AGAMA ISLAM
BERIJTIHAD DALAM AQIDAH
DISUSUN OLEH:
INDIRA DIHYANG AULIA
IZHAR ISMAIL
MARDIANA PUTRI
MEYKE AMALIA
PRODI
ILMU & TEKNOLOGI PANGAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana yang kita ketahui sumber hukum islam ada tiga yaitu Al-Quran, Al-Hadits
dan ijtihad. Al-Quran berasal dari wahyu Allah SWT, Al-Hadits yang merupakan penjelasan
dari Nabi Muhammad SAW terkait dengan hal-hal yang belum dijelaskan dalam Al-Quran
dan ijtihad merupakan kesepakatan ulama terhadap suatu hal yang belum dijelaskan dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang artinya adalah bersungguh-sungguh, rajin, dan
giat. Sedangkan Imam Ghazali mendefinisikan ijtihad itu dengan usaha sungguh-sungguh
dari seorang mujtahid di dalam rangka mengetahui tentang hukum-hukum syariat. Ijtihad
merupakan hasil dari akal pikiran manusia (ar-ra’yu). Ijtihad diperkuat oleh dialog antara
Nabi Muhammad SAW dengan Mu’adz bin jabal ketika itu Nabi bertanya kepada kepada
Mu’adz bin Jabal tentang perkara yang belum ada di dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul
maka Mu’adz akan menggunakan akal pikirannya sepanjang tidak melenceng dengan Al-
Quran dan Sunnah Rasul dan Nabi Muhammad SAW pun menyetujuinya.
Terdapat berbagai macam ijtihad dan hukum-hukumnya. Ijtihad oleh Syaikh
Muhammad khudloriy memiliki 3 hukum yakni wajib ainy, wajib kifaiy, dan sunnah.
Sedangkan Dr. Ad duwalibi membagi ijtihad menjadi 3 macam yaitu Al-Ijtihadul Bayaniy,
Al-Ijtihadul Qiyasiy dan Al-Ijtihadul Istishlahiy. Ustadz Muhammad Taqqiyul Hakim
membagi ijtihad menjadi dua macam yaitu ijtihad aqliy dan ijtihad syar’i.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata ijtahada yajtahidu ijtihadan yang berarti mengerahkan
segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-
sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan, menurut istilah, pengertian ijtihad adalah
mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan
suatu hukum. Ijtihad (Arab: )اجتهادadalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang
sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat
menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya,
diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam. Tujuan ijtihad
adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah
kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Imam Al Ghazaliy mendefinisikan ijtihad itu dengan usaha sungguh-sungguh dari
seorang mujtahid di dalam rangka mengetahui tentang hukum-hukum syariat. Adapula yang
mengatakan ijtihad itu ialah qiyas, tetapi oleh Al Ghazaliy pendapat itu lebih umum daripada
qiyas, sebab kadang-kadang ijtihad itu memandang di dalam keumuman dan lafadz-lafadz
yang pelik dan semua jalan asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam Syafi’iy sendiri
menyebutkan bahwa arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad (Kamal Muchtar dkk, 1995: 115-
16).
Dalam hubungannya dengan hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-
sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahli
hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak
ada ketentuannya dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah. Orang yang berijtihad disebut
mujtahid (Mohammad Daud Ali, 1990: 116).
Pengertian ijtihad menurt Ibrahim Hosen berarti pengarahan segala kesanggupan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit. Ijtihad secara bahasa sering juga diartikan sebagai
pencurahan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu, yaitu penggunaan akal sekuat
mungkin untuk menemukan suatu kepuasan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara
eksplisit di dalam Al-qur’an dan Sunnah.
