Anda di halaman 1dari 14

Makalah Mikrobiologi Analitik

TEKNIK PCR
(POLIMERASE CHAIN REACTION)

Oleh:
Julia Riska
1205135876

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIDKAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya
penulis bisa menyelesaikan laporan praktikum tentang “Teknik Pcr (Polimerase Chain
Reaction) ”. makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah pilihan
mikrobiologi Analitik..

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi sempurnanya laporan ini.

Semoga makala ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat


untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Pekanbaru, 27 Juni 2015

Julia Riska
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR.......................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................2
1.3 Tujuan.....................................................................................................2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Limbah Minyak bumi…………….........................................................3
2.2 Mengetahui 16s rRNA…………………………...................................4
2.3 Teknik PCR (Polymerase Chain Reaction)…………………………....5

BAB III. PENUTUP


A. Kesimpulan.............................................................................................10
B. Saran.......................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah satu dari sekian banyak negara pemasok minyak bumi (crude
oil) dunia yang diapit oleh dua benua dan dua samudera. Pembangunan pengeboran
minyak lepas pantai juga menambah resiko tercemarnya perairan Indonesia oleh
tumpahan minyak, apalagi banyaknya kecelakaan laut yang menyebabkan tumpahnya
minyak ke laut meningkat dari tahun ke tahun (Sudrajat, 2006).
Proses-proses yang berhubungan dengan ekstraksi, transportasi, dan konsumsi
bahan bakar dari kelompok hidrokarbon berisiko mengakibatkan polusi di semua
jenis ekosistem. Walaupun banyak teknik penanggulan-gan –mekanis, kimiawi, dan
biologis– sudah dikembangkan untuk mengurangi, bahkan kalau bisa menghilangkan
dampak tumpahan minyak ke lingkungan, biodegradasi oleh mikroorganisme
merupakan proses alamiah yang paling efektif untuk mengatasi polusi minyak bumi.
Untuk itu, banyak penelitian intensif telah dilakukan mengenai mikroorganisme
pengurai hidrokarbon (mikroorganisme hidrokarbonoklastik) (Yosmina H.
Tapilatu,.2012)
Aktivitas industri, baik yang berada dekat kepantai maupun di areal lepas pantai
belakangan inisemakin meningkat di perairan laut Riau. Perairan laut Dumai dan
sekitar Muara Sungai. Dumai merupakan areal aktivitas industri dan alur pelayaran
yang cukup padat. Antara lain adalah tempat pengumpulan dan pengapalan minyak
PT.Caltex Pacific Indonesia, Pertamina UP II Dumai, PT. Patra Dock, Kilang Minyak
Kelapa Sawit Bukit Kapur Reksa dan PT. Sarana Sawitindo Utama. Aktifitasindustri
tersebut diduga dapat menghasilkan limbah yang dapat menimbulkan dampak
pencemaranlingkungan laut Dumai. Pencemaran minyak bumi padasedimen pantai
dan muara dapat dilihat dari warnanyayang kehitaman dan adanya tar ball.
Banyak penelitian intensif telah dilakukan mengenai mikroorganisme pengurai
hidrokarbon (mikroorganisme hidrokarbonoklastik). Beberapa contoh dalam sepuluh
tahun terakhir di antaranya adalah oleh Engelhardt et al., Abed et al, Al-Mueini et al,
Golyshin et al, dan Aoshima et al. Sampai tahun 2005, tercatat sudah teridentifikasi
79 marga bakteri, 9 marga cyanobakteri, 103 marga Fungi,dan 14 marga mikro-
eukaryota fototrof yang beberapa atau seluruh anggotanya mampu menguraikan
hidrokarbon.8 Beberapa ka-jian juga dapat dijumpai mengenai jalan metabolik
degradasi hidrokarbon oleh mikroorganisme yang diamati dari tingkatan fisiologis,
biokimia, dan genetika, serta parameter-parameter lingkungan, baik fisika maupun
kimia yang memengaruhi biodegradasi hidrokarbon di lingkungan. Di samping itu,
beberapa penelitian in situtelah menunjukkan pentingnya peran mikroorganisme
hidrokarbonoklastik tersebut dalam eliminasi hidrokarbon dari lingkungan.
Bakteri hidrokarbonoklastik tidak dapat diidentifikasi secara morfologi, fisika,
kimia, biokimia saja, tetapi dengan menggunakan analisis rangkaian PCR–
penggandaan 16S rDNA untuk mengetahui hubungan kekerabatannya antar jenis atau
genus bakteri tersebut. Keunggulan PCR dalam hal kecepatan, spesifisitas dan
sensitifitasnya dalam mendeteksi suatu mikroorganisme, menjadikan teknik ini
sebagai ‘method of choice’ (Koesharyani et al., 2003).

