Anda di halaman 1dari 14

Abortus Berulang et causa Toxoplasmosis

Robert Tupan us Abatan


102012335
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510, Indonesia
Email : Robert.tupan@yahoo.com

Abstrak
Toksoplasmosis dalam kehamilan menyebabkan transmisi Toxoplama gondii melalui
sirkulasi uteroplasenta ke janin. Terdapat korelasi positif yang sangat bermakna antara isolasi
toksoplasma dari jaringan plasenta dan infeksi neonatus. Pemeriksaan laboratorium yang lazim
dilakukan ialah anti toksoplasma IgG dan IgM, serta aviditas anti-Toksoplasma IgG. Pemeriksaan
tersebut perlu dilakukan pada ibu yang diduga terinfeksi Toxoplasma gondii sebelum atau selama
masa kehamilan, serta pada bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi Toxoplasma gondii. Sumber
penyakit dapat ditemukan dari mana saja. Salah satunya melalui makanan yang kurang
matang atau melalui hewan peliharaan. Contohnya adalah penyakit toksoplasmosis.
Toksoplasmosis ini disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii
memiliki daur hidup seksual dan aseksual di dalam sel epitel usus hospes definitifnya.
Penyebaran toksoplasmosis ini terjadi di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Toksoplasmosis dapat dibagi menjadi dua macam yakni toksoplasmosis kongenital dan
toksoplasmosis akuisita atau didapat. Toksoplasmosis akuisita dapat berasal dari
masuknya ookista atau kista jaringan ke dalam tubuh manusia. Sedangkan toksoplasmosis
kongenital berasal dari penularan infeksi Toxoplasma gondii dari ibu yang sedang hamil
kepada janin yang berada di kandungannya.
Kata kunci : toksoplasmosis kongenital, toksoplasmosis akuisita, Toxoplasma gondii.

Abstract
Toxoplasmosis in pregnancy causes the transmission of Toxoplama gondii through
the uteroplacental circulation to the fetus. There is a very significant positive correlation
between toxoplasm isolation from placental tissue and neonatal infection. Laboratory tests
that are commonly performed are anti toxoplasma IgG and IgM, as well as avidity of anti-
Toxoplasma IgG. The examination should be performed on women suspected of being
infected with Toxoplasma gondii before or during pregnancy, and in newborns from mothers
infected with Toxoplasma gondii. The source of the disease can be found anywhere. One of
them is through undercooked food or through pets. An example is toxoplasmosis.
Toxoplasmosis is caused by Toxoplasma gondii protozoa. Toxoplasma gondii has a sexual
and asexual life cycle in epithelial cells of the definitive host intestine. The spread of
toxoplasmosis occurs throughout the world, including in Indonesia. Toxoplasmosis can be
divided into two types, congenital toxoplasmosis and toxoplasmosis acquired or acquired.
Antibiotic toxoplasmosis can originate from the entry of oocysts or tissue cysts into the
human body. While congenital toxoplasmosis originates from the transmission of Toxoplasma
gondii infection from pregnant women to the fetus in the womb.
Keywords: congenital toxoplasmosis, toxoplasmosis Iisita, Toxoplasma gondii.
Pendahuluan
Ada banyak kuman sumber penyakit yang tidak tampak di sekitar tempat tinggal atau
lingkungan hidup. Kuman – kuman atau parasit sumber penyakit itu sendiri dapat berasal dari
berbagai hal. Salah satunya adalah melalui kuman, bakteri, ataupun parasit yang berasal atau
tumbuh dari hewan peliharaan. Misalnya saja adalah penyakit toxoplasmosis yang
disebabkan oleh protozoa yang terkadang terdapat pada kotoran hewan peliharaan
terkhususnya kucing. Penyakit toxoplasmosis itu sendiri juga dapat disebabkan oleh faktor
perilaku kehidupan seseorang. Misalnya kebiasaan seseorang memakan daging yang kurang
matang, juga dapat ikut menjadi sumber penyakit dari toxoplasmosis itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah suatu penyakit in-feksi yang disebabkan oleh protozoa Toxo-
plasma gondii. Di Amerika Serikat diper-kirakan bahwa 22,5% penduduk berusia ≥ 12 tahun
telah terinfeksi toksoplasma. Di berbagai tempat di dunia telah menunjuk-kan bahwa sampai
95% dari beberapa po-pulasi telah terinfeksi toksoplasma.sering tertinggi di wilayah dunia
yang ber-iklim panas, lembab, dan dataran rendah.
Toksoplasmosis biasanya tanpa gejala pada wanita hamil, tetapi dapat menimbul-kan
dampak yang parah pada janin. Infeksi ditransmisikan ke janin pada sekitar 40 % kasus.
Risiko penularan meningkat seiring dengan meningkatnya usia kehamilan. Infeksi kongenital
dengan toksoplasmosis dapat menyebabkan gejala sisa yang serius, seperti kebutaan,
keterbelakangan mental, defisit neurologik, dan tuli. Pencegahan morbiditas dari
toksoplasmosis tergantung pada pencegahan infeksi pada wanita ha-mil, serta pengenalan dini
dan pengobatan agresif infeksi pada ibu.

