Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1. ANATOMI KELOPAK MATA
Pada kelopak terdapat bagian-bagian:
- Kelenjar seperti: kelenjar sebasea. Kelenjar Moll atau keringat, kelenjar
Zeis pada pangkal rambutdan kelenjar Meibom pada tarsus.
- Otot seperti: M. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam
kelopak atas dan bawah, terletak dibawah kulit kelopak. Pada dekat tepi
margo palpebra terdapat otot orbikularis okuli yang disebut sebagai M.
Rioland M. orbikularis berfungsi menutup bola mata yang dipersarafi N.
Fasial M. Levator palpebra, yang berorigo pada annulus foramen orbita
dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian menembus M. orbikularis
okuli menuju kulit kelopak bagian tengah. Bagian kulit tempat insersi M.
levator palpebra terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebra. Otot ini
dipersarafi oleh N. III, yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata
atau membuka mata.
- Di dalam kelopak terdapat tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan
kelenjar di dalamnya atau kelenjar Meibom yang bermuara pada margo
palpebra.
- Septum orbita yang merupakan jaringan fibrosis yang berasal dari rima
orbita sebagai pembatas isi orbita yang melekat pada rima orbita pada
seluruh lingkaran pembukaan rongga orbita. Tarsus terdiri atas jaringan
ikat yang merupakan jaringan penyokong kelopak dengan kelenjar
Meibom.
- Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a. palpebra
- Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari rumus frontalis
saraf V, sedang kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V. (1)

1
Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata,
serta mengeluarkan sekresi kelenjar yang membentuk film air mata di
depan kornea.
Kelopak merupakan alat menutup mata yang berguna untuk
melindungi bola mata terhadap trauma, trauma sinar dan keringnya bola
mata. (1)
- Kelopak mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan
sedang di bagian belakang ditutupi selaput lender tarsus yang disebut
konjungtiva tarsal.

2
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Infeksi dan Radang Palpebra


2.1.1. HORDEOLUM
Hordeolum adalah infeksi kelenjar di palpebra. Bila kelenjar meibom
terkena, timbul pembengkakan besar yang disebut hordeolum interna (gambar).
Hordeolum eksterna yang lebih kecil dan lebih superficial (sty) adalah infeksi di
kelenjar Zeis atau Moll.
Nyeri, merah dan bengkak adalah gejala-gejala utamanya. Intensitas nyeri
mencerminkan hebatnya pembengkakan palpebra. Hordeolum interna dapat
menonjol ke kulit atau ke permukaan konjungtiva. Hordeolum eksterna selalu
menonjol ke arah kulit.
Sebagian besar hordeolum disebabkan oleh infeksi stafilokok, biasanya
Staphlococcus aureus. Jarang diperlukanbiakan. Pengobatannya adalah kompres
hangat 3-4 kali sehari selama 10-15 menit. Jika keadaan tidak membaik dalam
48 jam, dilakukan insisi dan drainase bahan purulen. Hendaknya dilakukan
insisi vertikal pada permukaan konjungtiva untuk menghindari terpotongnya
kelenjar meibom. Sayatan ini dipencet untuk mengeluarkan sisa nanah. Jika
hordeolum menonjol ke luar, dibuat insisi horizontal pada kulit untuk
mengurangi luka parut.
Pemberian salep antibiotik pada sakus konjungtiva setiap 3 jam ada
manfaatnya. Antibiotik sistemik diindikasikan jika terjadi selulitis. (2)

3
2.1.2 Kalazion
Kalazion ( gambar) adalah radang granulomatosa kronik yang steril dan
idiopatik pada kelenjar meibom: umumnya ditandai oleh pembengkakan
setempat yang tidak terasa sakit dan berkembang dalam beberapa minggu.
Awalnya dapat berupap radang ringan disertai nyeri tekan yang mirip
hordeolum karena tidak ada tanda-tanda radang akut. Kebanyakan kalazion
mengarah ke permukaan konjungtiva, yang mungkin sedikit memerah atau
meninggi. Jika cukup besar sehingga mengganggu penglihatan atau
mengganggu secara kosmetik, dianjurkan eksisi lesi. (2)

