Anda di halaman 1dari 16

Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Volume 21 No.

1 April 2018, 59 - 74

Journal homepage: www.ejournal.uksw.edu/jeb


ISSN 1979-6471 E-ISSN 2528-0147

Dukungan lokasi dalam peningkatan minat berperilaku


konsumen
Doni Purnama Alamsyaha, Dewinda Sari Setyaningrum b
a
Universitas BSI, doni.dpa@bsi.ac.id
b
Universitas BSI, dewinda21@gmail.com

INFO ARTIKEL ABSTRACT


Riwayat Artikel: This study aims to investigate the effects of consumers’
Artikel dikirim 17-09-2017 internalized perception on their behavioral intention and
Revisi 24-11-2017 customers’ locations. This research analyzes the survey data of
Artikel diterima 05-04-2018 100 restaurant customers in Bandung City using the simple
regression techniques. The findings indicate that consumers’
Keywords: higher internalized perception increases their behavioral
internalized perception, intention. Further, consumers who reside in the downtown of
behavioral intention, location Bandung City (urban consumers) exhibit a greater relationship
between the internalized perception and the behavioral intention.
Kata Kunci: Overall, this study suggests that restaurant owners emphasize
persepsi internal, minat their customers’ intention based on their residential location in
berperilaku, lokasi their marketing strategies.

ABSTRAK
Tujuan penelitian menguji pengaruh persepsi internal konsumen
terhadap minat berperilaku konsumen dan dukungan dari lokasi
konsumen, dengan studi kasus pada konsumen restoran. Penelitian
dilakukan di Kota Bandung, dengan survei pada konsumen
restoran sebanyak 100 responden dengan analisis regresi linier
sederhana. Hasil penelitian menemukan bahwa minat berperilaku
konsumen pada restoran akan meningkat seiring meningkatnya
persepsi internal konsumen pada restoran. Hasil penelitian
menunjukkan lokasi dari konsumen yang berada di tengah Kota
Bandung (urban) memiliki dampak yang lebih besar pada
hubungan persepsi internal dengan minat berperilaku konsumen.
Temuan ini bermanfaat untuk manajemen restoran di Kota
Bandung dalam strategi pemasarannya dengan mengutamakan
perhatian pada perilaku konsumen berdasarkan lokasi konsumen
berada.
PENDAHULUAN
Saat ini sektor pariwisata memegang peranan yang sangat penting di suatu
negara, berkaitan dengan pemasukan daerah (Sirikudta, Archarungroj, Serirat, &
Gulid, 2010). Salah satu daerah di Indonesia yang fokus pada sektor pariwisata adalah
60 Dukungan lokasi dalam peningkatan minat berperilaku konsumen (Alamsyah, Setyaningrum)

Provinsi Jawa Barat, didalamnya terdapat Kota Bandung yang menjadi salah satu
tujuan destinasi pariwisata. Pada sektor pariwisata tentunya tidak terlepas dengan
adanya restoran sebagai salah satu sektor pariwisata yang memegang peran penting
dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan mampu menciptakan lapangan
pekerjaan (Mudrikah, Sartika, Yuniarti, & Satia, 2014). Saat ini wisatawan yang
datang ke Kota Bandung tidak hanya tertarik untuk mengunjungi wisata alamnya saja,
tetapi juga tertarik untuk mengunjungi kawasan wisata berbelanja, kerajinan rakyat,
pengetahuan sosial, terutama kawasan wisata kuliner (Besra 2012). Fenomena tersebut
menjelaskan pentingnya restoran dalam mendukung perekonomian suatu daerah,
karena restoran juga menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan
fisiologis.
Pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan yang sama, akan tetapi yang
membedakan adalah budayanya (Zepri, 2009). Dengan budaya yang berbeda maka
kebutuhan menjadi berbeda. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang paling
mendasar, salah satu kebutuhan fisiologis tersebut adalah kebutuhan akan makanan
(Sasongko & Subagio, 2013). Karena makanan adalah salah satu kebutuhan dasar
manusia yang harus dipenuhi untuk dapat bertahan hidup maka permintaan kebutuhan
makanan tersebut dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang semakin meningkat
disetiap tahunnya. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar
keempat di dunia, hal ini menciptakan sebuah peluang bisnis tersendiri untuk restoran,
terlebih Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk
terpadat di Indonesia (Alamsyah, Trijumansyah, & Hariyanto, 2017), sehingga
persaingan akan kebutuhan fisiologis yaitu adanya restoran menjadi sangat penting.
Semakin meningkatnya pertumbuhan restoran di Kota Bandung yang berskala
besar maupun kecil, maka para pengusaha harus mampu bertahan dan terus
mengembangkan usahanya melalui berbagai strategi pemasarannya (Putri, Novirani,
& Kurniawan, 2015). Salah satu strategi dasar dari pemasaran adalah berkaitan dengan
lokasi (Kotler & Keller, 2012). Kenyataannya banyak restoran saat ini menggunakan
strategi lokasi untuk menarik minat dari konsumennya (Grewal, Levy, & Kumar,
2009). Lokasi yang dimaksud adalah letak restoran berada, keberadaan dari restoran
saat ini menjadi daya tarik sendiri selain menu yang ditawarkan atau situasi dari
restoran (Gillani, 2012). Kajian terdahulu disampaikan bahwa selain konsep dari
restoran, lokasi dari konsumen berada juga berdampak pada keputusan konsumen
dalam berkunjung (Putri et al., 2015). Lokasi konsumen dibagi menjadi kota (urban)
dan pinggiran kota (sub urban), lokasi tersebut sejatinya berkaitan pula dengan
karakteristik konsumen yang nyatanya memiliki perbedaan seperti gaya hidup dan
pendidikan (Chi & Qian, 2016). Hal ini menjelaskan secara langsung bahwa lokasi
dari konsumen memiliki hubungan yang sangat erat dengan perilaku konsumen dalam
Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Volume 21 No. 1 April 2018, 59 - 74 61

melakukan pemilihan restoran.