Epidemologi Toxoplasmosis
Keadaan toksoplasmosis di suatu diaerah dipengaruhi oleh banyak faktor. 2,3 Misalnya
saja adalah kebiasaan makan daging kurang matang. Atau mungkin faktor lain adalah adanya
kucing atau family Felidae lainnya sebagai hospes definitif dan hewan peliharaan lainnya
yang berperan sebagai hospes perantara. Selain melalui hewan peliharaan itu, bisa juga
dipengaruhi oleh banyak sedikitnya vektor seperti lipas atau lalat yang dapat memindahkan
ookista dari tinja kucing atau hewan peliharaan lain ke dalam makanan. Cacing tanah juga
ikut berperan dalam memindahkan ookista dari lapisan ke dalam permukaan tanah.
Toxoplasma gondii ditemukan di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri prevalensi zat
anti Toxoplasma gondii yang positif pada manusia berkisar antara 2% hingga 63%.
Sedangkan pada orang Eskimo, prevelensinya 1 % dan di El Salvador, Amerika Tengah
prevalensi mencapai 90%. Prevalensi zat anti Toxoplasma gondii pada binatang di Indonesia
bermacam – macam. Untuk kucing, prevalensinya berkisar 35%-73%, pada babi 11%-36%,
kambing 11%-61%, anjing 75%, dan pada hewan ternak lainnya berada di bawah 10%.
Pada umumnya, prevalensi zat anti yang positif Toxoplasma gondii meningkat sesuai
peningkatan umur.3 Sedangkan berdasarkan gender atau jenis kelamin senidiri tidak ada
perbedaan.2 Namun prevalensi zat anti Toxoplasma gondii ini berbeda di berbagai daerah
geografik.2,3 Artinya perbedaan geografik ikut mempengaruhi tingkat prevalensi zat anti
Toxoplasma gondii. Di mana pada dataran tinggi prevalensinya sendiri lebih rendah,
sedangkan di daerah tropik atau dataran rendah prevalensinya lebih tinggi.
Prevalensi toksoplasmosis kongenital di beberapa negara juga bermacam – macam. Di
belanda, prevalensi toksoplasmosis kongenital diperkirakan 6,5 dari 1000 angka kelahiran
hidup Sedangkan di New York sekitar 1,3%, di Paris 3%, dan di Vienna mencapai 6%-7%.

Toksoplasmosis
Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii,
merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia Parasit ini
merupakan golongan Protozoa yang bersifat parasit obligat intraseseluler. Toksoplasmosis
menjadi sangat penting karena infeksi yang terjadi pada saat kehamilan dapat
menyebabkan abortus spontan atau kelahiran anak yang dalam kondisi abnormal atau
disebut sebagai kelainan kongenital seperti hidrosefalus, mikrosefalus, iridosiklisis dan
retardasi mental.

Toksoplasmosis dapat dibagi menjadi 2 macam berdasarkan cara didapatkannya.


Adapun macam – macam toksoplasmosis tersebut meliputi toksoplasmosis acquired atau
akuista dan toksoplasmosis kongenital. Toksoplasmosis acquired atau akuista merupakan
toksoplasmosis yang terjadi dengan cara di dapat melalui ookista yang masuk melalui
makanan. Hal tersebut bisa melalui makan makanan yang kurang matang, atau masuknya
ookista dari kotoran hewan ke dalam makanan yang akan dimakan. Sedangkan
toksoplasmosis kongenital merupakan toksoplasmosis yang didapat oleh seorang bayi
yang baru lahir yang dilahirkan oleh ibu yang sedang menderita toksoplasmosis. Protozoa
Toxoplasma gondii di dalam tubuh manusia ditemukan dalam segala macam sel jaringan
tubuh manusia. Hanya saja, pada eritrosit atau sel darah merah manusia, parasit
Toxoplasma gondii ini tidak akan ditemukan. Pada umumnya, parasit ini ditemukan dalam
sel retikulo endotelial dan sistem saraf pusat.