Pemeriksaan laboratorium jarang diminta, tetapi pemeriksaan histologis


menunjukkan proliferasi endotel asinus dan respons radang granulomatosa yang
melibatkan sel-sel kelenjar jenis langerhans. Biopsi diindisika pada kalazion-
berulang karena tampilan karsinoma kelenjar meibom dapat mirip tampilan
kalazion.
Eksisi bedah dilakukan melalui insisi vertikal ke dalam kelenjar tarsal
dari permukaan konjungtiva, diikuti kuretase materi gelatinosa dan epitel

4
kelenjarnya dengan hati-hati. Penyuntikan steroid intralesi saja mungkin
bermanfaat untuk lesi kecil: tindakan ini dikombinasikan dengan tindakan
bedah pada kasus-kasus yang sulit. (2)

2.1.3. BLEFARITIS ANTERIOR


Blefaritis anterior adalah radang bilateral kronik yang umum di tepi
palpebra. Ada dua jenis utamnya: stafilokok dan seboroik. Blefaritis stafilokok
dapat disebabkan oleh infeksi Staphlococcus aureus, yang sering ulseratif, atau
Staphlococcus epidermis (stafilokok koagulase-negatif). Blefaritis seboreik
(non-ulseratif) umumnya berkaitan dengan keberadaan Pityrosporum ovale
meskipun organism ini belum terbukti menjadi penyebabnya. Sering kali kedua
jenis blefaritis ada secara bersamaan (infeksi campur). Seborrea kulit kepala,
alisdan telinga sering menyertai blefaritis seborreik.(2)
Gejala utamanya adalah iritasi, rasa terbakar dan gatal pada tepi palpebra.
Mata yang terkena ‘bertepi merah.’ Banyak sisik atau ‘granulasi’ terlihat
mengantung di bulu mata palpebra superior maupun inferior. Pada tipe
stafilokok, sisiknya kering, palpebra merah, terdapat ulkus-ulkus kecil di
sepanjang tepi palpebradan bulu mata cenderung rontok. Pada tipe seborreik,
sisik berminyak, tidal terjadi ulserasidan tepian palpebra tidak begitu merah.
Pada tipe campuran yang lebih umum, kedua jenis sisik ada, tepian palpebra
merah dan berulkus. (2)

5
Blefaritis stafilokok dapat disertai komplikasi hordeolum, kalazion,
keratitis epitel sepertiga bawah kornea dan infiltrate kornea marginal. Kedua
bentuk blefaritis anterior merupakan predisposisi terjadinya konjungtivitis
berulang.
Kulit kepala, alis mata dan tepi palpebra harus selalu dibersihkan,
terutama pada blefaritis tipe seboroik dengan memakai sabun dan shampoo.
Sisik-sisik harus dibersihkan dari tepi palpebra dengan kain basah dan shampoo
bayi setiap hari. Blefaritis stafilokok diobati dengan antibiotik antistafilokok
atau pemberian salep mata sulfonamide dengan aplikator kapas sekali sehari
pada tepian palpebra.

Tipe seboroik dan stafilokok umumnya bercampur dan menjadi kronik


selang beberapa bulan atau tahun jika tidak diobati dengan memadai:
konjungtivitis atau keratitis stafilokok penyerta umumnya cepat teratasi setelah
pengobatan anti stafilokok local. (2)

BLEFARITIS POSTERIOR
Blefaritis posterior adalah peradangan palpebra akibat disfungsi kelenjar
meibom. Seperti blefaritis anterior kelainan ini terjadi secara kronik dan
bilateral. Blefaritis anterior dan posterior dapat timbul bersamaan. Dermatitis