Berbagai strategi yang dilakukan oleh restoran melalui strategi lokasi dan
strategi lainnya, tentunya dinilai oleh konsumen. Penilaian tersebut masuk pada
persepsi internal konsumen, yang nyatanya diketahui memiliki dampak pada
keputusan konsumen dalam memilih restoran (Hazra, 2013). Persepsi internal
konsumen merupakan evaluasi konsumen atas keunggulan dan kelemahan restoran
yang dinilainya atas berbagai pertimbangan sebelumnya (Gao, Mattila, & Lee, 2016).
Artinya bahwa konsumen melakukan pengambilan informasi atas produk atau jasa
yang disampaikan perusahaan dan menilainya sebelum melakukan tindakan lebih
lanjut. Hal ini menjadi lazim, mengingat pentingnya penilaian atas persepsi internal
konsumen. Tidak jarang perusahaan bekerja keras menerapkan strategi pemasarannya
guna mendapat persepsi yang baik dari konsumennya. Karena persepsi tersebut juga
berdampak pada rekomendasi konsumen pada konsumen lain (Zheng, Favier, Huang,
& Coat, 2012). Hal ini menjelaskan bahwa persepsi internal konsumen memiliki
korelasi yang sangat erat dengan minat berperilaku konsumen. Semakin baik persepsi
konsumen atas restoran, maka minat konsumen untuk mengunjungi restoran tersebut
semakin tinggi (Gao et al., 2016).
Wibowo (2013) menyatakan bahwa minat berperilaku (behavioral intention)
merupakan motivasi untuk terikat dalam perilaku tertentu yang dipengaruhi oleh sikap
dan emosi konsumen terhadap suatu barang atau jasa yang ditawarkan. Minat tersebut
berkaitan dengan suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau
aktivitas, tanpa ada yang menyuruh (Slameto, 2010). Seseorang yang memiliki minat
cenderung memberi perhatian yang besar, sehingga ketika muncul minat berperilaku
konsumen maka pada saat itu konsumen mulai mencari informasi mengenai restoran-
restoran yang diinginkannya sesuai preferensinya. Salah satunya pada restoran yang
sudah jumlahnya semakin banyak di Kota Bandung. Saat ini diketahui bahwa semakin
meningkatnya pertumbuhan restoran di Kota Bandung yang berskala besar maupun
kecil, maka para pengusaha harus mampu bertahan dan terus mengembangkan
usahanya (Putri et al., 2015). Kota Bandung merupakan kota metropolitan di Jawa
Barat dengan perkembangan bisnis makanan terbesar di Indonesia. Kota Bandung
menyajikan berbagai macam kuliner, dari mulai kuliner tradisional sampai kuliner
modern. Oleh karena itu, banyak pelaku usaha di Kota Bandung yang masuk ke dunia
bisnis kuliner karena dianggap bisnis yang menjanjikan. Hal yang mempengaruhi
keberhasilan pelaku usaha dalam persaingan tersebut di antaranya adalah minat
berperilaku (behavioral intention) konsumen (Alamsyah et al., 2017).
Setiap konsumen memiliki persepsinya masing-masing, ketika konsumen
memiliki persepsi yang baik atas restoran, maka persepsi tersebut akan meningkatkan
minat berperilaku konsumen untuk datang ke restoran serta merekomendasikannya,
62 Dukungan lokasi dalam peningkatan minat berperilaku konsumen (Alamsyah, Setyaningrum)

begitu juga sebaliknya. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji dan menjadi tujuan
penelitian yang akan dilakukan. Namun yang menjadi perhatian lain dalam penelitian
ini adalah dukungan dari lokasi konsumen yang tidak jarang mempengaruhi minat
berperilaku konsumen dalam memilih restoran (Grewal et al., 2009), karena moderasi
dari lokasi menjadi saran dari berbagai penelitian yang berkaitan dengan perilaku
konsumen sebelumnya. Berdasarkan fenomena masalah atas persepsi internal, minat
berperilaku dan dukungan lokasi konsumen, maka fokus penelitian mengkaji dampak
dari dukungan lokasi konsumen pada hubungan persepsi internal dengan minat
berperilaku konsumen dalam memilih restoran. Penelitian memilih studi kasus pada
konsumen yang memiliki pengalaman atas objek penelitian yaitu restoran. Penelitian
memiliki kontribusi dalam menambah kajian teori dalam menentukan minat
berperilaku yang dilihat dari posisi lokasi konsumen belum pernah dikaji secara
langsung, khususnya pada industri pariwisata.

KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS


Persepsi Internal (Internalized Perception)
Secara etimologi, persepsi berasal dari bahasa Latin, perceptio yang berarti
menerima atau mengambil. Yuniarti (2015) menjelaskan persepsi adalah proses
pemilihan, pengorganisasian dan penginterprestasian berbagai stimulus menjadi
informasi bermakna. Hal ini bermakna bahwa persepsi mengalami sebuah proses
penerimaan dan pengeluaran informasi yang dilakukan oleh manusia, dalam hal ini
konsumen. Secara umum, persepsi digambarkan sebagai proses ketika individu
menyeleksi, mengorganisasi dan menterjemahkan stimulasi menjadi sebuah arti yang
koheren dengan semua kejadian di dunia (Sangadji & Sopiah, 2013). Hal ini dapat
dimaknai untuk konsumen dalam ilmu pemasaran bahwa persepsi konsumen
merupakan hasil evaluasi konsumen atas produk atau jasa yang dinilainya secara nyata
sebelumnya. Teori persepsi internal konsumen menurut Lisa, Mattila, dan Lee (2016),
yaitu merupakan “fundamentally linked to consumers’ past experiences and
previously formed perceptions”. Bila dihubungkan dengan kajian saat ini yang fokus
mengkaji konsumen di restoran, maka persepsi internal konsumen yang dimaksud
adalah berkaitan dengan pengalaman konsumen atas produk dan jasa yang telah
diterima dari restoran.
Persepsi internal konsumen menjadi penting untuk diperhatikan restoran saat
ini, karena hal yang dinilai oleh konsumen akhirnya berkaitan dengan minat konsumen
tersebut pada produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan (Salleh, Ali, Harun, Jalil,
& Shaharudin, 2010). Pengetahuan konsumen atas produk dan jasa yang ditawarkan
perusahaan menjadi ujung dari persepsi internal konsumen (Tuu & Olsen, 2012).
Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Volume 21 No. 1 April 2018, 59 - 74 63

