Anda di halaman 1dari 12

REFLEKSI KASUS

JENIS-JENIS TATALAKSANA NAFAS PADA GENERAL ANESTESI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif RSUD Temanggung

Disusun oleh :

Dita Putri Hendriyani

20174011074

Pembimbing :

dr. Uud Saputro, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD TEMANGGUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
A. PENGALAMAN
Seorang laki-laki usia 38 tahun datang ke poli THT RSUD temanggung dengan
keluhan hidung kiri tersumbat sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan jga disertai dengan
keluar cairan kuning kental dan berbau pada hidung kiri. Oleh dokter THT pasien
didiagnosa sinusitis maksilaris kronis sinistra. Dokter anastesi menyetujui
dilakukan operasi dengan teknik anestesi umum (ETT). Riw. HT (-), Riw. DM (-),
Riw. Penyakit jantung (-).

B. MASALAH YANG DI KAJI


1. Apa yang dimaksud dengan anestesi umum?
2. Jenis-jenis tatalaksana jalan nafas pada anestesi umum?
3. Kelebihan dan kekurangan dari pemasangan intubasi ETT?

C. ANALISIS
1. Apa yang dimaksud dengan anestesi umum?
Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan
hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan
sistem syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan
sensori pada syaraf. Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem
syaraf pusat (SSP) secara reversible. Anestesi umum merupakan kondisi yang
dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan
obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon
rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap
rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya
kesadaran (unconsciousness).
Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan
pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar;
(4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara
langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial
yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung
pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP.
Komponen anestesi yang ideal terdiri dari : (1) hipnotik (2) analgesia (3)
relaksasi otot. Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi
kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah
jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau
hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi
perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan
itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum
(menggunakan zat anestesi yang mudah menguap, terutama diethyleter):
 Stadium I : analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga hilangnya
kesadaran.
 Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya
respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.
 Stadium III : dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi.
Dibagi 4 plane:
- Plane 1 : dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya
pergerakan bola mata.
- Plane 2 : dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga mulainya
paralisis interkostal.
- Plane 3 : dari mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis
interkostal.
- Plane 4 : dari kelumpuhan interkostal hingga paralisis diafragma.
 Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma hingga cardiac
arrest.

Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani


operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi,
maintenance.

1. Menentukan Premedikasi
Obat yg diberikan sebelum dilakukan tindakan anestesi . Tujuannya :
 Membuat penderita lebih tenang.
 Mengurangi rasa nyeri
 Menambah efek obat anestesi (menurunkan dosis)
 Mencegah efek samping obat anestesi
2. Induksi
Induksi anestesi adalah pemberian obat atau kombinasi obat pada
saat dimulainya anestesi yang menyebabkan suatu stadium anestesi umum
atau suatu fase dimana pasien melewati dari sadar menjadi tidak sadar.
Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi yang dapat
dilakukan dengan penyuntikan agen induksi secara intramuskular, intra
nasal, intravena ataupun dengan agen inhalasi. Idealnya induksi harus
berjalan dengan lembut dan cepat, ditandai dengan hilangnya kesadaran.
Keadaan ini dinilai dengan tidak adanya respon suara dan hilangnya reflek
bulu mata dan hemodinamik tetap stabil.

Persiapan alat-alat yang dibutuhkan (STATICS) yaitu:


a. S (Scope) : Laringoskop, stetoskop
b. T (Tube) : Endotracheal tube/ ET
c. A (Airway) : Guedel/ mayo
d. T (Tape) : Plaster, hipafix
e. I (Introducer) : Stilet
f. C (Connector) : (Biasanya sudah terpasang di ET)
g. S (Suction dan spuit)

