Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada

wanita dan penyebab kematian tertinggi pada wanita umur 40-44 tahun (Bland,

Vezeridis dan Copeland, 2005). Insidensi kanker payudara pada tahun 2008

mencapai 39.831 atau 25,5% dari seluruh jenis keganasan yang terjadi pada

wanita (Globocan, 2008). Sedangkan di Indonesia, angka kejadian kanker

payudara diperkirakan sebesar 26 kejadian setiap 100.000 wanita (Departemen

Kesehatan RI, 2010; Sjafii., et al., 2008).

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah dengan prevalensi kanker

tertinggi di Indonesia yaitu mencapai 4,1 per 1.000 orang (Riskesdas, 2013).

Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) DIY tahun 2010

menyebutkan bahwa jumlah pasien fibrioadenomammae dan kanker payudara

yang keluar rawat inap berjumlah 1.100 kasus dan 36 meninggal dunia (Dinkes,

2010).

Penatalaksanaan kanker payudara telah mengalami kemajuan yang pesat,

akan tetapi insidensi kanker payudara cenderung meningkat dan angka kematian

akibat kanker payudara masih tinggi. Hal tersebut dikarenakan keberhasilan terapi

kanker sangat tergantung pada faktor prognosis. Sekitar sepertiga kasus kanker

payudara memiliki prognosis yang buruk (Miremadi dan Pinder, 2002 cit.

Aryandono, 2006).

1
Selain itu, sebagian besar penderita telah berada pada stadium lanjut pada

saat ditemukan. Penelitian Sitopu (2004) di RSUP H. Adam Malik Medan

menunjukkan bahwa penderita yang datang berobat untuk pertama kali telah

berada pada stadium III yaitu sebesar 42,6 %. Harapan terhadap kesembuhan dan

harapan hidup akan semakin tinggi apabila kanker ditemukan dalam stadium dini

dan segera mendapatkan penanganan yang tepat ( Supit, 2002).

Di Indonesia, kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan

payudara sendiri (SADARI) masih sangat rendah. Sekitar 65% penderita datang

ke dokter saat kanker telah mencapai stadium lanjut (Widiyanto, 1999) karena

mereka tidak merasakan sakit (disease but not illness). Usaha untuk mengobati

penyakit baru akan dilakukan ketika timbul keluhan sakit yang dirasakan

(Notoatmodjo, 2007). Pada kanker payudara, keluhan rasa sakit jarang terjadi dan

penderita kanker payudara merasa tidak perlu berobat karena tidak ada keluhan

sakit dan dianggap tidak mengganggu aktivitas sehari-hari sehingga tumor

dibiarkan tumbuh. Penderita juga sering tidak menyadari adanya tanda dan gejala

awal kanker payudara (Tambunan., et al., 2007). Saldana dan Castaneda (2011)

menyebutkan bahwa 20-30% perempuan menunda melakukan pemeriksaan ke

pelayanan kesehatan setidaknya selama tiga bulan sejak pertama kali penemuan

gejala.

Keterlambatan perawatan dan pengobatan kanker payudara yang

berdampak pada tingginya angka mortalitas juga dapat disebabkan oleh

kurangnya pengetahuan tentang kanker payudara. Hasil penelitian Susilo (2012)

pada 79 responden perempuan menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai

2
kanker payudara berada pada kategori kurang yaitu sebesar 32,9%. Penelitian lain

yang dilakukan oleh Grunfeld., et al., (2002) menyatakan bahwa perempuan

memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai resiko timbulnya kanker payudara

dan gejala kanker payudara.

Perilaku maupun upaya yang ditempuh oleh pasien kanker payudara juga

mempengaruhi perkembangan penyakit. Beberapa upaya yang dilakukan

diantaranya adalah melakukan pengobatan alternatif, mengkonsumsi ramuan

tradisional seperti rebusan benalu, kopi dan daun sirsak, tindakan operasi dan

kemoterapi (Aruan, 2011). Selain itu, upaya tindakan pengobatan yang tidak

sesuai juga berdampak pada keterlambatan diagnosis dan terapi kanker payudara.

Penelitian Gulatte., et al., (2009) menunjukkan bahwa sebanyak 8,9 % pasien

ginekologi datang ke dukun untuk berkonsultasi pertama kali mengenai gejala

yang dirasakan.