Pada toksoplasmosis akuisita yang menyerang orang dewasa pada umumnya tidak
memberikan gejala apa – apa atau asimtomatik sehingga sangat sulit untuk diketahui.
Sedangkan pada ibu hamil yang mendapat infeksi primer, maka akan melahirkan bayi atau
anak dengan toksoplasmosis kongenital. Toxoplasmosis dapat juga memberikan manifestasi
klinis dimana yang paling sering dijumpai adalah terjadinya limfadenopati meliputi bagian
servikal, supraklavikular, axial, inguinal, dan oksipital. Selain itu, juga muncul rasa lelah,
demam, nyeri otot dan rasa sakit kepala. Gejala dari toksoplasmosis akuisita ini mirip dengan
gelajala pada mononukleosis infeksiosa. Terkadang pada penderita toksoplasmosis dijumpai
eksantem ataupun retinokoroiditis. Retinokoroiditis yang terjadi pada pubertas dan dewasa
merupakan kelanjutan infeksi kongenital yang merupakan reaktivasi infeksi laten. Namun,
retinokoroiditis karena toksoplasmosis pada remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi
kongenital dan jarang sekali sebagai akibat infeksi akuisita. Toxoplasma sendiri juga dapat
menyebabkan infeksi oportunistik yang disebabkan imunosupresi berhubungan dengan
transplantasi organ dan keganasan. Pada penderita AIDS yang disertai dengan toksoplasmosis
dapat menyebabkan kelainan susunan saraf pusat sebagai manifestasi klinis pertama.
Toksoplasmosis paru pada pasien imunodefisiensi sendiri dapat timbul sebagai pneumonitis
interstitial, necrotising pneumonis, konsolidasi, dan efusi pleura.
Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital dapat bermacam – macam. Dapat berupa
prematuritas, retardasi pertumbuhan intrauterin, postmaturitas, retinokoroidis, strabismus,
kebutaan, retardasi psikomotor, mikrosefalus atau hidrosefalus, kejang, hipotonus, ikterus,
anemia, dan hepatosplenomegali. Berat infeksi toksoplasmosis kongenital ini bergantung
pada umur janin saat terjadi infeksi. Semakin muda usia janin saat terserang infeksi, semakin
berat juga kerusakan organ tubuh pada janin tersebut. Infeksi pada kehamilan muda bahkan
dapat menyebabkan abortus spontan dan kematian janin. Namun semakin muda usia
kehamilan saat terjadi infeksi primer pada ibunya, semakin kecil presentase janin yang
terinfeksi. Pada hal tersebut, anak yang baru lahir dapat saja tampak normal dan gejala klinis
baru akan timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun. Pada penderita
toksoplasmosis kongenital ini dapat muncul gambaran eritroblastosis, hidrops fetalis dan triad
kalsik yang terdiri atas hidrosefalus, retinokoroiditis dan perkapuran atau kalsifikasi pada
intrakranial atau tetrade Sabin jika disertai kelainan psikomotorik. Pada bayi dengan
toksoplasmosis kongenital juga dapat terjadi sikatriks pada retina. Pada anak dengan lahir
prematur, gejala klinis dari toksoplamosis akan lebih berat daripada yang lahir dengan cukup
bulan. Selain itu juga dapat disertai dengan hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati,
kelainan susunan saraf pusat dan lesi mata.
Morfologi
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat dalam tiga
bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi
sporozoit). Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing dan ujung
lain agak membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron, lebar 2-4 mikron dan mempunyai
selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti
mitokondria dan badan golgi. Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes perantara seperti
burung dan mamalia termasuk manusia dan kucing sebagai hospes definitif. Takizoit
ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh. Takizoit juga dapat memasuki
tiap sel yang berinti.
Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk
dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi beberapa
bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista dalam
tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung, dan otot
bergaris. Di otak bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista
mengikuti bentuk sel otot.
Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista mempunyai
dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan
selanjutnya ke dua sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing
sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2 mikron dan sebuah benda
residu. Toxoplasma gondii dalam klasifikasi termasuk kelas Sporozoasida, berkembang
biak secara seksual dan aseksual yang terjadi secara bergantian.

Siklus hidup
Daur hidup T. gondii melalui dua siklus yaitu siklus enteroepitel dan siklus
ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di dalam tubuh hospes definitif seperti kucing.
Siklus ekstraintestinal pula di dalam tubuh hospes perantara seperti manusia, kambing dan
domba. Pada siklus ekstraintestinal, ookista yang keluar bersama tinja kucing belum
bersifat infektif. Setelah mengalami sporulasi, ookista akan berisi sporozoit dan menjadi
bentuk yang infektif. Manusia dan hospes perantara lainnya akan terinfeksi jika tertelan
bentuk ookista tersebut.
Di dalam ileum, dinding ookista akan hancur sehingga sporozoit bebas. Sporozoit-
sporozoit ini menembus mukosa ileum dan mengikuti aliran darah dan limfa menuju
berbagai organ tubuh seperti otak, mata, hati dan jantung.
Sporozoit bebas akan membentuk pseudokista setelah berada dalam sel organ-
organ tersebut. Pseudokista tersebut berisi endozoit atau yang lebih dikenal sebagai
takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara
berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista
biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten).

