Anda di halaman 1dari 9

Deteksi Pneumothoraks Traumatik dengan USG Thoraks: Hubungan dengan Penggunaan

Radiografi Dada dan CT.

Tujuan: Secara prospektif membandingkan akurasi ultrasonografi (USG) dengan radiografi dada
dalam posisi supine dalam mendeteksi pneumothoraks traumatik, dengan computed tomography
(CT) sebagai acuan standar.

Bahan dan metode: USG thoraks, radiografi dada posisi supine, dan CT dilakukan untuk
menilai pnemothoraks pada 27 pasien yang mengalami trauma thoraks. Temuan pada radiografi
dan USG dibandingkan dengan CT, sebagai acuan standar, untuk deteksi pneumothoraks. Untuk
tujuan dari penelitian ini, sonografer dibutakan dari temuan pada radiografi dan CT.

Hasil: 11 dari 27 pasien didiagnosis pneumothoraks dengan CT. Semua dari 11 pneumothoraks
tersebut terdeteksi dengan USG, dan 4 temuan melalui radiografi dadasupine. Pada 1 kasus
USGfalse-positif, pasien ternyata memiliki bula emfisema pada CT. Nilai sensitivitas dan
prediktif negatif dari USG yaitu 100% (11 dari 11 dan 15 dari 15 pasien, secara berurutan),
spesifisitasnya 94% (15 dari 16 pasien), dan nilai prediktif positif yaitu 92% (11 dari 12 pasien).
Radiografi dada memiliki sensitivitas 36% (4 dari 11 pasien), spesifisitas 100% (16 dari 16
pasien), nilai prediktif positif 100% (4 dari 4 pasien), dan 70% angka prediktif negatif (16 dari
23 pasien).

Kesimpulan: Pada penelitian ini, USG lebih sensitive daripada radiografi dada posisi supine dan
sama sensitifnya dengan CT dalam mendeteksi pneumothoraks traumatik.

Pasien yang mengalami trauma (selanjutnya disebut sebagai pasien trauma) thoraks berisiko
terhadap mortalitas dan morbiditas yang serius dari berbagai bentuk trauma. Salah satu yang
trauma yang paling sering – dan paling mudah diobati – yaitu pneumothoraks. Pneumothoraks
sering dideteksi oleh kombinasi pemeriksaan fisik dan radiografi dada. Meskipun teknik ini
dapat dipercaya untuk mendeteksi pneumothoraks yang luas, pneumothoraks yang kecil mungkin
sulit untuk dideteksi untuk beberapa alasan. Pneumothoraks mungkin tidak terbukti secara klinis
jika tidak menyebabkan gangguan respirasi atau jika hanya menyebabkan sedikit penurunan pada
inspirasi, yang mungkin tidak terdeteksi pada auskultasi.
Sebagai tambahan, radiografi dada yang dilakukan pada situasi trauma biasanya dalam
posisi anteroposterior yang diambil saat pasien dalam posisi supine, dan pneumothoraks
mungkin tidak terlihat jika tidak membentuk tanda sulkus yang dalam, delienasi atau
penggambaran tajam dari siluet pericardial, area asimetris hiperlusen luas pada salah satu
hemithoraks.1,2 Radiografi yang diambil dalam posisi tegak secara substansial lebih sensitive
untuk melihat adanya pneumothoraks, tetapi kebanyakan pasien trauma tidak dapat berdiri tegak
karena berbagai alasan seperti adanya trauma pada vertebrae servikal, hemodinamik yang tidak
stabil, kondisi imobil pada trauma orthopedic, sedang dalam resusitasi, dan/atau penurunan
kesadaran. CT merupakan acuan standar untuk mendeteksi pneumothoraks, karena CT sebagai
modalitas yang paling sensitive dan spesifik pada kondisi seperti ini. 3,4 Pasien trauma menjalani
CT thoraks untuk berbagai indikasi, seperti trauma pada aorta, parenkim paru, atau vertebrae
thoraks. Meskipun CT merupakan acuan standar, namun CT tidak praktis dan tidak mungkin
dilakukan pada semua pasien trauma untuk mengesampingkan pneumothoraks.