Reaksi terhadap diagnosis kanker payudara akan berbeda pada setiap

penderita. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh mekanisme koping individu

terhadap situasi yang mengancam hidupnya (Hawari, 2004).

Seiring dengan perkembangan penyakit yang semakin memburuk, pasien

harus berjuang melawan gejala yang juga semakin memburuk, kesehatan fisik

yang menurun, kondisi kejiwaan serta dampak sosial yang tidak menyenangkan.

Depresi banyak dialami oleh 50% wanita di tahun pertama setelah diagnosis

kanker ditegakkan, 25% di tahun kedua, ketiga, keempat dan sebanyak 15% di

tahun kelima (Burgess, 2005).

3
Berdasarkan penelitian Noelia., et al., (2014), sebesar 39,6 % depresi

pada pasien kanker payudara dipengaruhi oleh kelelahan berkaitan dengan kanker,

tingkat aktivitas fisik, efek samping sistemik serta masalah gambaran diri.

Depresi banyak dialami oleh pasien kanker akibat ketidakmampuan

pasien untuk menyesuaikan diri dengan keadaan penyakitnya. Respon stres atau

kecemasan akut merupakan suatu kontinum, yaitu respon stres akut pada awal

penyakit dan selanjutnya terjadi gangguan depresi. Selain itu, adanya stigma di

masyarakat yang juga diyakini oleh pasien bahwa kematian pasti akan dialami

oleh penderita kanker payudara dapat menjadi suatu stressor atau trauma psikis

yang cukup berat (Everdingen., et al., 2008) .

Depresi dapat dipicu oleh beberapa hal, yaitu kecemasan terhadap hal

yang tidak diketahui atau kecemasan yang mengambang, ketakutan terhadap

kematian dan kecemasan terhadap perpisahan, ketakutan terhadap mutilasi atau

kecemasan yang berkaitan dengan kerusakan integritas tubuh, fungsi tubuh atau

terjadinya distorsi body image, kecemasan terhadap prosedur pemeriksaan,

perawatan yang lama, bed rest dan adanya keluhan fisik lain seperi nyeri, mual

dan muntah. Depresi juga dapat disebabkan oleh peningkatan aktivitas inflamatori

akibat kanker atau pengobatannya (Amir, 2005).

Kondisi fisik yang buruk, distress emosional, hospitalisasi, terapi rutin

yang harus dijalani, serta efek samping dari terapi kuratif yang mungkin timbul

dapat menyebabkan adanya gangguan psikososial dan depresi yang berkontribusi

terhadap perubahan kualitas hidup individu yang menderita kanker payudara.

Reaksi psikologis umumnya muncul setelah ditegakkan diagnosis kanker

4
payudara, reaksi tersebut seringkali berupa shock mental, takut, tidak bisa

menerima kenyataan hingga depresi. Akan tetapi dari angka kejadian depresi yang

cukup tinggi itu hanya sedikit pasien yang mendapatkan terapi untuk depresi yang

dialami (Hartati, 2008).

Depresi seringkali tidak terdiagnosa dan tidak mendapatkan penanganan

karena pasien mungkin tidak menyadari gejala depresi yang dialami, pasien

enggan melaporkan gejala depresi, kurangnya perhatian tenaga kesehatan untuk

menganalisis dan mengkaji apakah pasien mengalami depresi, pasien dan tenaga

medis seringkali menganggap bahwa depresi merupakan reaksi yang normal dan

bukan sebagai gangguan serius yang harus ditangani dan gejala yang muncul

seperti perubahan nafsu makan, kelelahan, gangguan tidur, perubahan berat badan,

kurang energi serta gangguan pada ingatan dan konsentrasi seringkali hanya

terdiagnosa sebagai manifestasi gejala dari penyakit kanker saja. Onset kejadian

depresi pada pasien kanker pada umumnya adalah saat pasien mengetahui

diagnosis, stadium kanker dan terapi yang diperoleh (Konginan, 2008).

