Anda di halaman 1dari 22

PERSELINGKUHAN POLITIK-BIROKRASI DALAM PUSARAN

KORUPSI DI INDONESIA
Suatu Tinjauan Baru Terhadap Etika Penyelenggara Pemerintahan Daerah
Oleh; Dr. Saiful Deni, M.Si.

Sejak April 2018, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap enam kepala
daerah (Bupati Hulu Selatan Abdul Latif, Bupati Bandung Barat Abu Bakar. Empat kepala
daerah lain menjadi tersangka kasus korupsi karena terjerat kasus penyuapan, namun masih
mencalonkan kembali dalam ajang pilkada 2018 (Bupati Jombang Nyono Suharli, Bupati
Lampung Tengah Mustafa, Bupati Ngada Marianus Sae, dan Bupati Subang Imas Aryumningsih.

Maraknya OTT
1. Bupati Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan (Kalsel), Abdul Latif tertangkap
dalam operasi tangkap tangan dan diduga menerima suap Rp 3,6 miliar tanggal 1 April
2018 terkait pembangunan RSUD Damanhuri Hulu Sungai Tengah. Tersangka lainnya
adalah Fauzan Rifani selaku Ketua Kadin HST Kalsel, Abdul Basit selaku Direktur PT
Sugriwa Agung, dan Donny Witono selaku Direktur Utama PT Menara Agung.
2. Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko tertangkap dalam OTT pada 3 Pebruari 2018.
Diduga menerima suap dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Jombang Inna
Silestyowati. Nyono duga menerima suap Rp 200 juta dari Pelaksana Tugas Kepala Dinas
Kesehatan Pemkab Jombang Inna Silestyowati. Duit itu berasal dari pungli dana kapitasi
dari 34 puskesmas di Jombang hingga terkumpul Rp 434 juta dari pungli pada Juni-
Desember 2017.
3. Bupati Ngada Marianus Sae ditangkap dalam OTT yang dilakukan KPK pada 11 Pebruari
2018 karena diduga menerima uang terkait proyek di wilayah Kabupaten total Rp 4,1
miliar. KPK pun menetapkan Marianus Sae sebagai tersangka penerima suap dan
Wilhelmus Iwan Ulumbu, Direktur PT Sinar 99 Permai, yang kerap mendapatkan proyek-
proyek infrastruktur di Ngada, NTT, sebagai pemberi.
4. Bupati Subang Imas Aryumningsih tertangkap bersama bersama Kabid Perizinan DPM
PTSP Pemkab Subang, Asep Santika dan pihak swasta Data, setelah diduga menerima
suap dari pengusaha bernama Miftahhudin pada Selasa 13 Pebruari 2008. Imas diduga
menerima uang terkait pengurusan izin yang diajukan dua perusahaan, yaitu PT ASP dan
PT PBM. Miftahhudin diduga sebagai pemberi, sedangkan Imas, Data, dan Asep diduga
sebagai penerima. Pemberian suap diduga agar Imas memberikan izin pembangunan
pabrik senilai Rp 1,4 miliar. KPK mengamankan uang sebesar Rp 337.378.000 yang
berasal dari beberapa orang. Namun KPK menduga commitment fee lebih dari itu.
5. Bupati Lampung tengah Mustafa ditangkap bersama 18 orang lain dalam OTT pada 14-
15 Februari 2018 karena diduga adanya suap untuk anggota DPRD Kabupaten Lampung
Tengah terkait persetujuan DPRD atas pinjaman daerah kepada PT SMI sebesar Rp 300
miliar. Pinjaman daerah rencananya akan digunakan untuk pembangunan proyek
infrastruktur yang akan dikerjakan Dinas PUPR Kabupaten Lampung Tengah. Mustafa
diduga memberikan arahan soal dana suap kepada DPRD Lampung Tengah. KPK pun
menetapkan empat orang tersangka dalam kasus suap pinjaman daerah APBD Lampung
Tengah 2018, termasuk Bupati Mustafa. Mustafa ditetapkan sebagai tersangka sebagai
pemberi suap.
6. Abu Bakar, Bandung Barat ditetapkan sebagai tersangka suap. Penetapan tersangka ini
bermula dari operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK di daerah Bandung Barat pada
Selasa (10/4). Abu Bakar diduga menerima suap dari Kepala Badan Kepegawaian
Kabupaten Bandung Barat Asep Hikayat, yang juga ditetapkan sebagai tersangka. Dia
diduga meminta uang ke SKPD untuk kepentingan istrinya, Elin Suharliah, yang akan
maju dalam Pilbup Bandung Barat. Total uang yang disita KPK dalam operasi tangkap
tangan itu adalah Rp 435 juta.
7. Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan Rudi Erawan ditetapkan sebagai tersangka pada
31 januari 2018 setelah diduga menerima suap Rp 6,3 miliar dari mantan Kepala Balai
Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI Mustary terkait
proyek infrastruktur di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
tahun 2016. Sumber uang dari sejumlah kontraktor proyek tersebut, salah satunya Dirut
PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir.
8. Gubernur Jambi Zumi Zola KPK menetapkan Gubernur Provinsi Jambi Zumi Zola Zulkilfi
sebagai tersangka pada 2 Februari 2018. Zumi ditetapkan sebagai tersangka bersama