Pemeriksaan focused assessment with sonography in trauma (FAST) telah diterima sebagai
alat untuk melihat adanya cairan intraperitoneal bebas yang berhubungan dengan trauma visceral
dan hampir secara penuh mengganti diagnostic peritoneal lavage sebagai pemeriksaan skirining
awal pada kebanyakan pusat trauma.5,6 USG juga biasa digunakan untuk mendeteksi cairan pada
pleura atau pericardial pada pasien trauma.Teknik pada USG yang digunakan untuk mendeteksi
pneumothoraks telah dijelaskan sebelumnya.3,7,8

USG tidak dapat memperlihatkan paru secara keseluruhan karena tingginya impedansi
akustik dari udara.9 Meskipun demikian, probe USG linear frekuensi tinggi yang digunakan
untuk ruang intercostal dapat memperlihatkan ekogenitas diantara jaringan lunak dinding dada
dan paru yang teraerasi. Pergerakan dari permukaan pleura visceral dan parietal dapat terlihat
pada gambaran USG ketika pasien berespirasi, dan gerakan ini dinamakan lung sliding.10
Gambaran kedua dari USG pada permukaan pleura yaitu comet-tail artifacts3,7, yaitu gambaran
artefak hiperekoik yang meluas dari permukaan pleura ke sudut distal gambaran USG (Gbr. 1).
Adanya lung sliding dan comet-tail artifact pada permukaan pleura mengindikasikan adanya
aposisi dari permukaan pleura. Gambaran USG ini tidak terlihat ketidak permukaan pleura
dipisahkan oleh udara di dalam rongga pleura. Temuan USG ini telah menunjukkan akurasi dan
sensitivitas untuk mediagnosis pneumothoraks non trauma.8,10,11 Teknik USGhigh-frequency-
probe ini barusaja dideskripsikan sebagai teknik yang efektif dan cepat untuk pasien trauma di
Detroit, Mich, meskipun temuan USG tidak berkorelasi dengan temuan pada CT pada laporan
ini.12 Tujuan penelitian ini yaitu membandingan secara prospektif akurasi USG dengan radiografi
dada posisi supine, dengan CT sebagai acuan standar.

Gambar 1. Gambar USG longitudinal dari ruang intercostal anterior normal pada pria 25 tahun,
tervisualisasi dengan menempelkan probe linear 7-MHz. Panah menunjuk pada haris hiperekogenik
horizontal yang mewakili pertemuan antara dinding pleura-thoraks, dan ujung panah menunjuk pada
comet-tail artifact. Pada USG real time, dengan pergerakan to-and-fro, memperlihakan lung sliding, akan
terlihat pada titik pertemuan ini. Lung sliding dan comet-tail artifact bersinkronisasi dengan gerakan
respirasi.

Bahan dan Metode

Kami melakukan penelitian prospektif pada pasien yang mengalami trauma thoraks yang
dilakukan pemeriksaan pneumothoraks dengan USG thoraks dan radiografi posisi supine. Pasien
yang termasuk dalam kriteria inklusi pada penelitian ini jika, menurut pendapat dokter
emergency atau bedah, pencitraan dada dijamin. Kebanyakan pasien dalam penelitian ini
memenuhi kriteria, yang mana pada institusi kami memiliki RR kurang dari 10 atau lebih dari
29x permenit, TDS kurang dari 90, GCS kurang dari sama dengan 13, dan cedera anatomi yang
berhubungan dengan mekanisme atau kondisi yang mengancam nyawa. 13 Pasien dengan distress
pernafasan yang secara klinis dicurigai memiliki pneumothoraks ditatalaksana dengan
thorakostomi, yang sesuai dengan panduan praktik klinis terbaru. 14 Pasien yang ditatalaksana
dengan torakostomi sebelum melakukan pencitraan dieksklusikan dari penelitian ini.
Pengumpulan data dilakukan selama 8 bulan (Maret sampai November 2000), 70 pasien yang
datang ke IGD yang memenuhi kriteria. 27 dari 70 pasien juga menjalani CT thoraks, dan
mereka juga masuk populasi penelitian kami.