Berbagai gejala fisik serta stres psikologis yang dialami oleh pasien kanker

payudara dapat mempengaruhi kualitas hidupnya. Dampak negatif dari depresi

juga berpengaruh terhadap luaran penyakit. Depresi akan menurunkan aktifitas sel

Natural Killer (sel NK) dan gamma interferon, memicu disregulasi kortisol serta

sekresi hormon stress seperti ACTH, epinephrine dan norepinephrine sehingga

memperburuk kondisi pasien kanker payudara (Bennet dan Lengacher, 2008).

Adanya dampak negatif depresi pada prognosis penyakit menjadikan deteksi dini

dan penatalaksanaan depresi menjadi poin penting dalam penyusunan intervensi

5
baik intervensi medis maupun keperawatan bagi pasien kanker payudara.

Penanganan depresi pada setiap pasien kanker tidak selalu sama, sehingga

diperlukan pemahaman yang benar dan diagnosis yang tepat agar pemilihan terapi

dapat secara adekuat memperbaiki kualitas hidup pasien. Kualitas hidup secara

umum terdiri atas beberapa domain yang meliputi fungsi fisik, kesejahteraan

psikologis dan dukungan sosial. Selain itu, kualitas hidup juga dipertimbangkan

sebagai hasil pengukuran yang penting terhadap intervensi terapeutik (Mintian,

2008).

Pemahaman mengenai dampak kanker payudara terhadap berbagai aspek

kehidupan pasien termasuk aspek psikologis penting untuk dimiliki oleh tenaga

kesehatan agar pelayanan kesehatan yang diberikan dapat secara adekuat

mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas hidup pasien. Derajad atau

tingkat depresi akan dinilai menggunakan kuisioner kemudian dikaji

keterkaitannya dengan kualitas hidup yang dimiliki oleh pasien kanker payudara,

sehingga depresi pada penelitian ini bukan sebagai diagnosis penyakit.

Berdasarkan data rekam medis, jumlah kunjungan pasien rawat jalan di

Unit Kemoterapi RSUD Panembahan Senopati Bantul pada bulan Desember 2014

sebanyak 647 kunjungan, sedangkan kunjungan di Poli Onkologi pada bulan

Desember 2014 mencapai 913 kunjungan. Berdasarkan uraian latar belakang di

atas dan banyaknya pasien kanker payudara yang menjalani terapi di RSUD

Panembahan Senopati Bantul, maka peneliti memilih RSUD Panembahan

Senopati Bantul sebagai tempat dilaksanakannya penelitian.

6
Diharapkan hasil dari penelitian ini mampu mendorong sekaligus meningkatkan

upaya penatalaksanaan kanker payudara baik secara fisik maupun psikologis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan

adalah bagaimana hubungan antara tingkat depresi dengan kualitas hidup pada

pasien kanker payudara di RSUD Panembahan Senopati Bantul, Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara tingkat depresi dengan kualitas hidup pasien

kanker payudara.

2. Tujuan Khusus

a.) Mengetahui tingkat depresi pada pasien kanker payudara di RSUD

Panembahan Senopati Bantul, Yogyakarta.

b.) Mengetahui tingkat kualitas hidup pada pasien kanker payudara di RSUD

Panembahan Senopati Bantul, Yogyakarta.

7
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian ilmiah terkait

dengan depresi dan kualitas hidup pasien kanker payudara yang penting bagi

dunia kesehatan khususnya bidang keperawatan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Rumah Sakit terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan untuk merumuskan suatu program pelayanan kesehatan yang

bersifat antisipatif serta optimalisasi pemberian layanan dukungan

psikologis untuk peningkatan kualitas hidup pasien kanker payudara.

b. Bagi Perawat

Memberikan informasi untuk menentukan pendekatan asuhan pelayanan

keperawatan pasien kanker payudara dengan fokus perhatian pada depresi

dan kualitas hidup serta untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.

c. Bagi Pasien Kanker Payudara

Memberikan informasi mengenai depresi dan hubungannya dengan

kualitas hidup sehingga pasien diharapkan mampu mengenali sedini mungkin

gejala depresi yang mungkin dialami untuk mendapatkan intervensi yang

tepat agar tetap memiliki kualitas hidup yang baik.

d. Bagi Peneliti lain

Sebagai bahan kajian untuk penelitian lebih lanjut terkait dengan kualitas

hidup pasien kanker payudara.