Artinya, bahwa perusahaan perlu menyusun strategi pemasarannya guna membentuk


pengetahuan konsumen atas produk dan jasa yang ditawarkan sesuai dengan tujuan
perusahaan. Persepsi internal konsumen dibentuk melalui sebuat proses, menurut
Yuniarti (2015) proses terjadinya persepsi meliputi beberapa tahapan yaitu proses fisis,
proses fisiologis, dan proses psikologis. Ketiga tahapan dari terjadinya persepsi
internal konsumen dipandang sebagai sebuah proses yang penting oleh perusahaan.
Pada kenyataannya, tidak sedikit perusahaan saat ini menggunakan strategi pemasaran
salah satunya mengendalikan psikologis dari konsumen (Danescu & Chira, 2014).
Sejatinya persepsi terhadap sesuatu yang dirasakan oleh konsumen berasal dari
interaksi antara dua faktor, yaitu faktor stimulus dan faktor individu (Yuniarti, 2015).
Faktor stimulus merupakan karakteristik secara fisik, secara ukuran, berat, warna, atau
bentuk. Tampilan suatu produk, baik kemasan maupun karakteristik akan mampu
menciptakan rangsangan pada indra kemanusiaan sehingga mampu menciptakan suatu
persepsi mengenai produk yang dilihatnya. Sedangkan faktor individu biasanya yang
termasuk proses didalamnya bukan hanya pada panca indra, melainkan juga pada
proses pengalaman yang serupa dan dorongan utama serta harapan dari individu
(Zheng et al., 2012). Yuniarti (2015) menjelaskan bahwa persepsi dapat dipengaruhi
oleh karakter seseorang yang dipengaruhi oleh hal-hal seperti sikap, motif, fokus,
pengalaman dan ekspektasi. Berbeda dengan hal yang disampaikan oleh Setiadi (2013)
pada penelitian sebelumnya, dijelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi persepsi
adalah penglihatan dan sasaran yang diterima dan situasi persepsi terjadi penglihatan.
Berdasarkan pada beberapa pendapat terkait faktor yang mempengaruhi
persepsi internal konsumen telah dirangkum lebih sederhana oleh Gao et al. (2016),
yaitu yang berkaitan dengan sikap (attitudes), nilai personal (personal values),
pengetahuan konsumen (knowledge) dan pandangan keuntungan (perceived benefits).
Lebih lanjut, dalam penelitian Gao et al. (2016) telah dijelaskan pula adanya dampak
dari persepsi internal konsumen pada minat berperilaku konsumen.
Minat Berperilaku (Behavioral Intention)
Setiap konsumen, sebelum melakukan pemilihan sebuah produk atau jasa,
selalu mempertimbangkan akan untung dan ruginya (Alamsyah et al., 2017). Jika
dirasakan lebih banyak keuntungan, secara tidak langsung konsumen memiliki produk
yang diinginkannya. Hal tersebut juga terjadi pada perilaku konsumen dalam memiliki
tempat makan (restoran) (Yeung, Yee, & Morris, 2010). Pemilihan konsumen atas
tempat makan tidak terlepas dari hal utama yang disebut dengan minat berperilaku
konsumen (Mosavi & Ghaedi, 2012). Minat konsumen menjadi sumber utama yang
perlu diketahui dan dipelajari sebuah perusahaan, dengan tujuan memudahkan
perusahaan menawarkan produk atau jasanya.
64 Dukungan lokasi dalam peningkatan minat berperilaku konsumen (Alamsyah, Setyaningrum)

Minat merupakan suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau
aktivitas tanpa ada yang menyuruh (Slameto, 2010). Minat tersebut tumbuh pada diri
konsumen ditandai dengan perilaku konsumen terhadap produk yang dinilainya.
Jogiyanto (2007) menyatakan minat berperilaku adalah suatu keinginan (minat)
seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Seseorang akan melakukan suatu
perilaku (behavior) jika mempunyai keinginan atau minat untuk melakukannya.
Maulana (2009) menjelaskan bahwa minat berperilaku didefinisikan sebagai minat
perilaku adalah hasil pertimbangan untung-rugi dari suatu tindakan dan pentignya
konsekuensi bagi individu yang mengacu pada keyakinan seseorang terhadap
bagaimana dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggap penting dan motivasi
seseorang untuk mengikuti pikiran tersebut. Jika ditelaah, minat berperilaku selalu
berkaitan dengan motivasi konsumen yang muncul pada pikirannya terhadap produk
atau jasa yang dinilainya. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Wibowo
(2013), bahwa minat berperilaku dari konsumen dikatakan sebagai motivasi untuk
terikat dalam perilaku tertentu yang dipengaruhi oleh sikap dan emosi konsumen
terhadap suatu barang atau jasa yang ditawarkan. Hal ini dapat dimaknai bahwa minat
berperilaku selangkah lebih maju dari sekedar minat yang dirasakan konsumen. Secara
tidak langsung konsumen menyadari bahwa adanya pilihan dalam dirinya atas produk
dan jasa yang dinilainya. Pilihan tersebut pada akhirnya menghantarkan konsumen
memilih produk atau jasa yang dinilainya memiliki tingkat kesesuaian dengan
keinginannya.
Hubungan Persepsi Internal dan Minat Berperilaku Konsumen
Dalam kajian sebelumnya, diketahui bahwa penilaian konsumen sering
berbanding terbalik dengan minat berperilaku konsumen. Untuk menanggapi hal
tersebut digunakan penilaian atas kepuasan konsumen setelah melakukan pembelian
produk atau jasanya (Mosavi & Ghaedi, 2012). Dari pendapat tersebut diketahui
adanya hubungan antara penilaian konsumen setelah melakukan pemilihan dan
sebelum melakukan pemilihan sebuah produk. Bila dikaitkan dengan penelitian saat
ini, maka dapat disimpulkan bahwa penilaian konsumen sebelum dan sesudah
mengunjungi rumah makan akan berbeda. Minat berperilaku konsumen muncul
setelah konsumen berkunjung ke rumah makan, artinya bahwa minat berperilaku perlu
dikaitkan dengan konsumen yang telah memiliki pengalaman sebelumnya. Hal ini
dilakukan akan penilaian atas minat berperilaku konsumen sesuai dengan pengalaman
sebelumnya. Sejatinya minat berperilaku tidak nampak, namun dapat diukur melalui
beberapa penilaian di antaranya intensitas kunjungan (visit intention), intensitas
melakukan word of mouth (WOM), keinginan untuk membeli, dan keinginan untuk
membayar lebih (Gao et al., 2016). Ukuran tersebut sejatinya sesuai jika diterapkan
pada industri jasa seperti tempat makan.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Volume 21 No. 1 April 2018, 59 - 74 65