USG thoraks dilakukan oleh staf radiologi maupun residen radilogi yang telah terlatih
untuk mendeteksi pneumothoraks. Semua pasien yang masuk kriteria cedera yang besar atau
mekanisme cedera yang merujuk dokter meminta pemeriksaan FAST untuk mengesampingkan
adanya cairan bebasintraperiotoneal. USG thoraks dilakukan segera setelah USG abdomen. 27
pasien (25 pasien laki-laki; 2 pasien perempuan; usia rata-rata 42 tahun; rentang 17-83 tahun)
yang termasuk dalam penelitian ini menjalani CT thoraks untuk indikasi klinis standar, seperti
kecurigaan adanya trauma pada aorta, cedera kolumna spinal, ketidakharmonisan temuan pada
radiografi dada dan pemeriksaan fisik, penelusuran adanya hematom mediastinum, dan cedera
parenkim thoraks. Persetujuan dewan peninjau institusional diperoleh dalam penelitian ini.
Informed consent terlepas dari bagian persetujuan dewan peninjau institusional, karena
mendapatkan informed consent merupakan protocol standar dalam prosedur diagnostic dalam
kasus trauma.

USG thoraks dilakukan dengan unit pencitraan USG (model 129XP; Acuson, Montain
View, Calif) dengan probe linear 7 MHz. Semua pasien dilakukan pemeriksaan dalam posisi
supine. Permukaan pleura bilateral diperiksa pada ruang intercosta 2 sampai 3 anterior dan 6
sampai 8 pada linea midaksilaris. Adanya pneumothoraks ditentukan dengan menggunakan
kriteria USG yang diterima- yaitu, tidak terlihatnya lung sliding dan comet-tail artifact pada
permukaan pleura. Diagnosis yang didasarkan pada USG dibuat oleh sonografer pada saat
pemeriksaan, tanpa adanya informasi dari temuan radiografi dan sebelum CT dilakukan.
Penelitian USG ini dilakukan oleh residen radiologi dan direkam dengan videotape dan
kemudian dianalisis oleh staf radiologi.

Pada semua kasus, radiografi dada dilakukan pada pasien dalam posisi anteroposterior.
Meskupun posisi tegak dan lateral dekubitus lebih sensitive untuk mendeteksi pneumothoraks
daripada posisi supine2, posisi ini dilakukan untuk berbagai alasan, termasuk penurunan
kesadaran, cedera vertebrae servikal, cedera orthopedic, dan hemodinamik yang instabil. Kriteria
untuk mendeteksi pneumothoraks yaitu terlihatnya pleura visera yang terpisah dari dinding dada
dengan hilangnya penanda paru di lateral, tampak gambaran deep sulcus sign, tampak crisp
definition pada hemidiafragma, dan tampaknya continuous diaphragm sign.2 Secara umum
pemeriksaan USG dilakukan beberapa menit setelah foto thoraks diperoleh, dengan waktu delay
terlama kurang dari 30 menit.

Pemeriksaan CT dilakukan dengan menggunakan unit CT scanning (CT HighSpeed


Advantage; GE Medical Systems, Milwaukee, Wis) dan intravena (ioversol injection 68%
[Optiray 320]; Mallinckrodt Canada), PointeClaire, Quebec, Canada) dan oral (diatrizoate
meglumine 66%, diatrizoate sodium 10% [Gastrografin]; Bracco Diagnostics Canada,
Mississauga, Ontario, Canada), material kontras, yang diindikasikan untuk mengevaluasi trauma
abdomen dan dada. Potongan heliks diperoleh dari pitch 1,5 dan direkonstruksi dalam potongan
dengan ketebalan 3 mm. Gambaran CT dicetak pada window mediastinal dan paru. Kriteria CT
untuk mendiagnosis pneumothoraks yaitu adanya udara yang terkumpul yang memisahkan
pleura visceral dari dinding dada.2 Gambaran radiografi dan CT diinterpretasikan oleh staf
radiologis tanpa mengetahui hasil temuan pada USG. Hasil akhir dibahas oleh penulis dan
dibandingkan dengan gambaran pada radiografi dan CT untuk verifikasi.

