Anda di halaman 1dari 50

CASE REPORT SESSION

*Program Profesi Dokter/ G1A217007/ Desember 2018


**Pembimbing/ dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An

GENERAL ANESTESIA PADA LAPAROSKOPI A/I KISTA


ENDOMETRIOSIS
Andre Dwita Putera* dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An**

PROGRAM PROFESI DOKTER


BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION


GENERAL ANESTESIA PADA LAPAROSKOPI A/I KISTA
ENDOMETRIOSIS

Oleh:
Andre Dwita Putera
G1A217007

Telah disetujui dosen pembimbing pada Desember 2018


Dosen Pembimbing

dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An

2
KATA PENGANTAR

Penulis menyampaikan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
CRS yang berjudul “General Anestesia Pada Laparoskopi A/I Kista
Endometriosis” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Program
Profesi Dokter di Bagian Anestesi dan Reanimasi Rumah Sakit Umum Raden
Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Panal Hendrik Dolok Saribu,
Sp.An yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing
penulis selama menjalani Program Profesi Dokter di Bagian Anestesi dan
Reanimasi Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa CRS ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan
guna kesempurnaan laporan kasus ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jambi, Desember 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ----------------------------------------------------------------- i


LEMBAR PENGESAHAN --------------------------------------------------------- ii
KATA PENGANTAR ---------------------------------------------------------------- iii
DAFTAR ISI --------------------------------------------------------------------------- iv
BAB I PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------ 1
BAB II LAPORAN KASUS ------------------------------------------------------- 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA --------------------------------------------------- 10
BAB IV ANALISA KASUS --------------------------------------------------------- 43
BAB III KESIMPULAN ------------------------------------------------------------- 46
DAFTAR PUSTAKA ----------------------------------------------------------------- 47

4
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi umum (general anesthesia) adalah suatu keadaan yang didapatkan


ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk memberikan
efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan tidak sadar
(unconsciousness), amnesia, analgesik, immobilisasi, dan melemahnya respon
autonom pada stimulasi berbahaya telah dicapai.1
Obat-obatan dan alat pemantau perubahan fisiologis tubuh mengalami suatu
kemajuan yang semakin baik untuk menurunkan risiko kematian akibat tindakan
anestesi dalam suatu prosedur bedah menjadi kurang dari 1:100000 kejadian.
Komplikasi minim yang seringkali timbul pada pasien sehat sebelumnya sebagai
gejala pada 24 jam pertama pasca operasi yaitu, keluhan muntah sebanyak 10-20%,
mual 10-40%, sakit tenggorokan 25%, dan nyeri pada lokasi operasi 30%.2
Tujuan anestesi dilakukan secara umum adalah untuk menciptakan
ketidaksadaran yang aman dan reversibel, mengoptimalisasi respon fisiologis, dan
menciptakan keadaan operasi yang kondusif. Anestesi umum memiliki tiga
komponen penting, yaitu hilangnya kesadaran, analgesik, dan relaksasi otot.3
Laparoskopi secara umum dianggap sebagai tes definitif faktor tuba. Hal-hal
mengenai penjadwalan, penggunaan antibiotik, dan risiko infeksi sama dengan
HSG. Laparoskopi diagnositik umumnya dilakukan dengan anestesi umum, namun
dapat saja dilakukan dengan sedasi dalam dan anestesi lokal. Laparoskopi operatif
untuk pengobatan penyakit umumnya memerlukan anestesi umum. Dengan
pengecualian tertentu, inspeksi panggul yang sistematik dan menyeluruh dapat
menentukan lokasi dan derajat penyakit.3

5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. MJ
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Batu Kucing, RT. 03, Sarolangun
No. RM : 897662
Ruangan : Kelas III (Bangsal Kebidanan)
TB/BB : 150 cm / 47 kg
Gol. Darah : A (+)
Diagnosis : Kista Endometriosis
Tindakan : Laparoskopi Operatif

2.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis 26 November 2018)


Keluhan Utama :
Nyeri perut bagian bawah sejak ± 1 bulan SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan nyeri perut di bagian bawah yang memberat sejak 1
bulan yang lalu, nyeri dirasakan hilang timbul dan menjalar sampai sekeliling
pinggang. Nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk. Pasien juga mengeluhkan teraba
adanya benjolan pada bagian perut bawah yang semakin membesar dalam sebulan
terakhir ini. Menstruasi pasien teratur, namun terasa nyeri hebat saat menstruasi dan
sudah satu bulan terakhir ini pasien belum haid. Keluhan mual (-), muntah (-),
demam(-), nafsu makan menurun (-), BB menurun (-) dan BAK serta BAB tidak
ada keluhan.

Riwayat penyakit dahulu :


 Riwayat Hipertensi : tidak ada

6
 Riwayat Asma : tidak ada
 Riwayat DM : tidak ada
 Riwayat Batuk Lama : tidak ada
 Riwayat Operasi : tidak ada
 Riwayat Alergi Obat : tidak ada
 Riwayat Penyakit Lain : tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti yang dialami
oleh pasien. Riwayat DM, Hipertensi, Asma, pada keluarga tidak ada.

Riwayat Kebiasaan
 Merokok (-)

2.3 PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 26 November 2018)


- Kesadaran : Compos mentis
- Vital Sign : TD: 100/70 mmHg
Nadi: 80 x/menit
RR: 20 x/m
T: 36,5 ºC
- BB : 47 kg
- TB : 150 cm
- IMT : 20,9 (normoweight)

Status General:
Kepala : Normocephali
Mata : CA -/-, SI -/-, Pupil Isokor, RC +/+
THT : discharge (-), dbn
Mulut : Mukosa tidak anemis, lidah kotor (-), Mallampati 1
Leher : JVP 5-2 cmH2O, KGB tidak teraba membesar, struma (-)

7
Paru:
- Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)
- Palpasi : Vokal Fremitus normal, kanan dan kiri sama
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung:
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
- Palpasi : Thrill tidak teraba, ictus cordis teraba 2 jari
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
- Inspeksi : Datar, terdapat penonjolan di bagian suprapubik
- Auskultasi : BU (+) N
- Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-). Teraba massa keras, immobile, dan
permukaan rata, ukuran 9x5 cm, Hepar lien dan ginjal tidak teraba
- Perkusi : Timpani
Ekstremitas:
Superior : akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-/-), edema (-/-)
Inferior : akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-/-), edema (-/-)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium
a. Darah rutin (21 November 2018)
 WBC : 6,31 103/mm3 (4-10 109/L)
 RBC : 4,32 106/mm3 (3,5-55, 1012/L)
 HGB : 12,3 g/dl (11-16 g/dl)
 HCT : 35,1 % (35-50%)
 PLT : 220 103/mm3 (100-300 109/L)
 Ct/Bt : 3,5’/1’
 GDS : 111 mg/dl (<200)

8
b. Kimia Darah Lengkap (21 November 2018)
 Faal Hati
Protein Total : 7,4 g/dl (6,4-8,4)
Albumin : 4,3 g/dl (3,5-5,0)
Globulin : 3,1 g/dl (3,0-3,6)
SGOT : 16 U/L (<40)
SGPT : 11 U/L (<41)
 Faal Ginjal
Ureum : 15 mg/dl (15-39)
Kreatinin : 0.6 mg/dl (0,6-1,1)

2. Radiologi
 X-Ray Thorax
Cor dan pulmo dalam batas normal

3. Lain-lain
 EKG : Sinus Rhythm
USG : Kista Endometriosis dengan diameter 9 cm

2.5 DIAGNOSIS KERJA PRE-OP:


Kista Endometriosis

2.6 PRA ANASTESI


Penentuan Status Fisik ASA : 1 / 2 / 3 / 4 / 5 EMG/Non EMG
Persiapan Pra Anestesi :
a. Pasien telah diberikan Informed Consent
b. Pasien dirawat 1 hari sebelum tindakan operasi
c. Periksa laboratorium
d. Puasa 6 jam sebelum tindakan operasi

9
2.7 LAPORAN ANESTESI
Tanggal : 27 November 2018
Pasien : Ny. MJ (29 th)
Diagnosis : Kista Endometriosis
Tindakan : Laparoskopi Operatif
Ahli Bedah : dr. Ade Permana, Sp.OG (K)
Ahli Anestesi : dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An

Tindakan Anestesi
1. Metode : General Anestesi (Intubasi)
2. Premedikasi : Ondansentron 4 mg, Ranitidin 50 mg, Dexametason 5 mg,
Ketorolac 30 mg, Asam Traneksamat 500 mg
3. Induksi : Propofol 140 mg
4. Analgetik : Fentanyl 100 mg
5. Relaksasi : Rocuronium 30 mg
6. Intubasi : Insersi ETT No.7,5
7. Maintenance : Sevoflurans 2vol% + N2O (2L) : O2 (2L)
8. Intra Operasi :-
9. Respirasi : Nafas kendali dengan ventilator.
10. Ekstubasi : Setelah pasien sadar penuh.