6
seboroik umunya disertai dengan disfungsi kelenjar meibom. Kolonisasi atau
infeksi strain stafilokok dalam jumlah memadai sering disertai dengan penyakit
kelenjar meibo dan bisa menjadi salah satu penyebab gangguan fungsi kelenjar
meibom. Lipase bakteri dapat menimbulkan peradangan pada kelenjar meibom
dan konjungtiva serta menyebabkan terganggunya film air mata.
Blefaritis posterior bermanifestasi dalam beberapa macam gejala yang
mengenai palpebra, air, mata, konjungtiva dan kornea. Perubahan pada kelenjar
meibom mencakup peradangan muara meibom (meibomianitis), sumbatan
muara kelenjar oleh secret yang kental, pelebaran kelenjar meibom dalam
lempeng tarsus dan keluarnya sekret abnormal lunak mirip keju bila kelenjar itu
dipencet. Dapat juga timbul hordeolum dan kalazion. Tepi palpebra tampak
hiperemis dan telangiektasia. Palpera juga membulat dan menggulung kedalam
sebagai akibat parut pada konjungtiva tarsal: membentuk hubungan yang
abnormal antara film air mata prakornea dan muara-muara kelenjar meibom. Air
mata mungkin berbusa atau sangat berlemak. Hipersensitivitas terhadap
stafilokok mungkin menyebabkan keratitis epithelial. Kornea juga bisa
membentuk vaskularisasi perifer dan menjadi tipis, terutaa di bagian inferior,
terkadang dengan infiltrate marginal yang jelas. Perubahan-perubahan
makroskopik pada blefaritis posterior identik dengan kelainan-kelainan mata
yang ditemukan pada acne rosacea. (2)

7
Terapi blefaritis posterior tergantung pada perubahan-perubahan di
konjungtiva dan kornea terkait. Peradangan yang jelas pada struktur-struktur ini
mengharuskan pengobatan aktif, termasuk terapi antibiotik sistemik dosis
rendah jangka panjang-biasanya doxycycline (100 mg dua kali sehari) atau
erythromycin (250 mg tiga kali sehari), tetapi juga berpedoman pada hasil
biakan bakteri dari tepi palpebra- dan steroid topical lemah (sebaiknya jangka
pendek), mis. Prednisolone, 0,125% dua kali sehari. Terapi topical dengan
antibiotik atau substitusi air mata umumnya tidak perlu dengan antibiotik atau
substitusi air mata umumnya tidak perlu dan dapat berakibat bertambah
rusaknya film air mata atau reaksi toksik terhadap bahan pengawetannya.
Pengeluaran isi kelenjar pada pasien secara periodik bisa membantu,
khususnya pada pasien dengan penyakit ringan yang tidak memerlukan terapi
antibiotik oral atau steroid topical jangka panjang. Hordeolum dan kalazion
hendaknya diterapi dengan baik. (2)

8
2.3. DEFORMITAS ANATOMIK PALPEBRA
2.3.1. ENTROPION
Entropion-pelipatan palpebra ke arah dalam (gambar)- dapat involusional
(spastic, senilis), sikatrikal, atau kongenital. Entropion involusional adalah yang
paling sering dan menurut definisi terjadi akibat lemahnya otot-otot retractor
palpebra inferior, migrasi otot orbikularis praseptal ke atasdan menekuknya tepi
tarsus superior.
Entropion sikatrikal dapat mengenai palpebra superior atau inferior dan
disebabkan oleh jaringan parut di konjungtiva atau tarsus. Kelainan ini paling
sering ditemukan pada penyakit radang kronik, seperti trachoma.
Entropion kongenital jarang dan jangan dikacaukan dengan epiblefaron
kongenital, yang biasanya mengenai orang Asia. Pada entropion kongenital
tepian palpebra, memutar kearah kornea: pada epiblefaron, kulit dan otot pra
tarsalnya menyebabkan bulu mata memutari tepi tarsus.(2)
2.3.2. EKTROPION
Ektropion (penurunan dan terbaliknya palpebra inferior ke arah luar)
(gambar) umumnya bilateral dan sering ditemukan pada orang tua. Ektropion
dapat disebabkan pengenduran musculus orbicularis oculi, akibat menua atau
akibat le:umpuhan nervus ketujuh. Gejalanya adalah mata berair dan iritasi.
Dapat timbul keratitis pajanan.
Ektropion involusional secara bedah dengan melakukan pemendekan-
horizontal pada palpebra. Ektropion sikatrikal disebabkan oleh kontraktur pada
lamella anterior palpebra. Penanganannya adalah perbaikan luka parut melalui
pemedahan dan sering dilakukan pencangkokan kulit. Ektropion ringan dapat
diatasi dengan tindakan elektrokauterisasi yang cukup dalam, menembus
konjungtiva 4-5 mm dari tepian palpebra pada aspek inferior lempeng tarsus.
Reaksi fibrotic yang mengikuti sering kali menarik palpebra ke atas ke posisi
normalnya. (2)