8
E. Keaslian Penelitian

Sepengetahuan penulis, penelitian mengenai hubungan tingkat depresi dengan

kualitas hidup pasien kanker payudara belum pernah dilakukan. Penelitian yang

hampir serupa dengan penelitian ini di antaranya:

1.) Zou., et al., 2014): “Quality of Life among Women with Breast Cancer Living

in Wuhan, China”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan

antara karakteristik demografi, optimisme, dukungan sosial, penerimaan

terhadap penyakit, strategi koping dan kualitas hidup wanita Cina di Wuhan

yang menderita kanker payudara. Penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif dan studi korelasi kuantitatif yang dilakukan di Wuhan, Provinsi

Hubei, Cina dengan total responden sebanyak 156 orang. Hasil penelitian ini

menujukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara optimisme,

dukungan sosial, penerimaan terhadap penyakit, mekanisme koping dan

kualitas hidup. Persamaan dari penelitian ini adalah karakteristik subjek

penelitian yaitu pasien kanker payudara dan salah satu variabel penelitian

yaitu kualitas hidup, sedangkan perbedaannya adalah jumlah dan jenis

kuisioner.

2.) Setyaningsih (2011) meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan

tingkat depresi pada pasien kanker payudara yang sudah mendapatkan terapi

di Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto. Penelitian ini merupakan

penelitian cross sectional dengan responden sebanyak 66 pasien kanker

payudara yang dipilih berdasarkan konsekutif sampling. Hasil penelitian ini

menyebutkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama

9
diagnosis dan stadium penyakit dengan tingkat depresi dan ada hubungan

yang bermakna antara terapi dengan tingkat depresi pada pasien kanker

payudara. Persamaan dari penelitian ini adalah rancangan penelitian yang

digunakan yaitu cross sectional dan instrumen untuk mengukur derajad

depresi yaitu Beck Depression Inventory (BDI). Perbedaannya terletak pada

tujuan dimana pada penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara tingkat depresi dengan kualitas hidup serta

lokasi penelitian.

3.) Meisel., et al., (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Quality of Life in

Long-Term Survivors of Metastatic Breast Cancer mengkaji tentang kualitas

hidup wanita dengan kanker payudara yang telah metastasis selama lima

tahun atau lebih yang menjalani terapi di Massachusetts General Hospital dan

Dana Farber Cancer Institute di Boston. Penelitian ini merupakan penelitian

cross sectional yang melibatkan 28 responden, hasilnya didapatkan bahwa

secara garis besar wanita yang hidup dengan kanker payudara yang

bermetastasis memiliki kualitas hidup baik, meskipun ada sebagian kecil

anggota populasi yang mengalami masalah psikologis seperti sedih, cemas,

depresi dan kehilangan harapan. Persamaan dari penelitian ini adalah

rancangan penelitian yaitu cross sectional dan salah satu variabel penelitian

yaitu kualitas hidup pasien kanker payudara. Perbedaannya terletak pada

lokasi penelitian dan kriteria inklusi responden penelitian dimana dalam

penelitian Meisel mensyaratkan adanya metastasis dan telah terjadi selama

lima tahun atau lebih sebagai kriteria inklusi.

10
4.) Penelitian oleh Simone., et al., (2013) yang membandingkan kesehatan mental

dan kualitas hidup pada wanita penderita kanker payudara yang sedang

menjalani terapi dengan wanita penderita kanker payudara yang telah selesai

menjalani terapi selama satu tahun. Penelitian ini merupakan penelitian cross

sectional yang melibatkan 269 wanita yang sedang menjalani terapi ajuvan

dan 148 wanita yang telah selesai menjalani terapi selama satu tahun. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa kelompok wanita yang sedang menjalani

terapi memiliki tingkat kecemasan dan depresi lebih tinggi serta kualitas hidup

yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok wanita yang telah

menyelesaikan terapinya. Kecemasan terjadi pada kedua kelompok, sedangkan

depresi secara signifikan lebih banyak terjadi pada kelompok yang sedang

menjalani terapi. Persamaan dengan penelitian ini yaitu desain penelitian cross

sectional, sedangkan perbedaannya terletak pada tujuan penelitian dimana

penelitian yang akan dilakukan bukan merupakan studi komparatif.

11

Anda mungkin juga menyukai