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jambi Arfan. Beliau diduga
disuap senilai Rp. 6. Miliar dalam pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (RAPBD) Provinsi Jambi 2018 dengan tersangka Asisten Daerah Bidang III
Provinsi Jambi Saipudin.
9. Bupati Jombang Nyono Suharli. KPK menetapkan Bupati Jombang Nyono Suharli
Wihandoko sebagai tersangka dalam kasus suap terkait perizinan pengurusan jabatan di
Pemkab Jombang. Nyono ditangkap pada 3 Februari 2018. Nyono diduga menerima
suap dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang Inna Silestyanti sebesar Rp
275 juta. Suap tersebut diberikan Inna agar Nyono selaku bupati menetapkan Inna
sebagai kepala dinas kesehatan definitif. Wakil Ketua KPK Laode M Syarief
mengungkapkan bahwa sebagian uang suap tersebut digunakan Nyono sebagai dana
kampanye dalam Pilkada 2018.
10. Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa ditetapkan sebagai tersangka dalam dua kasus
dugaan korupsi. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengungkapkan, perkara pertama,
Mustofa diduga terlibat dalam dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait
pembangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015. Selain
Mustofa, KPK menetapkan Permit and Regulatory Division Head PT Tower Bersama
Infrastructure Ockyanto (OKY) dan Direktur Operasi PT Profesional Telekomunikasi
Indonesia (Protelindo) Onggo Wijaya (OW) sebagai tersangka. Sementara dalam perkara
kedua, Mustofa selaku Bupati Mojokerto periode 2010-2015 dan 2016-2021 serta
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Mojokerto Zainal
Abidin periode 2010-2015 diduga secara bersama-sama menerima gratifikasi yang
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya. Selain Mustofa, KPK juga menetapkan Zainal Abidin sebagai tersangka.
11. Pada 24 Mei 2018 KPK menetapkan Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat sebagai
tersangka. Selain Agus, KPK juga menetapkan seorang swasta dari kontraktor proyek
Tonny Kongres, sebagai tersangka. KPK menduga Agus menerima total uang Rp 409 juta
dari kontraktor terkait proyek-proyek pekerjaan di Pemerintah Kabupaten Buton
Selatan. Sebagian sumber dana diduga berasal dari kontraktor di lingkungan Pemkab
Buton Selatan.
12. KPK menetapkan Bupati Purbalingga Tasdi sebagai tersangka dalam kasus dugaan
penerimaan hadiah atau janji terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan
Pemerintah Kabupaten Purbalingga, pada 5 Juni 2018. Selain itu, KPK juga menetapkan
Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Kabupaten Purbalingga Hadi
Iswanto sebagai tersangka. Adapun tiga tersangka lainnya berasal dari pihak swasta.
Ketiganya diduga menjadi pemberi hadiah atau janji. Mereka terdiri dari Hamdani
Kosen, Librata Nababan, dan Ardirawinata. Tasdi diduga menerima fee senilai Rp 100
juta dari pemenang proyek pembangunan Islamic Center tahap dua tahun 2018 senilai
Rp 22 miliar.
13. KPK menetapkan Bupati Tulungagung 2013-2018 Syahri Mulyo sebagai tersangka pada 8
Juni 2018. Syahri diduga menerima suap dari kontraktor Susilo Prabowo. Di
Tulungagung, Susilo diduga memberikan hadiah atau janji sebesar Rp 1 miliar kepada
Syahri melalui pihak swasta Agung Prayitno. Baca juga: Kasus DPRD Kota Malang, KPK
Terima Pengembalian Rp 187 Juta dari 15 Tersangka Diduga pemberian tersebut terkait
fee proyek-proyek pembangunan infrastruktur peningkatan jalan pada Dinas Pekerjaan
Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Tulungagung.
14. Wali Kota Blitar. Pada 8 Juni 2018, KPK menetapkan Muhammad Samanhudi Anwar
sebagai tersangka. Dia diduga menerima suap dari kontraktor Susilo Prabowo. Di Blitar,
KPK menduga Samanhudi menerima pemberian dari Susilo melalui pihak swasta
bernama Bambang Purnomo sekitar Rp 1,5 miliar. Uang itu diduga terkait ijon proyek-
proyek pembangunan sekolah lanjutan pertama di Blitar dengan nilai kontrak Rp 23
miliar.
15. Pada 4 Juli 2018, KPK menetapkan Bupati Bener Meriah Ahmadi sebagai tersangka.
Ahmadi terjerat kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait dengan
pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOCA) Tahun Anggaran
2018 pada Pemerintah Provinsi Aceh. Diduga, Ahmadi menyuap Gubernur Aceh Irwandi
Yusuf. KPK menduga upaya pemberian uang Rp 500 juta dari Ahmadi kepada Irwandi
terkait fee ijon proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang bersumber dari Dana