Keadaan Selama Operasi


1. Posisi Penderita : Lithotomi
2. Penyulit waktu anestesi : Tidak ada
3. Lama Anestesi : 1 jam
4. Jumlah Cairan
Input :
 RL 500 ml
 RL 500 ml
Total = 1000 ml

10
Output :
 Urine : ± 300 ml
 Perdarahan: Suction = 100 cc
Total = 400 ml

Kebutuhan cairan pasien ini;


BB = 47 Kg
 Maintenance (M) = 2 cc/kgBB
= 2 cc x 47
= 94 cc
 Pengganti Puasa (P)
P = 6 x M Pasien puasa dari jam 02.00, operasi pukul 08.30 WIB
= 6 x 128 cc
= 768 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (Operasi Sedang)
= 47 x 6 cc
= 282 cc
 EBV = 65 x BB
= 65 x 47  3055 cc
 EBL = 20% x EBV
= 20% x 3055 cc  611 cc

Kebutuhan cairan selama operasi


Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (768) + 128 + 282
= 794 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼ (768) + 128 + 282
= 602 cc

11
Monitoring Peri Operatif:
Jam TD Nadi RR
WIB (mmHg) (x/m) (x/mnt)
Pasien masuk ke kamar operasi, dan dipindahkan
08.00
ke meja operasi
Pemasangan monitoring tekanan darah, nadi,
08.05 118/80 74 18
saturasi O2 dan urin bag dikosongkan.
08.10 Diberikan cairan RL (1 kolf) & obat premedikasi 120/85 74 22
Pasien mulai dilakukan general anestesi,
Pemberian Analgesia Fentanyl 100 mg,
08.15 Pemberian induksi IV Recofol 140 mg, 110/70 60 20
Tes bulu mata,
Pemberian muscle relaxan Rocuronium 30 mg
Melakukan intubasi
08.20 118/80 76 20
Pasien diposisikan lithotomi
08.30 Operasi dimulai 109/70 70 18
08.45 Diberikan RL 500 ml (1 kolf) 110/80 70 20
09.00 120/90 75 20
Operasi Selesai
09.15 Posisi pasien di luruskan kembali keadaan 118/90 60 19
telentang
Gas N2O dan sevoflurane dimatikan, gas O2
dinaikkan dgn menggunakan ETT
Pasien sadar & nafas spontan, dilakukan
09.30 115/85 72 19
ekstubasi
Pelepasan alat monitoring
Pasien dipindahkan ke ruang RR

12
5. Ruang Pemulihan (RR)
a. Masuk Jam : 09.45 WIB
b. Keadaan Umum : Kesadaran CM, GCS:15
c. Tanda Vital : TD (100/60 mmHg), N (76x/i), RR (18x/i), SpO2 (99%)
d. Pernafasan : Baik
e. Skoring Alderate : Aktifitas :2
Pernafasan : 2
Warna Kulit : 2 Jumlah = 10
Sirkulasi :2
Kesadaran : 2

6. Instruksi Post Operasi :


 Observasi keadaan umum, tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit 24 jam
 Tirah baring tanpa bantal dalam 24 jam
 Puasa sampai sadar penuh dan bising usus (+)
 Terapi sesuai instruksi dr. Ade Permana, Sp.OG (K)

2.9. DIAGNOSA POST OP


Post Laparoskopi a.i Kista Endometriosis

2.10. PROGNOSIS :
Quoad vitam : Dubia ad bonam
Quoad functionam : Dubia ad bonam
Quoad sanationam : Dubia ad bonam

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anestesi Umum


3.1.1 Definisi
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum memiliki karakteristik
menyebabkan amnesia bagi pasien yang bersifat anterogardyaitu hilang ingatan
kedepan dimana pasien tidak akan bisa ingat apa yang telah terjadi saat dia
dianestesi/operasi, Karakteristik selanjutnya adalah reversible yang berarti anestesi
umum akan menyebabkan pasien bangun kembali tanpa efek samping.1,2

3.1.2 Komponen dalam Anestesi Umum


Dahulu dikenal istilah “Trias Anetesia” yaitu hipnosi, analgesia, dan arefleksia.
Namun, sekarang anestesi umum tidak hanya mempunyai tiga komponen itu saja.
Secara umum komponen yang ada dalam anestesi umum yaitu:3
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran)
2. Analgesia (hilangnya nyeri)
3. Arefleksia (hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, memungkinkan
imobilisasi pasien)
4. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi
trakeal
5. Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur)

3.1.3 Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum


Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah anestisia
umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-waktu dikonversikan menjadi
anestesia umum.3

14
Keuntungan anestesia umum
a. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.
b. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas
dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan trauma
psikologis.
c. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
d. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien. 1,2

Kerugian anestesia umum


a. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi tumpul
dibawah anestesia umum.
b. Memerlukan pemantauan yang lebih holostik dan rumit.
c. Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.
d. Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
e. Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.1,2

3.1.4 Persiapan pra anestesi


Pasien yang akan menjalani operasi harus disiapkan dengan baik. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif dilakukan 2-1 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah
darurat sesingkat mungkin. Tujuan dari kunjungan pra anestesi ini yakni
mempersiapkan baik fisik maupun mental pasien, serta merencanakan teknik dan
obat-obatan apa saja yang digunakan.4

Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak pasca bedah,
sehingga kita dapat merancang anestesia selanjutnya. Beberapa peneliti
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya
janga digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu 3

15
bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan
diulang.Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya utnuk
eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa
hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan nafas dan 1-2 minggu untuk mengurangi
produksi sputum. Kebiasaan minum alkohol juga patut dicurigai akan adanya
penyakit hepar.4

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan
rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan
seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.4

Pemeriksaan Laboratorium
Sebaiknya tepat indikasi, sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai.
Pada usia pasien diatas 50 tahun dianjurkan pemeriksaan EKG dan foto thoraks.4

Kebugaran untuk Anestesia


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu
harus dihindari.4

Klasifikasi Status Fisik


Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of
Anesthesiologists (ASA) yaitu:4
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa
pembatasan aktivitas.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.

16
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada pasien-
pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan
dari masukan oral selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-4 jam. Makanan
tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air
putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.4

Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, diantaranya:4
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan

17
3.1.5 Induksi anestesi
Induksi anesthesia adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehinggga memungkinkan dimulainya anesthesia dan
pembedahan.4,5

Persiapan pada anestesi meliputi kata STATICS


 Scope : laryngoscope dan stethoscope
 Tube : pipa trakea disesuaikan dengan ukuran pasien sesuai umur
 Airway : orothracheal airway, untuk menahan lidah pasien disaat
pasien tidak sadar, untuk menjaga agar lidah tidak
menutupi jalan napas
 Tape : plaster untuk memfiksasi orothrakeal airway
 Introducer : mandarin atau silet dari kawat untuk memandu agar pipa
trakea mudah untuk di masukkan
 Conector : penyambung antara pipa dan alat anesthesia
 Suction : penyedot lender

Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi
bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesia,
pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.Anestesi intravena
selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk rumatan anestesi, tambahan pada
analgesia regional atau untuk membantu prosedur diagnostik misalnya tiopental,
ketamin dan profopol. Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan
profopol.4

18
Anestetik Inhalasi
Obat anestetik inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk membantu
pembedahan ialah N2O. Kemudian menyusul eter, kloroform, etil-klorida, etilen,
divinil-eter, siklosporin, triklor-etilen, iso-propenil-vinil-eter, propenil-metil-eter,
fluoroksan, etil-vinil-eter, halotan, metoksi-fluran, enfluran, isofluran, desfluran
dan sevofluran.4 Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan
untuk praktek klinik ialah N2O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan
sevofluran. Obat-obat lain ditinggalkan karena efek samping yang tidak
dikehendaki. Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditetukan oleh sifat
fisiknya:4
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya
Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan
menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah
adalahfaktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan
pemulihannya.Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut
dan lambat padayang larut.Kadar alveolus minimal ( KAM ) atau MAC (minimum
alveolar concentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada
tekanan satu atmosfir yangdiperlukan untuk mencegah gerakan pada 50 % pasien
yang dilakukan insisi standar.Pada umumnya immobilisasi tercapai pada 95 %
pasien, jika kadarnya dinaikkan diatas30 % nilai KAM. Dalam keadaan seimbang,
tekanan parsial zat anestetik dalam alveolisama dengan tekanan zat dalam darah
dan otak tempat kerja obat.4
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh:
1. Konsentrasi inspirasi. Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan
sudah penuh, makaambilan paru berhenti dan konsentrasi uap inpirasi sama
dengan alveoli. Halini dalam praktek tak pernah terjadi. Induksi makin cepat
kalau konsentrasi makin tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas atau kejang
laring. Induksimakin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).