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaiman penggunaan PCR
(Polymerase Chain Reaction) dan sukuensing dari 16S rDNA untuk mengidentifikasi
bakteri yang mendegradasi dan bioremediasi limbah minyak bumi.

1.3 Tujuan

Adapun yujuan makalah ini adalah mengetahui bagaiman penggunaan PCR


(Polymerase Chain Reaction) dan sukuensing dari 16S rDNA untuk mengidentifikasi
bakteri yang mendegradasi dan bioremediasi limbah minyak bumi.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Minyak Bumi


Eksploitasi sumur-sumur minyak bumi oleh manusia menjadi semakin intensif
sejak awal abad ke-20. Walaupun harganya terus meningkat, minyak bumi tetap
menjadi salah satu sumber energi utama bagi manusia karena manfaatnya yang
beraneka ragam dan mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya.
Berbagai teknik telah digunakan untuk mencegahdan menanggulangi
pencemaran minyak di perairan laut, baik secara fisika, kimia maupun biologi. Secara
biologi, beberapa jenis bakteri laut telah diketahui mempunyai kemampuan dalam
mendegradasi minyak. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa dekomposisi komponen
minyak bumi di lingkungan laut ditentukan oleh proses transformasi dan degradasi
melalui aktivitas mikrobial. Lebih dari ratusan spesies bakteri menggunakan
komponen kimia dari minyak bumi untuk menunjang pertumbuhan dan
metabolismenya (Pavlova, 2006).
Perbandingan sekuens 16S rDNA (gen 16S rRNA) merupakan alat yang berguna
untuk mengetahui filogenetik dan evolusi diantara bakteri dan prokariot lain, karena
gen ini mengandung sejumlah besar pola sekuens terkonservasi ( highly conserved
sequence patterns ) (Artama, 2000), dan merupakan penyandi protein ribosom.
Sekuens tersebut dapat pula dimanfaatkan untuk identifikasi dan klasifikasi, karena
perbedaan sekuens pada gen yang sama dari suatu jasad akan dapat mengetahui
aktivitas gen apabila gen tersebut adalah penyandi enzim-enzim yang esensial dalam
metabolisme secara umum atau spesifik (Yuwono, 2006).
Teknik PCR didasarkan pada amplifikasi DNA spesifik dimana terjadi
penggandaan jumlah molekul DNA pada setiap siklusnya secara eksponensial dalam
waktu yang relatif singkat. Secara umum proses ini dapat dikelompokkan dalam tiga
tahap yang berurutan yaitu denaturasi template, annealing (penempelan) pasangan
primer pada untai tunggal DNA target dan extension (pemanjangan atau
polimerisasi), sehingga diperoleh amplifikasi DNA antara 106– 109 kali (Abdullah et
al., 2003).