Perkiraan angka sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, nilai prediktif negatif, dan
semua akurasi dikalkulasi antara USG dengan CT dan antara radiografi dan CT dengan
menggunakan CT sebagai acuan standar untuk mendeteksi pneumothoraks. CI 95% didasarkan
pada distribusi binomial yang dikalkulasi untuk semua perkiraan dengan menggunakan program
software statistic (S-Plis 2000);; MathSoft, Seattle, Wash. Analisis regresi logistic digunakan
untuk mengevaluasi bagaimana baik hasil CT yang dapat diprediksi dengan USG dan radiografi
dada. Dengan menggunakan software statistic tambahan (SPSS 10; SPSS, Chicago, III), hasi CT
diperlakukan sebagai response variable serta USG dan radiografi dada diperlakukan sebagai 2
variable predictor independen.

Hasil

Temuan pada CT, USG, dan radiografi pada 27 pasien dibandingkan pada Tabel 1. Sebelas dari
27 pasien memperlihatkan pneumothoraks pada CT. USG memperlihatkan adanya
pneumothoraks pada 11 pasien tersebut. Tidak didapatkan hasil false negatif pada USG. Kasus
false positif pada USG dilaporkan: Tidak adanya lung sliding pada bagian anterior pada salah
satu hemithoraks diperkirakan sebagai pneumothoraks. CT scan tidak memperlihatkan
pneumothoraks tetapi lebih sebagai emfisema bulosa dengan bula anterior yang besar pada area
abnormalitas di USG.

Tabel 1. Gambaran pneumotoraks pada CT, USG, dan foto thoraks

Jumlah pasien* CT USG Foto thoraks


15 Tidak ada Tidak ada Tidak ada
1 Tidak ada Ada Tidak ada
7 Ada Ada Tidak ada
4 Ada Ada Ada
*Jumlah pasien yang tampak atau tidaknya pneumotoraks pada pencitraan yang dilakukan
Gambaran USG thoraks statis (bukan real time) diperoleh pada pasien yang mengalami
trauma tumpul thoraks yang ditunjukkan pada gambar 2. Comet-tail artifact tidak ada pada
gambar ini pada hemithoraks anterior sinistra. Gambaran USG real-time memperlihatkan tidak
adanya lung sliding pada bagian ini. Radiografi dada posisi supine anteroposterior diperoleh
pada pasien yang sama yang ditunjukkan pada gambar 3. Meskipun dari gambar ini
memberikesan adanya peningkatan hemidiafragma sinistra, namun tidak terdapat bukti adanya
pneumothoraks. Gambaran CT thoraks terpilih ditunjukkan pada gambar 4, yang diperoleh pada
pasien yang sama, menunjukkan adanya pneumothoraks sinistra sedang. Emfisema subkutan
sinistra ringan, atelektasis lobus inferior kiri derajat ringan, dan efusi pleura kiri juga ditemukan.

Gambar 2. Pneumotoraks pada pria 25 tahun. Gambaran USG longitudinal pada ruang intercostal 4
anterior kiri divisualisasikan mengginakan probe linear 7-MHz. Panah menunjuk pada pertemuan dinding
paru dan toraks yang tidak bergerak yang meniadakan gambaran comet-tail artifact. Tidak adanya
lungisliding hanya tampak pada USG real-time.

Gambar 3. Foto toraks supine anteroposterios yang diperoleh pada pasien yang sama pada gambar 2
memperlihatkan emfisema subkutan kiri (ujung panah). Meskipun tidak ada bukti perbedaan
pneumotoraks yang tampak, diperkirakan adanya tepi tajam pada hemidiafragma kiri, yang dapat
mengarahkan pada kecurigaan pneumotoraks. Pencitraan lebih lanjut diperlukan untuk membuat
diagnosis.

Gambar 4. Gambaran spiral CT thoraks transversal 3-mm dengan material kontras yang diperoleh pada
pasien yang sama dengan gambar 2 dan 3 memperlihatkan pneumotoraks kiri berukuran sedang (ujung
panah). Emfisema subkutan kiri (panah), atelectasis lobus kiri derajat ringan, dan efusi pleura kiri kecil
(*) juga terlihat.

Empat dari 11 hasil CT yang dikonfirmasi sebagai pneumothoraks dideteksi pada


radiografi posisi supine. Radiogradi dada diperoleh dari 7 dari 11 pasien dengan CT yang
dikonfirmasi sebagai pneumothoraks menunjukkan tidak ada bukti definitive dari
pneumothoraks.

