Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Anemia

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam

darah kurang dari normal, yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis

kelamin (Depkes RI, 1996). Anemia menurut World Health Organization

(WHO) yang dikutip Stuart Gillespie (1996) diartikan sebagai suatu keadaan

dimana kadar haemoglobin (Hb) lebih rendah dari keadaan normal untuk

kelompok yang bersangkutan. WHO telah menggolongkan penetapan kadar

normal hemoglobin dalam berbagai kelompok seperti di bawah ini:

Tabel 2.1
Kadar Haemoglobin Normal
Kelompok Hemoglobin (%)
Dewasa Wanita 12
Wanita hamil 11
Laki-laki 14

Anak-anak 6 bulan-6 tahun 11


6 tahun-14 tahun 12
Sumber :WHO, 1993 dalam Stuart Gillespie et all. (1996)

B. Jenis- Jenis Anemia

1. Anemi Mycrocitic hipochrom

Anemia myrocitic hipocrom adalah anemia dengan ciri ukuran sel

darah merah lebih kecil dari ukuran normal dan berwarna coklat, yang
disebabkan kekurangan ion Fe sebagai komponen hemoglobin. disertai

dengan penurunan kuantitatif pada sintesa hemoglobin. Patofisiologi

simpanan zat besi habis, kadar serum menurun,dengan gejala klinis timbul

karena jumlah hemoglobin tidak adekuat untuk mengangkut oksigen ke

jaringan tubuh. Manifestasi klinik pucat, fertigo keletihan, sakit kepala,

depresi, takikardi,dan amenore.

2. Anemia Sel Sabit ( Anemia Haemolitic)

Anemi sel sabit bentuk anemi yang bersifat kronis dan bersifat

bawaan dimana sebagian atau seluruh hemoglobin normal diganti dengan

hemoglobin abnormal. Penyebabnya bermacam-macam yaitu: keturunan

(herediter), erythroblastosis, malaria, autoimun dan karena bahan kimia

tertentu.

3. Anemia Megaloblastic

Anemia megaloplastic adalah sekelompok anemia yang ditandai

oleh adanya eritroblas yang besar yang terjadi akibat gangguan maturasi

inti sel tersebut yang dinamakan megaloblas. Anemia megaloblas

disebabkan oleh defisiensi B12, asam folat, gangguan metabolisme vitamin

B12 dan asam folat, gangguan sintesis DNA akibat dari: defisiensi enzim

congenital dan didapat setelah pemberian obat sitostatik tertentu.

Patofisiloginya defisiensi asam folat dan vitamin B12 jelas akan

mengganggu sintesis DNA hingga terjadi ganggua maturasi inti sel dengan

akibat timbulnya sel-sel megaloblas.


4. Anemia Aplastic

Anemia aplastic pertama kali diperkenalkan oleh Enrich pada

tahun 1988, Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas

dengan ulserasi gusi, anemia berat, dan leucopenia, pasien cepat

meninggal. Anemia aplastic dapat disebakan oleh defisiensi absolute stem

cell sum-sum tulang atau accessory-helper cells, hambatan pada

diferensiasi, supresi imun, kelainan struma dan kelainan growth faktor.

Penyebabnya adalah karena faktor genetic atau keturunan. Kelompok ini

sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian besar dari

padanya diturunkan menurut hukum Mendell.

C. Patogenesis Anemia

Berdasarkan patogenesisnya, anemia digolongkan dalam 3 kelompok

(Wintrobe at all, 1999) yaitu:

1. Anemia karena kehilangan darah

Anemia karena kehilangan darah akibat perdarahan yaitu terlalu

banyaknya sesl-sel darah merah yang hilang dari tubuh seseorang, akibat

dari kecelakaan dimana perdarahan mendadak dan banyak jumlahnya,

yang disebut perdarahan ekternal. Perdarahan dapat pula disebabkan

karena racun, obat-obatan atau racun binatang yang menyebabkan

penekanan terhadap pembuatan sel-sel darah merah. Selain itu ada pula

perdarahan kronis yang terjadi sedikit demi sedikit tetapi terus menerus.

Perdarahan ini disebabkan oleh kanker pada saluran pencernaan, peptic

ulser, wasir yang dapat menyebabkan anemia.