Otonomi Khusus Aceh Tahun 2018. 18. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Penetapan
tersangka Irwandi Yusuf bersamaan dengan penetapan tersangka Bupati Bener Meriah
Ahmadi. Irwandi diduga menerima suap dari Ahmadi terkait fee ijon proyek-proyek
pembangunan infrastruktur yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh Tahun
2018. Diduga pemberian Rp500 juta tersebut merupakan bagian dari commitment fee 8
persen yang menjadi bagian untuk pejabat di Pemerintah Aceh dan setiap proyek yang
dibiayai dari dana DOKA. Baca juga: Saat Hujan, KPK Kejar-kejaran dengan Perantara
Suap Bupati Labuhanbatu 19. Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap Bupati
Labuhanbatu Pangonal Harahap ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap terkait
proyek di lingkungan Kabupaten Labuhanbatu Tahun Anggaran 2018, Rabu (18/7/2018).
Selain Pangonal, KPK juga menetapkan pihak swasta bernama Umar Ritonga sebagai
tersangka. Umar dan Pangonal diduga sebagai penerima suap. Tidak hanya itu, KPK juga
menetapkan pemilik PT Binivan Konstruksi Abadi Effendy Sahputra sebagai tersangka.
Effendy diduga sebagai pemberi suap. Bukti transaksi sebesar Rp 576 juta diduga
merupakan bagian dari pemenuhan dari permintaan bupati (Pangonal) sekitar Rp 3
miliar. PenulisAbba Gabrillin EditorSabrina Asril TAG: KPK Berita Terkait Berkas Caleg
PAN Sultra Akhirnya Diterima setelah Ditandatangani Pengurus yang Ditahan KPK KPK
Panggil Mantan Bupati Buton Sjafei Kahar Kasus Gubernur Aceh, KPK Periksa Model
Steffy Burase KPK Sita Dokumen hingga Rekaman CCTV Saat Geledah Kantor PLN, DPR
dan Indonesia Power Usai Geledah Kantor Pusat PLN, KPK Bawa 3 Koper Hitam dan 3
Kardus KOMENTAR Ada 0 komentar untuk artikel ini Kompas.com tidak bertanggung
jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab
komentator seperti diatur dalam UU ITE TERKINI LAINNYA Ribuan Kendaraan Hias
Ramaikan Pawai Tahun Baru Hijriyah REGIONAL 11/09/2018, 10:02 WIB 5 Berita
Terpopuler Nusantara: Kecelakaan Bus hingga "Video Call" Siswi Telanjang REGIONAL
11/09/2018, 09:56 WIB Mobil Hilang Kendali dan Tabrak Pohon di Jakarta Utara, 1
Orang Tewas MEGAPOLITAN 11/09/2018, 09:49 WIB 17 Tahun Berlalu, 1.111 Korban
Tragedi 9/11 Belum Dapat Diidentifikasi INTERNASIONAL 11/09/2018, 09:40 WIB
Kunjungi Dongdaemun di Korea Selatan, Jokowi Teringat Tanah Abang NASIONAL
11/09/2018, 09:17 WIB Eko Terpaksa Tinggalkan Rumah akibat Akses Jalan Tertutup
Rumah Tetangga REGIONAL 11/09/2018, 09:06 WIB Tanggapan Grab atas Unjuk Rasa
Pengemudi MEGAPOLITAN 11/09/2018, 08:54 WIB Polisi: Sejarawan Peter Kasenda
Meninggal karena Sakit NASIONAL 11/09/2018, 08:49 WIB Ratusan Koin Emas Era
Romawi Ditemukan di Ruang Bawah Tanah INTERNASIONAL 11/09/2018, 08:46 WIB Jika
Umumnya Gitar dari Kayu, Kakek Ini Bikin dari Batang Bambu REGIONAL 11/09/2018,
08:25 WIB Surati Trump, Kim Jong Un Inginkan Pertemuan Bersejarah Jilid II
INTERNASIONAL 11/09/2018, 08:06 WIB Cegah Korupsi Massal Terulang, Soekarwo Usul
Legislator Diawasi Secara Personal REGIONAL 11/09/2018, 07:36 WIB Tak Hanya
Konblok, Warga Juga Pernah Lihat Besi, Kayu, hingga Sampah Dilempar dari Rusun
Kemayoran MEGAPOLITAN 11/09/2018, 07:34 WIB Waspada, Depok, Bekasi, dan Bogor
Akan Dilanda Angin Kencang Siang Ini MEGAPOLITAN 11/09/2018, 07:28 WIB Polisi:
Daripada Ganjil-Genap, Lebih Baik Lebarkan Jalan di Depok MEGAPOLITAN 11/09/2018,
07:26 WIB LOAD MORE TERPOPULER 1 Anggodo Widjojo, Sosok di Balik Kasus Cicak Vs
Buaya, Meninggal Dunia Dibaca 137.302 kali 2 ICW: Tak Bisa Lagi Mengelak, Roy Suryo
Sebaiknya Kembalikan Barang Milik Negara Dibaca 47.389 kali 3 Tiba di Istana, Presiden
Jokowi Disambut ala Raja Korea Kuno Dibaca 45.301 kali 4 Saat Presiden Jokowi Beri
Kejutan bagi WNI di Korea Selatan Dibaca 22.158 kali 5 Roy Suryo Merasa Terbantu
Selesaikan Masalah Barang Negara Berkat Bimbingan SBY Dibaca 16.553 kali NOW
TRENDING Indonesia Masuk Daftar 8 Negara dengan Risiko Krisis Paling Kecil AHY: Kader
Demokrat Bebas Tentukan Sikap pada Pilpres 2019 Presiden Korsel Ajak Jokowi Blusukan
"Macetnya Parah di Depok, apalagi Margonda, Bikin Orang Cepat Tua..." Di Hadapan
Para Santri, Prabowo Salah Sebut Kroasia Sebagai Juara Piala Dunia Sejarawan Peter
Kasenda Diduga Sudah Meninggal Beberapa Hari di Rumahnya Merasa Difitnah, PKS
Depok Lapor Polisi Waketum Gerindra Akui Pendaftaran #2019PRABOWOPRE SIDEN s