9
2.3.3. KOLOBOMA
Koloboma kongenital terjadi karena tidak sempurnanya penutupan
processus maxillaries semasa janin sehingga terbentuk celah pada tepian
palpebra superior paling sering terkenadan sering disertai tumpr dermoid.
Rekonstruksi bedah umumnya dapat ditunda beberapa tahun, tetapi harus
dilakukan segera jika membahayakan kornea. Defek palpebra lengkap (full-
thickness) akibat sembarang penyebab terkadang disebut kolaboma. (2)

2.3.4. EPIKANTUS
Epikantus (gambar) ditandai dengan lipatan vertikal klit di atas kantus
medialis. Ini khas pada orang Asia dan ada, dalam batas tertentu, pada
kebanyakan anak dari semua ras. Lipatan kulit tersebut sering cukup besar
sehingga menutupi sebagian sclera nasalis dan menimbulkan ‘pseudoesotropia’.
Mata tampak juling bila aspek media sclera tidak tetrlihat. Jenis paling banyak
adalah- epikantus tarsalis- lipat palpebra superior menyatu di medial dengan
lipat apikantus. Pada epikantus inversus, lipatan kulitnya menyatu dengan
palpebra inferior. Jenis lain jarang ditemukan. Lipatan epikantus bisa juga
didapatkan pasca bedah atau trauma di bagian medial palpebra dan hidung.
Penyebab epikantus adalah pemendekan vertikal kulit di antara kantus dan
hidung. Koreksi bedah diarahkan pada pemanjangan vertikal dan pemendekan
10
horizontal. Pada anak normal, lipatan epikantus menghilang secara bertahap
hingga pubertas dan jarang memerlukan pembedahan. (2)

2.3.5. TELEKANTUS
Jarak normal antara kantus-medialis kedua mata – jarak interkantus-sama
dengan panjang fisura palpebrae ( kira-kira 30 mm pada orang dewasa). Jarak
interkantus yang lebar bisa terjadi akibat diinsersi traumatic atau disgernesis
kraniofasial kongenital. Telekantus ringan (misalnya, sindroma blefarofimosis)
dapat dikoreksi dengan operasi kulit dan jaringan lunak. Namun, diperlukan
rekonstrksi kraniofasial besar bila orbita terpisah jauh, seperti pada penyakit
Crouzon. (2)

2.3.6. BLEFAROKALASIS
Blefarokalasis (gambar) adalah kondisi yang jarang ada, belum diketahui
penyebabnya (terkadang familial) dan mirip dengan edema angioneurotik.
Serangan beruntun terjadi menjelang masa pubertas, berkurang pada masa
dewasa dan berakibat atrofi struktur-struktur periorbital. Kulit palpebra tampak
tipis, berkerut dan menggelambir dan digambarkan ‘mirip kertas roko’. Mata

11
tampak cekung akibat atrofi lemak. Bila aponeurosis levator terkena, akan
terjadi ptosis sedang sampai berat. Penanganan medis terbatas pada pengobatan
simptomatik terhadap edema. Koreksi bedah terhadap rupture levator dan eksisi
kelebihan kulit paling mungkin berhasil bila serangan-serangannya sudah
berhenti. (2)