2. Anemia karena pengrusakan sel-sel darah merah

Anemei karena pengrusakan sel-sel darah merah dapat terjadi

karena bibit penyakit atau parasit yang masuk kedalam tubuh, seperti

malaria atau cacing tambang, hal ini dapat menyebabkan anemia

hemolitik. Bila sel-sel darah merah rusak dalam tubuh, zat besi yang ada di

dalam tidak hilang tetapi dapat digunakan kembali untuk membentuk sel-

sel darah merah yang baru dan pemberian zat besi pada anemia jenis ini

kurang bermaanfaat. Sedangkan asam folat dirusak dan tidak dapat

digunakan lagi oleh karena itu pemberian asam folat sangat diperlukan

untuk pengobatan anemia hemolitik ini.

3. Anemia karena gangguan pada produksi sel-sel darah merah

Sum-sum tulang mengganti sel darah yang tua dengan sel darah

merah yang baru sama cepatnya dengan banyaknya sel darah merah yang

hilang, sehingga jumlah sel darah merah yang dipertahankan selalu cukup

banyak di dalam darah, dan untuk mempertahakannya diperlukan cukup

banyak zat gizi. Apabila tidak tersedia zar gizi dalam jumlah yang cukup

akan terjadi gangguan pembentukan sel darah merah baru.

Anemia karena gangguan pada produksi sel-sel darah merah, dapat

timbul karena, kurangnya zat gizi penting seperti zat besi, asam folat, asam

pantotenat, vitamin B12, protein kobalt, dan tiamin, yang kekurangannya

biasa disebut “anemia gizi.” Selain itu juga kekurangan eritrosit, infiltrasi

sum-sum tulang, kelainan endokrin dan penyakit ginjal kronis dan sirosis
hati. Menurut Husaini (1998) anemia gizi yang disebabkan kekurangan

zat besi sangat umum dijumpai di Indonesia.

D. Absorbsi Fe dan Faktor yang Mempengaruhinya

Proses yang komplek terjadi ketika zat besi diabsorbsi mulai dari

masuknya makanan hingga akhirnya masuk kedalam plasma. Besi yang masuk

kedalam tubuh biasanya dalam bentuk ferri (Fe3+). Besi dalam bentuk ini sulit

untuk diserap tubuh, karena sulit larut dalam air jadi harus dubah terlebih

dahulu dalam bentuk ferro (Fe2+), sehingga diserap oleh sel-sel epitil mukosa

usus dan akhirnya diteruskan kedalam plasma (Chalton dan Bothwell, 1993).

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi zat besi di dalam tubuh adalah:

Vitamin C adalah faktor yang mempermudah penyerapan zat besi,

karena I dengan pemberian vitamin C absorbsi zat besi lebih ditingkatkan.

Zat besi diangkut melalui dinding usus dalam senyawa dengan asam

amino atau vitamin C yang terkandung dalam buah-buahan dan sayur-

sayuran. Selai vitamin C, protein juga merupakan senyawa yang

mempermudah penyerapan zat besi (Husaini 1998).

2. Faktor Penghambat Absorbsi Zat Besi

Zat besi yang bersenyawa dengan asam folat dan asam fitat

membentuk senyawa yang tidak mudah larut dalam air sehingga sulit

untuk diabsorbsi. Asam folat dan asam fitrat banyak terdapat dalam bahan

makanan tumbuh-tumbuhan misalnya serealia.


3. Faktor Host

Faktor Host adalah faktor-faktor yang terdapat dalam tubuh

manusia sendiri yang ikut menentukan absorbsi besi. Ada tiga faktor

penting yang turut menentukan absorbsi besi yaitu jumlah zat besi yang

disimpan dalam tubuh, keaktifan sum-sum tulang dan kondisi pencernaan.

Apabila simpanan zat besi dan sumsum tulang sedang aktif membentuk

sel-sel darah merah, maka badan akan menyesuaikan dengan membuat

semua kegiatan pencernaan dan absorbsi menjadi efisien, sehingga lebih

banyak zat besi yang dapat diserap. Hal ini terjadi pada anak yang sedang

dalam pertumbuhan dan pada ibu hamil. Wanita hamil absorbsi besi

mencapai 20%, dimungkinkan denganadanya isyarat dari sumsum tulang

kepada sel mukosa usus untuk meningkatkan kemampuan penyerapan zat

besi karena sumsum tulang sedang membutuhkannya Husaini 1998).

