
tertahan tertahan untuk beberapa waktu.
Inflamasi akut dari mukosa sinus menyebabkan hyperaemia, eksudasi cairan,
keluar sel PMN dan meningkatnya akticitas dari kelenjar serosa dan
mukus.Tergantung pada virulensi organisme, daya tahan tubuh host, dan
kemampuan dari ostium sinus untuk drainase. Pada awalnya, eksudat serous
lama kelamaan dapat menjadi purulen. Bahkan pada infeksi yang cukup berat
dan lama, dapat menyebabkan perubahan pada mukosa (hipertrofi/atrofi), silia
rusak, pembentukan polip dan destruksi dinding tulang yang berujung pada
komplikasi. 2,3,4

15
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan nasoendoskopi dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.
2.2.6.1 Anamnesis2,3,4
 Akut
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas.
Gejala subjektif dibagi menjadi gejala sistemik, yaitu demam dan lesu, serta
gejala gejala lokal, yaitu hidung tersumbat, ingus kental, post nasal drip,
halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus
yang terkena, serta kadang disertai nyeri alih ke tempat lain.
a) Sinusitis Maksilaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore. Pada sinusitis maksila
nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus
hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga.
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret
mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk
dan batuk iritatif non produktif
b) Sinusitis Ethmoidalis
Karena dinding leteral labirin ethmoidalis (lamina papirasea)
seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering
menimbulkan selulitis orbita pada anak. Pada dewasa seringkali
bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap sebagai
penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan. Gejala berupa
nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-
kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata
digerakkan. Nyeri alih di pelipis, post nasal drip dan sumbatan
hidung.

16
c) Sinusitis Frontalis
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di
atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang
tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang
malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila
disentuh dan pembengkakan supra orbita.
d) Sinusitis Sfenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di
belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih
lazim menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering
menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.
 Kronik
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit di diagnosis.
Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala yaitu sakit kepala kronik,
post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat
sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis,
bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan
sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan
gastroenteritis

2.2.6.2 Pemeriksaan Fisik 2,3,4


 Akut
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata
bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada
sinusitis ethmoid jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema.
Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak
mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid

17
posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari meatus superior.
Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi
sinusitis. Jika ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang
sesuai. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal
drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama
kurang lebih 5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada
hidung, pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh
menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis
maksilaris maka akan keluar pus dari hidung. Pada pemeriksaan
transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan
transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga
tampak lebih suram dibanding sisi yang normal
 Kronik
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret
kental, purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga
ditemukan polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior
tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok. Transiluminasi
untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada sinus yang terinfeksiakan
terlihat suram dan gelap.

2.2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Radiologis 2,10
Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas,
pemeriksaan tomogram dan pemeriksaan CT-Scan. Pemeriksaan foto polos
kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan paling utama untuk
mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan

18
jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan-
kelainan jaringan lunak, erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi.
Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya
mendapat radiasi yang minimal. Pemeriksaan foto kepala untuk
mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai macam posisi antara lain:
a) Foto kepala posisi anterior-posterior ( AP atau posisi Caldwell)
Foto ini diambil pada posisi kepala meghadap kaset, bidang
midsagital kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak
pyramid tulang petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada
dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak
lurus pada film dan membentuk 1500 kaudal.

Gambar 5. Air fluid level sinus maxilla posisi Caldwell

b) Foto lateral kepala


Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan sentrasi
di luar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus
maksilaris berhimpit satu sama lain. Pada sinusitis tampak penebalan
mukosa, air fluid level, perselubungan homogen pada satu atau lebih
sinus para nasal , penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada
kasus-kasus kronik).

19
Gambar 6. Air fluid level pada Sinus Maxilla (foto lateral)

c) Foto kepala posisi Waters


Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film,
garis orbito meatus membentuk sudut 370 dengan film.Pada foto ini,
secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus
maxillaris sehingga kedua sinus maxillaris dapat dievaluasi
sepenuhnya. Foto Waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut
tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat menilai dinding
posterior sinus sphenoid dengan baik

Gambar 7. Foto kepala posisi Waters

20
d) Foto kepala posisi Submentoverteks
Foto diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien
menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film.
Sentrasi tegak lurus film dalam bidang midsagital melalui sella turcica
kearah vertex. Posisi ini biasa untuk melihat sinus frontalis dan
dinding posterior sinus maxillaris

Gambar 8. Foto kepala posisi Submentoverteks

e) Foto Rhese
Posisi Rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian posterior
sinus ethmoidalis, kanalis optikus, dan lantai dasar orbita sisi lain.