19
2. Ventilasi alveolar. Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin
tinggi dan sebaliknya.
3. Koefisien darah/gas. Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah,
makin rendah konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.
4. Curah jantung atau aliran darah paru
Makin tinggi curah jantung makin cepat uap diambil
5. Hubungan ventilasi perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestetik. Jumlah
uapdalam mesin anestesi bukan merupakan gambaran yang sebenarnya,
karenasebagian uap tersebut hilang dalam tabung sirkuit anestesi atau ke
atmosfir sekitar sebelum mencapai pernafasan.4
Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru.
Sebagianlagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450.
Sisa metabolismeyang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.4

N2O
N2O (gas gelak,laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monooksida)
diperolehdengan memanaskan amonium nitrat sampai 240ºC. NH4NO3 --240 ºC -
--- 2H2O + N2O. N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk
cair dalamsilinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau
50 atm.Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini
bersifatanestetik lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga sering digunakan untuk
menguranginyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
sendirian, tetapidikombinasi dengan salah satu cairan anestesi lain seperti halotan
dan sebagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat
keluar mengisi alveoli,sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia
difusi. Untuk menghindariterjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-
10 menit.4

20
Halotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang
enak dan tidak merangsang jalan napas, maka sering digunakan sebagai induksi
anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat
tua) supayatidak dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%.4 Selain
untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi, asalkan anestesinya cukup
dalam, stabil dan sebelum tindakan dierikan analgesi semprot lidokain 4% atau10%
sekitar faring laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya laringoskop
intubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot cukup baik.Pada
napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada napas kendalisektar 0,5-
1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien.
Halotanmenyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang
sulitdikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai
untuk bedah otak.4 Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis,depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Kebalikan dari N2O,
halotananalgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal
sepanjangtidak ada indikasi kontra. Kombinasi dengan adrenalin sering
menyebabkan disritmia, sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin
dianjurkan dengan pengenceran1:200.000 (5 µg/kg).Pada bedah sesar, halotan
dibatasi maksimal 1 vol%, karena relaksasi uterusakan menimbulkan perdarahan.
Halotan menghambat pelepasan insulin, meninggikan kadar gula darah.Kira-kira
20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara oksidatif menjadikomponen
bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Secara reduktif menjadi komponenfluorida
dan produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Metabolisme reduktif
inimenyebabkan hepar kerja keras, sehingga merupakan indikasi kontra pada
penderita gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu kurang tiga bulan atau
pasienkegemukan. Pasca pemberian halotan sering menyebabkan pasien
menggigil.4

21
Enfluran
Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat populer setelahada
kecuriagan gangguan fungsi hepar oleh halotan pada pengguanan berulang.
PadaEEG menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi disertai hipokapnia, karena
itu hindari penggunaannya pada pasien dengan riwayat epilepsi, walaupun ada yang
beranggapan bukan indikasi kontra untuk dpakai pada kasus dengan riwayat
epilepsi. Kombinasidengan adrenalin lebih aman 3 kali dibanding halotan.Enfluran
yang dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non-volatil yang
dikeluarkan lewat urin. Ssisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli.Induksi
dan pulih dari anestesia lebih cepat dibanding halotan. Vasodlatasi serebralantara
halotan dan isofluran.Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran
lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding
halotan, depresilebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot
lurik lebih baik dibanding halotan.4

Isofluran
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau
subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapimeninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran
darah otak dan tekanan intrakranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi,sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek
terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemariuntuk
anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan
gangguankoroner. Isofluran dengan konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil
menyebabkanrelaksasi dan kurang responsif jika diantisipasi dengan oksitosin,
sehingga dapatmenyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot
dapat dikurangisampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.4

Desfluran
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan
efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan

22
dengananestetik volatil lainnya, sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus
(TEC-6). Titik didihnya mendekati suhu ruangan (23.5ºC). potensinya rendah
(MAC 6.0%). Ia bersifatsimpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi.
Efek depres napasnya sepertiisofluran dan etran. Desfluran merangsang jalan napas
atas, sehingga tidak digunakanuntuk induksi anestesia.4

Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesilebih
cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disampinghalotan.Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang mnyebabkan
aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan
toksik terhadaphepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan
oleh badan.Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime), tetapi belum
ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia.4

3.1.6 Rumatan anestesi


Rumatan anastesia dapat dikerjakan secara intravena atau dengan inhalasi atau
dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anastesia biasanya mengacu pada
trias anastesia yaitu hipnosis, analgesia cukup, dan selama dibedah pasien tidak
menimbulkna nyeri, dan relaksasi otot lurik yang cukup.Rumatan inhalasi biasanya
menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau
enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol% bergantung
apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled).4

3.1.7 Pengakhiran Anestesi Umum


Pemulihan dari anestesi umum ataupun regional adalah saat terjadinya stress
fisiologis yang besar bagi banyak pasien. Pengakhiran anestesi umum idealnya
haruslah mulus dan bangun secara bertahap dalam suasana yang terkendalli.
Sayangnya, seringkali bermula di kamar operasi atau selama perjalanan ke ruang
pemulihan dan sering ditandai oleh obstruksi jalan nafas, menggigil, agitasi,

23
delirium, nyeri, mual dan muntah, hipotermia, dan labilitas otonom. Bahkan pasien
yang mendapat anestesi spinal atau epidural dapat menunjukkkan penurunan
tekanan darah yang nyata selama perjalanan atau pemulihan; efek simpatolitik blok
regional mencegah refleks vasokonstriksi kompensasi saat pasien dipindahkan atau
saat duduk.4 Setelah anestesi berbasis inhalasi, kecepatan pengakhiran berbanding
lurus terhaddap ventilasi alveolus tetapi berbanding terbalik terhadap kelarutan gas
dalam darah. Bila durasi anesthesia meningkat, pengakhiran juga semakin
bergantung kepada ambilan jaringan total, yakni fungsi kelarutan gas, rata-rata
konsentrasi yang dipakai, dan lamanya terpapar anestesi. Pemulihan lebih cepat
dengan desflurane dan nitro oksida dan lebih lambat bila anestesi dalam dengan
halothane dan enflurane. Hipoventilasi memperlambat pengakhiran anestesi
inhalasi.4 Pengakhiran anestesi intravena bergantung pada farmakokinetiknya.
Pemulihan dari kebanyakan obat anestesi intravena lebih bergantung pada
redistribusi daripada waktu paruh eliminasinya. Bila total dosis yang diberikan
meningkat, efek kumulatif tampak dalam akhir anestesi yang berkepanjangan; akhir
kerja menjadi lebih bergantung pada eliminasi atau waktu paruh metabolik. Dalam
kondisi seperti ini, usia tua atau penyakit renal atau hati dapat memperpanjang
pengakhiran (lihat Bab 8). Penggunaan obat-obat anestetik kerja singkat dan sangat
singkat seperti propofol dan remifentanil secara nyata memperpendek pengakhiran,
waktu untuk bangun, dan pengeluaran pasien. Terlebih lagi, penggunaan Bispectral
Index Scale (BIS) (dan mungkin juga patient state index [PSI]) mengurangi dosis
obat total dan memperpendek pemulihan dan waktu untuk memindahkan pasien.
Penggunaan LMA dapat juga membolehkan level anesthesia yang lebih dangkal
yang dapat mempercepat pengakhiran.4 Kecepatan pengakhiran juga dipengaruhi
oleh obat-obat pra bedah. Premedikasi dengan obat-obat yang waktu kerjanya lebih
lama daripada prosedur mungkin menyebabkan pengakhiran yang berkepanjangan.
Durasi pendek midazolam membuatnya cocok untuk obat premedikasi untuk
prosedur yang singkat. Efek obat tidur pra bedah atau minum obat (alkohol, sedatif)
dapat menambah efek zat-zat anestetik dan memperpanjang pengakhiran.4

24
Pengakhiran Tertunda
Penyebab tersering pengakhiran tertunda (apabila pasien tidak menjadi sadar dalam
30-60 menit setelah anestesi umum) adalah efek sisa zat anestetik, sedatif, dan
analgesia. Pengakhiran tertunda dapat terjadi sebagai akibat overdosis obat absolut
atau relatif atau potensiasi zat-zat anestetik oleh pemakaian obat sebelumnya
(alkohol). Pemberian nalokson (0,04 mg setiap kali) dan flumazenil (0,2 mg setiap
kali) dapat menghilangkan efek opioid dan benzodiazepin. Fisostigmin 1-2 mg
dapat mengatasi efek zat-zat lain secara parsial. Stimulator saraf dapat dipakai
untuk menghilangkan blokade neuromuskular yang nyata pada pasien yang
mendapat ventilasi mekanik yang bernafas dengan volume tidal yang tidak
adekuat.4 Penyebab lain pengakhiran tertunda yang lebih jarang di antaranya
hipotermia, gangguan metabolik yang bermakna, dan stroke perioperatif. Suhu
tubuh kurang dari 33oC memberikan efek anestetik dan berpotensiasi sangat besar
dengan efek obat-obat yang mendepresi susunan saraf pusat. Alat penghangat udara
adalah yang paling efektif menaikkan suhu tubuh. Hipoksemia dan hiperkarbia
dapat dikenali dari analisis gas darah. Hiperkalsemia, hipermagnesemia,
hiponatremia, dan hipoglikemia adalah penyebab-penyebab yang jarang, yang
membutuhkan pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosisnya. Stroke
periopoeratif jarang terjadi kecuali setelah pembedahan neurologis, jantung, dan
serebrovaskuler, untuk diagnosisnya perlu konsultasi neurologis dan pemeriksaan
radiologis.4