E. Cara Mendeteksi Anemia Gizi

Menurut Muhilal (1998) kadar hemoglobin masih merupakan cara

yang paling dapat dipercaya untuk menentukan status anemia sesorang. Cara

yang cukup dianjurkan oleh Internasional Commite for Standardization in

Hematology (ICSH) dan WHO adalah cara cyanmethaemologi. Karena

perlengkapan laboratorium kadang-kadang hanya terdapat pada tempat-tempat

tertentu maka kemudian dipakai dengan cara menyimpan darah sebanyak

0.002 ml pada kertas saring kemudian di bawah ke laaboratorium untuk

dilarutkan dengan pelarut Drapkin.


Cara lain yang sudak dilakukan di Indonesia adalah Sahli. Banyaknya

darah yang diambil sama dengan cara Cyanmethaemologi yaitu 0,002 ml.

Setelah dicairkan dengan NHCL pada tabung Sahli, pengenceran dilakukan

sampai warna sama dengan standar warna gelas disampingnya, dan kadar Hb

dapat dibaca secara langsung. Metode ini masih dianggap subyektif karena

pembacaan dilakukan secara visual dan menurut penelitian pembacaan metode

Sahli masih perlu dikaitkan dengan faktor 1.1.

F. Kebutuhan Fe Pada Ibu Hamil

Kebutuhan zat besi tubuh tergantung pada jumlah zat besi yang hilang

dari tubuh dan jumlah yang dibutuhkan untuk pertumbuhan termasuk

kehamilan dan masa menyusui (Husaini, 1998).

Selama trimester I kehamilan, kebutuhan zat besi ibu hamil lebih

rendah karena tidak menstruai dan zat besi yang digunakan janin minimal.

Mulai dari trimester II terdapat pertambahan sel-sel darah merah yang

berlangsung samapai trimester III. Penambahan sel darah merah ini dapat

mencapai 30%. Kebutuhan zat besi untuk memenuhi pertambahan sel darah

merah tersebut kira-kira sama dengan penambahan sebesar 450 mg besi.

Secara rinci kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan janin disajikan dalam tabel

berikut:
Tabel 2.2
Kebutuhan Fe untuk Ibu Hamil Menurut Trimester Kehamilan
Kebutuhan Fe
Umur kehamilan
Janin Umbilikus & Plasenta Total (mg)
Trimester I 25 7 32
Trimester II 85 30 115
Trimester III 170 53 223
Jumlah 280 90 380
Sumber : INACG, 1991

G. Anemia Pada Kehamilan

1. Fisiologi Ibu Hamil

Kehamilan akan menyebabkan meningkatnya daya metabolisme

energi. Dua proses anabolic fundamental yang bebas satu sama lain terjadi

selama kehamilan, dimana proses pertama adalah pertumbuhan serta

pematangan janin dan plasenta yang selanjutnya menjadi bayi, dengan

berat badan waktu lahir kira-kira 3,4 kg. Sebagai akibat dari proses

anabolic tersebut kebutuhan zat besi umumnya meningkat selama

kehamilan. Kehamilan yang normal akan terjadi perubahan terutama yang

berhubungan dengan darah, sistim kardiovaskuler, sistim pencernaan,

jaringan lemak dan saluran urogenitalis sehingga pada kehamilan terjadi

perubahan fisiologis yang sangat besar pada tubuh ibu hamil. Perubahan

yang terjadi pada darah akan menyebabkan turunnya kadar Hb yang sering

dikenal sebagai anemia fisiologis kehamilan (Berger, 1998).

Perubahan fisiologis pada kehamilan ini dapat mengakibatkan

perbedaan nilai-nilai hematologik antara wanita hamil dengan wanita yang


tidak hamil. Darah bertambah banyak dalam kehamilan, yang sering

disebut hidremia atau hipervolemia, namun pertambahan sel plasma tidak

diimbangi dengan pertambahan sel darah merah sehingga terjadi

pengenceran darah. Pertambahan tersebut berbanding sebagai berikut:

plasma 30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19% (Hanifa, 1998).

Anemia yang didiagnosa pada awal kehamilan (trimester I dan II

kehamilan) berhubungan dengan peningkatan resiko BBLR dan

prematuritas, sementara anemia yang terjadi pada kehamian trimester III

bukat merupakan faktor resiko terhadap outcome kehamilan yang buruk.