2.3.7. DERMATOKALASIS
Dermatokalasis (gambar) adalah kulit palpebra yang menggelambir dan
menurun elastisitasnya, biasanya akibat penuaan. Di palpebra superior, kulit
praseptal dan otot orbikularis, yang biasanya membentuk alur dekat batas tarsus
superior pada orang Kaukasia, menggantung di atas bagian pratarsal palpebra.
Bila dermatokalasisnya berat, lapangan pandang superior akan terhalang.
Kelemahan septum orbitale berakibat menonjolnya bantalan lemak medial dan
praaponeurotik. ‘Kantung-kantung’ di daerah praseptal palpebra inferior
merupakan lemak orbita yang menonjol.
Blefaroplasti diindikasikan untuk alasan visual atau kosmetik. Di
palpebra superior, kelebihan kulit palpebra juga otot dan lemak dibuang demi
estetika yang optimum. Blefaroplasti palpebra inferior dilakukan demi alasan
kosmetik, kecuali pada kelebihan yang banyak sekali yang akan berakibat
ektropion tepian palpebra. Laser erbium dan pulsed CO2 diketahui efektif untuk
mengencangkan kulit periokular, tetapi harus dilakukan dengan hati-hati pada
kulit palpebra yang tipis. (2)
12
2.3.8 BLEFAROPTOSIS
Ptosis normal di pertengahan antara limbus superior adalah di
pertengahan antara limbus superior dan tepi atas pupil. Berbagai variasi dapat
dianggap normal, sepanjang kesimetrisan dipertahankan. Blefaroptosis, atau
yang lebih sering disebut “ptosis” adalah posisi satu atau kedua palpebra
superior dianggap terlalu rendah. Blefaroptosis bisa kongenital atau didapat dan
bisa herediter pada jenis yang mana pun. (2)

KLASIFIKASI BLEFAROPTOSIS
Klasifikasi ptosis menurut etiologinya.
A. Kelainan Perkembangan Levator

13
Ptosis akibat kelainan perkembangan levator dahulu digolongkan sebagai
ptosis kongenital sejati adalah akibat distrofi setempat pada otot levator yang
mempengaruhi kontraksi dan relaksasi serat-serat otot tersebut. Ptosis berada
pada posisi memandang primer: terdapat pengurangan gerak palpebra saat
pasien memandang ke atas dan gangguan penutupan saat melihat ke bawah.
Keterlambatan gerak palpebra saat memandang ke bawah adalah petunjuk
penting diagnosis kelainan perkembangan levator. Kelainan mata lain, seperti
strabismus, kadang-kadang menyertai bentuk ptosis kongenital ini. Pada 25%
kasus, musculus rektus superior mengalami perubahan distrofi yang sama
seperti levator, yang berakibat kelemahan pandangan ke atas. Kelainan
perkembangan levator harus dibedakan dari bentuk ptosis yang lain: hal ini
tidak selalu didapat dari anamnesis. Ptosis neurogenik dan ptosis miogenik lain
bisa ditujukan bagi kelainan perkembangan levator pada pasien dengan kedua
jenis ptosis tersebut akan menghasilkan koreksi yang berlebihan.
B. Jenis Ptosis Miogenik Lain
Blefarofimosis mencakup 5% kasus pada kongenital. Fungsi levator yang
buruk dan ptosis yang berat disertai dengan telekantus, lipat epikantusdan
ektropion sikatrikal pada palpebra inferior. Keadaan ini bersifat familial.
Oftalmoplegia eksternal progresif kronik, sejenis sitopati mitokondrial,
adalah suatu penyakit neuromuskular progresif lambat, yang biasanya mulai di
pertengahan kehidupan. Walaupun berhubungan dengan delesi pada DNA
mitokondria, penyakit ini biasanya lebih bersifat sporadik daripada herediter.
Seluruh otot ekstraokuler, termasuk levatordan otot-otot ekspresi wajah terkena
secara berangsur-berangsur. Berbagai variasi gangguan neurodegenerative lain
mungkin ditemukan. Pada sindrom Kearns-Sayre, tanda-tanda oftalmoplegia-
retinopati pigmentasidan blockade jantung ditemukan sebelum usia 15 tahun.
Distrofi oklofaringeal, suatu penyakit autosomal dominan pada individu
keturunan Perancis-Canada, kebanyakn bermanifestasi dalam bentuk disfagia,
tetapi dapat juga berupa kelemahan otot wajah, ptosis dan biasanya