Dalam bidang fikih, ijtihad berarti mengerahkan segala tenaga dan fikiran untuk
menyelidiki dan mengeluarkan (mengistinbatkan) hukum-hukum yang terkandung dalam Al-
qur’an dengan syarat-syarat tertentu. Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah bersabda kepada
Abdullah bin Mas’ud sebagai berikut : “berhukumlah engkau dengna Al-qur’an dan Sunnah
Rasul, apabila persoalan itu engkau temukan dalam kedua sumber tersebut. Akan tetapi
apabila engkau tidak menemukannya,maka ijtihadlah”. Rasulullah pun pernah menyatakan
kepada Ali Bin Abi Thalib : “apabila engkau berijtihad dan ijtihad mu betul, maka engkau
mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ijtihad mu salah, maka engkau hanya mendapatkan
satu pahala”. Ada tiga hukum ijtihad seperti ditetapakan para ahli ushul fikih, antar lain
fardhu ain (wajib bagi setiap orang), fardhu kifayah (cukup dilakukan oleh sebagian orang)
serta mandub (sunah). (Muhammad Alim,2006:195)
Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berfikiran dengan menggunakan seluruh ilmu
yang dimiliki oleh para ilmuan syari’at Islam untuk menetapkan/menemukan sesuatu hukum
syari’at islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnyaoleh Al-qur’an dan
Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek
pendidikan, tetapi tetap berpedoman dalam Al-qur’an dan Sunnah tersebut. Karena itu ijtihad
dipandang sebagai salah satu sumber hukum islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa
setelah Rasulullah wafat. Sasaran ijtihad adalah segala sesuatu yang diperlukan dalam
kehidupan, yang senantiasa berkembang. Ijtihad bidang pendidikan sejalan dengan
perkembangan zaman yang semakin maju, terasa semakin urgen dan mendesak, tidak saja
dibidang materi atau isi, melainkan juga dibidang sistem dalam arti yang luas. (Zakiah
Daradjat,2006:21)
Ijtihad merupakan dasar dan saran pengembangan hukum Islam. Ia adalah kewajiban
umat Islam yang memenuhi syarat (karena pengetahuan dan pengalamannya) untuk
menunaikannya. Kewajiban itu tercermin dalam Sunnah Nabi Muhammad SAW yang
mendorong mujtahid untuk berijtihad. Mujtahid yang berijtihad, dan (hasil) ijtihadnya itu
benar, kata Nabi, akan memperoleh dua pahala. Kalau ijtihadnya salah, dia akan
mendapatkan (juga) satu pahala (Othman Ishak,1980:16 dalam Mohammad Daud Ali, 1990:
17).
C. Syarat-syarat Berijtihad
Dalam sejarah, banyak para mujtahid yang muncul dan berjasa mengembangkan hukum
islam . Para penulis sejarah hukum mengadakan klasifikasi dan menentukan peringkat
mereka berdasarkan kriteria yang mereka adakan. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (1292-1356 M)
menggolongkannya ke dalam empat tingkat saja, yakni mujtahid mutlak, mujtahid mazhab,
mujtahid fatwa dan muqallid atau disebut juga dengan istilah ahli tarjih (Asjmuni
Abdurrahman, 1978:n 17-24 dalam Muhammad Daud Ali, 1990: 119).
Ijtihad perlu dilakukan oleh orang yang memenuhi syarat dari masa ke masa, karena
Islam dan umat Islam berkembang pula dari zaman ke zaman sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Dalam masyarakat yang berkembang itu, senantiasa muncul masalah-masalah
yang perlu dipecahkan dan ditentukan kaidah hukumnya. Hal ini hanya dapat dilakukan
dengan ijtihad. Dan karena pentingnya ijitihad, seorang pemikir Islam terkemuka (yang
menjadi salah seorang pendorong lahirnya negara Islam Pakistan) yakni Muhammad Iqbal
menyebut ijtihad sebagai the rinciple of movement dalam struktur ajaran agama islam
(Nazaruddin Razak, 1977:113), karena dengan ijtihad hukum Islam dapat dikembangkan
untuk memenuhi kebutuhan umat Islam di setiap zaman. Ijtihad Khalifah Umar bin Khattab
(634-644 M) dalam berbagai aspek hukum Islam, adalah model yang dapat dicontoh terus-
menerus dalam melakukan ijtihad dari masa ke masa, di setiap tempat dalam berbagai
peristiwa (Mohammad Daud Ali, 1990: 119).