Cara penularan
Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara. Pada toksoplasmosis
kongenital, transmisi toksoplasma kepada janin terjadi melalui plasenta bila ibunya
mendapat infeksi primer waktu hamil. Pada toksoplasmosis akuista, infeksi dapat terjadi
bila makan daging mentah atau kurang matang ketika daging tersebut mengandung kista
atau trofozoit T. gondii. Tercemarnya alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk infektif
parasit ini pada waktu pengolahan makanan merupakan sumber lain untuk penyebaran T.
gondii.
Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista yang
dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. Kontak yang sering terjadi dengan hewan
terkontaminasi atau dagingnya, dapat dihubungkan dengan adanya prevalensi yang lebih
tinggi di antara dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah potong
hewan dan orang yang menangani daging mentah seperti juru masak (Chahaya, 2003).
Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari donor penderita
toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi T. gondii. Infeksi juga
dapat terjadi di laroratorium pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan yang
diinfeksi dengan T. gondii yang hidup. Infeksi dengan T. gondii juga dapat terjadi waktu
mengerjakan autopsi.

Gambar 2.1 Cara Penularan Toksoplasmosis

Pemeriksaan Penunjang Toxoplasmosis


Diagnosis seseorang menderita toksoplasmosis dapat ditegakkan apabila takizoit
ditemukan melalui biopsi otak atau sumsum tulang, cairan serbrospinal, dan ventrikel.
Takizoit juga dapat dicari dengan cara pulasan biasa, namun dengan pulasan biasa, takizoit
cukup sukar untuk ditemukan. Selain itu, dengan isolasi parasit dari cairan badan dapat
menujukkan adanya infeksi akut, tetapi isolasi dari jaringan hanya menunjukan ada tidaknya
kista dan tidak memastikan adanya infeksi akut.
Dalam menegakkan diagnosis seseorang menderita toksoplasmosis juga dapat dibantu
dengan tes serologi. Tes serologi yang dapat digunakan untuk mendiagnosis toksoplasmosis
menggunakan uji ada tidaknya IgG terhadap Toxoplasma dan ada tidaknya IgM terhadap
Toxoplasma. Biasanya IgG terhadap Toxoplasma baru akan muncul setelah 1 sampai 2
minggu setelah infeksi. Dan pada umumnya, IgG terhadap Toxoplasma ini akan tetap ada
seumur hidup. Pada penderita imunokompromais yang menderita toksoplasmosis, akan
sangat sukar ditemukannya antibodi IgM terhadap Toxoplasma dan titer antibodi IgG
terhadap Toxoplasma gondii terkadang tidak tampak peningkatan meskipun pada keadaan
menderita toksoplasmosis. Pencarian atau pengujian ada tidaknya IgG dan IgM terhadap
Toxoplasma ini biasanya menggunakan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorebnt Assay). Uji
serologi tidak dapat selalu digunakan untuk mendapatkan diagnosis toksoplasma akut dengan
cepat dan tepat.
Diagnosis pada penderita toksoplasmosis akuisita tidak dapat ditegakkan hanya
dengan sekali menemukan titer zat anti IgG Toxoplasma gondii yang tinggi. Hal tersebut
disebabkan karena titer zat antibodi IgG terhadap Toxoplasma gondii dapat ditemukan
bertahun – tahun di dalam tubuh seseorang. Diagnosis toksoplasmosis akut baru dapat
ditegakkan apabila IgG meninggi atau meningkat secara bermakna pada pemeriksaan
selanjutnya dengan jangka waktu lebih dari 3 minggu. Selain itu diagnosis toksoplasmosis
akut juga dapat ditegakkan apabila ada perubahan hasil dari yang semula negatif berubah
menjadi positif selama rentang waktu pemeriksaan lebih dari 3 minggu.
Sedangkan diagnosis pada penderita toksoplasmosis kongenital pada neonatus dapat
ditegakkan apabila dalam keadaan neonatus sudah ditemukan antibodi IgM terhadap
Toxoplasma gondii. Adanya antibodi IgM terhadap Toxoplasma gondii pada neonatus
menunjukkan bahwa zat anti telah dibuat oleh janin yang terinfeksi dalam uterus, hal tersebut
disebabkan karena zat antibodi IgM dari ibu yang memiliki ukuran lebih besar tidak dapat
menembus plasenta, sedangkan antibodi IgG dari ibu dapat menembus plasenta. Namun IgM
terhadap Toxoplasma gondii tidak selalu ditemukan pada penderita toksoplasmosis
kongenital. Hal tersebut disebabkan karena antibodi IgM cepat menghilang dari darah
walaupan terkadang ada yang ditemukan selama berbulan – bulan bahkan beberapa tahun.
Apabila bayi yang diduga menderita toksoplasmosis kongenital tidak ditemukan IgM
terhadap Toxoplasma gondii, dapat di follow up dengan menguji IgG. IgG neonatus yang
berasal dari ibu akan berangsur – angsur berkurang dan menghilang pada bayi yang tidak
terinfeksi Toxoplasma gondii.Dan pada penderita bayi yang terinfeksi Toxoplasma gondii,
tubuh bayi akan mulai membentuk IgG sehingga titer antibodi IgG akan tetap ada atau
bahkan naik.
Selain menggunakan tes serologi untuk diagnosis toksoplasmosis, dapat juga
digunakan cara PCR.Uji dengan PCR bekerja dengan cara mendeteksi DNA parasit pada
cairan tubuh dan jaringan. Berbeda dengan tes serologi, uji dengan PCR ini dapat
memberikan diagnosis toksoplasma dengan cepat dan tepat pada toksoplasmosis kongenital
prenatal dan postnala serta infeksi toksoplasmosis akut pada ibu hamil dan penderita
imunokompromais.Teknologi PCR ini juga dapat digunakan untuk mendiagnosis ensefalitis
toksoplasmik.
Patogenesis
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari
tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan jaringan serta
memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata
terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas
paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi.
Tahap ketiga rnerupakan fase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot
dan saraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.
Infeksi primer pada janin diawali dengan masuknya darah ibu yang mengandung
parasit tersebut ke dalam plasenta, sehingga terjadi keadaan plasentitis yang terbukti
dengan adanya gambaran plasenta dengan reaksi inflamasi menahun pada desidua
kapsularis dan fokal reaksi pada vili. Inflamasi pada tali pusat jarang dijumpai.Kemudian
parasit ini akan menimbulkan keadaan patologik yang manifestsinya sangat tergantung
pada usia kehamilan.