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Januari-Juli 2018, 19 Kepala
Daerah Ditetapkan Tersangka oleh
KPK", https://nasional.kompas.com/read/2018/07/19/07554661/januari-juli-2018-19-
kepala-daerah-ditetapkan-tersangka-oleh-kpk. Penulis : Abba Gabrillin Editor : Sabrina
Asril

Liputan6.com, Jakarta - Badan Kepegawaian Nasional (BKN) menyatakan siap


mendukung penuntasan kasus Aparatur Sipil Negara (ASN) alias Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi (Tipikor).

Bentuk dukungan tersebut dengan cara melakukan pemblokiran data kepegawaian


terhadap 188 ASN korupsi yang telah ditetapkan dalam keputusan hukuman tetap
(inkracht) dan belum diberhentikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK)
instansinya.

"Langkah pemblokiran tersebut diambil sebagai tindakan meminimalisasi kerugian


negara untuk mencegah ASN yang terbukti korupsi tidak dibayar negara," ujar Kepala
Biro Hubungan Masyarakat BKN Mohammad Ridwan di Jakarta, Selasa (17/7/2018).

Selain pengawasan dan pengendalian, BKN secara langsung untuk menyisir kasus
ASN Tipikor. Pemblokiran juga dilakukan atas laporan yang disampaikan PPK instansi
kepada BKN melalui Kedeputian Pengawasan dan Pengendalian Kepegawaian.

"BKN turut mengapresiasi PPK instansi yang memiliki komitmen bersama menuntaskan
kasus ASN Tipikor dan mencegah terjadinya kerugian negara," kata dia.

BKN melalui Kedeputian Bidang Pengawasan dan Pengendalian Kepegawaian bekerja


sama dengan Kedeputian Bidang Pencegahan KPK.

Kerja sama tersebut menuntaskan masalah kasus-kasus keterlibatan PNS dalam tindak
pidana korupsi (tipikor) dan telah ditetapkan dalam keputusan hukum tetap
(inkracht). Hal tersebut dituangkan melalui Surat Deputi Bidang Pencegahan KPK
Nomor:B-1213/KSP.00/10-16/03/2018 pada 1 Maret 2018.

Kerja sama itu menyepakati dua hal perihal penegakan disiplin PNS sesuai peraturan
manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) antara lain:

1.Pemberhentian tidak dengan hormat terhadap ASN atau PNS yang telah ditetapkan
dalam keputusan hukum tetap (inkracht) dinyatakan bersalam dalam kasus tindak
pidana korupsi.

2.Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari jabatan yang terindikasi dugaan


suap/pungli.

Kemudian menindaklanjuti komitmen penuntasan kasus PNS tipikor, BKN telah


melayangkan imbauan kepada seluruh pejabat Pembina kepegawaian (PPK) instansi
pusat dan daerah melalui Surat Kepala BKN Nomor K 26-30/V 55-5/99 pada 17 April
2018 perihal Koordinasi Bersama terkait pengawasan dan pengendalian kepegawaian.

Ada empat hal utama yang disampaikan Kepala BKN kepada seluruh PPK instansi
lewat surat itu antara lain:

1.Imbauan dengan meminta PPK menerbitkan surat keputusan pemberhentian tidak


dengan hormat bagi PNS di lingkungan instansinya yang dihukum penjara atau
kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan dan tindak pidana kejahatan yang
ada hubungannya dengan jabatan dan pidana umum.

2.Imbauan agar PPK memastikan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari


jabatan di lingkungan instansinya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan memastikan tidak ada praktik suap dan pungli.

3.Apabila kedua hal itu tidak dilaksanakan oleh PPK instansi, akan ditindaklanjuti
pengawasan bersama yang dilakukan oleh BKN dan KPK.

4. Hasil pengawasan bersama akan ditindaklanjuti oleh BKN dan KPK sesuai dengan
kewenangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah akhirnya memecat 2.357 pegawai negeri sipil