Oleh sebab itu winita dengan kadar Hb yang rendah pada awal kehamilan

trimester III kehamilan mengalami anemia fisiologis. (Cheryl, 1998).

2. Penyebab dan Dampak Anemia pada Ibu Hamil dan Janin

a. Penyebab Anemia Besi

Terjadinya anemia besi pada ibu hamil disebabkan oleh

banyaknya faktor, yaitu faktor langsung, tidak langsung dan

mendasar. Secara langsung anemia disebabkan oleh seringnya

mengkonsumsi zat penghambat absorbsi Fe, kurangnya

mengkonsumsi promoter absorbsi non hem Fe serta ada infeksi

parasit. Faktor yang penting secara mendasar anemi pada ibu hamil

disebabkan oleh rendahnya pendidikan dan pengetahuan ibu, serta

faktor ekonomi yang masih rendah (Purnawan, 1998). Menurut Julien

Perise yang dikutip oleh Syarif (1998) menyebutkan anemi gizi dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal sebagai berikut :

faktor internal meliputi antara lain umur, jarak kehamilan, jumlah

anak, status kesehatan dan lain-lain, sedangkan faktor eksternal

meliputi yaitu : pendapatan, besarnya keluarga, pendidikan,

pengetahuan, dan faktor lingkungan lainnya.

b. Dampak Anemia Pada Ibu Hamil

Anemia dalam kehamilan yang tidak diterapi, dapat

mengakibatkan pengaruh buruk pada ibu, persalinan dan janin.

Pengaruh buruk antara lain : timbulnya gejala umum anemia yaitu :

lemah, letih, lesu, lelah dan lalai, perdarahan, preeklamsia /eklamsia,

abortus, kematian ibu, hipoksia akibat anemia (dapat menyebabkan

syok dan kematian pada persalinan sulit).

c. Dampak Anemia Besi Pada Janin

Kadar Hb yang rendah maupun tinggi banyak dihubungkan

dengan outcome kehamilan, ibu dengan kadar Hb < 10 gr / dl

mempunyai resiko bayi berat lahir rendah (BBLR), kelahiran dini dan

kematian perinatal yang meningkat, namun kadar Hb > 11 gr /dl juga

meningkat resiko outcome kehamilan berupa komplikasi dalam

persalinan seperti preeklamsia dan eklamsi, abortus, kematian janin

dalam rahim, kematian neonatal, prematuritas, cacat bawaan dan berat

bayi yang dilahirkan cenderung rendah (Hanifa, 1998).


H. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Anemia

Upaya pencegahan dan penanggulangan anemia pada dasarnya adalah

mengatasi penyebabnya. Pada anemia berat (kadar Hb <8 gr/dl) biasanya ada

penyakit yang melatar belakangi yaitu antara lain infeksi cacing atau malaria,

sehingga selain penanggulangan pada aneminya, harus dilakukan pengobatan

terhadap penyakit -penyakit tersebut.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi

anemia gizi akibat kekurangan konsumsi besi adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan konsumsi besi dari sumber alami melalui penyuluhan,

terutama makanan sumber hewani (heme iron) yang mudah diserap seperti

hati, ikan, daging dan lain-lain. Makanan yang mengandung vitamin C dan

vitamin A (buah-buahan dan sayuran) juga perlu ditingkatkan, hal ini

untukmembantu penyerapan besi dan membantu proses pembentukan Hb.

2. Fortifikasi bahan makanan yaitu : menambahkan zat besi, asam folat,

vitamin A dan asam amino esensial pada bahan makanan yang dimakan

secara luas oleh kelompok sasaran

3. Suplemen zat besi-folat secara rutin selama 90 hari dengan dosis 1 tablet

sehari untuk meningkatkan kadar hemoglobin secara cepat. Khusus ibu

hamil mendapat prioritas utama karena kelompok ini mempunyai

prevalensi anemia yang tertinggi yaitu 63,5%. Dikatakan paling rentan,

karena anemia gizi dapat membahayakan ibu dan janin dalam

kandungannya.
I. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia pada

Kehamilan

1. Umur Ibu

Masa kehamilan merupakan masa yang rawan bagi seorang ibu,

sehingga diperlukan kesiapan matang untuk menghadapinya termasuk

kecukupan umur ibu. Umur ibu yang terlalu muda atau terlalu tua

cenderung meningkatkan frekuensi komplikasi selama kehamilan dan

persalinan,. Dari beberapa penelitian prevalensi anemia pada ibu hamil

yang berusia 10-19 tahun dan 30-39 tahun menunjukan kasus anemia yang

tinggi dibandingkan dengan grup umur yang lain 20 - 29 tahun).

