Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

AGAMA ISLAM
BERIJTIHAD DALAM AQIDAH

DISUSUN OLEH:
INDIRA DIHYANG AULIA
IZHAR ISMAIL
MARDIANA PUTRI
MEYKE AMALIA

PRODI
ILMU & TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS PERTANIAN ANGKATAN 2014


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt, yang telah memudahkan penulis
membuat makalah ini. Serta berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah ini.
Salawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW. Kami sangat bersyukur
kepada Ilahi Robbi yang telah memberikan kami kemudahan dan petunjuk untuk membuat
makalah ini.
Makalah yang berjudul “BERIJTIHAD DALAM AQIDAH” ini mengacu kepada
tugas mata kuliah Agama Islam, sebagai pelengkap tugas atau untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Agama Islam. Sehingga diharapkan sebagai referensi pembelajaran.
Makalah ini diharapkan pula dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembelajaran
dengan maksud mahasiswa mahasiswi dapat memperoleh wawasan secara komprensif dan
fungsional tentang Agama Islam.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Allah swt, teman-teman dan
semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu kelancaran
penyusunan Makalah ini hingga dapat terselesaikan dengan cukup baik.
Upaya peningkatan kualitas terus dilakukan, oleh karena itu penulis selaku
penyusun dan penulis berharap bentuk partisipasi berbagai pihak terkait untuk menyampaikan
saran dan kritik membangun tentang kekurangan karya tulis ini,terutama para pembaca.
Akhirnya penulis ucapkan sekali lagi terima kasih kepadaberbagai pihak yang telah
membantu kelancaran penyusunan Makalah ini. Mohon maaf apabila ada kesalahan.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagaimana yang kita ketahui sumber hukum islam ada tiga yaitu Al-Quran, Al-Hadits
dan ijtihad. Al-Quran berasal dari wahyu Allah SWT, Al-Hadits yang merupakan penjelasan
dari Nabi Muhammad SAW terkait dengan hal-hal yang belum dijelaskan dalam Al-Quran
dan ijtihad merupakan kesepakatan ulama terhadap suatu hal yang belum dijelaskan dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang artinya adalah bersungguh-sungguh, rajin, dan
giat. Sedangkan Imam Ghazali mendefinisikan ijtihad itu dengan usaha sungguh-sungguh
dari seorang mujtahid di dalam rangka mengetahui tentang hukum-hukum syariat. Ijtihad
merupakan hasil dari akal pikiran manusia (ar-ra’yu). Ijtihad diperkuat oleh dialog antara
Nabi Muhammad SAW dengan Mu’adz bin jabal ketika itu Nabi bertanya kepada kepada
Mu’adz bin Jabal tentang perkara yang belum ada di dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul
maka Mu’adz akan menggunakan akal pikirannya sepanjang tidak melenceng dengan Al-
Quran dan Sunnah Rasul dan Nabi Muhammad SAW pun menyetujuinya.
Terdapat berbagai macam ijtihad dan hukum-hukumnya. Ijtihad oleh Syaikh
Muhammad khudloriy memiliki 3 hukum yakni wajib ainy, wajib kifaiy, dan sunnah.
Sedangkan Dr. Ad duwalibi membagi ijtihad menjadi 3 macam yaitu Al-Ijtihadul Bayaniy,
Al-Ijtihadul Qiyasiy dan Al-Ijtihadul Istishlahiy. Ustadz Muhammad Taqqiyul Hakim
membagi ijtihad menjadi dua macam yaitu ijtihad aqliy dan ijtihad syar’i.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata ijtahada yajtahidu ijtihadan yang berarti mengerahkan
segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-
sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan, menurut istilah, pengertian ijtihad adalah
mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan
suatu hukum. Ijtihad (Arab: ‫ )اجتهاد‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang
sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat
menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya,
diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam. Tujuan ijtihad
adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah
kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Imam Al Ghazaliy mendefinisikan ijtihad itu dengan usaha sungguh-sungguh dari
seorang mujtahid di dalam rangka mengetahui tentang hukum-hukum syariat. Adapula yang
mengatakan ijtihad itu ialah qiyas, tetapi oleh Al Ghazaliy pendapat itu lebih umum daripada
qiyas, sebab kadang-kadang ijtihad itu memandang di dalam keumuman dan lafadz-lafadz
yang pelik dan semua jalan asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam Syafi’iy sendiri
menyebutkan bahwa arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad (Kamal Muchtar dkk, 1995: 115-
16).
Dalam hubungannya dengan hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-
sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahli
hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak
ada ketentuannya dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah. Orang yang berijtihad disebut
mujtahid (Mohammad Daud Ali, 1990: 116).
Pengertian ijtihad menurt Ibrahim Hosen berarti pengarahan segala kesanggupan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit. Ijtihad secara bahasa sering juga diartikan sebagai
pencurahan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu, yaitu penggunaan akal sekuat
mungkin untuk menemukan suatu kepuasan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara
eksplisit di dalam Al-qur’an dan Sunnah.
Dalam bidang fikih, ijtihad berarti mengerahkan segala tenaga dan fikiran untuk
menyelidiki dan mengeluarkan (mengistinbatkan) hukum-hukum yang terkandung dalam Al-
qur’an dengan syarat-syarat tertentu. Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah bersabda kepada
Abdullah bin Mas’ud sebagai berikut : “berhukumlah engkau dengna Al-qur’an dan Sunnah
Rasul, apabila persoalan itu engkau temukan dalam kedua sumber tersebut. Akan tetapi
apabila engkau tidak menemukannya,maka ijtihadlah”. Rasulullah pun pernah menyatakan
kepada Ali Bin Abi Thalib : “apabila engkau berijtihad dan ijtihad mu betul, maka engkau
mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ijtihad mu salah, maka engkau hanya mendapatkan
satu pahala”. Ada tiga hukum ijtihad seperti ditetapakan para ahli ushul fikih, antar lain
fardhu ain (wajib bagi setiap orang), fardhu kifayah (cukup dilakukan oleh sebagian orang)
serta mandub (sunah). (Muhammad Alim,2006:195)
Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berfikiran dengan menggunakan seluruh ilmu
yang dimiliki oleh para ilmuan syari’at Islam untuk menetapkan/menemukan sesuatu hukum
syari’at islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnyaoleh Al-qur’an dan
Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek
pendidikan, tetapi tetap berpedoman dalam Al-qur’an dan Sunnah tersebut. Karena itu ijtihad
dipandang sebagai salah satu sumber hukum islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa
setelah Rasulullah wafat. Sasaran ijtihad adalah segala sesuatu yang diperlukan dalam
kehidupan, yang senantiasa berkembang. Ijtihad bidang pendidikan sejalan dengan
perkembangan zaman yang semakin maju, terasa semakin urgen dan mendesak, tidak saja
dibidang materi atau isi, melainkan juga dibidang sistem dalam arti yang luas. (Zakiah
Daradjat,2006:21)
Ijtihad merupakan dasar dan saran pengembangan hukum Islam. Ia adalah kewajiban
umat Islam yang memenuhi syarat (karena pengetahuan dan pengalamannya) untuk
menunaikannya. Kewajiban itu tercermin dalam Sunnah Nabi Muhammad SAW yang
mendorong mujtahid untuk berijtihad. Mujtahid yang berijtihad, dan (hasil) ijtihadnya itu
benar, kata Nabi, akan memperoleh dua pahala. Kalau ijtihadnya salah, dia akan
mendapatkan (juga) satu pahala (Othman Ishak,1980:16 dalam Mohammad Daud Ali, 1990:
17).