yang berstatus koruptor, Kamis (13/9/2018). Sebelumnya, para PNS tersebut masih
menerima gaji dari negara, padahal kasus hukum yang menjeratnya sudah berkekuatan
hukum tetap. Awalnya, data soal PNS koruptor ini diungkap oleh Badan Kepegawaian
Negara (BKN). Pemecatan dilakukan agar tidak merugikan negara dan menciptakan
pemerintahan yang efektif, efisien, serta bersih dari tindak korupsi. Setelah sekitar satu
minggu, pemerintah akhirnya melakukan pemecatan dengan tidak hormat. Berikut
fakta-fakta terkait 2.357 PNS koruptor yang dirangkum Kompas.com: 1. Temuan
berawal dari pendataan ulang PNS Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan,
penemuan mereka berawal pada upaya BKN melaksanakan pendataan ulang pegawai
negeri sipil (PUPNS) tahun 2015. Pendataan ulang bertujuan untuk mendapatkan data
akurat, terintegrasi untuk mendukung pengelolaan dan pengembangan sistem informasi
kepegawaian. Baca juga: Data BKN, Ada 2.357 Koruptor yang Masih Berstatus PNS
Dari penelusuran di PUPNS, ada sekitar 97.000 PNS yang tidak mengisi PUPNS
tersebut. Setelah dilakukan penelusuran, mereka yang tidak mengisi PUPNS
disebabkan berbagai hal, salah satunya terkait tindak pidana korupsi. 2. Salah siapa?
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Raharjo berpendapat, fakta bahwa
ada 2.357 koruptor masih berstatus pegawai negeri sipil (PNS) adalah kesalahan dari
kejaksaan. "Setelah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, mestinya jaksa eksekutor
memberikan informasi itu kepada instansi (asal terdakwa). Karena eksekutornya,
jaksanya kan pastinya sudah tahu bahwa perkaranya sudah inkrah," ujar Agus saat
dijumpai di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu (5/9/2018). Pemberitahuan jaksa
tersebut sebagai salah satu bentuk mekanisme hukum agar instansi tempat terdakwa
bekerja dapat langsung memproses statusnya. Baca juga: 2.357 Koruptor Masih
Berstatus PNS, KPK Salahkan Jaksa Eksekutor Namun, Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) Tjahjo Kumolo berpendapat lain. Ia menilai, hal itu lantaran adanya surat
edaran Kemendagri pada 29 Oktober 2012. Menurut Tjahjo, surat tersebut seolah
membolehkan para PNS terlibat korupsi tetap menduduki jabatan struktural. Tjahjo
menyatakan, surat edaran tersebut telah dicabut dan sudah dikeluarkan Surat Edaran
baru Nomor 180/6867/SJ tentang Penegakan Hukum terhadap Aparatur Sipil yang
melakukan tindak pidana korupsi. 3. Tiga besar instansi dan wilayah dengan jumlah
PNS koruptor terbanyak Berdasarkan data BKN, Kementerian Perhubungan tercatat
sebagai instansi yang memiliki koruptor berstatus PNS terbanyak. Jumlah PNS yang
terjerat kasus korupsi di Kemenhub tercatat sebanyak 16 orang. Di posisi kedua,
terdapat Kementerian Agama dengan 14 orang. Selanjutnya, diikuti Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, juga Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi yang jumlahnya 9 orang. Baca juga: 2.357 Koruptor Berstatus PNS,
Ini Detail Berdasarkan Instansi dan Daerah Sementara di tingkat daerah, Provinsi
Sumatera Utara menempati peringkat teratas jumlah PNS yang terjerat korupsi, yaitu
sebanyak 298 orang. Posisi kedua diisi oleh Provinsi Jawa Barat dengan jumlah PNS
koruptor sebanyak 193 orang. Disusul dengan Provinsi Riau di peringkat ketiga dengan
total 190 orang. 4. Pemecatan tidak hormat Mendagri Tjahjo Kumolo bersama Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Syafruddin
dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana meneken surat keputusan bersama terkait
pemecatan 2.357 pegawai negeri sipil (PNS) yang berstatus koruptor. SKB tersebut
secara umum mengatur pemberhentian tidak hormat para PNS yang terlibat korupsi.
Baca juga: Mendagri, Menpan RB, dan Kepala BKN Teken SKB Pemecatan 2.357 PNS
Koruptor “Pelaksanaan keputusan bersama ini diselesaikan paling lama bulan
Desember 2018," ucap Tjahjo di Hotel Grand Sahid Jaya, Jalan Jenderal Sudirman,
Jakarta Pusat, Kamis (13/9/2018). Penandatanganan SKB itu merupakan tindak lanjut
dari pembahasan yang dilakukan antara Mendagri, Menpan RB, dan Kepala BKN di
Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa (4/9/2018). 5. Data Masih Fluktuatif Kepala
BKN Bima Haria Wibisana mengatakan, saat ini, jumlah PNS koruptor yang telah
divonis inkrah masih terus diverifikasi dan divalidasi. "Ini sementara sudah berkurang,
ada beberapa kabupaten atau kota yang secara proaktif langsung melakukan
pemberhentian, sudah ada yang masuk (datanya) tapi belum kami hitung,” kata Bima di
Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Kamis (13/9/2018). Baca juga: Populer
Nasional: Iklan Pemerintah di Bioskop, Pemecatan 2.357 PNS Koruptor, dan Jawaban
TGB soal Prasasti SBY “Tapi ada juga yang bertambah kalau misalnya ada tambahan-
tambahan dari Kumham (Kementerian Hukum dan HAM), karena sampai saat ini masih
banyak putusan yang belum inkrah, masih banding," sambung Bima.
Sebagai informasi, pemberian sanksi kepada PNS yang telah divonis bersalah dan
telah inkracht tersebut harus diberhentikan dengan tidak hormat. Hal tersebut sesuai
dengan ketentuan Pasal 87 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara jo Pasal 251 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
tentang manajemen PNS.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "5 Fakta soal 2.357 PNS Koruptor
yang Akhirnya Dipecat", https://nasional.kompas.com/read/2018/09/14/07400111/5-
fakta-soal-2357-pns-koruptor-yang-akhirnya-dipecat.
Penulis : Devina Halim
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

TEMPO.CO, BANDUNG - Fakta yang diungkapkan Kepala Badan Kepegawaian


Nasional Bima Haria Wibisana sungguh mengemparkan. Bima di Bandung, Rabu 20
April 2016, menyebutkan, ada 57 ribu Pegawai Negeri Sipil di seluruh Indonesia tidak
mendaftar ulang. Mereka menerima gaji, tapi statusnya tak jelas.

"Sedang kami investigasi, apakah mereka ini eksis atau tidak," kata Bima. Mereka,
juga sedang ditelusuri, apakah sudah pensiun, sakit lama dan tak masuk, atau
mungkin tidak ada orangnya alias siluman.

Data itu, menurut Bima, terungkap setelah BKN mewajibkan semua pegawai negeri
untuk mengisi ulang data mereka lewat program E-PUPNS atau Pendataan Ulang
Pegawai Negeri Sipil secara Elektronik. Program itu memperbarui data milik PNS
yang ada di lembaganya.

Dulu, biasanya yang menyerahkan data itu adalah Biro Kepegawaian Daerah atau
Kepala Biro Sumber Daya Manusia (SDM). Sekarang, dengan program baru itu, BKN
meminta mereka mengisi sendiri.

Semula, kata Bimo, ada 93 ribu orang tak terdaftar. Namun setelah disisir, ternyata
mereka sebagian sudah pensiun. Kalau pensiun secara normal, sesuai ketentuan,
menurut Bimo, biasanya akan tercatat di BKN. "Tapi kalau pensiunnya atas
permintaan sendiri, tak tercatat" kata Bima.