Data dari hasil radiografi dan CT dan pada USG dan CT dirangkum pada Tabel 2. Analisis
regresi logistic menyatakan adanya hubungan yang signifikan diantara USG dan CT berkenaan
dengan akurasi diagnostic, bahkan setelah temuan radiografi dada diambil ke dalam perhitungan
(regresi logistic P < .001), tetapi tidak diantara temuan CT dan radiografi setelah temuan USG
dimasukkan dalam perhitungan (regresi logistic P = .35).

Tabel 2. CI untuk Foto toraks vs CT dan untuk USG vs CT untuk mendeteksi pneumotoraks

Foto toraks USG


Parameter
Perkiraan 95% CI Perkiraan 95% CI
Sensitivitas (%) 36 (4/11) 15,65 100 (11/11) 74, 100
Spesifisitas (%) 100 (16/16) 81, 100 94 (15/16) 72, 99
Angka false- 0 (0/16) 0, 19 6 (1/16) 1, 28
positive (%)
Angka false 64 (7/11) 35, 85 0 (0/11) 0, 24
negative (%)
Positive predictive 100 (4/4) 51, 100 92 (11/12) 65, 99
value (%)
Negative 70 (16/23) 49, 84 100 (15/15) 80, 100
predictive value
(%)
Akurasi (%) 74 (20/27) 55, 87 96 (26/27) 82. 99
Prevalensi (%) 41 (11/27) 25, 59 41 (11/27) 25, 59
Catatan. – Data dalam tanda kurung adalah jumlah pasien.

Diskusi

Pneumothoraks merupakan akibat yang paling serius dari trauma tumpul thoraks 4 dan merupakan
komplikasi potensial dari prosedur akses vaskular. 11 Pada kasus yang mana pneumothoraks
terbukti secara klinis atau menyebabkan gangguan respirasi yang mengancam, tatalaksana sering
dimulai tanpa melakukan pencitraan.14 Akan tetapi, pada banyak kasus, pneumothoraks tidak
terdeteksi pada pemeriksaan fisik. Lebih lagi, radiografi dada yang dilakukan pada kasus trauma
yang serius hampir selalu dalam posisi supine anteroposterior, yang dapat menjadi tidak sensitive
dalam mendeteksi adanya pneumothoraks yang kecil. Sebagai contoh, ukuran pneumothoraks
dapat meningkat jika pasien terpapar dengan tekanan atmosfer yang menurun selama transport
udara atau yang memerlukan intubasi dan ventilasi tekanan positif.15,16

Metode akurat, cepat, dan praktis untuk mengesampingkan pneumothoraks kecil yang
dapat digunakan berulang dalam praktik klinis pada kasus trauma tanpa menambah paparan
radiasi dapat memberikan implikasi klinis penting dalam penanganan pasien trauma. 17 Beberapa
kelompok pengamat3,7,8, menemukan bahwa USG thoraks dapat digunakan untuk mendeteksi
pneumothoraks, yangmana diagnosisnya bedasarkan hilangnya lung sliding dan comet- tail
artifact pada permukaan pleura hiperekoik.

Pada penelitian kecil ini dari 27 pasien trauma, USG lebih sensitive dan akurat daripada
radiografi dada posisi supine dan sama sensitive dengan CT thoraks dalam mendeteksi
pneumothoraks. Perbandingan CImengindikasikan perbedaan yang signifikan (P< .05) pada rasio
sensitivitas dan false negatif diantara USG dan radiografi dada. Meskipun CI untuk nilai
prediktif negatif dan keseluruhan akurasi tumpang tindih, rata-rata nilai untuk parameter ini
mengindikasikan bahwa USG memiliki kelebihan lebih dari 20%. Ini memberikan kesan relevasi
yang secara klinis yang embedakan diantara USG dan radiografi dada.