14
oftalmoplegia ringan. Ptosis dan kelemahan wajah dapat pula ditemukan pada
distrofi miotonik. Temuan lainnya adalah katarak, kelainan pupil, botak di
bagian frontal, atrofi testis dan diabetes.
Ptosis dan diplopia sering terjadi pada miestenia gravis: salah satu atau
keduanya merupakan manifestasi awal yang sering ditemukan pada misestenia
bentuk ocular maupun generalisata. Musculus orbicularis oculi sering kali ikut
terlibat. Kadang-kadang dijumpai kedutan palpebra Cogan- saat mata bergerak
cepat dari pandangan-ke bawah ke posisi primer palpebra superior akan
berkedut ke atas. Kelelahan palpebra, berupa memberatnya ptosis setelah lama
memandang ke atas merupakan tanda yang lebih konsisten ditemukan. Ptosis
pulih dengan berisitirahat atau dengan pemakaian es setempat. Diagnosis dapat
dipastikan dengan pemberian endrophonium intravena, yang secara temporer
memulihkan blockade laut neuromuscular yang mendasari kelemahan itu. Hal-
hal yang bisa berguna untuk diagnosis, antara lain: elektromiografi (EMG),
terutama pada penelitian serat tunggal orbicularis oculi kasus miastenia ocular
atau adanya antibody terhadap reseptor asetilkholin (AChR) di sirkulasi atau
muscle specific kinase (MuSK)
Penangan medis dengan agen anti-kolinesterase, obat steroid sistemik,
atau imunosupresan lain biasanya efektif. Timektomi mungkin bermanfaat pada
kasus-kasus tertentu.
C. Ptosis Aponeurotik
Suatu bentuk umum ptosis miogenik yang terjadi pada usia lanjut dan
disebabkan oleh disinsersi parsial atau putusnya aponeurosis levator dari
lempeng tarsus. Umumnya, terapat ‘sisa’ perlekatan ke tarsus yang memadai
untuk mempertahankan pengangkatan palpebra saat melihat ke atas. Tersisanya
perlekatan aponeurosis levator (yang tertarik ke belakang) ke kulit dan otot
orbikularis menghasilkan lipatanpalpebra yang sangat tinggi. Bisa juga terjadi
penipisan palpbera. Ptosis yang berhubungan dengan trauma, termasuk,
termasuk pascaoperasi mata, blefarokalasis, kehamilandan penyakit Graves,