3.1.8 Oral dan Nasal Airway


Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari otot
genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh
kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust
merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk
mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway) dapat
dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara
antara lidah dengan dinding faring bagian posterior (Gambar 5-4). Pasien yang
sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat

25
memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring masih intact. Pemasangan oral
airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas dan
kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral airway dewasa
umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4),
dan besar (100 mm/Guedel no 5).5 Panjang nasal airway dapat diperkirakan
sebagai jarak antara lubang hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih
panjang dari oral airway. Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak
boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid.
Juga, nasal airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap
pipa yang dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa
nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral airway
pada pasien dengan anestesi ringan.5

Face Mask Design dan Teknik


Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas anestesi
dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat
(gambar 5-5). Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien.
Orifisium face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui
konektor. Tersedia berbagai disain face mask. Face mask yang transparan dapat
mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan. Facemask yang dibuat dari karet
berwarna hitam cukup lunak untuk menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak
umum. Retaining hook dipakai untuk mengkaitkan head scrap sehingga face mask
tidak perlu terus dipegang. Beberapa macam mask untuk pediatrik di disain untuk
mengurangi dead space.5 Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas
dan face mask yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak
tepat dapat menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini
menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit
breathing yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.5 Bila face mask dipegang dengan
tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk melakukan ventilasi dengan tekanan
positif dengan memeras breathing bag. Face mask dipasang dimuka pasien dan

26
sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan
jari manis menarik mandibula untuk ekstensi joint atlantooccipital. Tekanan jari-
jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak yang menopang dasar lidah
karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari kelingking ditempatkan dibawah
sudut jaw dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang paling penting untuk dapat
melakukan ventilasi pasien.5 Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk
mendapatkan jaw thrust yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu
diperlukan seorang asisten untuk memompa bag (gambar 5-8). Obstruksi selama
ekspirasi dapat disebabkan karena tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve
dari jaw thrust. Kadang-kadang sulit memasang face maks rapat kemuka.
Membiarkan gigi palsu pada tempatnya (tapi tidak dianjurkan) atau memasukkan
gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat menolong mengatasi kesulitan ini.
Ventilasi tekanan normalnya jangan melebihi 20 cm H2O untuk mencegah
masuknya udara ke lambung.5 Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan
dengan face mask dan oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam
jangka lama dapat menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf
trigeminal atau fasial. Disebabkan tidak adanya tekanan positif pada jalan nafas
selama nafas spontan, hanya diperlukan tekanan minimal pada face mask supaya
tidak bocor. Bila face mask dan ikatan mask digunakan dalam jangka lama maka
posisi harus sering dirubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata,
dan mata harus diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.5

Teknik dan Bentuk Laryngeal Mask Airway (LMA)


Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan TT
selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada
pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu ventilasi selama
bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan
istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan
combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang,
LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk
memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan

27
Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas
yang sulit. 5 LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm,
dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat
pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara
membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah
ada di muara laring.Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam
dibandingkan untuk memasukan oral airway. Walaupun pemasangannya relatif
mudah (gambar 5-9), perhatian yang detil akan memperbaiki keberhasilan. (tabel
5-2). Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme
dilateral, dan spincter oesopagus bagian atas di inferior.5 Jika esophagus terletak di
rim balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi
anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi,
jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih
tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih
besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan
penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan
secara langsung dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB)
menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon
digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester seperti
halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap
regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai
reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau
membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat di
autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai
ukuran.5

Esophageal – Tracheal Combitube (ETC)


Pipa kombinasi esophagus – tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa, masing-
masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang lebih
panjang ujung distalnya ditutup. Pipa yang transparant berukuran yang lebih pendek

28
punya ujung distal terbuka dan tidak ada sisi yang perporasi. ETC ini biasanya
dipasangkan secara buta melalui mulut dan dimasukkan sampai 2 lingkaran hitam
pada batang batas antara gigi atas dan bawah. ETC mempunyai 2 balon untuk
digembungkan, 100 ml untuk balon proksimal dan 15 ml untuk balon distal,
keduanya harus dikembungkan secara penuh setelah pemasangan. Pipa yang bening
yang lebih pendek dapat digunakan untuk dekompresi lambung. Pilihan lain, jika
ETC masuk ke dalam trakhea, ventilasi melalui pipa yang bening akan langsung
gas ke trachea. Meskipun pipa kombinasi masih terdaftar sebagai pilihan untuk
penanganan jalan nafas yang sulit dalam algoritma Advanced Cardiac Life Support,
biasanya jarang digunakan oleh dokter anestesi yang lebih suka memakai LMA atau
alat lain untuk penanganan pasien dengan jalan nafas yang sulit.5

Pipa Trakea (TT)


TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trakea dan
mengijinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar TT
(American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). TT
kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, TT diberi tanda “IT”
atau “Z-79” untuk indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun.
Bentuk dan kekakuan dari TT dapat dirubah dengan pemasangan mandren. Ujung
pipa diruncingkan untuk membantu penglihatan dan pemasangan melalui pita
suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang (mata Murphy) untuk mengurangi
resiko sumbatan pada bagian distal tube bila menempel dengan carina atau trakea.5
Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga
dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola
dalam milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam skala Prancis
(diameter external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa selalu hasil
kompromi antara memaksimalkan aliran dengan pipa ukuran besar dan
meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.5 Kebanyakan TT
dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri dari katup, balon
petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon (cuff). Katup
mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk memberikan

29
petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube dihubungkan dengan
klep. Dengan membuat trakea yang rapat, balon TT mengijinkan dilakukannya
ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan aspirasi. Pipa yang tidak
berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk meminimalkan resiko dari
cedera karena tekanan dan post intubasi croup.5 Ada 2 tipe balon TT yaitu balon
dengan tekanan tinggi volume rendah dan tekanan rendah volume tinggi. Balon
tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya iskhemia mukosa trachea dan kurang
nyaman untuk intubasi pada waktu lama. Balon tekanan rendah dapat meningkatkan
kemungkinan nyeri tenggorokan (luas area kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi
spontan, dan pemasangan yang sulit ( karena adanya floppy cuff). Meskipun
demikian, karena insidensi rendah dari kerusakan mukosa, balon tekanan rendah
lebih dianjurkan. Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume
pengembangan, diameter balon yang berhubungan dengan trakea, trakea dan
komplians balon, dan tekanan intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat
batuk). Tekanan balon dapat menaik selama anetesi umum sebagai hasil dari difusi
dari N2O dari mukosa trakeal ke balon TT.5 TT telah dimodifikasi untuk berbagai
penggunaan khusus. Pipa yang lentur, spiral, wire – reinforced TT (armored tubes),
TT tidak kinking dipakai pada operasi kepala dan leher, atau pada pasien dengan
posisi telungkup. Jika pipa lapis baja menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim
( contoh pasien bangun dan menggigit pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT
harus diganti. Pipa khusus lainnya termasuk pipa mikrolaringeal, RAE tube, dan
lubang pipa ganda (double lumen tube). Semua TT memiliki garis yang dilekatkan
dan bersifat radio opak yang mengijinkan dapat dilihatnya ETT pada trakea.5

Rigid Laryngoscope
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas intubasi
trakea. Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola lampu pada ujung blade,
atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari
bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.5 Laringoskop dengan lampu
fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI. Blade Macintosh dan Miller
ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan dari blade tergantung dari

30
kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena tidak ada blade yang
cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli dengan bentuk blade yang
beragam.5

Teknik Laringoskopi dan Intubasi


Indikasi Intubasi
Pamasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum. Intubasi
bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua pasien dengan anestesi
umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk proteksi, dan untuk akses
jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki
resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala
dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk
prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi,
perbaikan hernia inguinal dan lain lan.5

Persiapan Untuk Rigid Laringoskopi


Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi pasien. TT
harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat ditest dengan menggembungkan
balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan balon menjamin
balon tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi. Beberapa dokter anestesi
memotong TT untuk mengurangi panjangnya dengan tujuan untuk mengurangi
resiko dari intubasi bronkial atau sumbatan akibat dari pipa kinking. Konektor harus
ditekan sedalam mungkin untuk menurunkan kemungkinan terlepas, jika mandren
digunakan ini harus dimasukan ke dalam TT dan ini ditekuk menyerupai stik hoki.
Bentuk ini untuk intubasi dengan posisi laring ke anterior. Blade harus terkunci di
atas handle laringoskop dan bola lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas
cahanya harus tetap walaupun bola lampu bergoyang. Sinyal cahaya yang berkedap
kedip karena lemahnya hubungan listrik, perlu diingat untuk mengganti baterai.
Extra blade, handle, TT ( 1 ukuran lebih kecil atau lebih besar) dan mandren harus
disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas pada kasus dimana
sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah.5 Keberhasilan intubasi