Dengan selisih angka itu, Bima lalu mengerahkan timnya menyisir lagi. Misalnya
verifikasi dari data tiap instansi di Biro Kepegawaian Daerah, BKN regional, serta BKN
pusat. “Setelah disisir, siapa yang masih hidup, meninggal, ketemulah angka 57 ribu
orang,” kata dia.
Namun itu pun masih menganggu Bima. Soalnya ini menyangkut gaji yang dibayarkan
tiap bulan. Karena itu, menurut Bima, salah satu yang dilakukan timnya sekarang
adalah menyetop gaji 57 ribu pegawai itu. "Katakanlah 50 ribu orang, ambil gaji
terendah PNS Rp 2 juta, sebulan sudah Rp 100 miliar, setahun sudah Rp 1,2 triliun."

Bima sendiri sudah menyisir konfigurasi 57 ribu PNS yang belum jelas datanya.
Ternyata, tak hanya pegawai pemerintah daerah, tapi juga terdapat pegawai beberapa
Kementerian/Lembaga. Bahkan banyak juga mereka berasal dari kampus-kampus.

Bima mencontohkan PNS di perguruan tinggi yang jumlah seluruhnya 120 ribu orang,
ada lima ribu orang tidak jelas datanya. “Perguruan tinggi ini yang jelas isinya orang
pandai semua, tapi ada juga yang gak jelasnya" kata Bima.

Hingga saat ini, kata Bima, upaya penyetopan gaji itu, belum ada yang protes. “Kalau
ada yang teriak, berarti ada orangnya. Ini kan tetap, orangnya ada atau tidak?” kata
dia.

Menurut Bima, data jumlah PNS di Indonesia terus bergerak karena ada pegawai
yang baru diangkat dan ada yang pensiun. Dia mencontohkan, tahun ini misalnya ada
120 ribu PNS yang akan pensiun. “Datanya terus bergerak, ada yang masuk sekolah
kedinasan otomatis datanya gerak terus. Kalu ditanya berapa, angka per Desember
2015 lalu itu 4,5 juta orang,” kata dia.

AHMAD FIKRI
TEMPO.CO, Jakarta - Hasil kajian Indonesia Corruption Watch terhadap vonis perkara
korupsi selama 2015 menunjukkan angka korupsi di lingkaran pemerintah, terutama
pemerintah daerah, masih tinggi.

"Pantauan kami, ada 225 terdakwa korupsi dari lingkungan pejabat atau pegawai di
lingkungan pemerintah. Sementara itu, di swasta, ada 140 terdakwa," ujar anggota
Divisi monitoring dan Hukum Peradilan ICW, Aradila Caesar, Ahad, 7 Februari 2016.

Angka tersebut, kata Caesar, bahkan lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 dan 2014.
Pada 2013, terdapat 141 pejabat atau pegawai negeri yang menjadi terdakwa korupsi,
sementara 2014 ada 171 terdakwa.

Caesar menduga masih tingginya angka korupsi di kalangan pejabat atau pegawai
negeri karena ancaman hukuman minimal yang ringan dibanding swasta.
Sebagaimana disebutkan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, mereka yang menyalahgunakan wewenangnya dan merugikan negara
dihukum minimal 1 tahun penjara.
Hal itu berbeda dengan besaran hukuman minimal pada nonpejabat atau pegawai
negara. Sebagaimana dikutip dari Pasal 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
ancaman hukumannya minimal 4 tahun. "Dan ini diperparah dengan hakim yang
cenderung memilih hukuman minimum," tuturnya.

Menurut Caesar, kalau perbedaan hukuman yang jomplang ini direvisi, jumlah pejabat
atau pegawai negeri yang korupsi bisa berkurang. "Pasal 2 dan 3 itu, menurut saya,
terbalik. Masak, yang merugikan negara dihukum lebih ringan," ujarnya.

ISTMAN M.P.

 Korupsi Pegawai Negeri Sipil | PNS


 ICW

Penangkapan 41 anggota DPRD Kota Malang terkait korupsi APBD membuat publik
kembali mempertanyakan jargon antikorupsi yang kerap didengungkan. Praktik ini
mengonfirmasi fenomena gunung es praktik kongkalikong dalam pembahasan
anggaran.

Tercatat sejak pertengahan 2017, puluhan elite lokal daerah, parlemen daerah, dan
kepala daerah terjerat dalam transaksi gelap pengesahan APBD. KPK telah
menetapkan tersangka korupsi APBD: kepala daerah dan DPRD di Provinsi Sulawesi
Barat, Jambi, Kota Mojokerto, dan terakhir Kota Malang.

Fakta ini seolah-olah mencerminkan paradoks demokrasi dan desentralisasi di


Indonesia yang telah bergulir hampir dua dasawarsa. Penguatan fungsi anggaran
legislatif yang sedianya untuk memperkuat akuntabilitas anggaran publik termanipulasi
menjadi ajang bagi-bagi rente anggaran. Desentralisasi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat daerah justru dibajak gerombolan elite lokal.

Praktik kongkalikong dalam pembahasan anggaran bukan hal baru. Bancakan


anggaran juga marak terjadi di aras nasional. Deretan kasus korupsi proyek
pembangunan infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara, KTP elektronik, dana
penyesuaian infrastruktur, wisma atlet, dan pencetakan Al Quran memiliki modus
serupa dengan korupsi anggaran lain.

Pembahasan anggaran di legislatif memang merupakan ruang transaksi kepentingan


yang rawan. Eksekutif berkepentingan agar anggaran yang diajukan disetujui legislatif.
Di sisi lain, anggota legislatif berkepentingan agar anggaran bisa melayani kepentingan
konstituen sebagai bentuk hubungan patronase dan akumulasi kapital dalam
mempertahankan kekuasaan.