Dari hasil SKRT (2001) didapatkan bahwa prevalensi anemia pada

golongan umur 10 - 19 tahun terdapat 77,4% dan pada usia 35 - 50 tahun

terdapat 76,6%, keadaan ini lebih tinggi bila dibandingkan pada golongan

umur 20 - 25 tahun yaitu 70,2%. Didapatkan pula anemia berat terutama

menyerang pada golongan umur < 20 tahun dan > 30 tahun, dan dari hasil

SKRT (2001) didapatkan sekitar 8-15% ibu hamil yang menderita anemia

masih berumur dibawah 20 tahun dan hampir 60% berumur 20-29 tahun.

Anemia pada ibu hamil berumur > 30 tahun berkisar antara 30-35% dan 2-

3% diantaranya berumur 40 tahun.

Umur dapat mempengaruhi timbulnya anemia yaitu semakin

rendah umur ibu maka semakin rendah kadar hemoglobinnya, namun

penurunannya tidak bermakna. Agar resiko akibat anemia (penyakit

infeksi) pada ibu hamil dapat dikurangi, salah satu upaya yang dapat
dilakukan yaitu menjaga jarak kehamilan sekurang-kurangnya 2 tahun dan

menghindari kehamilan dibawa usia 18 tahun (kawin usia muda) dan

diatas usia 30 tahun.

Depkes (2002), hamil dan melahirkan dibawa umur 20 tahun

menurut ilmu kesehatan reproduksi masih terdapat bahaya-bahaya tertentu

bagi ibu dan anaknya. Angka kesakitan dan angka kematian ibu dan anak

masih sangat tinggi bila umur wanita tersebut kurang dari 20 tahun. Selain

itu secara ekonomis mereka juga belum mampu sehingga akan

menyebabkan ketergantungan pada orang tuanya.

Bila melihat hasil beberapa penelitian, nampaknya faktor umur

juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian anemia gizi pada ibu hamil.

Oleh karena itu usia yang baik untuk melahirkan disarankan yaitu 20-30

tahun (Depkes, 2002). Dengan usia melahirkan yang cukup, diharapkan

resiko anemia atau kematian akibat infeksi dapat ditekan.

2. Umur Kehamilan

Jumlah zat besi yang dibutuhkan pada waktu hamil jauh lebih besar

dari wanita yang tidak hamil. Pada trimester I kehamilan, kebutuhan zat

besi lebih rendah dari sebelum hamil karena menstruasi dan jumlah zat

besi yang ditransfer pada janin masih rendah. Pada waktu mulai menginjak

trimester II, terdapat peningkatan volume plasma darah yang lebih besar

dibandingkan pertambahan sel darah merah sampai pada trimester III

sehingga terjadi anemia yang bersifat fisiologis. Kondisi ini menyebabkan

zat besi pada trimester II dan III akan sangat besar, maka jumlah zat besi
yang didapat dari makanan tidak mencukupi, walaupun makanan tersebut

mengandung zat besi yang memiliki bioavialibilitas yang tinggi. Hal ini

dapat diatasi, jika wanita tersebut sebelum hamil telah mempunyai

simpanan zat besi yang tinggi yang lebih besar dari 500 mg di dalam

tubuhnya. Wanita yang mempunyai simpanan zat besi > 500 mg jarang

ada walau pada masyarakat maju sekalipun apalagi pada negara-negara

yang sedang berkembang.

Apabila wanita hamil tidak mempunyai simpanan zat besi yang

cukup dan tidak mendapat suplemen besi sementara janin bertambah terus

maka janin akan berperan sebagai parasit bagi si ibu. Ibu akhirnya akan

menderita anemia, sedangkan janin umumnya dipertahankan normal,

kecuali pada keadaan yang sangat berat misalnya kadar Hb ibu sangat

rendah maka zat besi yang kurang akan berpengaruh pula terhadap janin.

Umur kehamilan menurut Morison yang dikutip Osman Syarif

(1998), dikelompokan menjadi dua < 26 minggu dan > 26 minggu.