Meskipun antara estimasi sensitivitas dan estimasi angka prediktif negatif dari USG yaitu
100% pada kelompok penelitian, spesifisitasnya yaitu 94%. Hasil ini dikarenakan adanya kasus
false positif pada USG, yang mana pasien dengan emfisema bulosa menunjukkan tidak adanya
lung sliding pada area bula anterior yang luas. Temuan ini merupakan satu dari beberapa
kemungkinan bahwa sonografer sebaiknya teliti ketika menggunakan USG untuk mendiagnosis
pneumothoraks. Kesalahan potensial lainnya yaitu adanya perlekatan pleura atau setiap kondisi
yang membuat permukaan pleura tidak bergeser satu dengan yang lain ketika respirasi. Sebagai
tambahan, emfisema subkutan yang luas dapat merancukan visualisasi permukaan pleura pada
USG. Beberapa pasien dalam penelitian kami memiliki emfisema subkutan yang kecil, kami
tidak mendapatkan kesulitan dalam menyingkiri emfisematosa dan melihat permukaan pleura
pada ksus ini.

Jumlah sampel pada penelitian ini sedikit, dan kriteria inklusi kami mendapatkan bias
karna 2 alasan: pertama, CT dilakukan pada pasien dengan berbagai indikasi klinis, seperti
kontur mediastinum yang abnormal pada radiografidada yang meningkatkan kecurigaan adanya
cedera pada aorta dan menilai cedera parenkim paru. Hal ini dapat diperdebatkan bahwa pasien
yang membutuhkan CT, rata-rata, memiliki cedera yang lebih serius daripada pasien yang tidak
membutuhkan CT. Alasan bias kedua yaitu pasien dieksklusikan jika mereka ditatalaksana
dengan torakostomi sebelum dilakukannya pencitraan. Bias ini, bagaimanapun, memberikan
kredibilitas yang lebih untuk teknik ini, karena banyak pasien, yang secara klinis pneumothoraks
dieksklusikan, dan, kemudian, pneumothoraks yang dideteksi dengan USG pada penelitian ini
kecil dan secara klinis “silent” pada waktu diagnosis. Kami tidak mencoba mengestimasikan
ukuran pneumothoraks secara ultrasonografi, karena pada penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa meskipun USG sangat sensitive dalam mendeteksi pneumothoraks, USG
tidak dapat mengestimasikan volume pneumothoraks. Hasil dari penelitian kami menunjukkan
bahwa USG sangat sensitive dan memiliki angka prediktif negatif yang tinggi dalam mendeteksi
pneumothoraks traumatik dan kemudian dapat digunakan sebagai alat diagnostic yang efketif
yang secara defitif mengeksklusikan pneumothoraks pada pasien trauma.

Diagnosis pneumothoraks traumatik, khususnya untuk pneumothoraks tension yang


mengancam nyawa, biasanya dibuat berdasarkan klinis, yang pada beberapa kasus, diagnosisnya
tertunda atau bahkan terlewat oleh residen yang sudah terlatih dengan baik, dokter emergensi,
atau spesialis trauma. Sebagai tambahan, pada personil yang kurang terlatih, keterbatasan
peralatan, atau keterbatasan logistic, lebih lagi pneumohtoraks yang akan terlewat. Peralatan
USG yang baru berkembang menginklusikan unit portabel kualitas tinggi yang mudah dibawa-
bawa. Penggunaan unit ini dapat iuntuk trauma thoraks pada berbagai situasi, khususnya ketika
CT dan radiografi dada tidak tersedia. Lingkungan lain termasuk alat transportasi pasien, daerah
konflik, penerbangan komersial, kapal laut, atau penerbangan antariksa. Stasiun ruang angkasa
internasional telah dilengkapi dengan mesin USG yang canggih (HDI 5000; Advanced
Technology Laboratory, Bothell, Wash). Satudari banyak aplikasi dari unit ini yaitu untuk
mendiagnosis pneumothoraks, karena penelitian terbaru menyarankan bahwa teknik yang
digunakan untuk mendeteksi pneumothorak juga dapat diaplikasikan pada kondisi
mikrogravitasi.

Hasil dari penelitian kami menyarankan bahwa USG thoraks, ketika digunakan oleh
individu yang terlatih, dapat mengeksklusikan pneumothoraks secara definitif. Sebagai
dampaknya, kami percaya bahwa USG thoraks sebaiknya ditambahkan dalam melakukan
pemeriksaan FAST pada kasus trauma dan dilabel sebagai pemeriksaan FAST expanded. Dengan
protocol baru ini, USG akan digunakan baik untuk mengeksklusikan cairan bebas intraperitoneal
maupun pneumothoraks pada penilaian cepat pada pasien trauma.

Anda mungkin juga menyukai