Banyak pihak menyinyalir praktik kongkalikong pembahasan anggaran yang terus


berulang ini terjadi karena biaya politik demokrasi liberal yang mahal dan insentif yang
relatif tidak mencukupi. Pemerintah sebenarnya merespons dengan menerbitkan PP
Nomor 18 Tahun 2017 guna menambah tunjangan dan fasilitas parlemen daerah dan
PP Nomor 1 Tahun 2018 untuk menaikkan bantuan dana partai politik hingga sepuluh
kali lipat. Berbagai tunjangan dan fasilitas juga mengguyur legislatif di tingkat pusat,
tetapi tetap saja tidak mampu mengekang hasrat membajak anggaran rakyat.

Persoalan sistemik
Sebenarnya memandang persoalan korupsi politik pada arena pembahasan anggaran
sebatas pada penghasilan para elite politik kurang tepat. Persoalan sebenarnya lebih
sistemik terkait sistem perekrutan politik. Barry Ames (2001) menegaskan sistem
pemilu sebagai faktor determinan perilaku politisi pada saat menjabat. Perubahan
sistem pemilu menjadi proporsional daftar terbuka sejak Pemilu 2009 ditengarai
berkontribusi terhadap perilaku korup para legislator dalam arena pembahasan
anggaran.

Sistem pemilu ini telah mengubah fokus dari partai politik ke personal kandidat.
Kandidat lebih memprioritaskan membangun hubungan personal dengan konstituennya
secara langsung daripada membangun hubungan melalui partai politik. Tidak heran,
berbagai survei mengonfirmasi rendahnya identifikasi pemilih terhadap partai (party ID).

Sebagai konsekuensi sistem proporsional daftar terbuka, peluang petahana untuk


terpilih kembali memiliki tingkat ketidakpastian tinggi dan mendorong mereka mencari
tambahan sumber daya untuk membiayai kampanyenya (Chang, 2005).

Politisi yang ingin meningkatkan peluang terpilih kembali perlu memberikan manfaat
yang dapat dirasakan konstituennya. Praktik yang terjadi terus-menerus ini akhirnya
terlembagakan dan menjadikan hubungan para politisi petahana dengan konstituennya
menjadi hubungan patronase.

Hal ini juga yang mendorong para legislator lebih tertarik dalam proses pembahasan
anggaran daripada kebijakan publik lain. Hicken dan Simmons (2008) menggarisbawahi
sistem pemilu yang berbasis keterpilihan suara individu tidak hanya membuat inefisiensi
anggaran, tetapi juga menjadikan proses pembahasan anggaran rentan terhadap
praktik korupsi.

Selain terdegradasi perannya pada aras konstituen, partai politik juga tidak hadir pada
saat pembahasan anggaran dan arena politik pembuatan kebijakan lainnya. Partai
politik hanya hadir mengoordinasikan anggotanya dan memberikan arahan yang jelas
jika menyangkut kebijakan terkait perebutan kekuasaan seperti RUU Pemilu.
Riset yang dilakukan penulis menemukan identitas anggota legislatif sebagai alat
kelengkapan lebih kuat dibandingkan identitasnya sebagai anggota partai politik atau
anggota koalisi partai politiknya (Farhan, 2018). Beberapa perdebatan terkait
pembahasan anggaran bahkan terjadi antar-alat kelengkapan yang berasal dari satu
partai. Tidak ada kontestasi partai politik, baik sebagai partai pemerintah maupun
nonpemerintah, dalam arena politik pembahasan anggaran.

Pembahasan anggaran yang bersifat konsensus dan kesepakatan-kesepakatan


informal yang terjadi dalam arena pembahasan anggaran juga berkontribusi pada
terdegradasinya peran partai politik.

Kombinasi antara sistem pemilu yang berfokus pada suara individu yang memotivasi
legislator memanipulasi sumber daya anggaran, ditambah dengan ketidakhadiran partai
politik dalam arena pembahasan anggaran yang bersifat konsensus, pada akhirnya
terlembagakan menjadi jaringan transaksi ilegal yang terorganisasi dan membentuk
elite kartel politisi terlepas dari aliansi partai politiknya.

Maka, tidaklah mengherankan apabila korupsi anggaran yang terjadi, baik di nasional
maupun daerah, kerap melibatkan legislator lintas partai politik, baik yang berasal dari
partai koalisi pemerintah maupun partai pengusung kepala daerah, dengan partai yang
berada di luar pemerintahan.

Bukan tidak mungkin kartelisasi korupsi anggaran ini masih akan terus menjamur
dengan diloloskannya para bekas koruptor terjun dalam kontestasi Pemilu 2019.

Kiranya apa yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer semakin relevan dengan
kondisi saat ini: ”Barangkali saja orang akan mengingat tulisanku ini: Akan ada
permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang
politik”.