2.2 Mengethui 16s rRNA


16s rRNA merupakan salah satu penyusun subunit 30S, yang penting untuk
translasi, dan terdiri dari 1542 pasangan basa. 16s rRNA adalah suatu jenis RNA yang
dilibatkan dalam produksi protein. Di antara berbagai teknik yang digunakan, RNA
ribosomal paling banyak digunakan sebagai penanda molekuler. Pada prokaryota
terdapat tiga jenis RNA ribosomal, yaitu 5S, 16S, dan 23S rRNA. Di antara
ketiganya, 16S rRNA yang paling sering digunakan. Molekul 5S rRNA memiliki
urutan basa terlalu pendek, sehingga tidak ideal dari segi analisis statistika, sementara
molekul 23S rRNA memiliki struktur sekunder dan tersier yang cukup panjang
sehingga menyulitkan analisis. Sekuens gen 16S rRNA ini dapat digunakan untuk
identifikasi bakteri yang mengalami penyimpangan strain fenotip.
Analisis gen penyandi 16S rRNA telah menjadi prosedur baku untuk menentukan
hubungan filogenetik dan menganalisis suatu ekosistem. 16S rRNA dapat digunakan
sebagai penanda molekuler karena molekul ini bersifat ubikuitus dengan fungsi yang
identik pada seluruh organisme. Molekul ini juga dapat berubah sesuai jarak
evolusinya, sehingga dapat digunakan sebagai kronometer evolusi yang baik.
Molekul 16S rRNA memiliki beberapa daerah yang memiliki urutan basa yang relatif
konservatif dan beberapa daerah urutan basanya variatif.
Perbandingan urutan basa yang konservatif berguna untuk mengkonstruksi pohon
filogenetik universal karena mengalami perubahan relatif lambat dan mencerminkan
kronologi evolusi bumi. Sebaliknya, urutan basa yang bersifat variatif dapat
digunakan untuk melacak keragaman dan menempatkan galur-galur dalam satu
spesies. Jika urutan basa 16S rRNA menunjukkan derajat kesamaan yang rendah
antara dua taksa, deskripsi suatu takson baru dapat dilakukan tanpa hibridisasi DNA-
DNA. Biasanya jika derajat kesamaan urutan basa gen penyandi 16S rRNA kurang
dari 97% dapat dianggap sebagai spesies baru. Analisis gen penyandi 16S rRNA
praktis untuk definisi spesies, karena molekul ini bersifat ubikuitus, sehingga dapat
dirancang suatu primer yang universal untuk seluruh kelompok. Penentuan spesies
baru pun dapat dilakukan tanpa mengisolasi mikroorganisme yang bersangkutan.
Perbandingan langsung gen 16S rRNA dengan gen fungsional pada kelompok
mikroorganisme tidak selalu menunjukkan hasil yang konsisten, misalnya pada
kelompok bakteri denitrifikasi. Kemampuan untuk melakukan proses denitrifikasi
dimiliki oleh organisme dari 3 domain kehidupan, tetapi pada organisme yang
terdapat pada satu klaster 16SrRNA, kemampuan ini tersebar secara sporadic. Gen-
gen fungsional yang terkait jalur denitrifikasi (menyandikan nitrit reduktase dan
nitrooksida reduktase) menunjukkan keragaman urutan basa yang sangat tinggi,
sehingga sulit untuk dijadikan suatu kronometer evolusi.
16s rRNA juga memiliki perlindungan yang berasal dari protein-protein ribosom
diantaranya S17, S5, S8, S16 dan S15. Masing-masing protein melindungi daerah-
daerah pada 16s rNA,misalnya S16, yang memberikan perlindungan pada nukleotida
di daerah domain 5`. S5 berfungsi untuk memproteksi dasar dalam putaran cabang
pada persimpangan 3 domains utama.

2.3 Teknik Pcr (Polimerase Chain Reaction)

Polymerase Chain Reaction atau PCR adalah teknik atau metode penggandaan
(replikasi) DNA secara in-vitro. Teknik ini memungkinkan kita untuk melakukan
replikasi DNA di luar sel atau tubuh organisme hidup. Melalui teknik ini, DNA dapat
dihasilkan dalam jumlah melimpah dengan dalam waktu singkat sehingga bisa
membantu pekerjaan peneliti atau bidang lainnya terkait dengan penggunaan DNA
sebagai objek kajian. Misalnya untuk , penentuan strain atau spesies organisme
tertentu, deteksi penyakit, deteksi atau kajian gen, terapi gen, serta di bidang
forensik.Teknik ini pertama kali ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1983
sehingga beliau memperoleh hadiah Novel atas temuannya tersebut.