31
tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien harus sejajar atau lebih
tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah ketegangan bagian
belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop memindahkan
jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung untuk melihat dari mulut ke
glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja operasi)
dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien pada posisi sniffing yang
diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah fleksi dengan menempatkan
kepala diatas bantal.5 Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi
preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan beberapa ( 4 dari total kapasitas paru
paru) kali nafas dalam dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety
pada pasien yang tidak mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat
dihilangkan pada pasien yang akan di face mask, yang bebas dari penyakit paru,
dan yang tidak memiliki jalan nafas yang sulit. Setelah induksi anestesi umum,
dokter anestesi menjadi pelindung pasien. Karena anestesi umum menghilangkan
reflek proteksi kornea, perlindungan harus dilakukan selama periode ini, tidak
boleh ada cedera pada mata pasien dengan terjadi abrasi kornea tanpa disengaja.
Oleh karena itu mata rutin direkat dengan plester, walaupun telah diberi petrolum
atau salep mata.5

Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade
dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi.
Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade.
Ujung dari blade melengkung dimasukkan ke valekula, dan ujung blade lurus
menutupi epiglotis.Handle diangkat menjauhi pasien secara tegak lurus dari
mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan
blade serta pengungkitan dari gigi harus dihindari. TT diambil dengan tangan
kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon
TT harus berada dalam trakea bagian atas tapi dibawah laring. Langingoskop
ditarik dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan
dengan sedikit udara yang dibutuhkan agar tidak ada kebocoran selama ventilasi

32
tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa
trakea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk
menentukan tekanan balon yang adekuat.5 Setelah intubasi, dada dan epigastrium
dengan segera diauskultasi dan capnograf dimonitor untuk memastikan TT ada di
intratrakeal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau
trakea, cabut lagi TT dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, jika sudah
yakin, pipa dapat diplester atau diikat untuk mengamankan posisi. Walaupun
deteksi kadar CO2 dengan capnograf merupakan konfirmasi terbaik untuk
menentukan letak TT di trakea, kita tetap tidak dapat mengabaikan terjadinya
intubasi bronkial. Manifestasi dini dari intubasi bronkial adalah peningkatan
tekanan respirasi puncak. Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi
balon pada sternal notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon
jangan ada diatas level kartilago krikoid, karena lokasi intralaringeal yang lama
dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan meningkatkan resiko
ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada,
tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.5 Hal yang diuraikan diatas diambil
dari pasien tidak sadar. Intubasi lewat mulut ini biasanya kurang ditoleran pada
pasien yang sadar. Jika perlu, dalam kasus terakhir, sedasi intravena, penggunaan
lokal anestetik spray dalam orofaring, regional blok saraf akan memperbaiki
penerimaan pasien.5 Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan
intubasi kembali karena hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan untuk
meningkatkan keberhasilan, seperti mengatur kembali posisi pasien, penurunan
ukuran pipa, pemasangan mandrin, memilih blade yang berbeda, mencoba lewat
hidung atau meminta bantuan dokter anestesi lainnya. Jika pasien juga sulit untuk
ventilasi dengan face mask, pilihan pengelolaan jalan nafas yang lain (contoh LMA,
combitube, krikotirotomi dengan jet ventilasi, trakeostomi). Petunjuk yang
dikembangkan oleh ASA untuk penanganan jalan nafas yang sulit, termasuk
algoritma rencana terapi.5

33
Teknik Ekstubasi
Menentukan saat yang tepat untuk mencabut TT merupakan sebuah seni pada
anestesiolog, yang berjalan sesuai dengan pengalaman. Hal ini merupakan bagian
yang sangat penting karena komplikasi sering terjadi selama dan segera setelah
ekstubasi dibandingkan dengan intubasi. Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan
ketika pasien sedang teranestesi dalam atau bangun. Pasien juga harus pulih
sepenuhnya dari pengaruh obat pelemas otot pada saat sebelum ekstubasi. Jika
pelemas otot digunakan, pernapasan pasien akan menggunakan ventilasi mekanik
terkontrol, maka dari itu pasien harus dilepaskan dari ventilator sebelum ekstubasi.
Ekstubasi selama anestesi ringan (masa antara anestesi dalam dan bangun) harus
dihindari karena meningkatnya risiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi
dalam dan ringan biasanya terlihat saat suction/ penyedotan sekret faring : adanya
reaksi pada penyedotan (tahan napas, batuk) menandakan anestesia ringan, dimana
jika tidak ada reaksi menandakan anestesia dalam. Pasien membuka mata atau
bergerak yang bertujuan menandakan pasien sudah bangun.5 Mengekstubasi pasien
yang sudah bangun biasanya berhubungan dengan batuk pada TT. Reaksi ini
meningkatkan denyut nadi, tekanan vena sentral, tekanan darah arteri, tekanan
intrakranial, dan tekanan intraokular. Hal ini juga dapat menyebabkan dehisensi
luka dan perdarahan. Adanya TT pada pasien asma yang sudah sadar dapat memicu
bronkospasme. Meskipun konsekuensi ini dapat diturunkan dengan premedikasi 1,5
mg/kg lidokain intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi, ekstubasi saat
anestesia dalam lebih dianjurkan pada pasien yang tidak dapat mentolerir hal ini.
Ekstubasi menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki risiko aspirasi atau
yang jalan napasnya sulit untuk dikontrol setelah pencabutan TT. Selain kapan TT
dicabut, yakni ketika pasien teranestesi dalam atau sudah sadar, faring pasien juga
sebaiknya disuction terlebih dahulu sebelum ekstubasi untuk mengurangi risiko
aspirasi atau laringospasme. Pasien juga harus diventilasi dengan 100% oksigen
sebagai cadangan apabila sewaktu-waktu terjadi kesulitan untuk mengontrol jalan
napas setelah TT dicabut. Sesaat sebelum ekstubasi, TT dilepas dari plester dan
balon dikempiskan. Pemberian sedikit tekanan positif pada jalan napas pada
kantong anestesia yang dihubungkan dengan TT dapat membantu meniup sekret

34
yang terkumpul pada ujung balon supaya ke luar ke arah atas, menuju faring, yang
kemudian dapat disuction. Pencabutan TT pada saat akhir ekspirasi atau akhir
inspirasi mungkin tidak terlalu penting. TT dicabut dengan satu gerakan yang halus,
dan sungkup wajah biasanya digunakan untuk menghantarkan oksigen 100%
sampai pasien menjadi cukup stabil untuk diantar ke ruang pemulihan. Pada
beberapa institusi, oksigen dengan sungkup wajah dipertahankan selama
pengantaran pasien.5

Komplikasi Laringoskopi dan Intubasi


Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia, trauma gigi
dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau malfungsi ETT.
Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi selama laringoskopi atau intubasi, saat
ETT dimasukkan, dan setelah ekstubasi.5

Trauma Jalan Napas


Instrumentasi blade laringoskop berbahan metal dan insersi TT yang kaku sering
menyebabkan trauma pada selaput saluran napas. Meskipun trauma gigi ialah
malpraktik terbanyak yang diklaim terhadap anestesiologis, laringoskopi dan
intubasi dapat menyebabkan berbagai komplikasi, mulai dari sakit tenggorokan
sampai stenosis trakea. Hal ini paling banyak disebabkan karena terlalu lamanya
tekanan eksternal pada struktur saluran napas yang sensitif. Ketika tekanan TT
melebihi tekanan arteriolar-kapiler (kurang lebih 30 mmHg), iskemia jaringan
dapat mengakibatkan inflamasi, ulserasi, granulasi, dan stenosis. Pengembangan
balon TT pada tekanan minimum yang membentuk segel selama ventilasi tekanan
positif (biasanya minimal 20 mmHg), mengurangi aliran darah trakea sampai 75%
pada trakea bagian balon.5 Croup post intubasi, disebabkan oleh edema glotis,
laring, trakea, merupakan komplikasi yang serius pada anak-anak. Efektivitas
kortikosteroid (deksametason 0,2 mg/kg, maksimum 12 mg) dalam mencegah
edema jalan napas post ekstubasi masih menjadi kontroversi ; namun daripada itu,
kortiokosteroid telah diuji coba memang efektif pada anak dengan cropu akibat
penyebab lain. Paralisis pita suara akibat kompresi balon atau trauma lain pada saraf

35
rekuren laringeal, dapat menyebabkan serak dan meningkatnya risiko aspirasi.
Beberapa komplikasi ini dapat dicegah dengan menggunakan bentuk TT jenis
tertentu untuk menyesuaikan anatomi jalan napas (contohnya, Lindholm Anatomial
Tracheal Tube). Insidensi serak post operasi meningkat dengan adanya obesitas,
intubasi sulit, dan durasi lama obat anestesi. Menaruh lubrikan yang larut air atau
anestesi mengandung gel pada ujung atau balon TT tidak menurunkan insidens sakit
tenggorokan atau serak post operasi. TT yang lebih kecil (ukuran 6,5 pada wanita
dan ukuran 7,0 pada laki-laki) berhubungan dengan keluhan sakit teinggorokan post
operasi yang lebih sedikit. Penempatan laringoskopi yang berulang selamaa
intubasi yang sulit dapat memicu terjadinya edema periglotik dan kesulitan untuk
ventilasi dengan face mask, yang dapat menimbulkan situasi buruk yang
menyebabkan kematian.5