Yuna Farhan Alumnus Doktoral University of Sydney; Sekjen Fitra 2009-2013

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 18 September 2018


Penindak 200 200 20 200 200 200 201 201 201 201 201 201 201
an 4 5 06 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6

Penyelidik 23 29 36 70 70 67 54 78 77 81 80 87 96
an

Penyidikan 2 19 27 24 47 37 40 39 48 70 56 57 99

Penuntuta 2 17 23 19 35 32 32 40 36 41 50 62 76
n
Penindak 200 200 20 200 200 200 201 201 201 201 201 201 201
an 4 5 06 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6

Inkracht 0 5 14 19 23 37 34 34 28 40 40 38 71

Eksekusi 0 4 13 23 24 37 36 34 32 44 48 38 81

Laporan Harta Kekayaan Pejabat. Kewajiban Penyelenggara Negara untuk


melaporkan harta kekayaan diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme,
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi,
dan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 07 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara.
Jumlah Wajib LHKPN per 30 Juni 2018 sebanyak 322.213. Dari jumlah tersebut yang
telah melaporkan LHKPN pada jabatan saat ini sebesar 160.739, sehingga tingkat
kepatuhan LHKPN secara nasional sampai dengan tanggal tersebut sebesar 66,59%.
Informasi lebih rinci bisa dilihat pada tabel di bawah.
Lkjljl
Dcdwf
Dbdfdf
JAKARTA, Indonesia - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali dinilai menjadi
lembaga yang paling korup oleh publik. Setidaknya itu yang tertuang dari hasil survei
yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII). Dari data Global Corruption
Barometer (GCB) 2017 versi Indonesia yang diterbitkan TII, ada 54 persen responden
yang menilai lembaga yang mewakili rakyat itu sebagai lembaga terkorup. Survei GCB
2017 versi Indonesia dilakukan dengan mewawancarai 1.000 responden usia 18 tahun
ke atas yang tersebar di 31 provinsi.
Wawancara responden dilakukan dengan tatap muka atau melalui jaringan telepon.
Para responden diberikan pertanyaan berdasarkan 5 indikator yakni masyarakat
melawan korupsi, tingkat korupsi, kinerja pemerintah, suap layanan publik dan korupsi
di lembaga negara.

Menurut TII, GCB yang diluncurkan pada Selasa, 7 Maret adalah hasil survei
pandangan publik atau masyarakat pada umumnya mengenai korupsi atau praktik suap
di negara mereka selama 12 bulan terakhir. Pengalaman-pengalaman pribadi mereka
menjadi tolak ukur kinerja lembaga negara atau publik dalam memberantas praktik
korupsi atau suap.

Hasilnya, DPR menjadi lembaga yang berada di puncak yang disebut kerap melakukan
praktik korupsi. Di peringkat bawahnya terdapat birokrasi, DPRD, Dirjen Pajak dan
kepolisian. Temuan ini cukum menarik mengingat biasanya publik beranggapan justru
Polri menjadi institusi yang paling korup.

Penilaian publik bahwa DPR adalah lembaga terkorup didukung dengan fakta sejak
tahun 2004 hingga 2013, terdapat 74 anggota DPR yang tersangkut kasus korupsi.
Sementara, untuk anggota DPRD Provinsi yang terjerat kasus korupsi sebanyak 2.545
orang dan 431 anggota DPRD Kabupaten/Kota tersangkut praktik serupa. Data itu
diolah TII dari Kementerian Dalam Negeri dan KPK.

Dalam pemaparan TII juga terungkap sebanyak 64 persen responden menilai tingkat
korupsi di Indonesia naik dalam 12 bulan terakhir.

“Hal itu juga tidak lepas dari pemberitaan di media yang begitu masif terhadap kasus
korupsi yang berhasil diungkap oleh KPK,” ujar Sekretaris Jenderal TII, Dadang
Trisasongko pada Selasa kemarin.

Pemerintah pun dinilai publik memiliki kinerja yang baik dalam memberantas korupsi.
Hal itu didukung dengan 640 dari 1.000 responden yang berpendapat demikian.

“GCB menggambarkan optimisme pemberantasan korupsi di Indonesia. Di tengah


intensitas skala korupsi yang terungkap, tetapi ada juga optimisme. Publik percaya
pemerintah serius (memberantas korupsi),” kata Dadang.

Namun, dalam survei itu juga terungkap sebanyak 32 persen mengaku pernah
melakukan suap. Sementara, ketika pertanyaan serupa ditanyakan kepada warga di
Jepang, angkanya sangat jomplang yakni hanya 0,4 persen. Di Thailand, angkanya
sedikit lebih tinggi dibandingkan Indonesia yakni 41 persen.
Lalu, bagaimana untuk memperbaiki kinerja DPR agar tidak menjadi lembaga terkorup?
TI Indonesia memberi rekomendasi agar lembaga legislatif dan partai politik melakukan
upaya lebih untuk mencegah korupsi politik.

Posisi DPR kini menggantikan Polri dengan berada di posisi puncak. TI juga
memberikan rekomendasi agar akses dan jaminan yang diberikan bagi
pelapor/saksi/korban kasus korupsi terus ditingkatkan.

Dari hasil survei, sebanyak 38 persen responden mengaku takut terhadap konsekuensi
yang akan mereka hadapi jika melaporkan adanya perbuatan tindak korupsi.
Sementara, 14 persen responden mengaku tidak tahu harus ke mana untuk melapor
jika mengetahui adanya perbuatan korup.

Sebanyak 12 persen responden justru sudah antipati karena menurut mereka tidak ada
gunanya melaporkan hal itu, karena tidak ada tindak lanjutnya.

TI juga memberikan rekomendasi mengenai programm Saber Pungli (Sapu Bersih


Pungutan Liar) yang digagas oleh pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Berdasarkan survei terhadap responden GCB 2017, rupanya praktik suap itu belum
hilang sepenuhnya.

“Penyuapan itu dilakukan ke berbagai lembaga, seperti ke sekolah, rumah sakit,


dukcapil, air/listrik, polisi dan pengadilan,” kata Dadang.

Publik, kata dia, berharap Saber Pungli bisa tetap menjaga inovasi dan semakin
memberikan perasaan aman pelapornya. TI juga berharap publik semakin berani untuk
melakukan berbagai cara demi menghancurkan praktik korupsi di Indonesia. -
Rappler.com

Anda mungkin juga menyukai