Reagen yang digunakan:


1. DNA target hasil ekstraksi. Berdasarkan pengalaman penulis, DNA tersebut
dapat diencerkan 5-10X, sesuai kebutuhan.
2. Sepasang primer yang komplementer dengan DNA target. Primer merupakan
fragmen DNA berukuran pendek dengan panjang 10-25 basa yang akan
dijadikan sebagai mengawali proses replikasi DNA sekaligus membatasi
daerah DNA yang akan diamplifikasi,
3. DNA polymerase. Enzim ini berperan dalam mengamplifikasi DNA sesuai
dengan urutannya.
4. dNTP, terdiri atas 4 macam sesuai dengan basa DNA, yaitu dATP,dGTP,
dTTP, dan dCTP. Berfungsi sebagai building block DNA yang baru dibentuk.
5. Buffer PC R (KCl, Tris-HCL, MgCl2). Buffer ini berfungsi untuk menjaga
kestabilan reaksi agar berjalan secara optimum.
6. ddH2O atau nuclease free water (merk dagang).Berfungsi sebagai pelarut.
Pada saat ini sudah tersedia berbagai macam kit-PCR yang sudah mengandung
reagen-reagen tersebut, kecuali primer dan DNA target tentunya, sehingga kita tidak
perlu mencampurkanya satu persatu.

PrinsipKerja
Secara prinsip, PCR merupakan reaksi berulang atau berantai yang melibatkan
20-40 siklus, tergantung kebutuhan, yang terdiri atas 3 tahap sebagai berikut:

1. Tahap denaturasi (melting), pada suhu 94-96oC. Pada tahap ini, ikatan
hidrogen terputus dan DNA untai ganda masing-masing terpisah menjadi
untai tunggal. Pada proses replikasi DNA secara in-vivo, proses ini dibantu
oleh sejumlah enzim seperti enzim helikase dan girase. Karena sifatnya yang
unik, dimana DNA terdenaturasi pada suhu tinggi dan kemudian dapat
terenaturasi kembali pada suhu rendah, maka sifat ini dijadikan dasar untuk
tahap denaturasi proses PCR dengan menggunakan pemanasan. Pemisahan ini
memungkinkan penempelan primer yang komplemen dengan DNA target
pada sekuen yang sesuai. Durasinya berkisar 1-5 menit, tergantung kandungan
basa GC dari sekuen DNAnya. Semakin tinggi GC nya, maka waktunya lebih
lama. Sepertihalnya pernah disebutkan bahwa ikatan GC (3 ikatan hidrogen)
lebih kuat dibandingkan dengan AT.
2. Tahap penempelan (annealing), pada suhu 45-60oC. Setelah DNA
terdenaturasi, kemudian suhu diturunkan sehingga primer dapat menempel
pada bagian DNA yang komplementer dengan urutan basanya. Penempelan
tersebut sifatnya spesifik. Suhu annealing yang tidak cocok menyebabkan
kegagalan dalam replikasi DNA yang benar. Suhu Annealing (TA) bisa
dihitung berdasarkan suhu melting (TM). Jika suhunya terlalu tinggi dari yang
seharusnya, maka primer tidak dapat menempel pada DNA cetakan, sementara
jika suhunya terlalu rendah akan menyebabkan penempelan pada daerah atau
sekuen DNA yang tidak sesuai.
3. Tahap pemanjangan (elongasi), pada suhu 72oC (opsional). Pada tahapan ini,
enzim DNA polymerase melakukan sintesis DNA dengan menambahkan
pasangan basa yang tepat, satu demi satu secara cepat, pada sisi 3’ primer
yang telah menempel pada DNA cetakan. Suhu untuk tahap ini tergantung
pada jenis enzim polimerase yang digunakan. Khusus untuk Taq Polimerase,
72oC adalah suhu yang biasa digunakan

Meskipun produk PCR berupa jutaan copy fragmen DNA, produk ini tidak tetap
dapat dilihat dengan mata telanjang. Oleh karena itu, diperlukan teknik finishing
untuk dapat memvisualisasikan produk hasil PCR ini. Salah satu teknik yang banyak
digunakan untuk visualisasi DNA adalah dengan elektroforesin dengan menggunakan
gel atau poliakrilamid. Dengan visualisasi ini memungkinkan kita untuk menentukan
ukuran band pita DNA yang muncul sehingga menunjukkan apakah produk PCR
yang dihasilkan adalah benar dan sesuai dengan yang diinginkan.