Gambar 9. Foto posisi Rhese

21
 Pemeriksaan CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang sangat
unggul untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat menganalisis
dengan baik tulang-tulang secara rinci dan bentuk-bentuk jaringan lunak,
irisan axial merupakan standar pemeriksaan paling baik yang dilakukan
dalam bidang inferior orbitomeatal (IOM). Pemeriksaan ini dapat
menganalisis perluasan penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus dan palatum,
terrmasuk ekstensi intrakranial dari sinus frontalis.
Pada kasus-kasus sinusitis sphenoid, kira-kira 50% foto polos sinus
sphenoidalis yang normal, tapi apabila dilakukan pemeriksaan CT-Scan,
maka tampak kelainan pada mukosa berupa penebalan.

Gambar 10. Foto normal CT- Scan

Gambar 11. Foto CT scan posisi coronal memperlihatkan gambaran sinusitis


maxilla dengan penebalan dinding mukosa di sinus maxilla kanan

22
Pansinusitis adalah suatu keadaan dimana terdapat perselubungan pada
seluruh sinus-sinus. Apabila perselubungan masih tetap ada sampai 2-3
minggu setelah terapi konservatif perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan.

 Pemeriksaan MRI 4,10


MRI memberikan gambaran yang lebih baik dalam membedakan
struktur jaringan lunak dalam sinus. Kadang digunakan dalam kasus suspek
tumor dan sinusitis fungal. Sebaliknya, MRI tidak mempunyai keuntungan
dibandingkan dengan CT Scan dalam mengevaluasi sinusitis. MRI memberi
hasil positif palsu yang tinggi, penggambaran tulang yang kurang, dan biaya
yang mahal. MRI membutuhkan waktu lama dalam penyelesaiannya
dibandingkan dengan CT Scan yang relatif cukup cepat dan sulit dilakukan
pada pasien klaustrofobia.
MRI mungkin merupakan pilihan terbaik untuk mendeteksi dan
mengenali mukokel.MRI dengan kontras merupakan teknik terbaik untuk
mendeteksi empiema subdural atau epidural.

Gambar 12.A Foto MRI normal sinus, B. MRI  ekstensi intraorbital sinus ethmoid
kanan

23
 Pemeriksaan mikrobiologis 2,3,4
Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring
biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung
bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung posterior juga
lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan
menagspirasi pus dari inus yang terkena.
Pada sinusitis akut dan kronik sering terlibat lebih dari satu jenis
bakteri. Dengan demikian untuk menentukan antibiotik yang tepat harus
diketahui benar jenis bakterinya penyebab sinusitisnya.
 Sinuskopi 2,3,4
Pemeriksaan menggunakan endoskop yang dimasukkan melalui
lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fosa kanina.
Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan didalam sinus, pakah ada
secret, polip, jaringan granulasi, masa tumor atau kista, dan bagiamna
keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka.

2.2.7 Komplikasi
 Komplikasi Orbita 2,3,4
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat
orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat 5 tahapan :
1) Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita
akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama
ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan
orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur
ini.

24
2) Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
3) Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding
tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
4) Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan
isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan
kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot
ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan
tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
5) Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, thrombosis sinus kavernosus terdiri dari ;
- Oftalmoplegia
- Kemosis konjuctiva
- Gangguan penglihatan yang berat
- Kelemahan pasien
- Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang
berdekatan dengan saraf cranial II, III, IV, VI, serta berdekatan
juga dengan otak.
 Mukokel 2,3,4
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut
sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat
membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini
dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan
dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat

25
menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf
didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan
mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat
semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau
obliterasi sinus
 Komplikasi Intra Kranial 2,3,4
a. Meningitis Akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah
meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar
sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan,
seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina
kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna
kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul
lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum
pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan
arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan
abses dura.
c. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus
terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen
ke dalam otak. Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik
yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang mengalami
abses dan pencegahan penyebaran infeksi.

26
 Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang
frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.
Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil.

2.2.8 Tatalaksana
Tujuan terapi ialah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi dan
mencegah akut menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di
kompleks ostio-meatal (KOM) sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih
secara alami.
 Penatalaksanaan Medis 2,3,4
1) Terapi medikamentosa
Tujuan dari terapi sinusitis akut adalah memperbaiki fungsi mukosilia
dan mengontrol infeksi. Terapi sinusitis karena infeksi virus tidak
memerlukan antibiotika. Terapi standart nonantibiotika diantaranya topical
steroid, dan atau oral decongestan, mucolytics, dan intranasal saline spray.
Sedangkan untuk terapi sinusitis akut bacterial diberikan terapi
medikamentosa berupa antibiotik empirik
Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau
cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal,
mukolitik untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan
rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid
topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai
mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi
antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin
sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan

27
2) Drainase
Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek
(Ultra Short Wave Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit
untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka
dilakukan pencucian sinus. Untuk sinusitis maxillaris dilakukan pungsi dan
irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis frontalis dan sinusitis
sphenoidalis dilakukan tindakan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian
dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau 6 kali tidak ada
perbaikan dan klinis masih tetap banyak secret purulen, maka perlu
dilakukan bedah radikal.
 Penatalaksanaan Bedah 2,3,4
Harus dipertimbangkan penatalaksanaan bedah untuk mempermudah
drainase sinus yang terkena serta mengeluarkan mukosa yang sakit. Hal ini
diperlukan :
o Bila terancam komplikasi
o Untuk menghilangkan nyeri hebat
o Bila pasien tidak berespon terhadapat terapi medis.
1) Pembedahan Radikal
Pembedahan radikal yaitu pengangkatan mukosa yang patologik dan
membuat drainase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maxillaris dilakukan
operasi Caldwell-luc, sedangkan untuk sinus ethmoidalis dilakukan
ethmoidektomi yang bisa dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dari
luar (ekstranasal). Drainase sekret pada sinus frontalis dapat dilakukan dari
dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal) seperti dalam operasi
Kilian. Drainase sinus sphenoidalis dilakukan dari dalam hidung (intranasal).
2) Pembedahan Non-Radikal
Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskop Fungsional

28
(BSEF). Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks
ostiomeatal yang menjadi sumber sumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi
dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami. Dengan
demikian mukosa sinus akan kembali normal

2.2.9 Prognosis
Sinusitis akut memiliki prognosis yang sangat baik, dengan perkiraan 70%
penderita sembuh tanpa pengobatan. Sedangkan sinusitis kronik memiliki prognosis
yang bervariasi. Jika penyebabnya adalah kelainan anatomi dan telah diterapi dengan
bedah, maka prognosisnya baik.lebih dari 90% pasien membaik dengan intervensi
bedah, namun pasien ini kadang mengalami kekambuhan. 2,3,4

29
BAB III
KESIMPULAN

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Bila mengenai beberapa


sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis.
Paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan sinusitis ethmoid,
sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang, pada anak hanya sinus
maksila dan sinus etmoid yang berkembang, sedangkan sinus frontal dan sinus
sfenoid belum.
Sinusitis terjadi jika ada gangguan drainase dan ventilasi di dalam sinus. Bila
terjadi edema di kompleks ostio-meatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan
saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan.
Akibatnya lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan
media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen.
Gejala sinusitis dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas
atas. Gejala subjektif dibagi menjadi gejala sistemik, yaitu demam dan lesu, serta
gejala gejala lokal, yaitu hidung tersumbat, ingus kental, post nasal drip, halitosis,
sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta
kadang disertai nyeri alih ke tempat lain.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, pemeriksaan fisik, foto
rontgen sinus dan dapat dilakukan CT scan. Terapi sinusitis secara umum diberikan
medikamentosa berupa antibiotik selama 10-14 hari, meskipun gejala klinik telah
hilang. Antibiotik yang diberikan berupa golongan penisilin. Diberikan juga
dekongestan sistemik dan analgetik untuk menghilangkan nyeri. Terapi pembedahan
dilakukan jika bila terancam komplikasi, untuk menghilangkan nyeri hebat, dan bila
pasien tidak berespon terhadapat terapi medis.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI. 2012.
2. Itzhak Brook,MD,MSc. Epidemiology of Acute Sinusitis. Diunduh dari
http//emedicine.medscape.com /232670-overview#a0156. Diakses pada : 15
September 2018.
3. Pletcher A. Higler,MD. BOIES Buku ajar penyakit THT. Jakarta : Penerbit
buku kedokteran EGC. 2012
4. Frank E Lucente. Ilmu THT Esensial Edisi 5.2011. Jakarta:EGC
5. Russell A.Faust, PhD,MD. Development Of The Paranasal Sinuses In
Children. In: Ask The Boogor Doctor. 2010.
6. Snell Richard. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran Edisi 6.Jakarta :
EGC. 2006
7. Harold,Ludman. ABC Telinga, Hidung, dan Tenggorokan Edisi 5. 2011.
Jakarta:EGC
8. Ibrahim Ahmed A, K.A. Wael, Omran Ahmed A. Post-septal orbital
complication of acute bacterial rhinosinusitis: endoscopic anatomical
consideration. EgyptianJournal of Ear, Nose, Throat and Allied Sciences.
2015; 16: 209-2015
9. Haizul IM, Kaltum Umi.Dangerous diplopia: a case of pansinusitis. Malaysian
family pysician. 2013; vol 8, number 1
10. Ekayuda I. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Divisi
Radiodiagnostik Departemen Radiologi FKUI. 2005

31

Anda mungkin juga menyukai