Di antara banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan
ijtihad, sebagaimana disebutkan oleh para ulama dalam kitab ushul fiqh, yang terpenting
ialah:
a. Memiliki pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-qur’an yang berhubungan dengan
masalah hukum, dalam arti mampu mebahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
b. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist Nabi SAW. Yang behubungan
dengan masalah hukum, dalam arti sanggup membahas hadist-hadist tersebut untuk
menggali hukum.
c. Mengetahui bahasa Arab dengan berbagai ilmu kebahasaannya, seperti nahwu, sharaf,
ma’ani, bayan, badi’, agar dapat menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an atau Assunnah dengan
cara yang benar.
d. Mengetahui kaidah-kaidah ilmu shuk fikih yang seluas-luasnya, karena ilmu ini menjadi
dasar berijtihad.
e. Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tenatang
hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.
f. Mengetahui soal-soal ijma’, supaya tidak timbul pendapat yang bertentangan dengan hasil
ijma’.
g. Mengetahui hadist yang dibatalkan karena sesuatu yang lebih kuat dalam Al-qur’an.
(Muhammad Alim,2006:198)
Dr. Ad Duwalibi, sebagaimana dikatakan oeh Dr. Wahbah membagi ijtihad kepada tiga
macam (sebagian diantaranya juga ditunjuk oleh As Syathibiy di dalam ( Al muwafafotnya)).
1. Al Ijtihadul Bayaniy, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum Syar’iyah dari nash-nash
syar’i (yang memberi syari’at).
2. Al ijtihadul Qiyasyi, yaitu meletakkan (wadl’an) hukum-hukum syar’iyah unuk kejadian-
kejadian/peristiwa yang tidak terdapat di dalam Al Kitab dan As Sunnah, dengan jalan
menggunakan qiyas atas apa yang terdapat di dalam nash-nash hukum syar’i.
Al Ijtihadul Ishtishlahiy, inipun juga meletakkan (wadl’an) hukum-hukum syar’iyah untuk
peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang untuk itu tidak terdapat di dalam Al Kitab dan As
Sunnah dengan mempergunakan ar ra’yu yang disandarkan atas istishlah (Kamal muchtar
dkk, 1995: 120).
Sedangkan Ustadz Muhammad Taqiyyulhakim membaginya kepada ijtihad aqliy dan
ijtihad syar’iy. Yang aqliyah ialah apabila hujah-hujjahnya mantap itu melulu aqal saja dan
tidak menerima untuk dijadikan syar’iy yaitu hal-hal yang semata-mata aqliy aturan-aturan
yang biasanya untuk menolak kemadlaratan dan lain-lain. Sedangkan yang syar’iy ialah yang
memerlukan kepada kehujjahannya itu sebagian dari hujjah-hujjah syar’iy dan dalam
kelompok ini termasuk Ijma’, qiyas, istihsan, istishislah, urf, istishhab, dan lain-lain. Imam
Asy Syafi’iy memadukan ijtihad itu dengan makna istinbath atas qiyas terhadap suatu yang
terdapat di dalam Al Kitab dan As Sunah (Kamal Muchtar dkk, 1995: 120).
E. Fungsi Ijtihad
Fungsi ijtihad adalah untuk mendapatkan solusi hukum jika ada suatu masalah yang harus
diterapkan hukumnya, tetapi tidak dijumpai dalam Al-Quran maupun hadis. Jadi, jika dilihat
dari fungsi ijtihad tersebut, maka ijtihad mendapatkan kedudukan dan legalitas dalam Islam.
Meskipun demikian, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang
memenuhi syarat yang boleh berijtihad.
Ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya :
1. Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir seperti Hadis
Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas
pengertiannya sehingg tidak angsung dapat dipahami.
2. Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran
dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalah. Hal ini penting,
karena ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat
menjawab berbagai permasalahan yang terus berkembang dan bertambah denga tidak
terbatas jumlahnya.
Kesimpulan:
Ijtihad dianggap sangat perlu dilakukan karena zaman semakin berkembang searah
dengan berkembangnya pemikiran manusia. Ijtihad juga banyak dilakukan oleh para sahabat
dan juga para ulama-ulama besar setelah Rasulullah wafat. Ijtihad dilakukan untuk
menemukan suatu kepuasan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit di dalam
Al-qur’an dan Sunnah. Ijtihad dilakukan dengan cara mengerahkan segala kemampuan
pikiran yang ada namun keputusan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-qur’an
dan Assunnah. Syarat-syarat untuk melakukan ijtihad diantaranya adalah memiliki
pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-qur’an yang berhubungan dengan masalah
hukum, memiliki pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist Nabi SAW yang behubungan
dengan masalah hukum, mengetahui bahasa Arab dengan berbagai ilmu kebahasaannya,
mengetahui ilmu logika, dll.