Contoh cara kerja dari salah satu jurnal yang berjudul “Isolasi dan Karakterisasi
Bakteri Hidrokarbonoklastik dari Perairan Dumai dengan Sekuen 16S rDNA” yang
ditulis oleh Nursyirwani dan Kathy Copper Amolle.
Sumber dan Isolasi Bakteri
Bakteri hidrokarbonoklastik diisolasi dari perairan laut Dumai, Provinsi Riau.
Bakteri tersebut ditumbuhkan pada media cair yang terdiri dari: THAM atau Tris
Hydroximenthyl Amino Methans (12 gr/ L), NaCl (20 gr/ L), KCl (1,0 gr/ L),
CaCl2.6H2O (1,5 gr/ L),MgCl2.H2O (5 gr/L), MgSO4.7H2O (6 gr/ L) dan NH4Cl (4
gr/ L) yang dilarutkan dalam 1 liter aquades sebagai larutan pengencer (Media Zobell
cair). Inokulum selanjutnya diinkubasi selama 13 hari. Bakteri yang tumbuh pada
media cair selanjutnya dipindahkan pada media padat yang terdiri dari yeast extract
(5 gr/L), bactopepton (5 gr/L) dan nutrient agar (15 gr/L) yang dilarutkan dalam 1
liter aquades, elemen minor 2 ml, larutan vitamin 2 ml, dan minyak mentah jenis
Sumatran Light Crude Oil dari Unit Pengolahan II Dumai sebagai sumber karbon.
Selanjutnya inokulum diinkubasi pada suhu 300-350C selama 24 jam. Isolat yang
tumbuh digoreskan lagi pada media padat segar secara berulang-ulang hingga didapat
isolat bakteri murni.
Isolasi dan amplifikasi DNA
Isolasi DNA bakteri hidrokarbonoklastik dilakukan melalui proses freeze and
thaw . Dalam kondisi aseptis, tabung eppendorf 1,5 ml diisi dengan aquabidest 100
µl; kemudian kultur bakteri murni diambil sebanyak 1 ose dan diinokulasikan ke
dalam tabung eppendorf tersebut. Selanjutnya suspensi sel dibekukan pada suhu –10
0
C sampai larutan mengkristal lalu mencairkannya pada suhu 90 0 C selama 10 menit.
Pengulangan siklus untuk efisiensi pemecahan sel dilakukan sebanyak 5 kali.
Selanjutnya dilakukan PCR dengan sekuen 16S rDNA menggunakan mesin Thermal
Cycler. Untuk proses PCR 16S volume 10 µl, ke dalam tabung eppendorf 0,2 ml
dimasukkan bahan-bahan sebagai berikut: Aquabidest 2 µl, Primer 27F 1 µl, Primer
1492R 1 µl, DNA template 1 µl, Megamix Royal 5 µl sehingga volume total=10 µl.
Kemudian mesin Thermal Cycler dijalankan dan diprogram berdasarkan suhu untuk
proses denaturasi pada suhu 940C selama 2 menit. proses annealing dengan suhu
500C selama 40 detik, suhu 720C selama 1 menit dan suhu 940C selama 40 detik, dan
pada proses ekstensi suhu diturunkan suhu 420C selama 1 menit dan pada suhu 720C
selama 5 menit. Ketiga proses ini dijalankan sebanyak 30 siklusselama satu jam.
DNA yang telah diamplifikasi diuji dengan elektroforesis pada gel agarose 1%
(untuk melihat fragmen DNA) dan gel agarose 2% (untuk mengetahui hasil purifikasi
DNA) dalam TAE buffer solution 50x (Tris base 24, 2 g, asam asetat glacial 5,71 ml,
Na2EDTA-2H2) 3,72 g, 100 ml akuades steril, pH 8). PCR untuk Reaksi Sequensing.
Untuk proses ini bahan-bahan yang dicampur adalah: Aquabidest 3 µl, Primer 2 µl,
BigDye V3.1 4 µl, Template 1 µl, total volume menjadi 10 µl. Semua bahan dicampur
menggunakan pipet. Selanjutnya larutan di spin down dengan sentrifugasi. Program
PCR 16S universal dijalankan dengan perlakuan pada suhu 960C selama 2 menit,
kemudian pada suhu 960C selama 10 detik,suhu 550C selama 5 detik dan pada suhu
600C selama 4 menit.
Analisis Sekuen
Sekuen DNA isolat bakteri hidrokarbonoklastik dibandingkan dengan sekuen DNA
pada basis data (databas e) DNA. Penelusuran dilakukan dengan menggunakan
internet melalui program pelacakan database Basic Local Alignment Search Tool
(BLAST) pada National Center for Biotechnology Informatio n, National Institute
for Health, USA ( www.ncbi.nlm.nih.gov ) (Atschul et al ., 1997).