Kajian penelitian terdahulu diketahui adanya hubungan antara persepsi internal


dan minat berperilaku (Gao et al., 2016), disamping itu diketahui pula bahwa lokasi
dari konsumen dengan berbagai karakteristiknya memiliki tingkat dukungan yang
tinggi atas perilaku konsumen (minat berperilaku) (Putri et al., 2015). Menelaah dari
kajian tersebut, dapat dimaknai adanya keterkaitan antara persepsi internal dan minat
berperilaku, serta dukungan atas lokasi konsumen sebagai bagian dari perilaku
konsumen. Berdasarkan argumentasi dan hasil riset terdahulu dapat dirumuskan
hipotesis penelitian sebagai berikut.
H1: Persepsi internal konsumen memiliki pengaruh signifikan pada minat
berperilaku konsumen
H2: Lokasi konsumen mendukung peningkatan hubungan dari persepsi
internal dengan minat berperilaku konsumen.

METODA PENELITIAN
Penelitian ini diuji secara empiris melalui kuesioner pada konsumen yang telah
mengunjungi restoran di Kota Bandung yang berasal dari dalam kota Bandung (urban)
dan dari pinggiran kota (sub urban). Pemisahan konsumen sebagai sampel data
dilakukan untuk mengetahui dukungan lokasi dari konsumen pada model penelitian.
Jumlah konsumen yang dipilih sebanyak 100 sampel, dilakukan melalui survey
langsung ke restoran yang ada di pusat Kota Bandung.
Persepsi internal konsumen merupakan pengalaman konsumen atas produk dan
jasa yang telah diterima dari restoran. Persepsi internal konsumen dinilai dari sikap
(attitudes), nilai personal (personal values), pengetahuan konsumen (knowledge) dan
pandangan keuntungan (perceived benefits) (Gao et al., 2016). Sedangkan untuk minat
berperilaku merupakan perilaku konsumen yang dipengaruhi oleh sikap dan emosinya
terhadap suatu barang atau jasa yang ditawarkan. Minat berperilaku dinilai dari
intensitas kunjungan (visit intention), intensitas melakukan Word of Mouth (WOM),
keinginan untuk membeli, dan keinginan untuk membayar lebih (Gao et al., 2016).
Pilihan jawaban dalam kuesioner disediakan dengan skala likert yaitu 1 yang berarti
sangat tidak setuju sampai 6 yang berarti sangat setuju.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini dilakukan pada tahun 2017 dengan total 100 konsumen restoran
di Kota Bandung. Total konsumen tersebut merupakan gabungan dari konsumen yang
tinggal ditengah Kota Bandung (urban) dan konsumen yang tinggal di pinggiran Kota
Bandung (sub urban). Dari data kuesioner yang diolah, diketahui sebagian besar
66 Dukungan lokasi dalam peningkatan minat berperilaku konsumen (Alamsyah, Setyaningrum)

adalah perempuan dengan presentase sebesar 66 persen diikuti oleh pria sebesar 34
persen, dengan dominasi tempat tinggal di pusat Kota Bandung sebesar 59 persen dan
pinggiran Kota Bandung sebesar 41 persen. Hal ini menandakan bahwa konsumen
yang berada di pusat Kota Bandung lebih lebih dominan yang datang ke restoran.
Tentunya temuan ini dikatakan wajar, karena letak dari konsumen mendekati lokasi
dari restoran yang akan dikunjungi. Terlebih telah diketahui bahwa gaya hidup
konsumen di kota terbiasa dengan mengunjungi restoran untuk sekedar makan
bersama (Michelson & Paadam, 2015). Sedangkan konsumen yang berada di
pinggiran kota nampak lebih menyukai untuk makan di rumah atau restoran yang dekat
dengan rumah, dari pada di pusat kota. Saat ini lokasi dari restoran yang berada di
pusat kota atau di pinggiran kota, nyatanya lebih banyak dikunjungi oleh konsumen
yang berada di pusat kota. Artinya bahwa pemasar dari restoran tetap perlu
mengedepankan informasi atau edukasi dari restorannya pada konsumen yang berada
di pusat kota. Disamping itu, tren terbaru yang terjadi pada konsumen yang berada di
pusat kota adalah adanya gaya hidup bersosialisasi di suatu tempat (Othman &
Rahman, 2014). Mereka berkumpul sekedar melepas lelah dan bersosialisasi dengan
rekan kerja, keluarga atau teman pada suatu restoran. Sehingga kemungkinan
konsumen yang berada di restoran adalah konsumen yang berada di pusat kota. Kota
Bandung merupakan kota yang memiliki lokasi restoran bervariasi (Syarifuddin,
2014), baik yang terpusat di pusat kota sampai tersebar di pinggiran.
Berdasarkan hasil analisis regresi linier sederhana, ditemukan nilai pengaruh
dari persepsi internal konsumen pada minat berperilaku konsumen pada restoran
sebesar sebesar 48 persen (Tabel 1). Pengujian hipotesis dilakukan dengan
menggunakan nilai hasil dari Sig. F Change, dengan asumsi dikatakan signifikan
ketika nilai Sig. F Change di bawah 0,005 (Hair, Celsi, Money, Samouel, & Page,
2011).
Tabel 1
Hasil Penelitian
Std. Error Change Statistics
R Adjusted R
Model R of the R Square F Sig. F
Square Square df1 df2
Estimate Change Change Change
1 0,698a 0,487 0,482 1,592 0,487 93,188 1 98 0,000

Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis penelitian (H1), jika dilihat dari hasil
pengujian nampak hubungan antara persepsi internal konsumen dengan minat
berperilaku berpengaruh signifikan. Hal ini dapat dlihat dari nilai Sig. F Change di
bawah 0,005 (Tabel 1), yang menandakan adanya pengaruh yang signifikan dari
persepsi internal konsumen pada minat berperilaku mengunjungi restoran di kota
Bandung.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Volume 21 No. 1 April 2018, 59 - 74 67

Pengaruh Persepsi Internal terhadap Minat Berperilaku Konsumen Restoran


Berdasarkan hasil uji hipotesis dan temuan pada Tabel 1, diketahui bahwa
adanya pengaruh positif antara persepsi internal konsumen pada minat berperilaku
konsumen terhadap restoran di Kota Bandung. Nilai pengaruh sebesar 48 persen
menandakan bahwa pentingnya persepsi internal konsumen untuk diperhatikan oleh
perusahaan, dengan pendekatan berbagai strategi. Sebagai dampaknya pada
peningkatan minat berperilaku konsumen pada restoran di Kota Bandung. Dalam
persepsi internal konsumen terdapat beberapa yang menjadi penilaian yaitu sikap
(attitudes), nilai personal (personal values), pengetahuan konsumen (knowledge) dan
pandangan keuntungan (perceived benefits). Pada implementasinya, yang paling
dominan menentukan persepsi internal konsumen adalah ukuran nilai personal (83
persen) dan pandangan keuntungan (81 persen). Nilai personal merupakan evaluasi
konsumen atas objek yang dinilainya (Ramasamy, Yeung, & Chen, 2013). Setiap
restoran memiliki nilai yang dipandang oleh konsumen, semua nilai bersumber dari
informasi yang selama ini konsumen dapat baik secara langsung dari restoran atau
secara tidak langsung melalui perantara seperti informasi dari konsumen lain. Nilai
personal ini sangat mempengaruhi konsumen dalam mengevaluasi restoran yang ada
di Kota Bandung. Saat ini pemasar juga mulai mengetahui perilaku konsumen
berkaitan dengan nilai konsumen, hal ini nampak dari adanya strategi restoran yang
mengedepankan strategi word of mouth di Jawa Barat (Susanti, 2014). Artinya bahwa
pentingnya nilai personal dari konsumen terus dikembangkan oleh seorang pemasar.
Nilai kedua yang menjadi perhatian dari konsumen dalam persepsi internal konsumen
adalah pandangan keuntungan. Pandangan yang dimaksud adalah bahwa restoran yang
didatangi oleh konsumen mampu memberikan keuntungan bagi konsumen. Tidak
jarang bahwa konsumen yang datang ke restoran bukan sekedar untuk makan, tetapi
untuk bertemu rekan kerja atau rekan bisnis (Line & Wang, 2016).
Nilai lain yang terdapat pada persepsi internal konsumen adalah sikap dan
pengetahuan konsumen. Keduanya juga mampu membentuk terciptanya persepsi
internal konsumen dengan baik. Salah satunya adalah bahwa konsumen minat yang
dimiliki mudah tergoyahkan oleh keadaan lingkungan yaitu rekan kerja atau keluarga,
sehingga sikap sering kali tidak mendukung persepsi internal (Walker & Heere, 2011).
Artinya bahwa sikap konsumen atas restoran akan mudah terganggu oleh keadaan
lingkungan tempat konsumen berada. Sama halnya dengan pengetahuan konsumen,
semakin baik pengetahuan konsumen akan restoran yang dinilainya (Tuu & Olsen,
2012), maka hal ini akan berdampak pada semakin tinggi minat untuk mengunjungi
restoran. Menelaah dari hasil temuan di atas dapat diketahui bahwa sikap, nilai
personal, pengetahuan konsumen dan pandangan keuntungan mampu mendukung
terciptanya persepsi internal konsumen dalam menilai restoran yang akan dikunjungi.
68 Dukungan lokasi dalam peningkatan minat berperilaku konsumen (Alamsyah, Setyaningrum)