B. Kedudukan Ijtihad Sebagai Sumber Ajaran Islam


Dilihat dari Jumlah pelakunya, ijtihad dapat dibagi dua yakni ijtihad individual (ijtihad
fardi) dan ijtihad kolektif (ijtihad jama’i). Yang dimaksud dengan ijtihad individual adalah
ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid saja. Yang dimaksud dengan ijtihad kolektif
adalah ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh banyak ahli tentang satu persoalan hukum
tertentu. Di samping jumlah orang yang melakukannya, ijtihad juga dapat dilihat dari objek
atau lapangannya. Dilihat dari objek atau lapangannya, ijtihad dapat dilakukan terhadap
persoalan-persoalan hukum yang zhanni sifatnya, hal-hal yang tidak terdapat ketentuannya di
dalam Alquran dan Al-Hadist dan mengenai masalah-masalah hukum baru yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat (Mohammad Daud Ali, 1990: 117-118).
Berbeda dengan Al-qur’an dan Assunnah, ijtihad pada kepastiannya sebagai sumber
ajaran islam terkait dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang
bersifat mutlak, sebab ijtihad merupakan produk manusia yang bersifat relatif, maka
keputusan suatu ijtihad pun adalah relatif.
b. Suatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungikin berlaku bagi seseorang tapi tidak
berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk suatu tempat atau masa atau tempat yang lain.
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan dan atau pengurangan ibadah mahdhah
(ritual khusus, ibadah yang termasuk paket dari Rasulullah, misal sholat). Sebab urusan
ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah. Maka ketika ada pihak yang
melkukan inovasi dalam hal shalat dan ibadah lainnya, tentu saja para ulama dan umat
islam sangat keberatan. Karena memang tidak pernah ada ijtihad untuk hal prakik ibadah.
Meski begitu beberapa praktik ibadah, semisal melaksanakan shalat dalam kendaraan
ketika melakukan perjalanan, maka seorang muslim boleh shalat tidak menghadap kiblat.
Ini menunjukkan bahwa islam juga sangat fleksibel dalam penerapan ibadah.
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-qur’an dan Assunnah.
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi, akibat,
kemaslahatan bagi umat,kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa
dari ajaran islam. (Muhammad Alim,2006:197)

Asy Syaikh Muhammad Khudloriy di dalam Kitabnya Ushulul Fiqih (h.368),


mengemukakan hukum-hukum ijtihad itu sebagai berikut :
1. Wajib ainiy, yaitu bagi seseorang yang ditanyai akan sesuatau peristiwa, dan peristiwa
itu akan hilang sebelum diketahui. Atau ia sendiri mengalami sesuatu peristiwa yang ia
sendiripun mengetahui hukumnya.
2. Wajib kifa’iy, yaitu apabila seseorang ditanyai tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak
hilang sebelum diketahui hukum-hukumnya, dan disamping itu masih ada mujtahid
yang lain. Apabila salah seorang mujtahid sudah meyelesaikan tugas itu atau sudah ada
seseorang saja yang berijtihad menyelesaikan soal tersebut, kewajiban tersebut sudah
gugur atas yang lain-lain, artinya ijtihad satu orang tersebut sudah membebaskan beban
kewajiban berijtihad. Tetapi apabila tidak seorangpun yang melakukan ijtihad dari
kalangan mujtahidin, mereka semua berdosa.
3. Sunnah (annadbu), yaitu hukum atas sesuatu yang belum terjadi, baik hal itu ditanyakan
ataukah tidak (Kamal Muchtar dkk, 1995: 119).