15
biasanya juga disebabkan oleh disinsersi aponeurosislevator. Varian herediter
dikenal sebagai ‘ptosis herediter yang berkembang lamat.’
D. Ptosis Neurogenik
Pada sindrom Marcus Gunn ptosis berkurang asal mandibula terbuka atau
saat mandibula berdeviasi ke sisi yang mengalami ptosis dipersarafi oleh
cabang-cabang motorik nervus trigeminus dan nervus oculomotorius.
Kelumpuhan okulomotorius kongenital atau akibat trauma bisa dipersulit
dengan regenerasi aberan, menimbulkan gerakan-gerakan tak teratur bola mata,
palpebra dan pupil, seperti elevasi palpebra saat melihat ke bawah. Palpebra
yang menutup total pada masa kanak-kanak akan menimbulkan ambliopia
strabismus juga akan berkembung, kecuali jika ditangani sungguh-sungguh
sejak dini.
Paralisis otot Muller hampir selalu berkaitan dengan sindrom Horner dan
biasanya didapat. Ptosisnya jarang lebih dari 2 mm dan ambliopia tidak pernah
terjadi.
E. Ptosis Mekanis
Palpebra superior terhalang untuk membuka sempurna karena efek massa
suatu neoplasma atau efek tambahan akibat terbentuknya parut. Pemendekan
horizontal yang berlebihan pada palpebra superior merupakan penyebab umum
ptosis mekanis. Bentuk lainnya yaitu yang terlihat pasca-enukleasi: tidak adanya
bola mata sebagai penunjang levator membuat palpebra jatuh.
F. Tampak Ptosis
Hipotropia dapat memberikan gambaran ptosis. Ketika mata melihat ke
bawah palpebra superior turun lebih jauh daripada palpebra inferior. Fissura
palpebra yang menyempit dan palpebra superior yang ptosis tampak jauh lebih
jelas dari pada bola mata yang hipotropik. Namun, penutupan sebelah mata
akan mengungkapan keadaan yang sebenarnya. Pada dermatokalasis berat, kulit
dan suatu lipatan orbikularis pratarsal dapat ‘menyembunyikan’ tepian palpebra
dan mengesankan tampilan blefaroptosis. (2)

16
PENGOBATAN
Kecuali pada miastenia gravis, semua jenis ptosis ditangani secara bedah.
Pada kanak-kanak, operasi dapat dilakukan begitu dilakukan penilaian yang
teliti dan anak bisa bersikap kooperatif sesudah operasi. Astigmatisme dan
myopia dapat menyertai ptosis pada anak. Tindakan bedah dini dapat membantu
mencegah ambliopia anisometropik tetapi belum terbukti. Ambliopia
deprivisional agaknya hanya terjadi pada ptosis total, seperti pada kelumpuhan
okulomotorius.
Tujuan pembedahan adalah simetri dan simetri semua posisi pandangan
hanya mungkin jika fungsi levator tidak terganggu. Pada beberapa kasus, hasil
terbaik yang dapat dicapai adalah menyeimbangkan palpebra dalam posisi
primer. Pada ptosis unilateral, pencapaian simetri di posisi pandangan lain
sebanding dengan fungsi levatornya.
Sebagian besar operasi pada ptosis berupa reseksi aponeurosis levator
atau otot tarsus superior (atau keduanya). Bagian superior tarsus sering direseksi
untuk menamah elevasi. Saat ini, telah digunakan banyak pendekatan, baik dari
kulit maupun konjungtiva, Tahun-tahun belakangan ini menegaskan pada
keuntungan membatasi operasi pada perbaikan dan reseksi aponeurosis levator,
terutama untuk jenis ptosis yangdidapat.
Pasien dengan levator yang kurang atau tidak berfungsi, seperti pada
ptosis neurogenik atau miogenik, memerlukan sumber pengangkat alternative.
Penggantungan palpebra pada dahi memungkinkan pasien mengangkat palpebra
dengan gerakan alamiah musculus frontalis. Fascia lata autogen biasanya
dianggap sebagai alat penggantung terbaik. Bila penutupan palpebra, fenomena
Bell dan pergerakan oftalmoplegia eksternal progresif kronik, koreksi bedah
pada ptosis harus dilakukan dengan hati-hati karena adanya risiko keratitis-
pajanan. (2)

17
2.4. TUMOR JINAK PALPEBRA
Tumor jinak palpebra sangat umum dan bertambah banyak dengan
meningkatnya usia. Kebanyakan mudah dikenali secara klinis dan eksisi
dilakukan dengan alasan kosmetik. Meskipun begitu lesi ganas sering kali sulit
dikenali secara klinis dan biopsi harus selalu dilakukan pada kecurigaan
keganasan. (2)
2.4.1. Nevus
Nevus melanositik di palpebra adalah tumor jinak bisa dengan struktur
patologik yang sama dengan nevus di tempat lain. Pada awalnya, nevus ini
mungkin relatif kurang berpigmen: makin membesar dan bertambah gelap pada
masa remaja. Banyak di antaranya yang tak pernah mendapat pigmen yang jelas
terlihat dan banyak yang mirip papiloma jinak. Nevus jarang menjadi ganas.
Nevus dapat dihilangkan dengan eksisi-cukur jika dikehendaki demi alasan
kosmetik. (2)