Persepsi internal konsumen pada penelitian ini berakhir pada minat berperilaku
konsumen, persepsi internal konsumen sejatinya merupakan bagian dari perilaku
kognitif konsumen (Kull & Heath, 2016). Kognitif menandakan bahwa konsumen
sudah mulai berpikir dan mengevaluasi semua yang dinilainya yang dilanjutkan
dengan reaksi afektif yaitu minat melakukan sesuatu (Walker & Heere, 2011). Minat
yang dimaksud adalah minat berperilaku pada restoran yang dinilainya. Beberapa
penilaian yang terdapat pada minat berperilaku konsumen di antaranya intensitas
kunjungan, intensitas melakukan WOM, keinginan untuk membeli, dan keinginan
untuk membayar lebih. Disamping itu, terdapat juga hal yang paling menentukan
terbentuknya minat berperilaku konsumen yaitu intensitas melakukan WOM (81
persen), keinginan untuk membeli (78 persen), dan keinginan untuk membayar lebih
(83 persen). WOM merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan konsumen berkaitan
penyebarluasan informasi yang disengaja atau tidak disengaja kepada konsumen lain
mengenai suatu objek yang dinilainya (Chen & Hsieh, 2011). Setiap konsumen yang
telah merasakan sebuah objek yang dinilainya sudah memiliki evaluasi dan selalu akan
melaksanakan kegiatan WOM, sehingga pemasar sangat berhati-hati sekali dengan
WOM yang dimiliki konsumen dengan harapan konsumen memberikan penilaian
terbaik atas perusahaannya. Restoran menjadi terkenal di kota Bandung bukan lagi
karena citra atau kualitas yang dimiliki restoran, tetapi terkait bagaimana informasi
tersebut bisa tersampaikan dengan baik melalui WOM. Hal ini yang menjadikan bahwa
minat berperilaku ditentukan utamanya oleh WOM yang dimiliki oleh konsumen yang
akan disampaikan kepada konsumen lain.
Minat kedua yang menjadi pertimbangan dalam minat berperilaku adalah
keinginan untuk membeli. Sebuah pembelian atas produk atau jasa oleh konsumen
selalu dimulai dari minat yang tumbuh dengan baik dari konsumen atas produk atau
jasa yang dinilainya (Chinomona, Okoumba, & Pooe, 2013), sehingga minat
konsumen perlu menjadi bagian yang diperhatikan dalam mempelajari minat
berperilaku konsumen. Hasil penelitian menemukan bahwa minat untuk membeli
menjadi bagian penting dari minat berperilaku konsumen. Sama halnya dengan
industri jasa, restoran membutuhkan minat beli dari konsumen sebelum mereka
melakukan kunjungan ke restoran. Selain itu yang paling menentukan dalam minat
berperilaku konsumen adalah keinginan untuk membayar lebih. Produk atau jasa yang
ditawarkan pada restoran sejatinya bervariatif, begitu pula dengan harga yang
ditawarkan (Yahya, 2016), dominasi harga lebih mahal dari yang seharusnya
konsumen bayar dibandingkan apabila dimasak oleh rumah tangga, atau membeli
makanan pada ritel swalayan (Mun & Jang, 2015). Dengan adanya keadaan tersebut,
menyudutkan pada sebuah kondisi konsumen untuk berminat melakukan pembelian
dengan harga yang lebih mahal atau keinginan untuk membayar lebih. Namun
demikian, hal tersebut dapat diatasi dengan berbagai strategi pemasaran yang
Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Volume 21 No. 1 April 2018, 59 - 74 69

dilakukan restoran, salah satunya adalah store atmophere dari restoran yang
diinginkan oleh konsumen (Gillani, 2012) atau kualitas dari produk yang ditawarkan
restoran yang menjadi incaran konsumen (Chinomona et al., 2013), sehingga
keinginan untuk membayar lebih menjadi lebih baik. Melalui temuan ini dapat
diketahui bahwa sebagian besar konsumen yang berkunjung ke restoran di kota
Bandung karena kerelaan mereka untuk membayar lebih. Hal ini yang nyatanya juga
membentuk minat berperilaku konsumen pada restoran. Selain dari ukuran lainnya
yaitu intensitas kunjungan untuk mengunjungi restoran yang diinginkannya.
Setidaknya menjelaskan bahwa intensitas kunjungan, intensitas melakukan WOM,
keinginan untuk membeli, dan keinginan untuk membayar lebih, merupakan ukuran
yang tepat untuk menilai minat berperilaku konsumen pada restoran.
Bagian penting dari kajian penelitian ini adalah telah terbukti adanya dampak
dari persepsi internal konsumen sebagai perilaku kognitif konsumen pada minat
berperilaku konsumen sebagai afektif dari konsumen. Temuan pada penelitian ini
mendukung penelitian sebelumnya dari Gao et al. (2016) yang membedakan adalah
masalah penelitian dan kajian.
Moderasi dari Lokasi Konsumen pada Perilaku Konsumen (H2)
Pada kajian sebelumnya telah disampaikan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara persepsi internal konsumen dengan minat berperilaku konsumen
terhadap kunjungannya di restoran Kota Bandung. Selanjutnya dilakukan pengolahan
ulang data untuk mengetahui nilai dari moderasi atau dukungan atas lokasi konsumen.
Kajian tersebut dilakukan melalui pengolahan data ulang, dengan memisahkan
kuesioner yang bersumber dari konsumen dalam Kota Bandung (59 persen) dan
konsumen yang memiliki lokasi di pinggiran Kota Bandung (41 persen). Target yang
ingin diketahui adalah besaran korelasi yang dihasikan bilamana sumber data dibagi
berdasarkan lokasi (urban dan sub urban), karena sejatinya kedua lokasi tersebut
memiliki karakteristik yang berbeda berkaitan dengan perilaku konsumen (Su & Liu,
2016). Data dikelompokkan menjadi dua yaitu urban dan sub urban (Tabel 2). Data
tersebut akan menjelaskan perbedaan dari hasil pengolahan data berdasarkan nilai
pengaruh antar variabel penelitian yaitu persepsi internal dan minat berperilaku
konsumen pada restoran di kota Bandung.
Tabel 2
Hasil Urban dan Sub Urban
Change Statistics
Model R
R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change
Hasil Urban
2 0,700a 0,49 31,049 1 38 0,00
Hasil Sub Urban
2 0,670a 0,448 55,819 1 58 0,00
70 Dukungan lokasi dalam peningkatan minat berperilaku konsumen (Alamsyah, Setyaningrum)

Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3, terdapat perbedaan hasil ketika model