Manifestasi Klinis
Pada garis besarnya sesuai dengan cara penularan dan gejala klinisnya,
toksoplasmosis dapat dikelompokkan atas: toksoplasmosis akuisita (dapatan) dan
toksoplasmosis kongenital. Baik toksoplasmosis dapatan maupun kongenital, sebagian
besar asimtomatis atau tanpa gejala. Keduanya dapat bersifat akut dan kemudian menjadi
kronik atau laten. Gejalanya nampak sering tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan
penyakit lain. Toksoplasmosis dapatan biasanya tidak diketahui karena jarang
menimbulkan gejala. Tetapi bila seorang ibu yang sedang hamil mendapat infeksi primer,
ada kemungkinan bahwa 50% akan melahirkan anak dengan toksoplasmosis kongenital.
Gejala yang dijumpai pada orang dewasa maupun anak-anak umumnya ringan. Gejala
klinis yang paling sering dijumpai pada toksoplasmosis dapatan adalah limfadenopati dan
rasa lelah, disertai demam dan sakit kepala.
Pada infeksi akut, limfadenopati sering dijumpai pada kelenjar getah bening daerah
leher bagian belakang. Gejala tersebut di atas dapat disertai demam, mialgia dan malaise.
Bentuk kelainan pada kulit akibat toksoplasmosis berupa ruam makulopapuler yang mirip
kelainan kulit pada demam titus, sedangkan pada jaringan paru dapat terjadi pneumonia
interstisial.
Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital dapat bermacam-macam. Ada yang
tampak normal pada waktu lahir dan gejala klinisnya baru timbul setelah beberapa minggu
sampai beberapa tahun. Ada gambaran eritroblastosis, hidrops fetalis dan triad klasik yang
terdiri dari hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran intrakranial atau tetrad sabin yang
disertai kelainan psikomotorik. Toksoplasmosis kongenital dapat menunjukkan gejala yang
sangat berat dan menimbulkan kematian penderitanya karena parasit telah tersebar luas di
berbagai organ penting dan juga pada sistem saraf penderita.
Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa, misalnya retardasi
mental dan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan sikatriks pada retina yang dapat
kambuh pada masa anak-anak, remaja atau dewasa. Korioretinitis karena toksoplasmosis
pada remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi kongenital. Akibat kerusakan pada
berbagai organ, maka kelainan yang sering terjadi bermacam-macam jenisnya.
Kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu selama kehamilan
trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat berat sehingga terjadi abortus atau
lahir mati, atau bayi dilahirkan dengan kelainan seperti ensefalomielitis, hidrosefalus,
kalsifikasi serebral dan korioretinitis. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis lebih
berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai hepatosplenomegali, ikterus,
limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan lesi mata.