Penggunaan Cut of point untuk umur kehamilan adalah 20 minggu, hal ini

karena bertambahnya volume plasma mencapai puncaknya pada minggu

ke 26. Pada saat ini pertambahan volume plasma mencapai 43%.

Pertambahan jumlah erritrosit selama kehamilan mencapai 17-25%.

Karena pertambahan yang tidak proprosional antara volume plasma

dengan jumlah eritrosit, maka terjadilah hemodilusi sehingga kadar Hb

jumlah eritrosit dan hematokrit akan menurun dan keadaan ini dikenal

sebagai keadaan yang anemia.


3. Paritas

Paritas adalah faktor penting dalam menentukan nasip ibu dan

janin selama kehamilan maupun melahirkan. Paritas merupakan salah satu

faktor yang diasumsikan mempunyai hubungan dengan kejadian anemia

pada ibu hamil.

Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa prevalensi anemia gizi

naik sesuai dengan bertambahnya paritas yaitu 26,79% untuk primipara

(Po) 30,43% untuk multipara (P1-3) dan 37,05% untuk grande multipara

(P4+), sedangkan Hb rata-rata menurun sesuai dengan meningkatnya

paritas (Soejoenoes, 1999). Osman Syarif (1999) mengemukakan bahwa

ibu hamil dengan paritas lebih dari 2 anak kemungkinan memiliki resiko

terjadinya anemia 1.8 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan ibu

hamil dengan paritas 2 atau kurang.

Edmundson (1997), menyatakan bila wanita membatasi jumlah

anak, maka bukan saja dapat menigkatkan gizi keluarganya melainkan

juga dapat mengurangi resiko terjadinya penyakit anemia pada ibu

4. Pendidikan

Menurut Schultz yang dikutip Indirawati (1998), pendidikan ibu

dapat memperbaiki cara penggunaan sumber daya keluarga, sehingga akan

berdampak positip terhadap kelangsungan hidup keluarga,, salah satunya

dalam perawatan ibu hamil. Ibu yang mempunyai pendidikan tinggi lebih

sedikit dipengaruhi oleh praktek-praktek tradisional yang merugikan


terhadap ibu hamil terutama dalam hal kualitas maupun kuantitas makanan

untuk konsumsi setiap harinya.

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 6539 wanita hamil di

Asia diperoleh hasil bahwa 35,1% dari wanita hamil yang anemia adalah

buta huruf, dari penelitian lain ditemukan juga bahwa semakin rendah

pendidikan ibu maka semakin tinggi insidensi anemia. Hal ini

kemungkinan erat hubungannya dengan status social ekonomi ibu hamil

meskipun hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut (Ahmed et al, 1999).

Hasil penelitian Susilowati (1999), dengan menganalisa data

survey kesehatan rumah tangga tahun 1992, dilaporkan bahwa dari ibu

hamil yang menderita anemia sebanyak 777 ibu, dimana 51,6% ibu hami

dengan status anemia tidak dapat menamatkan sekolah dasar (SD),

sebanyak 19% ibu hamil dengan status anemia dapat menamatkan SD dan

sisanya 29,4% ibu hamil yang menderita anemia dapat menamatkan

sekolah menengah pertama atau lebih.

5. Pengetahuan tentang Gizi

Pengetahuan dalah kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil dari

panca indra. Pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman sendiri

maupun dari orang lain. Sementara itu Bumil orang yang paling

bertanggung jawa terhadap gizi bayi yang dikandung dirinya sendiri.

Pengetahuan ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan terutama

zat besi. Kekurangan zat besi dalam jangka waktu yang relative lama akan

menyebabkan terjadinya anemia.


Penelitian yang dilakukan Sihombing (1998) menunjukan bahwa

anemia pada kelompok yang mempunyai pengetahuan tentang anemia gizi

rendah adalah 58% sedangkan pada kelompok yang mempunyai

pengetahuan anemia gizi tinggi adalah 39%.

Penelitian yang dilakukan oleh Hussaini (1998) menunjukan

bahwa kelompok responden yang ada suplementasi pil besi dan

penyuluhan tentang kegunaan pil besi serta penyeuluhan gizi menunjukan

peningkatan kadar Hb yang bermakna disbanding denga kelompok

responden tanpa penyuluhan. Klasifikasi pengetahuan gizi ibu hamil yang

beresiko berdasarkan cut of point yang ada yaitu kurang bila jawaban yang

benar kurang dari 8 dan baik bila jawabab responden benar 8 atau lebih

(lihat lampiran) sehingga didapat tingkat pengetahuan gizi ibu hamil

tersebut baik atau kurang.