Kesalahan Posisi TT
Intubasi pada esofagus dapat menyebabkan hasil katastropik. Pencegahan
komplikasi ini tergantung pada visualisasi langsung pada ujung TT yang melewati
pita suara, auskultasi yang cermat akan adanya suara napas bilateral dan tidak
adanya gurgling lambung saat ventilasi dengan TT, analisis gas ekspirasi untuk
menilai adanya CO2 (metode paling reliabel), rontgen dada, atau penggunaan
FOB.5 Meskipun telah dipastikan bahwa TT terdapat pada trakea, belum tentu
dalam posisi yang tepat. Insersi berlebihan biasanya mengakibatkan intubasi yang
masuk ke bronkus kanan, karena sudut yang lebih lurus pada trakea kanan. Tanda
yang menunjukkan bahwa intubasi mencapai bronkus, antara lain suara napas
unilateral, hipoksia tidak terduga dengan pulse oksimetri (tidak reliabel dengan
konsentrasi oksigen terinspirasi yang tinggi), tidak dapat mempalpasi balon TT
pada sternal notch selama inflasi balon, dan menurunnya komplian balon-napas
(tekanan inspiratori tinggi).5 Sebaliknya, kedalaman yang tidak adekuat akan
membuat posisi balon pada laring, yang menyebabkan trauma laring pada pasien.
Kedalaman inadekuat dapat dideteksi dengan mempalpasi balon diatas kartilago
tiroid. Karena tidak ada teknik yang dapat mencegah semua kemungkinan seperti
kesalahan tempat masuknya TT, tes seperti auskultasi dada, kapnografi rutin, dan

36
palpasi balon, minimal harus dilakukan. Jika pasien direposisi, penempatan TT
harus dikonfirmasi ulang. Ekstensi leher atau rotasi lateral memindahkan TT jauh
dari karina, dimana fleksi leher dapat mengubah posisi TT menuju karina.5

Respon Fisiologis pada Instrumentasi Jalan Napas


Laringoskopi dan intubasi trakea mengganggu refleks protektif jalan napas dan
mencetuskan hipertensi dan takikardia. Insersi LMA menimbulkan lebih sedikit
perubahan hemodinamik. Perubahan hemodinamik ini dapat dikurangi dengan
administrasi obat intravena – lidokain (1,5 mg/kg) 1-2 menit, remifentanil (1,0
mikrogram/kg) 1 menit, alfentanil (10-20 mikrogram/kg) 2-3 menit, atau fentanil
(0,5-1,0 mikrogram/kg) 4-5 menit sebelum laringoskopi. Agen hipotensi, termasuk
sodium nitroprusid, nitrogliserin, hidralazin, beta bloker, dan kalsium channel
bloker, dapat mengurangi respon hipertensi yang berhubungan dengan laringoskopi
dan intubasi secara efektif. Disritmia jantung –terutama bigeminus ventrikular-
tidak sering terjadi selama intubasi dan biasanya mengindikasikan anestesia
ringan.5 Laringospasme ialah spasme involunter pada otot laring yang disebabkan
oleh stimulasi sensori pada saraf laringeal superior. Hal-hal yang mencetuskan
termasuk sekresi faringeal atau memasukkan TT melewati laring selama ekstubasi.
Laringospasme biasanya dicegah dengan ekstubasi pasien dalam keadaan tidur
dalam atau bangun sepenuhnya, meski dapat juga terjadi, meskipun jarang pada
pasien yang sadar. Pengobatan laringospasme yaitu melakukan ventilasi tekanan
positif dengan kantong dan masker anestesi menggunakan 100% oksigen atau
penambahan lidokain intravena (1-1,5 mg/kg). Jika laringospasme menetap dan
terjadi hipoksia, suksinilkolin (0,25-1 mg/kg {biasa menggunakan dosis yang lebih
rendah}) harus diberikan untuk merelaksasi otot laring dan dapat terjadi ventilasi
terkontrol. Tekanan intratorak negatif yang besar oleh usaha pasien selama
laringospasme dapat menyebabkan terjadinya edema pulmo tekanan negatif,
bahkan pada dewasa muda yang sehat.5 Dimana laringospasme menunjukkan
adanya refleks kesensitivan yang abnormal, aspirasi dapat terjadi akibat depresi
refleks laring saat intubasi dan anestesia umum. Bronkospasme merupakan respon
refleks lainnya dari intubasi dan paling sering terjadi pada pasien asma.

37
Bronkospasme dapat menunjukkan adanya intubasi bronkus. Efek patofisiologis
lainnya termasuk meningkatnya tekanan intrakranial dan intraokular.5

Malfungsi TT
TT tidak selalu dapat berfungsi sebagaimana mestinnya. Kerusakan katup atau
balon sering terjadi dan harus dieksklusi sebelum intubasi. Obstruksi TT dapat
terjadi dari kinking, aspirasi benda asing, atau dari sekresi kental pada lumen.5

3.2 Kista Endometriosis


3.2.1 Definisi
Endometriosis yaitu suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih
berfungsi berada di luar kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas kelenjar dan stroma,
terdapat di dalam endometrium ataupun di luar uterus. Bila jaringan endometrium
terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis, bila brada di luar uterus disebut
endometriosis. Pembagian ini sudah tidak dianut lagi, karena secara patologik,
klinik, ataupun etiologic adenomiosis berbeda dengan endometriosis. Adenomiosis
secara klinis lebih banyak persamaan dengan mioma uteri. Adenomiosis sering
ditemukan pada multipara dalam masa premenopause, sedangkan endometriosis
terdapat pada wanita yang lebih muda dan yang infertile.6 Terdapat kurang lebih
15% wanita reproduksi dan pada 30% dari wanita yang mengalami infertilitas.
Kebanyakan endometriosis tumbuh di bagian-bagian tertentu pelvis wanita. Lokasi
anatomis yang paling umum terkena endometriosis tersebut adalah organ-organ
pelvik (ovarium, tubafalopi) pada 60% penderita ovariumnya terlibat, biasanya
bilateral. Sisi yang kurang umum adalah kandung kemih, ginjal, serosa kolon
sigmoid, rektum, serviks, vagina, vulva , umbilikus, dan kantong hernia inguinal
dan organ-organ yang jarang adalah pleura, paru, payudara, parut abdominal, dan
daerah perianal.7 Penampakan kasarnya bisa dalam bentuk luka berupa sebuah
peninggian atau kista yang berisi darah baru, merah atau biru-hitam. Karena
termakan waktu, luka tersebut berubah menjadi lebih rata dan berwarna coklat tua.
Ukuran luka dapat berkisar dari luka kecil dari 10 cm.8

38
3.2.2 Etiologi
Beberapa ahli mencoba menerangkan kejadian endometriosis yaitu berupa
beberapa teori,antara lain:6
a. Teori Implantasi dan Regurgitasi.
Teori ini menerangkan adanya darah haid yang dapat menjalar dari kavum
uteri melalui tuba Falopii, tetapi teori ini tidak dapat menerangkan kasus
endometriosis di luar pelvis.
b. Teori Metaplasia.
Teori ini menerangkan terjadinya metaplasia pada sel-sel coelom yang
berubah menjadi endometrium. Perubahan ini dikatakan sebagai akibat dari
iritasi dan infeksi atau hormonal pada epitel coelom. Secara endokrinologis
hal ini benar karena epitel germinativum dari ovarium, endometrium dan
peritoneum berasal dari epitel coelom yang sama.
c. Teori Induksi.
Kelanjutan teori metaplasia, di mana faktor biokimia endogen menginduksi
perkembangan sel peritoneal yang tidak berdiferensiasi menjadi jaringan
endometrium.

3.3 Faktor-faktor resiko


Factor-faktor resiko untuk endometriosis :7
a. Riwaayat Keluarga Endometriosis
b. Menars dini
c. Obstruksi mekanis haid pada remaja
d. Haid tanpa jeda dan siklus yang tiak teratur.
e. Infertilitas
f. Usia 25-40 tahun

3.4 Jenis- jenis Endometriosis


Berdasarkan lokasi tempat endometriosis dibagi menjadi :8

39
a. Endometriosis Interna (adenomiosi uteri)
Fokus Endometriosis berada multilokuler di dalam otot uterus. Akan terjadi
penebalan atau pembesaran uterus. Gejala yang timbul hampir tidak ada. Ada
dua gejala yang khas buat adenomiosis uterus, yaitu:
- Nyeri saat haid.
- Perdarahan haid yang banyak atau haid yang memanjang.
b. Edometriosis Ovarium
Akibat adanya endometriosis pada ovarium akan terbentuk kista coklat. Kista
coklat ini sering mengadakan perlekatan dengan organ-organ di sekitarnya dan
membentuk suatu konglomerasi.
c. Endometriosis Retroservikalis.
Pada rectal toucher sering teraba benjolan yang nyeri pada cavum Douglas.
Benjolan-benjolan ini akan melekat dengan uterus dan rectum, akibatnya
adalah:
- Nyeri pada saat haid.
- Nyeri pada saat senggama.
Diagnosa banding yang perlu diperhatikan adalah:
- Karsinoma ovarium.
- Metastasis di kavum Douglas.
- Mioma multiple.
- Karsinoma rectum.
d. Endometriosis Ekstragenital.
Setiap nyeri yang timbul pada organ tubuh tertentu pada organ tubuh tertentu
bersamaan dengan datangnya haid harus dipikirkan adanya endometriosis.