BAB II

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pembahasan makalah dapat disimpulkan bahwa untuk mengidentifikasi bakteri
hidrokarbon baik untuk mendegradasi maupun utuk menbioremediasi minyak bumi.
Perlunya dilakukanya proses menentukan spesiesselain dengan factor fisika dan
kimia yaitu dengan melakukan tes DNA dengan melihat 16s rRNA melaui
proses PCR dengan diawali isolasi bakteri kemudian amplifikasi
(denaturasi, annealing, dan elogasi), elektroforensis, sikuensing
dan dianalisis dengan menggunakan sikuensing.

3.2. Saran

Untuk pembaca diharapkanya mencari referensi lebih tentang PCR dan proses
lebih mendetai untuk proses PCR dan analisis data dari 16s rRNA.

DAFTAR PUSTAKA
Nursyirwani, Kathy Copper Amolle. 2007. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri
Hidrokarbonoklastik dari Perairan Dumai dengan Sekuen 16S rDNA. Ilmu kelautan.
12 (1). 12-17. Fakultas perikanan, jurusan ilmu kelautan, universitas riau. Pekanbaru.

Yosmina H. Tapilatu. 2012. Potensi Archaea Halofil Ekstrem Sebagai


Pengurai Hidrokarbon Pada Lingkungan Hipersalin, Sebuah Tinjauan Singkat.
Widyariset .2 (15). 375-384.

Shinta Eri Andriana, Made Sudiana, Langkah Sembiring. 2009. Bakteri Laut
Pantai Sorong Papua Barat Pendegradasi Komponen Crude Oil. Prosiding Seminar
Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. 148-157. Universitas gajah
mada. Jogjakarta.

Pavlova, E. 2006. Oil Fate During Oil Spill in the Marine Environment. Eco-
Monitoring Publishing. United States of America. http://
www.freepatensonline.com /6267888 .html (di akses 27 juni 2015).

Koesharyani, I., A. Sunarto, A. Rukyani dan Taukhid. 2003. Prosedur PCR


untuk Diagnosa Cepat, Penyakit Bercak Udang Putih pada Udang. Balai Budidaya
Perairan Laut, Air Payau dan Tawar, DKP Jawa Barat. 30 hal.

Abdullah, C., D.S. Retroningrum. 2003. Deteksi BakteriPatogen


Streptococcus pyogenes dengan Tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR). Jurnal
Natur Indonesia. Pekanbaru. 5 hal.

Yuwono, T. Teori dan Aplikasi Polymerase ChainReaction (PCR). 2006. Andi.


Yogyakarta. 231 hal

Anda mungkin juga menyukai