penelitian menggunakan dukungan dari urban (Kota) atau sub urban (pinggiran kota).
Sebelumnya untuk model terkait hubungan dari persepsi internal konsumen pada
minat berperilaku ditemukan nilai pengaruh sebesar 48 persen. Sedangkan ketika data
dari konsumen diolah kembali dengan membagi dua yaitu data konsumen yang tinggal
di kota dan konsumen yang tinggal di pinggiran kota, hasilnya ditemukan perbedaan
yang lebih baik (mendukung). Konsumen yang berada di pinggiran kota, memiliki
pengaruh pada model penelitian lebih rendah yaitu hanya 44 persen, sedangkan
konsumen yang berada di kota memiliki pengaruh pada model penelitian lebih tinggi
yaitu 49 persen. Temuan tersebut memiliki makna bahwa konsumen yang berada di
Kota Bandung mampu mendukung terciptanya pengaruh yang baik antara persepsi
internal pada minat berperilaku konsumen. Sejalan dengan kajian sebelumnya bahwa
konsumen yang berada di kota memiliki tingkat pendapatan, karakter sosial dan
perilaku pembelian yang berbeda dari konsumen yang berada di pinggiran Kota (Pi &
Chen, 2016). Diketahui bahwa konsumen dari kota sudah cukup bosan dengan
kehidupan di kota, sehingga mencari suasana baru pada restoran yang dikunjunginya
(Porter, 2008). Begitu pula sebaliknya, konsumen yang berada di pinggiran kota sudah
terbiasa melihat wilayahnya. Sehingga dimungkinkan, konsumen yang berada di
pinggiran kota mencari lokasi yang jarang ditemuinya yaitu pusat kota.
Temuan ini memberikan masukan untuk para pemasar khususnya restoran di
kota Bandung bahwa lokasi dari konsumen menentukan minat mereka dalam memilih
restoran sebagai tempat untuk beraktivitas selanjutnya selain tempat kerja atau tempat
rekreasi. Beberapa yang perlu menjadi perhatian untuk pemasar dalam persepsi
internal konsumen pada restoran adalah sikap (attitudes), nilai personal (personal
values), pengetahuan konsumen (knowledge) dan pandangan keuntungan (perceived
benefits). Sedangkan untuk minat berperilaku konsumen yang perlu menjadi perhatian
pemasar adalah intensitas kunjungan (visit intention), intensitas melakukan WOM,
keinginan untuk membeli, dan keinginan untuk membayar lebih.
Setidaknya temuan ini bermanfaat untuk restoran di Kota Bandung dalam
menentukan strategi pemasaran dengan mempertimbangkan strategi lokasi dan
konsumen yang ditargetkannya. Disamping itu, temuan ini menjadi masukan baru
untuk restoran pada umumnya pada strategi pemasaran yang berkaitan dengan lokasi.
Berdasarkan temuan penelitian dapat dikatakan bahwa lokasi dari konsumen
menentukan perubahan ke arah yang lebih baik pada perilaku konsumen (persepsi
internal, minat berperilaku). Artinya bahwa lokasi mampu menjadi moderasi yang baik
pada perilaku konsumen pada restoran.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Volume 21 No. 1 April 2018, 59 - 74 71

SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN


Perilaku konsumen berdasarkan lokasi tempat konsumen berada memiliki
perbedaan perilaku. Hal ini dapat dilihat dari aktivitasnya mengunjungi restoran,
seperti yang terjadi di kota Bandung. Ditemukan bahwa perilaku konsumen yaitu
persepsi internal konsumen, mampu meningkatkan perilaku konsumen lainnya yaitu
minat berperilaku. Terlebih hubungan positif dari keduanya dapat ditingkatkan lagi
manakala terjadi perbedaan lokasi, lokasi konsumen yang berada di tengah kota (urban)
sejatinya memiliki minat berperilaku pada restoran yang lebih dominan dari pada
konsumen yang berada di pinggiran kota (sub urban). Temuan ini menjadi informasi
yang dapat digunakan oleh para pemasar restoran dalam menentukan strategi
pemasaran yang fokus pada perilaku konsumen.
Temuan penelitian ini menyempurnakan kajian pada penelitian sebelumnya.
Dukungan moderasi atas lokasi konsumen yang justru memiliki dukungan yang
penting untuk diperhatikan oleh manajemen restoran. Namun demikian, saat ini masih
terdapat keterbatasan penelitian yaitu terdapat variabel lain yang nyatanya mampu
mempengaruhi minat berperilaku konsumen selain persepsi internal yaitu kepuasan
konsumen dan kualitas layanan. Kedua hal tersebut tidak menjadi bagian dari kajian
penelitian. Saran untuk kajian berikutnya adalah menelaah dari kedua sisi tersebut, dan
perlu kajian pada demografi konsumen berdasarkan tingkat pendidikan dan
pendapatan.

DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, D. P., Trijumansyah, A., & Hariyanto, O. I. B. (2017). Mediating of Store
Image on Customer Trust for Organic Vegetables. MIMBAR, Jurnal Sosial dan
Pembangunan, 33(1), 132–141.
Besra, E. (2012). Potensi wisata kuliner dalam mendukung pariwisata di kota Padang.
Jurnal Riset Akuntansi dan Bisnis, 12(1), 74–101.
Chen, H.-S., & Hsieh, T. (2011). A study of antecedents of customer repurchase
behaviors in chain store supermarkets. Journal of International Management
Studies, 6(3), 1–11.
Chi, W., & Qian, X. (2016). Human capital investment in children: An empirical study
of household child education expenditure in China, 2007 and 2011. China
Economic Review, 37(14), 52–65.
https://doi.org/10.1016/j.chieco.2015.11.008
Chinomona, R., Okoumba, L., & Pooe, D. (2013). The impact of product quality on
perceived value, trust and students’ intention to purchase electronic gadgets.
72 Dukungan lokasi dalam peningkatan minat berperilaku konsumen (Alamsyah, Setyaningrum)

Mediterranean Journal of Social Sciences, 4(14), 463–472.