C. Syarat-syarat Berijtihad
Dalam sejarah, banyak para mujtahid yang muncul dan berjasa mengembangkan hukum
islam . Para penulis sejarah hukum mengadakan klasifikasi dan menentukan peringkat
mereka berdasarkan kriteria yang mereka adakan. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (1292-1356 M)
menggolongkannya ke dalam empat tingkat saja, yakni mujtahid mutlak, mujtahid mazhab,
mujtahid fatwa dan muqallid atau disebut juga dengan istilah ahli tarjih (Asjmuni
Abdurrahman, 1978:n 17-24 dalam Muhammad Daud Ali, 1990: 119).
Ijtihad perlu dilakukan oleh orang yang memenuhi syarat dari masa ke masa, karena
Islam dan umat Islam berkembang pula dari zaman ke zaman sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Dalam masyarakat yang berkembang itu, senantiasa muncul masalah-masalah
yang perlu dipecahkan dan ditentukan kaidah hukumnya. Hal ini hanya dapat dilakukan
dengan ijtihad. Dan karena pentingnya ijitihad, seorang pemikir Islam terkemuka (yang
menjadi salah seorang pendorong lahirnya negara Islam Pakistan) yakni Muhammad Iqbal
menyebut ijtihad sebagai the rinciple of movement dalam struktur ajaran agama islam
(Nazaruddin Razak, 1977:113), karena dengan ijtihad hukum Islam dapat dikembangkan
untuk memenuhi kebutuhan umat Islam di setiap zaman. Ijtihad Khalifah Umar bin Khattab
(634-644 M) dalam berbagai aspek hukum Islam, adalah model yang dapat dicontoh terus-
menerus dalam melakukan ijtihad dari masa ke masa, di setiap tempat dalam berbagai
peristiwa (Mohammad Daud Ali, 1990: 119).
Di antara banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan
ijtihad, sebagaimana disebutkan oleh para ulama dalam kitab ushul fiqh, yang terpenting
ialah:
a. Memiliki pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-qur’an yang berhubungan dengan
masalah hukum, dalam arti mampu mebahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
b. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist Nabi SAW. Yang behubungan
dengan masalah hukum, dalam arti sanggup membahas hadist-hadist tersebut untuk
menggali hukum.
c. Mengetahui bahasa Arab dengan berbagai ilmu kebahasaannya, seperti nahwu, sharaf,
ma’ani, bayan, badi’, agar dapat menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an atau Assunnah dengan
cara yang benar.
d. Mengetahui kaidah-kaidah ilmu shuk fikih yang seluas-luasnya, karena ilmu ini menjadi
dasar berijtihad.
e. Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tenatang
hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.
f. Mengetahui soal-soal ijma’, supaya tidak timbul pendapat yang bertentangan dengan hasil
ijma’.
g. Mengetahui hadist yang dibatalkan karena sesuatu yang lebih kuat dalam Al-qur’an.
(Muhammad Alim,2006:198)

D. Arti Pentingnya Ijtihad


Agar ajaran islam selalu selaras dengan perkembangan umat manusia dan mampu
menjawab tantangan jaman, maka hukum islam perlu dikembangkan. Selain itu, pemahaman
terhadap islam perlu terus-menerus diperbaharui dengan memberikan penafsiran-pnafsiran
baru terhadap nash syara’, menggali alternatif-alternatif lain yang bisa diangkat sebagi solusi
atas masalah-masalah kekinian. Jadi pembaruan hukum islam (dalam konteks ijtihad) ini
dimksudkan agar syariat islam mampu direalisasikan dalam kehidupan, menjadi hukum yang
aflikatif dalam menjawab semua permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Ijtihad pada hakikatnya merupakan realisasi dari sejumlah ayat Al-qur’an yang menyuruh
umat Islam untuk menggunakan akal pikiran, melahirkan kemaslahatan masyarakat dan
kebaikan manusia. Dengan demikian ijtihad perlu diperkembangkan dan diperluas. Para
ulama telah menciptakan beberapa cara untuk berijtihad, antara lain sebagai berikut :
a. Qiyas, yaitu menetapka suatu hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-qur’an atau hadist,
dengan cara dianalogikan kepada suatu hukum yang telah diterangkan Al-qur’an atau
hadist karena memiliki sebab yang sama. Sebagai contoh, dalam Al-qur’an surat a-
Jumu’ah (62) ayat 9 diisyaratkan bahwa seseorang diharuskan meninggalkan aktifitas
perniagaan (jual beli) pada saat azan jum’attelah dikumandangkan. Bagaimana hukum
aktivitas lain (selain perniagaan) yang dilakukan pada saat setelah mendengar adzan
jumat. Dalam hal ini al-qur’an maupun hadis tidak menjelaskan. Maka hendaklah
berijtihad dengan jalan analogi (qiyas). Jika aktifitas perniagaan dapat mengganggu
pelaksaan shalat jumat itu dilarang, maka aktivitas lain yang bisa mengganggu
pelaksanaan shalat jumat juga dilarang.
b. Ijma’ (konsensus, ijtihad kolektif) yaitu kesepakaan ulama-ulama Islam dalam
menentukan suatu keputusan hukum atas masalah ijtihadiyah. Ketika Ali Bin Abi Thalib
mengungkapkan pada Rasulullah tentang kemungkinan adanya suatu masalah yang tidak
dibicarakan oleh Al-qur’an maupun hadist, maka rasul mengatakan kumpulkan orang-
orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan tersebut sebagai bahan musyawarah.
c. Istihsan, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan ijtihadiyah atas dasar
prinsip-prinsip umum ajaran islam, seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. pengalihan
hukum yang diperoleh dengan jalan qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan
kemaslahatan umum. Apabila dihadapkan kepada keharusan memilih salah satu diantara
dua persoalan yang sama-sama jelek, maka harus diambil yang lebih ringan kejelekannya.
d. Mashalihul mursalah, yaitu menetapkan hukum terhadap suatu persoalan atas
pertimbangan keguanaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syariat islam, yaitu
dengan memelihara kelestarian dan keselamatan agama (hak untuk beragama), jiwa (hak
untuk hidup), akal (hak untuk mendapatkan ilmu pengetahuan), harta (hak untuk memiliki
dan memanfaatkan harta) dan keturunan (hak untuk mengembangkan keturunan)
(Muhammad Alim,2006:198-200)
e. Sududz Dzariah, Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh
atau haram demi kepentingan umat.
f. Istishab, Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan
yang bisa mengubahnya,
g. Urf, Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan
masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-
aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