Penatalaksanaan Toxoplasmosis
Obat yang terdapat sampai saat ini hanya dapat membunuh stadium takizoit dari
Toxoplasma gondii, namun tidak dapat membunuh atau membasmi stadium kista dari
Toxoplasma gondii.Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa obat yang sudah ditemukan saat
ini hanya dapat memberantas infeksi akut, tetapi tidak dapat menghilangkan infeksi menahun
yang dapat menjadi aktif kembali.
Pengobatan pada ibu hamil dengan Spiramisin, Spiramisin merupakan antibiotik
makrolid paling aktif terhadap toksoplasmosis di bandingkan dengan antibiotika lainnya,
dengan mekanisme kerja yang serupa dengan klindamisin. Spiramisin menghambat
Pergerakan mRNA pada bakteri/parasit dengan cara menghambat 50s ribosom, sehingga
sintesisprotein bakteri/parasit akan terhambat dan kemudian mati.
Penggunaan antibiotik spiramisin se-lama kehamilan dengan infeksi T. gondii akut
dilaporkan menurunkan frekuensi transmisi vertikal. Proteksi ini terlihat lebih nyata pada
wanita yang terinfeksi selama trimester pertama. Spiramisin tidak dapat melewati plasenta,
dan sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi pada kasus yang diduga telah terjadi
infeksi pada janin. Sampai saat ini, tidak terdapat fakta bahwa obat ini bersifat teratogenik.
Pada wanita yang diduga mengalami infeksi tokso-plasma akut pada trimester pertama atau
awal trimester kedua, spiramisin diberikan hingga persalinan meskipun hasil peme-riksaan
PCR negatif.Hal ini berdasarkan teori yang menyatakan bahwa kemung-kinan infeksi janin
dapat terjadi pada saat kehamilan dari plasenta yang sebelumnya telah terinfeksi di awal
kehamilan.

Spiramisin diberikan hingga persalin-an, juga pada pasien dengan hasil peme-riksaan
cairan amnion negatif, karena secara teoritis kemungkinan infeksi janin dapat terjadi pada
kehamilan lanjut dari plasenta yang terinfeksi pada awal keha-milan. Untuk ibu hamil yang
memiliki ke-mungkinan infeksi tinggi atau infeksi janin telah terjadi, pengobatan dengan
spiramisin harus ditambahkan pirimetamin, sulfadia-zin, dan asam folat setelah usia
kehamilan 18 minggu. Pada beberapa pusat peng-obatan, penggantian obat dilakukan lebih
awal (usia kehamilan 12-14 minggu). Spiramisin sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang
hipersensitif terhadap anti-biotik makrolid. Sejumlah kecil ibu hamil menunjukkan gejala
gangguan saluran cerna atau reaksi alergi. Dosis spiramisin yang diberikan ialah 3 gram/hari.
Pengobatan dengan pirimetamin, sulfa-diazin, dan asam folat Kombinasi pirimetamin,
sulfadiazin, dan asam folat diindikasikan untuk ibu ha-mil yang mengalami infeksi T. gondii
akut pada akhir trimester kedua (> 18 minggu) atau pada trimester ketiga. Kombinasi ini juga
diindikasikan untuk ibu hamil dengan infeksi janin atau janin dengan toksoplasmosis
kongenital yang terdeteksi me-lalui ultasonografi. Pirimetamin bersifat teratogenik dan
penggunaannya dikontra-indikasikan pada trimester pertama. Pirimetamin dapat
menyebabkan depresi sum-sum tulang belakang sehingga perlu dila-kukan perhitungan
jumlah sel darah leng-kap untuk mencegah toksisitas hematologi. Tingkat kejadian
toksoplasmosis kongenital pada bayi ibu hamil yang terinfeksi sebelum kehamilan hampir
tidak pernah ditemukan. Di beberapa negara, pengobat-an tetap diberikan pada ibu hamil
sehat dengan diagnosis infeksi T. gondii laten. Hal tersebut didasarkan fakta bahwa kon-disi
imun setiap individu berbeda, fluk-tuatif, dan tidak dapat terkontrol sebelum-nya. Reaktivasi
mungkin saja terjadi ketika imunitas seseorang menurun, terutama pada ibu hamil yang
memiliki kondisi untuk berbagi nutrisi dengan janinnya. Selain itu, aviditas IgG setiap
individu juga belum tentu tinggi dan matang meskipun infeksi terjadi setelah bertahun-tahun
yang lalu. Jika pemberian terapi ditunda hingga hasil pemeriksaan aviditas IgG pada trimester
pertama hasil IgG dan IgM (-), maka infeksi terjadi akibat reaktivasi. Untuk lebih
memastikan bahwa infeksi tidak ter-jadi, maka pemberian terapi menggunakan spiramisin
tetap dilakukan. Disamping itu risiko minimal spiramisin tidak meng-halangi penggunaannya
sebagai terapi pada trimester pertama.
Pirimetamin merupakan anti parasit yang secara kimiawi dan farmakologi me-
nyerupai trimetroprim. Didalamnya terda-pat zat aktif diaminopirimidin yang bekerja sebagai
inhibitor poten dari dihidrofolat reduktase dan bekerja secara sinergis de-ngan sulfonamid.
Dosis pirimetamin 25-50 mg per oral sekali sehari dan dikombinasi-kan dengan sulfonamid
selama 1-3 minggu; kemudian dosis obat dikurangi setengah dari dosis sebelumnya, dan
terapi dilanjut-kan 4-5 minggu. Kekurangan asam folat akan memicu agranulositosis,
sehingga pemberian pirimetamin harus bersama de-ngan asam folat.