Danescu, T., & Chira, A. (2014). Professional judgment and reticence to apply
sampling techniques. Procedia Economics and Finance, 15(14), 1253–1258.
https://doi.org/10.1016/S2212-5671(14)00585-1
Gao, Y. L., Mattila, A. S., & Lee, S. (2016). A meta-analysis of behavioral intentions
for environment-friendly initiatives in hospitality research. International
Journal of Hospitality Management, 54, 107–115.
https://doi.org/10.1016/j.ijhm.2016.01.010
Gillani, F. (2012). Impact of peer pressure and store atmosphere on purchase intention:
An empirical study on the youngsters in Pakistan. International Journal of
Academic Research in Business and Social Sciences, 2(7), 323–332.
Grewal, D., Levy, M., & Kumar, V. (2009). Customer experience management in
retailing: An organizing framework. Journal of Retailing, 85(1), 1–14.
Hair, J., Celsi, M. W., Money, A. H., Samouel, P., & Page, M. J. (2011). Essential of
business research methods, second edition. New York: M.E. Sharpe Inc.
Hazra, S. G. (2013). An investigating into customer satisfaction, customer
commitment and customer trust: A study in indian banking sector. Journal of
Arts, Science & Commerce, 4(1), 96–103.
Jogiyanto. (2007). Sistem informasi keprilakuan. (A. Offset, Ed.). Yogyakarta.
Kotler, P., & Keller, K. L. (2012). Marketing management. Prentice Hall.
Kull, A. J., & Heath, T. B. (2016). You decide, we donate: Strengthening consumer-
brand relationships through digitally co-created social responsibility.
International Journal of Research in Marketing, 33(1), 78–92.
https://doi.org/10.1016/j.ijresmar.2015.04.005
Line, N. D., & Wang, Y. (2016). A multi-stakeholder market oriented approach to
destination marketing. Journal of Destination Marketing & Management, 6(1),
84–93. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/j.jdmm.2016.03.003
Maulana, H. D. J. (2009). Promosi kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Michelson, A., & Paadam, K. (2015). Destination branding and reconstructing
symbolic capital of urban heritage: A spatially informed observational analysis
in medieval towns. Journal of Destination Marketing and Management, 1–13.
https://doi.org/10.1016/j.jdmm.2015.12.002
Mosavi, S. A., & Ghaedi, M. (2012). A survey on the relationship between trust,
customer loyalty, commitment and repurchase intention. African Journal of
Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Volume 21 No. 1 April 2018, 59 - 74 73

Business Management, 6(36), 10089–10098.


https://doi.org/10.5897/AJBM11.2741
Mudrikah, A., Sartika, D., Yuniarti, R., & Satia, A. B. (2014). Kontribusi sektor
pariwisata terhadap GDP Indonesia tahun 2004-2009. Economics Development
Analysis Journal, 3(2), 362–371.
Mun, S. G., & Jang, S. S. (2015). Working capital, cash holding, and profitability of
restaurant firms. International Journal of Hospitality Management, 48, 1–11.
https://doi.org/10.1016/j.ijhm.2015.04.003
Othman, C., & Rahman, M. S. (2014). Investigation of the relationship of brand
personality, subjective norm and perceived control on consumers’ purchase
intention of organic fast food. Modern Applied Science, 8(3), 92–106.
Pi, J., & Chen, X. (2016). The impacts of capital market distortion on wage inequality,
urban unemployment, and welfare in developing countries. International
Review of Economics and Finance, 42, 103–115.
https://doi.org/10.1016/j.iref.2015.10.045
Porter, M. E. (2008). The Five Competitive Forces That Shape Strategy. Harvard
Business Review, 86(1), 57–71. https://doi.org/10.1111/j.0955-
6419.2005.00347.x
Putri, R. I. A. T., Novirani, D. W. I., & Kurniawan, D. W. I. (2015). Formulasi Strategi
Menghadapi Persaingan Industri Kuliner pada EINS Bistro & Boutique di
Bandung. Jurusan Teknik Industri Itenas, 3(2), 127–137.
Ramasamy, B., Yeung, M. C. H., & Chen, J. (2013). Selling to the urban Chinese in
East Asia: Do CSR and value orientation matter? Journal of Business
Research, 66(12), 2485–2491. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2013.05.039
Salleh, M. M., Ali, S. M., Harun, E. H., Jalil, M. A., & Shaharudin, M. R. (2010).
Consumer’s perception and purchase intentions towards organic food products:
Exploring attitude among academician. Canadian Social Science, 6(6), 119–
129.
Sangadji, E. M., & Sopiah. (2013). Perilaku konsumen. Yogyakarta: Andi Offset.
Sasongko, F., & Subagio, H. (2013). Pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan
pelanggan restoran Ayam Penyet Ria. Jurnal Manajemen Pemasaran Petra,
1(2), 1–7.
Sirikudta, S., Archarungroj, P., Serirat, S., & Gulid, N. (2010). Development of
sustainable tourism industry along chaophraya river. The International
Business & Economics Research Journal, 9(10), 69–75.
74 Dukungan lokasi dalam peningkatan minat berperilaku konsumen (Alamsyah, Setyaningrum)

Slameto. (2010). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka


Cipta.
Su, Y., & Liu, Z. (2016). The impact of foreign direct investment and human capital
on economic growth: Evidence from Chinese cities. China Economic Review,
37, 97–109. https://doi.org/10.1016/j.chieco.2015.12.007
Susanti, C. E. (2014). The antecedence of customer loyalty in traditional restaurants in
East Java, Indonesia. Int. J. Process Management and Benchmarking, 4(1), 22–
34.
Syarifuddin, D. (2014). Measuring destination service quality (studi tentang
pelaksanaan kualitas pelayanan kebun binatang Bandung). Pariwisata, 1(2),
122–130. Retrieved from
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jp/article/view/169
Tuu, H. H., & Olsen, S. O. (2012). Certainty, risk and knowledge in the satisfaction-
purchase intention relationship in a new product experiment. Asia Pacific
Journal of Marketing and Logistics, 24(1), 78–101.
Walker, M., & Heere, B. (2011). Consumer attitudes toward responsible entities in
sport (CARES): Scale development and model testing. Sport Management
Review, 14(2), 153–166. https://doi.org/10.1016/j.smr.2010.08.001
Wibowo. (2013). Perilaku dalam organisasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Yahya, A. (2016). Laporan akuntabilitas kinerja kementerian pariwisata tahun 2015.
Yeung, R., Yee, W., & Morris, J. (2010). The effects of risk-reducing strategies on
consumer perceived risk and on purchase likelihood: A modelling approach.
British Food Journal, 112(3), 306–322.
https://doi.org/10.1108/00070701011029174
Yuniarti, V. S. (2015). Perilaku konsumen teori dan praktik (1st ed.). Bandung:
Pustaka Setia.
Zepri, Z. Z. (2009). Analisis karakteristik dan perilaku konsumen sayuran organik.
Institut Pertanian Bogor.
Zheng, L., Favier, M., Huang, P., & Coat, F. (2012). Chinese consumer perceived risk
and risk relievers in e-shopping for clothing. Journal of Electronic Commerce
Research, 13(3), 255–275.

Anda mungkin juga menyukai