Tata Laksana Jalan Napas


1. Sungkup Muka ( Face Mask )
Face Mask terdiri dari atas mulut sungkup, pengait, badan sungkup dan lingkar
tepi, face mask bayi tidak memiliki pengait. Teknik ini digunakan pada tindakan
yang singkat (kira-kira ½ - 1 jam), keadaan umum baik ( ASA I-II), dan lambung
harus kosong. Salah satu persiapan penggunaan sungkup muka adalah lambung
kosong atau pasien puasa selama 6- 8 jam.Tujuan pengosongan lambung ini
mengurangi resiko refluks/ regurgitasi / muntah berkurang.
2. Laryngeal Mask Airway ( LMA )
Sungkup laring (LMA, laryngeal Mask Airway) ialah alat jalan nafas berbentuk
sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang
pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada trakea. Manajemen
saluran napas menggunakan laryngeal Mask Airway (LMA) merupakan metode
memasukkan LMA kedalam hipofaring. Teknik dengan menggunakan LMA
akan mengurangi resiko aspirasi dan regurgitasi jika dibandingkan menggunkan
sungkup muka.
Tabel ukuran LMA dan peruntukannya
Ukuran Usia Berat (Kg)
1.0 Neonatus <3
1.3 Bayi 3 – 10
2.0 Anak kecil 10- 20
2.3 Anak 20- 30
3.0 Dewasa kecil 30- 40
4.0 Dewasa normal < 60
5.0 Dewasa besar > 60

- Indikasi Penggunaan LMA


a. Untuk menghasilkan jalan nafas yang lancar tanpa penggunaan
sungkup muka.
b. Untuk menghindari penggunaan ET/melakukan intubasi endotrakeal
selama ventilasi spontan.
c. Pada kasus-kasus kesulitan intubasi.
d. Untuk memasukkan ET ke dalam trakea melalui alat intubating LMA.
- Kontraindikasi Penggunaan LMA
a. Ketidakmampuan menggerakkan kepala atau membuka mulut lebih
dari 1,5 cm, misalnya pada ankylosing spondylitis, severe rheumatoid
arthritis, servical spine instability, yang akan mengakibatkan kesulitan
memasukkan LMA.
b. Kelainan didaerah faring (abses, hematom).
c. Obstruksi jalan nafas pada atau dibawah laring.
d. Pasien dengan lambung penuh atau kondisi yang menyebabkan
lambatnya pengosongan lambung.
e. Meningkatnya resiko regurgitasi (hernia hiatus, ileus intestinal).
f. Ventilasi satu paru.
g. Keadaan dimana daerah pembedahan akan terhalang oleh kaf dari
LMA
3. Nasotracheal tube (NTT)
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien yang menjalani bedah
maksilofasial atau prosedur gigi atau ketika intubasi orotracheal tidak layak
(misalnya, pasien dengan pembukaan mulut yang terbatas). Intubasi nasal mirip
dengan intubasi oral tetapi memiliki perbedaan di jalur masuk alat yaitu melalui
hidung atau nasofaring kemudian menuju orofaring. Memasukkan NTT dibantu
dengan pemberian lubrikan/lidokain gel, pipa secara berangsur-angsur
dimasukkan hingga ujungnya terlihat di orofaring melalui laringoskop. Jika
terdapat kesulitan dalam memasukkan ujung pipa menuju pita suara dapat
dibantu dengan menggunakan forcep Magil yang dilakukan dengan hati-hati
agar tidak merusak balon. Memasukkan pipa nasal berbahaya pada pasien
dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke
intracranial.

Pada pemasangan pipa nasotrakeal juga terdapat beberapa kemungkinan


komplikasi diantaranya epistaksis. Epistaksis adalah komplikasi yang paling
umum, akibat abrasi dari mukosa hidung ketika tabung dilewatkan posterior.
Jika terdapat perdarahan tetapi intubasi masih belum tercapai, maka harus
diselesaikan. Selain itu, komplikasi lain dari pemasanga NTT adalah kerusakan
rongga hidung (avulsi dari polip hidung, fraktur turbinates, abses septum),
aspirasi, stimulasi vagal, laringospasme, kerusakan pita suara, bakteremia dari
flora hidung dengan trakea.
4. Endotrakeal Tube ( ETT)
Merupakan suatu tindakan memasukkan pipa khusus kedalam trakea,
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dimonitor dan
dikendalikan. Tindakan intubasi trakea ini bertujuan untuk
a. Mempermudah pemberian anestesi
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama
f. Mengatasi obstruksi laring akut
ETT pada anak-anak dibawah 5 tahun tidak memakai cuff karena
penampang trakea hampir bulat, sedangkan pada anak > 5 tahun dan dewasa,
penampang trakea seperti huruf D, sehingga memerlukan cuff agar tidak terjadi
kebocoran.
- Indikasi Penggunaan EET
a. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri
b. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan
pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau
sebagai bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang
gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.