Sulfadiazin merupakan golongan sul-fonamida dengan masa kerja


sedang.Mekanisme kerjanya bersifat bakteriostatik dengan menghambat sintesis asam folat,
serta menghambat enzim yang membentuk asam folat dan para amino benzoic acid (PABA).
Sebagian bahan ini menginaktiva-si enzim seperti dehidrogenase atau kar-boksilase yang
berperan pada respirasi bakteri. Dosis pemberian 2-4 gram per oral sehari sekali selama 1-3
minggu, kemudian dosis dikurangi setengah dari dosis sebelumnya dan terapi dilanjutkan
hingga 4-5 minggu.
Pencegahan Toksoplasmosis
Peranan kucing sebagai hospes definitif merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi timbulnya toksoplasmosis, karena kucing mengeluarkan berjuta juta
ookista dalam tinjanya, yang dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah yang teduh
dan lembab. Untuk mencegah hal ini, maka dapat di jaga terjadinya infeksi pada kucing,
yaitu dengan memberi makanan yang matang sehingga kucing tidak berburu tikus atau
burung.
Lalat dan lipas dapat menjadi vektor mekanik yang dapat memindahkan ookista dari tanah
atau lantai ke makanan. Untuk mencegah terjadinya infeksi dengan ookista yang berada di
dalam tanah, dapat diusahakan mematikan ookista dengan bahan kimia seperti formalin,
o
amonia dan iodin dalam bentuk larutan serta air panas 70 C yang disiramkan pada tinja
kucing.
Anak balita yang bermain di tanah atau ibu-ibu yang gemar berkebun, juga petani
sebaiknya mencuci tangan yang bersih dengan sabun sebelum makan. Di Indonesia, tanah
yang mengandung ookista T. gondii belum diselidiki. Sayur-mayur yang dimakan sebagai
lalapan harus dicuci bersih, karena ada kemungkinan ookista melekat pada sayuran,
makanan yang matang harus di tutup rapat supaya tidak dihinggapi lalat atau kecoa yang
dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan tersebut.
Kista jaringan dalam hospes perantara (kambing, sapi, babi dan ayam) sebagai
0
sumber infeksi dapat dimusnahkan dengan memasaknya sampai 66 C. Daging dapat
0
menjadi hangat pada semua bagian dengan suhu 65 C selama empat sampai lima menit
atau lebih, maka secara keseluruhan daging tidak mengandung kista aktif, demikian juga
hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat. Setelah memegang
daging mentah (tukang potong, penjual daging, tukang masak) sebaiknya cuci tangan
dengan sabun sampai bersih.
Yang paling penting dicegah adalah terjadinya toksoplasmosis kongenital, yaitu
anak yang lahir cacat dengan retardasi mental dan gangguan motorik, merupakan beban
masyarakat. Pencegahan dengan tindakan abortus artefisial yang dilakukan selambatnya
sampai kehamilan 21-24 minggu, mengurangi kejadian toksoplasmosis kongenital kurang
dari 50 %, karena lebih dari 50 % toksoplasmosis kongenital diakibatkan infeksi primer
pada trimester terakhir kehamilan.
Pencegahan dengan obat-obatan, terutama pada ibu hamil yang diduga menderita
infeksi primer dengan Toxoplasma gondii, dapat dilakukan dengan spiramisin. Vaksin
untuk mencegah infeksi toksoplasmosis pada manusia belum tersedia sampai saat ini.
Anak balita yang bermain di tanah atau ibu-ibu yang gemar berkebun, juga petani
sebaiknya mencuci tangan yang bersih dengan sabun sebelum makan. Di Indonesia, tanah
yang mengandung ookista T. gondii belum diselidiki. Sayur-mayur yang dimakan sebagai
lalapan harus dicuci bersih, karena ada kemungkinan ookista melekat pada sayuran,
makanan yang matang harus di tutup rapat supaya tidak dihinggapi lalat atau kecoa yang
dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan tersebut.
Kista jaringan dalam hospes perantara (kambing, sapi, babi dan ayam) sebagai
0
sumber infeksi dapat dimusnahkan dengan memasaknya sampai 66 C. Daging dapat
0
menjadi hangat pada semua bagian dengan suhu 65 C selama empat sampai lima menit
atau lebih, maka secara keseluruhan daging tidak mengandung kista aktif, demikian juga
hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat. Setelah memegang
daging mentah (tukang potong, penjual daging, tukang masak) sebaiknya cuci tangan
dengan sabun sampai bersih.
Yang paling penting dicegah adalah terjadinya toksoplasmosis kongenital, yaitu
anak yang lahir cacat dengan retardasi mental dan gangguan motorik, merupakan beban
masyarakat. Pencegahan dengan tindakan abortus artefisial yang dilakukan selambatnya
sampai kehamilan 21-24 minggu, mengurangi kejadian toksoplasmosis kongenital kurang
dari 50 %, karena lebih dari 50 % toksoplasmosis kongenital diakibatkan infeksi primer
pada trimester terakhir kehamilan.
Pencegahan dengan obat-obatan, terutama pada ibu hamil yang diduga menderita
infeksi primer dengan Toxoplasma gondii, dapat dilakukan dengan spiramisin. Vaksin
untuk mencegah infeksi toksoplasmosis pada manusia belum tersedia sampai saat ini.
Kesimpulan
Infeksi toksoplasmosis dapat terjadi pada janin melalui sirkulasi uteroplasenta.
Pemeriksaan laboratorium yang lazim di-lakukan ialah IgG dan IgM antitoksoplasma serta
aviditas antitoksoplasma IgG. Pemeriksaan tersebut perlu dilakukan pada ibu yang diduga
terinfeksi T. gondii dan juga pada janin, umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27
minggu. Untuk ibu hamil yang memiliki kemungkinan infeksi tinggi atau infeksi janin telah
terjadi, pengobatan dengan spiramisin harus ditambahkan pirimetamin, sulfadiazin, dan asam
folat setelah usia kehamilan 18 minggu.