Dr. Ad Duwalibi, sebagaimana dikatakan oeh Dr. Wahbah membagi ijtihad kepada tiga
macam (sebagian diantaranya juga ditunjuk oleh As Syathibiy di dalam ( Al muwafafotnya)).
1. Al Ijtihadul Bayaniy, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum Syar’iyah dari nash-nash
syar’i (yang memberi syari’at).
2. Al ijtihadul Qiyasyi, yaitu meletakkan (wadl’an) hukum-hukum syar’iyah unuk kejadian-
kejadian/peristiwa yang tidak terdapat di dalam Al Kitab dan As Sunnah, dengan jalan
menggunakan qiyas atas apa yang terdapat di dalam nash-nash hukum syar’i.
Al Ijtihadul Ishtishlahiy, inipun juga meletakkan (wadl’an) hukum-hukum syar’iyah untuk
peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang untuk itu tidak terdapat di dalam Al Kitab dan As
Sunnah dengan mempergunakan ar ra’yu yang disandarkan atas istishlah (Kamal muchtar
dkk, 1995: 120).
Sedangkan Ustadz Muhammad Taqiyyulhakim membaginya kepada ijtihad aqliy dan
ijtihad syar’iy. Yang aqliyah ialah apabila hujah-hujjahnya mantap itu melulu aqal saja dan
tidak menerima untuk dijadikan syar’iy yaitu hal-hal yang semata-mata aqliy aturan-aturan
yang biasanya untuk menolak kemadlaratan dan lain-lain. Sedangkan yang syar’iy ialah yang
memerlukan kepada kehujjahannya itu sebagian dari hujjah-hujjah syar’iy dan dalam
kelompok ini termasuk Ijma’, qiyas, istihsan, istishislah, urf, istishhab, dan lain-lain. Imam
Asy Syafi’iy memadukan ijtihad itu dengan makna istinbath atas qiyas terhadap suatu yang
terdapat di dalam Al Kitab dan As Sunah (Kamal Muchtar dkk, 1995: 120).

E. Fungsi Ijtihad
Fungsi ijtihad adalah untuk mendapatkan solusi hukum jika ada suatu masalah yang harus
diterapkan hukumnya, tetapi tidak dijumpai dalam Al-Quran maupun hadis. Jadi, jika dilihat
dari fungsi ijtihad tersebut, maka ijtihad mendapatkan kedudukan dan legalitas dalam Islam.
Meskipun demikian, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang
memenuhi syarat yang boleh berijtihad.
Ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya :
1. Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir seperti Hadis
Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas
pengertiannya sehingg tidak angsung dapat dipahami.
2. Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran
dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalah. Hal ini penting,
karena ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat
menjawab berbagai permasalahan yang terus berkembang dan bertambah denga tidak
terbatas jumlahnya.