2.4.2. Papiloma
Papiloma adalah tumor palpebra yang paling umum. Jenisnya ada dua:
papiloma sel skuamosa dan keratosis seboroik. Pada keduanya, bagian inti
fibrovaskular menembus epitel permukaan yang menebal (akantotik dan
hiperkeratotik), memberi tampilan papilomatosa. Keratosis seboreik terdapat
pada usia pertengahan dan orang tua. Permukaannya verukosa dan mudah
hancur dan sering berpigmen karena melanin mengumpul di dalam keratosit. (2)

18
2.4.3. Verruca Vulgaris
Nodul hiperkeratotik papilomatosa yang lain pada wajah dan palpebra:
disebabkan oleh virus kutil, suatu virus DNA yang termasuk kelompok papova
virus. (2)

2.4.4. Molluscum Contagiosum (Gambar 4-10)


Tumor ini, akibat poxvirus, merupakan suatu nodul kecil berbentuk
kubah dengan pusat yang sering melekuk. Lesi di tepi palpebra mungkin sangat
kecil dan tersembunyi sebagian oleh bulu mata, tetapi dapat menyebabkan
konjungtivitis, bahkan keratitis, jika lesinya mengelupas masuk ke ruang
konjungtiva. Lesi multipel bisa timbul pada pasien terinfeksi HIV atau individu
yang mengalami supresi imun lainnya. Penyembuhan umum nya dicapai dengan
kuretase, kauter, atau eksisi. (2)

19
2.4.5. Keratoakantoma
Keratoakantoma adalah tumor peradangan jinak yang terdapat pada kulit
orang dewasa yang terpajan matahari. Tumor ini sesekali dihubungkan dengan
kondisi imunodefisiensi, xeroderma pigmentosum, atau sindrom Muir Torre.
Keratoakantoma tampak sebagai lesi pertumbuhan dengan cekungan berbentuk
mangkuk di pusatnya, yang mengandung keratin dan bisa bertambah besar
dalam waktu singkat. Banyak di antaranya akan mengalami involusi spontan,
tetapi biopsi eksisional sering dilakukan untuk alasan kosmetik Atau untuk
menyingkirkan kemungkinan karsinoma sel skuamosa, yang mirip secara klinis
maupun histologis. (2)

20
Bab III

Kesimpulan

Kelopak mata merupakan salah satu mekanisme pertahanan pada mata.


Kelopak mata tersusun dari jaringan jaringan yang bergerak secara konstan ,
dengan kemungkinan terjadi perubahan karena faktor eksternal atau kelainan
senilis, dengan kelainan deformitas. Kelopak mata memiliki kelenjar keringat
dan sebasea , selin bulu mata yang tumbuh dengan kelenjar folikel yang tidak
berhubungan langsung pada mata.

Kelopak mata dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, kongenital,


infeksi, peradangan, neoplasma dan trauma. Kelopak mata tidak hanya terdiri
dari lapisan kulit, tetapi struktur anatomi yang kompleks. Struktur struktur yang
mendukung dan melindungi bola mata berkumpul pada ruang yang sempit. Oleh
karena itu, kelainan yang terlihat pada kelopak mata tergantung pada bagian
yang tertentu. Sehingga penatalaksanaan setiap penyakit kelopak harus
dimengerti dan ditangani secara tepat.

21
Daftar Pustaka

1. Sidarta, Ilyas. Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat. Cetakan ke 3. Jakarta : FK.UI.2013.
2. Vaughandanieg G. Asbury. In : General ophthalmology. 17th Ed. Jakarta: EGC

22

Anda mungkin juga menyukai