- Kontraindikasi intubasi endotrakheal:


a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
- Komplikasi Pemasangan ETT
a. Pipa ET masuk ke dalam esofagus yang dapat menyebabkan hipoksia.
b. Luka pada bibir dan lidah akibat terjepit antara laringoskop dengan gigi.
c. Trauma gigi-geligi
d. Laserasi pada faring dan trakea akibat stilet pada ujung pipa.
e. Kerusakan pita suara
f. Perforasi pada faring dan
g. Pelepasan adrenalin dan noradrenalin akibat rangsangan intubasi
sehingga terjadi hipertensi, takikardi, dan aritmia.
h. Pipa masuk ke salah satu bronkus, umumnya masuk ke bronkus kanan.
Untuk mengatasinya, tarik pipa 1-2 cm sambil dilakukan inspeksi
gerakan dada dan auskultasi bilateral.
- Kelebihan Pemasangan ETT
a. Intubasi ET akan membantu saluran nafas yang bagus selama
salurannya masih terbuka.
b. Akan menurunkan normal anatomic dead space (75 ml) menjadi 25 ml.
c. Ventilasi dapat diukur dan dikontrol tanpa mempengaruhi lambung dan
usus.
d. Akan mengurangi kemungkinan aspirasi sekresi, darah, jaringan dan
muntah secara drastis.
e. Ventilasi dapat diukur dan dikontrol walau pada posisi lateral telungkup
atau lainnya.
f. Respirasi dapat dikontrol selama pemberian obat pelumpuh otot.
g. Mempermudah dilakukan suction pada paru
h. Anestesiolog dan alat-alat anestesi dapat diletakan jauh dari daerah
operasi jika dilakukan operasi kepala atau leher.
- Kekurangan Pemasangan ETT
a. Intubasi ET akan menambah resistensi terhadap pernafasan. Untuk
menjaga resistensi sekecil mungkin dapat digunakan ET dengan
diameter yang sesuai.
b. Trauma terhadap bibir, lidah, hidung, tenggorokan dan laring dapat saja
terjadi, mengakibatkan suara serak, sakit dan disfagia. Aberasi nukosa
dapat diakibatkan oleh suatu operasi empisema yang luas. Bila terjadi
perforasi dari membran padadecussatio dari otot krikofaringeal akan
dapat mengakibatkan mediastinitis.
4. TIVA (Total Intravenous Anesthesia)
Anestesi intravena (TIVA) merupakan teknik anastesi umum dengan
hanya menggunakan obat-obat anastesi yang dimasukkan lewat jalur intravena.
TIVA digunakan untuk ketiga trias anastesi yaitu hipnotik, analgetik, dan
relaksasi otot.Kebanyakan obat-obat anastesi intravena hanya mencakup 2
komponen anastesi, akan tetapi ketamin mempunyai ketiga trias anastesi
sehingga ketamin dianggap juga sebagai agent anastesi yang lengkap.
- Kelebihan TIVA
a. Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam dosis
yang lebih akurat dalam pemakaiannya.
b. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien
c. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat serta mesin anestesi
khusus.
- TIVA dalam prakteknya sehari-hari digunakan sebagai :
a. Obat induksi anastesi umum
b. Obat tunggal untuk anastesi pembedahan singkat
c. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
d. Obat tambahan anastesi regional
e. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP
3. Maintenance

Maintaenance anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur


ringan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar
pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik
yang cukup. Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total)
atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh
otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi
pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama
dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +
O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2
dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4%
atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien
bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.
D. KESIMPULAN

Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan


hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan
sistem syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan
sensori pada syaraf. Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem
syaraf pusat (SSP) secara reversible.
Jenis jenis tatalaksana jalan nafas pada general anestesi yaitu sungkup
muka, LMA, Nasotrakeal Tube, dan Endotrakeal Tube.
Endotrakeal Tube ( ETT) merupakan suatu tindakan memasukkan pipa
khusus kedalam trakea, sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah
dimonitor dan dikendalikan.
E. DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS, (2002). Airway Management. Clinical


Anesthesiology 3nded, Lange Medical Books, New York.
2. Wim de Jong, (2010). Buku Ajar lmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
3. Wirjoatmojo, K, (2000). Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar
Untuk Pendidikan S1 Kedokteran, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional.
4. Munaf, S. 2008. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta:
PT.Indeks.
5. Latief. A. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi ke-2. Bagian
Anestesiologi dan Terapi intensif FK UI.

Anda mungkin juga menyukai