F. Ijtihad Dalam Aqidah


Akidah secara etimologi adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Akidah mencakup
beberapa cabang ilmu, dalam sejarah kajian ilmu akidah muncul beberapa aliran seperti
Murji’ah dan Mu’tazilah. Masing-masing aliran menggunakan Alquran dan Hadis sebagai
acuan. Mereka membaca, mempelajari, dan meneliti ayat Alquran dan Hadis, itulah yang
dinamakan ijtihad dalam bidang akidah
Contoh ijtihad adalah suatu peristiwa di zaman Khalifah Umar ibn Khattab, di mana para
pedagang Muslim bertanya kepada Khalifah berapa besar cukai yang harus dikenakan kepada
para pedagang asing yang berdagang di negara Khalifah. Jawaban dari pertanyaan ini belum
dimuat secara terperinci dalam Al-Quran maupun hadis, maka Khalifa Umar ibn Khattab
selanjutnya berijtihad dengan menetapkan bahwa cukai yang dibayarkan oleh pedagang
adalah disamakan dengan taraf yang biasanya dikenakan kepada para pedagang Muslim oleh
negara asing, di mana mereka berdagang.
‘Abd Jalil ‘Isa mengungkapkan beberapa contoh ijtihad Nabi:
1. Cara memperlakukan anak-anak musyrikin yang ikut berperang, Nabi menjawab,
“seperti bapak-bapaknya”.
2. Qiblat ke Bait Al-Maqdis (16-17 bln) sebelum ditetapkan ke arah Ka’bah
3. Khawalah binti Tsa’labah bertanya tentang suaminya (Aus ibn Shamit) yang telah
zhihar, Nabi menjawab: “kamu haram bagi suamimu yang telah zhihar”, berarti zhihar
= cerai. Kemudian Allah turunkan al-Mujadilah (28): 1-4. Zhihar tidak termasuk
talak, tetapi yg bersangkutan harus melakukan kafarat zhihar, yaitu memerdekakan
budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang fakir
miskin, sebelum bercampur kembali dengan isterinya.
Salah satu contoh ijtihad yang sering dilakukan untuk saat ini adalah tentang penentuan I
Syawal, disini para ulama berkumpul untuk berdiskusi mengeluarkan argumen masing-
masing untuk menentukan 1 Syawal, juga penentuan awal Ramadhan. Masing-masing ulama
memiliki dasar hukum dan cara dalam penghitungannya, bila telah ketemu kesepakatan
ditentukanlah 1 Syawal itu.
Contoh lain adalah tentang bayi tabung, pada zamannya Rasulullah bayi tabung belum
ada. Akhir akhir ini bayi tabung dijadikan solusi oleh orang yang memiliki masalah dengan
kesuburan jadi dengan cara ini berharap dapat memenuhi pemecahan masalah agar dapat
memperoleh keturunan.
Para ulama telah merujuk kepada hadist-hadist agar dapat menemukan hukum yang telah
dihasilkan oleh teknologi ini dan menurut MUI menyatakan bahwa bayi tabung dengan
sperma dan ovum suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh) karena hal ini merupakan
Ikhtiar yang berdasarkan agama. Allah sendiri mengajarkan kepada manusia untuk selalu
berusaha dan berdoa.
Sedangkan para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari suami isteri yang
menitipkan ke rahim perempuan lain, jika ada yang demikian maka hal ini memiliki hukum
haram. Alasannya karena akan menimbulkan masalah yang rumit dikemudian hari terutama
soal warisan.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
Ijtihad dianggap sangat perlu dilakukan karena zaman semakin berkembang searah
dengan berkembangnya pemikiran manusia. Ijtihad juga banyak dilakukan oleh para sahabat
dan juga para ulama-ulama besar setelah Rasulullah wafat. Ijtihad dilakukan untuk
menemukan suatu kepuasan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit di dalam
Al-qur’an dan Sunnah. Ijtihad dilakukan dengan cara mengerahkan segala kemampuan
pikiran yang ada namun keputusan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-qur’an
dan Assunnah. Syarat-syarat untuk melakukan ijtihad diantaranya adalah memiliki
pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-qur’an yang berhubungan dengan masalah
hukum, memiliki pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist Nabi SAW yang behubungan
dengan masalah hukum, mengetahui bahasa Arab dengan berbagai ilmu kebahasaannya,
mengetahui ilmu logika, dll.

Anda mungkin juga menyukai