Daftar Pustaka
1. Soeharsono. Zoonosis: Penyakit menular dari hewan ke manusia. Volume 2.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius ; 2009. h. 26-7.
2. Hariadi R. Inf eksi Toxoplasma gondii pada kehamilan. In: Ilmu kedokteran
Fetomaternal (Edisi Pertama). Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal
Perkum - pulan Obstetri dan Ginekologi, 2004; p.657-661.
3. Bloom, Cunningham, Gilstrap, Hauth, Leveno, Wenstroom, 2005. Williams Obstetric.
Texas, Section III, Antepartum . Chapter 9. Abortion
4. Bakht FR, Gentry LO. Toxoplasmosis in pregnancy: an emerging concern for family
physicians [homepage on the Internet]. c2012 [cited 2012 August 5]. Available from:
http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pubmed/1558044.
5. Chahaya I. Epidemologi “Toxoplasma gondii”. Universitas Sumatera Utara.2003:5-8.
6. Sungkar Saleha. Buku ajar: Parasitologi kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonsia; 2011. h. 162-9.
7. Chandra G. Toxoplasma gondii: Aspek biologi, epidemiologi, diagnosis, dan
penatalaksanaannya. Jurnal Kedokteran Medika. 2001;5(XXVII):297-304.
8. Natadisastra D, Agoes R, editors. Parasitologi kedokteran: Ditinjau dari organ tubuh
yang diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. h. 238-92.
9. Anwar AD. Toksoplasmosis dengan IgG positif dan IgM negatif tidak perlu diterapi
(Kontra). In: Djuwantono T, Permadi W. Bandung Controversies and Consensus in
Obstetrics & Gynecology, BCCOG. Jakarta: Sagung Seto, 2011; p.168-187.
10. Sastrawinata S, Martasadisoebrata D, Wiarakusumah FF, editors. Ilmu kesehatan
reproduksi : Obstetri patologi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2005. h. 107.

Anda mungkin juga menyukai