3.5 Patologi
Endometrium ektopik dapat memperlihatkan adanya perubahan dengan seiring
dengan adanya siklus haid, umunya jaringan ini bereaksi dengan estrogen tapi tidak
dengan progesteron. lokasi yang dikelilingi stroma, mengadakan implantasi dan
membentuk kista kecil, yang berespon terhadap sekresi estrogen dan progesterone
secara siklik, sama seperti yang terjadi di dalam endometrium uteri. Selama

40
menstruasi, terjadi perdarahan di dalam kista. Darah, jaringan endometrium dan
cairan jaringan terperangkap di dalam kista tersebut. Pada siklus berikutnya, cairan
jaringan dan plasma darah diabsorpsi, sehingga meninggalkan darah kental
berwarna coklat. Ukuran maksimal kista tergantung lokasinya. Kista kecil mungkin
tetap kecil atau diserang makrofag dan menjadi luka fibrotic kecil. Kista cenderung
lebih besar dari pada kista lainnya, tetapi biasanya tidak lebih besar dari pada jeruk
berukuran sedang. Ketika kista tumbuh, tekanan internal mungkin merusak dinding
endometrium yang aktif, sehingga kista tida berfungsi lagi. Tidak jarang terjadi
rupture dari kista yang kecil. Darah kental yang keluar sangat iritatif dan
mengakibatkan perlengketan multiple disekeliling kista.8

3.6 Gejala- Gejala


Penderita endometriosis bisa datang dengan keluhan nyeri panggul, terutama bila
datang haid, infertilitas, disparenia, perdarahan uterus abnormal, rasa nyeri atau
berdarah ketika kencing atau pada rectum dalam masa haid. Gejala-gejala
endometriosisi datangnya berkala dan bervariasi sesuai datangnya haid tetapi bisa
menetap. Banyak penderita endometriosis yang tidak bergejala, dan terdapat sedikit
korelasi antara hebatnya gejala dengan beratnya penyakit.
Adapun gambaran klinis endometriosis menurut Sarwono yaitu :6
a. Nyeri perut bawah yang progresif pada dan selama haid (dismenore)
Disebabkan oleh reaksi peradangan akibat reaksi peradangan akibat sekresi
sitokin dalam rongga peritonium, akibat perdarahan lokal pada sarang
endometriosis dan oleh adanya infiltrasi endometriosis ke dalam syaraf pada
rongga panggul.
b. Dispareunia
Merupakan keadaan yang sering dijumpai disebabkan oleh karena adanya
endometriosis di kavum douglasi dan ligamentum sakrouterina dan terjadi
perlengketan sehingga uterus dalam posisi retrofleksi.
c. Nyeri pada saat defekasi
Defekasi yang sukar dan sakit terutama pada waktu haid disebabkan oleh
karena adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid.

41
d. Gangguan Haid (Polimenorea dan hipermenorea)
Gangguan haid dan siklusnya terjadi apabila kelainan pada ovarium demikian
luasnya sehingga fungsi ovarium terganggu.Menstruasi tidak teratur terdapat
pada 60% wanita penderita. Pasien mungkin mengeluhkan bercak merah
premenstruasi, perdarahan menstruasi dalam jumlah banyak (menoragia), atau
frekuensi menstruasi yang lebih sering dan banyak mengeluarkan darah.
e. Infertilitas
Penderita endometriosis yang infertil seringkali tidak menampilkan gejala
nyeri, sehingga penyakitnya baru terliput ketika dilakukan pemeriksaan
diagnostik untuk infertilisasi. Kecurigaan ke arah endometriosis akan semakin
besar apabila disertai keluhan disminore dan dispareunia.

3.7 Tanda
Tanda-tanda dari endometriosis yaitu siklus haid yang terganggu di sertai nyeri
haid. Nyeri yang terjadi timbul di luar siklus haid seperti dispareunia, nyeri BAK
dan BAB. Selain itu terdapat Luka yang terlihat pada pemeriksaan speculum adalah
sangat menunjukan endometriosis, dan jika ada harus dilakukan pemeriksaan
biopsy.9

3.8 Diagnosis
Keragaman tampilan klinis dan keluhan pada endometriosis bergantung pada lokasi
dan luasnya lesi. Lesi tersebar menyebabkan tampilannya banyak gejala yang
tumpang tindih atau mirip penyakit lain. Sebagian wanita mengidap endometriosis
bahkan sama sekali tak bergejal, akibatnya sringkali ada keterlambatan antara
awitan gejala dan diagnosis pasti. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam
mendiagnosis endometriosis adalah :8
1. Tampilan klinis dan keluhan endometriosis sangat beragam (tak bergejala,
ringan, berat )
2. Endometriosis tidak dapat didiagnosis hanya dengan riwayat penyakit saja

42
Pemeriksaan pelvis yang amat jelas sekalipun tidak dapat dianggap
patognomonik. Semua keluhan penderita endometriosis penting dicatat dengan
cermat, karena endometriosis dapat berdampak terhadap kesejahtraan fisis
umum, mental, dan sosial. Adapun langkah-langkah untuk mendiagnosa
endometriosis adalah:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Kajian pencitraan ( USG, Resonansai Magnetik)
3. Laparoskopi
4. Pemeriksaan Histopatologik
5. Pengukuran kadar CA-125 (jika ada kista ovarium )
6. Klasifikasi penyakit.
7. Pengukuran kadar komponen biokimiawi.

a. Laparoskopi
Bila ada kecurigaan endometriosis panggul , maka untuk menegakan diagnosis
yang akurat diperlukan pemeriksaan secara langsung ke rongga abdomen per
laparoskopi. Pada lapang pandang laparoskopi tampak pulau-pulau
endometriosis yang berwarna kebiruan yang biasanya berkapsul. Pemeriksaan
laparoskopi sangat diperlukan untuk mendiagnosis pasti endometriosis, guna
menyingkirkan diagnosis banding antara radang panggul dan keganasan di
daerah pelviks. Moeloek mendiagnosis pasien dengan adneksitis pada
pemeriksaam dalam, ternyata dengan laparoskopi kekeliruan diagnosisnya
54%, sedangkan terhadap pasien yang dicurigai endometriosis, kesesuaian
dengan pemeriksaan laparoskopi adalah 70,8%.
b. Pemeriksaan Ultrasonografi
Secara pemeriksaan, USG tidak dapat membantu menentukan adanya
endometriosis, kecuali ditemukan massa kistik di daerah parametrium, maka
pada pemeriksaan USG didapatkan gambaran sonolusen dengan echo dasar
kuat tanpa gambaran yang spesifik untuk endometriosis.

43
3.9 Penanganan
Sampai saat ini penatalaksanaan endometriosis lebih banyak berdasarkan pada
keluhan dan gejala pada penderitanya saja tanpa menyentuh sisi patogenesisnya,
hal ini karena masih banyak yang belum terungkap pada endometriosis.
Penatalaksanaan endometriosis terdiri dari 2 bagian yaitu, Medikamentosa dan
terapi bedah.9
a. Mediakamentosa
Tujuan utama terapi medikamentosa pada endometriosis adalah
menghentikan pertumbuhan dan aktivitas lesi endometriosis. Obat
konvesional yang dipakai pada terapi ini adalah pil kontrasepsi kombinasi,
progesteron, derivat androgen dan GnRH agonist.
Pil kontrasepsi kombinasi untuk terapi endometriosis dapat diberikan dalam
bentuk siklik atau kontinyu. Pil kontrasepsi kombinasi akan bekerka
mengubah keseimbangan hormon pada siklus haid hingga terjadi anovulasi
kronis yang selanjutnya menyebabkan terjadinya desidualisasidan atrofi
jaringan endometrium. Keunggulan Pil kontrasepsi kombinasi dibandingkan
terapi lain adalah dapat digunakan jangka panjang dengan aman.
Progesteron mekanisme kerjanya sama dengan Pil kontrasepsi kombinasi
yaitu membuat desidualisasidan atrofi jaringan endometrium. selain itu
progesteron mampu menekan aktivitas matriks metalloproteinase, suatu
enzim yang berperan penting pada pertumbuhan dan implantasi endometrium
ektopik
Danazol merupakan derivat sering digunakan untuk terpai endometriosis.
Bekerja dengan menghambat lonjakan hormon LH dan menghambat
steroidogensis. Selain itu juga danazol memberikan hasil yang sama dengan
MPA unutk mengatasi nyeri pasca operasi.
GnRH agonist merupakan terapi pilihan untuk Endometriosis karena akan
menduduki reseptor di hipofise selanjutnya akan menyebabkan down
regulation sehingga terjadi suasana hipoestrogen yang akan menekan
penyakit endometriosis. Selain itu obat ini memberikan hasil lebih unggul di

44
bandingkan pil kontrasepsi dan lebih baik dari danazol untuk mengurangi
volume implan endometriosis.9
b. Terapi Bedah
Pembedahan bertujuan menghilangkan gejala, meningkatkan kesuburan,
menghilangkan bintik-bintik, dan kista Endometriosis, serta menahan laju
kekambuhan. Penanganan pembedahan konservatif Bertujuan untuk
mengangkat semua serang endometriosis dan melepaskan perlengketan dan
memperbaiki kembali struktur anatomi reproduksi. Sarang dibersihkan dengan
eksisi, ablasi kauter, dinding kista. Penanganan pembedahan dapat dilakukan
dengan laparotomi ataupun laparoskopi. Penanganan pembedahan radikal
Dilakukan dengan histerektomi total dan bilateral salpingo-ooforektomi.
Ditujukan pada perempuan yang mengalami penanganan medis ataupun bedah
konservatif gagal dan tidak membutuhkan fungsi reproduksi. Cara ini di
tujukan untuk penderita dengan nyeri yang tak tertahankan dan tak
menginginkan lagi kehamilan.6

45
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien Ny.MJ perempuan berusia 29 tahun datang dengan keluhan nyeri


perut di bagian bawah yang memberat sejak 1 bulan yang lalu, nyeri dirasakan
hilang timbul dan menjalar sampai sekeliling pinggang. Nyeri terasa seperti
ditusuk-tusuk. Pasien juga mengeluhkan teraba adanya benjolan pada bagian perut
bawah yang semakin membesar dalam sebulan terakhir ini. Menstruasi pasien
teratur, namun terasa nyeri hebat saat menstruasi dan sudah satu bulan terakhir ini
pasien belum haid. Keluhan mual (-), muntah (-), demam(-), nafsu makan menurun
(-), BB menurun (-) dan BAK serta BAB tidak ada keluhan.
Berdasarkan teori, gejala klinis diagnosis yang terdapat pada pasien antara
lain rasa tidak nyaman pada perut bagian bawah, nyeri hebat saat menstruasi dan
gangguan siklus menstruasi.1 Pada pemeriksaan fisik teraba massa keras, immobile,
dan permukaan rata.
Pada pasien ini dilakukan tindakan laparoskopi operatif sebagai tindakan
diagnostik sekaligus terapeutik. Dimana selain keluhan nyeri perut, pasien juga
mengalami gangguan siklus haid sehingga laparoskopi operatif juga ditujukan
untuk sarana diagnostik terutama untuk memeriksa patensi tuba.
Berdasarkan teori, laparoskopi dapat memberikan gambaran panoramik
terhadap anatomi reproduktif panggul, pembesaran dan permukaan uterus, ovarium,
tuba, dan peritoneum. Oleh karenanya, laparoskopi dapat mengidentifikasi penyakit
oklusif tuba yang lebih ringan (aglutinasi fimbria, fimosis), adhesi pelvis atau
adneksa, serta endometriosis yang dapat mempengaruhi fertilitas yang tidak
terdeteksi oleh HSG. Hal yang terpenting adalah laparoskopi memberikan peluang
untuk mengobati penyakit tersebut pada saat ditegakkannya diagnosis.10
Pada saat kunjungan pra anestesi (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang), tidak didapatkan keluhan atau riwayat sakit lain selain
sakit yang diderita saat ini. Keadaan umum pasien baik, tidak ada keterbatasan
aktivitas fisik. Dari pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak didapatkan
konjungtiva anemis dan Hb pasien 12.3 gr/dL sehingga status fisik pada pasien ini

46
adalah ASA I. Hal ini sesuai teori bahwa ASA I adalah dimana pasien sehat organik,
fisiologik, psikiatrik, biokimia.4
Sebagai obat premedikasi pada pasien ini yaitu: Dexametason 5 mg;
Ondansetron 4 mg; Ranitidin 50 mg, Ketorolac 30 mg, Asam Traneksamat 500 mg
dan Fentanyl 100 mg. Pada pasien ini diberikan obat premedikasi sekitar 15 menit
sebelum dilakukan operasi. Berdasarkan teori, tindakan premedikasi yaitu
pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi bertujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya untuk meredakan kecemasan dan
ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan
bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca
bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks
yang membahayakan.4
Tindakan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general
anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan rumatan
inhalasi. Induksi pada pasien ini dengan injeksi Propofol 140 mg dan Rocuronium
30 mg, serta pemasangan ETT no 7.5 dengan dosis pemeliharaan menggunakan
anestesi inhalasi: sevoflurans + N2O: O2.
Berdasarkan teori, induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anestesi. Obat-obatan yang sering digunakan untuk induksi antar lain tiopental,
propofol dan ketamin. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat, yang
didistribusikan dan dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan dengan dosis
bolus untuk induksi 2-2,5mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12
mg/Kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/Kg. Efek samping
propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernapasan, apneu, bronkospasme,
dan laringospasme. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual, muntah. Pada daerah
penyuntikan dapat terjadi nyeri. 4
Pada pasien ini diberikan muscle relaxan Rocuronium 30 mg IV, yang
Merupakan obat pelumpuh otot golongan non-depolarisasi turunan aminosteroid,
dengan efek utamanya pada post-junctional dan selektifitas yang tinggi pada

47
reseptor sambungan saraf-otot. Paralisis otot dihasilkan oleh karena terjadinya
antagonis kompetitif pada reseptor kolinergik nikotinik otot rangka, potensinya
kurang lebih 15-20% dari vecuronium. Rocuronium tidak menghasilkan blok pada
ganglia otonom, mempunyai onset kerja cepat, masa kerja sedang, pemulihan cepat
dan kumulasi minimal, juga mempunyai tendensi yang rendah untuk melepaskan
histamin.4
Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevoflurans. Oksigen
diberikan untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O
harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi
analgetiknya kuat. Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih
anestesi lebih cepat dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup
stabil, jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane
cepat dikeluarkan oleh tubuh.4
Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 1144 cc selama operasi, terdiri
dari jumlah cairan pengganti puasa 768 cc, maintenance 94 cc, stress operasi 282
cc. pada jam I dibutuhkan 794 cc, jam II 602 cc, Cairan yang telah masuk RL
sebesar 1000 cc. Kebutuhan cairan pada pasien ini belum terpenuhi, karena selama
operasi hanya diberikan 1000 cc atau 2 kolf. Seharusnya diberikan 1144 cc atau 2
½ kolf.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Pada saat di
RR, dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah,
saturasi oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Bila pasien gelisah harus
diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (TD turun, nadi cepat,
misalnya karena hipovolemik). Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar
penuh. Pasien hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelum sadar, tenang, reflek
jalan nafas sudah aktif, tekanan darah, nadi dalam batas normal. Pasien dapat keluar
dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete lebih dari 8. Sedangkan pada pasien
ini, didapatkan skornya 10 sehingga dapat keluar dari ruang RR. Pasien pindah dan
dibawa ke kelas III kebidanan jam 10.30 WIB.

48
BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anastesi memegang peranan penting pada setiap operasi


yang melibatkan anastesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui
kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anastesi umum pada
operasi laparaskopi pada pasien wanita 29 tahun, status fisik ASA 1 dengan
diagnosis kista endometriosis.
Pasien bernama Ny. MJ usia 29 tahun dengan diagnosa kista endometriosis.
Pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang saat pra anestesi didapatkan
pasien termasuk ASA I dengan menggunaan teknik general anastesi dengan ET no.
7,5, respirasi terkontrol.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anastesi seharusnya permasalahan yang
ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi
anastesi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama operasi
berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anastesi maupun dari
tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang
memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan
penanganan anastesi berlangsung dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Crowder, M. S. et al. 2014. Mechanism of Anesthesia and Consciousness.


Dalam Clinical Anesthesia 7th Edition, Paul G Barash et al (editor). USA :
Lipincott Williams and Wilkins.
2. Garden, O. James et al. 2012. Principles and Practice of Surgery: With Student
Consult. USA: Elsevier Health Sciences. Hlm. 75.
3. Jenkins, K dan Baker AB. 2003. Consent and Aneaesthetic Risk. Original
Article. Anaesthesia (10). Hlm. 962-984.
4. Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R. Eds. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. 2nd ed. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta;
2009.
5. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange
Medical Book. 2006.
6. Oepomo TD.2009. Concentration of TNFα in the peritoneal fluid and serum
of endometrioticpatients.http://www.unsjournals.com/DD0703D070302.pdf
7. NHS Evidence. 2009.
Annual Evidence Update on Endometriosis – Epidemiology andaetiology.
http://www.library.nhs.uk/womenshealth/ViewResource.aspx?resID=258981
&tabID=290&catID=11472
8. Prawirohardjo PB pustaka sarwono. Ilmu kandungan. Jakarta; 2011. p. 239.
9. Seto S. Penanganan Endometriosis Panduan Klinis dan algoritma. Jakarta;
2009.
10. Djuwantono T, Madjid TH, Syam HH. Faktor Wanita: Tuba Falopii &
Peritoneum. Materi pada Competency Course of Sono Hsg and Transvaginal
Ultrasonography on Infertility, 22-23 Juli 2012. Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung.

50

Anda mungkin juga menyukai