6. Keteraturan Mengkonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD)

Anemia pada kehamilan umumnya terjadi akibat kekurangan zat

besi di dalam tubuh. Selama kehamilan absorbsi zat besi berlangsung lebih

efisien dan memberikan respon yang sangat baik terhadap pengobatan

ferrosulfat secara oral. Dengan demikian anemia pada ibu hamil dapat

dicegah dan diobati dengan memberikan pil ferrosulfat setiap hari.

Defisiensi asam folat juga dijumpai pada ibu hamil. Kadar asam

folat di dalam serum akan turun pada waktu hami. Hal ini dimungkinkan

akibat pengaruh dari kekurangan zat besi dakn kebutuhan yang bertambah
pada waktu hamil. Oleh sebab itu dianjurkan juga untuk memberikan pil

asam folat untuk pengobatan anemia pada masa kehamilan.

Suplementasi zat besi secara oral merupakan satu cara

penanggulangan langsung anemia gizi besi dalam suatu penduduk

disampaing fortifikasi bahan makanan. Cara ini lazim pula digunakan

dalam lingkungan klinik untuk prengobatan. Besarnya dosis yang

dianjurkan untuk suplementasi memerlikan pertimbagan terhadap

beberapa faktor. Pada populasi dimana prevalensi defisiensi zat besi tinggi

terutama bagi wanita yang akan memasuki kehamilan banyak yang anemi,

maka dosis yang lebih tinggi perlu diberikan dibandingkan dengan daerah

seperti pada Negara maju, dimana wanita sebelum hamil mempunyai

reserve zat besi rata-rata antara 200-300mg di dalam hati. Di Negara

Skandinafia wanita-wanita diberikan 100 mg ferrosulfat mulai pertengahan

kehamilan sampai akhir kehamilan. Jumlah ini diperkirakan cukup untuk

memenuhi kenaikan kebutuhan zat besi pda kehamilan dan mencegah

terjadinya defisiensi anemia besi ringan (Hussaini, 1998).

Untuk mengatasi masalah anemia gizi besi pada ibu hamil,

Pemerintah khususnya Depkes sudah sejak tahun 1970 melalui program

Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) telah mendistribusikan tablet besi

sumbangan UNICEF, dimana 1 tablet berisi 200 mg ferrosilfat dan 0,25

mg asam folat, ditujukan kepada semua ibu hamil yang mengunjungi

posyandu dan puskesmas. Pemberian tablet diutamakan pada kehamilan

trimester III dengan dosis 1 tablet/hari (Soegianto dan Hidayat, 1999).


Setiap ibu hamil diharapkan meminum paling sedikit 90 tablet. Dari 90

tablet tersebut diperkirakan 84% ferrosulfat yang dapat diabsorbsi oleh

tubuh untuk mencukupi kebutuhan zat besi. Agar seluruh kebutuhan

terpenuhi maka sisa kebutuhan zat besi perlu didapat dari asupan makanan

yang mengandung zat besi (Purnawan, 1998).

Distribusi suplemetasi zat besi untuk ibu hamil komposisinya berisi

60 mg elemental iron dan 0,25 asam folat dalam bentuk tablet tambah

darah (TTD). Untuk pencegahan diberikan setiap hari 1 tablet selama 90

hari pada trimester III, dan apabila kadar Hb kurang dari 11 gr/dl maka

diberikan dosis 3 x 1 tablet (Rohati, 1996).

Menurut Husaini (1998), efek samping yang ditemukan dari

pemberian pil besi ini adalah yang berhubungan dengan saluran

pencernaan atas seperti mual, muntah dan nyeri oerut serta berhubungan

dengan saluran pencernaan bawah seperti diare dan konstipasi. Efek

samping yang berhubungan dengan saluran pencernaan atas sangat erat

hubungannya dengan pemberian dosis TTD ini.

Tablet tambah darah (sebagai obat) diberikan sebagai suplemen

dengan maksud untuk menghindari ibu hamil resiko anemia. Terhindarnya

resiko ini bila tablet besi diminum secara rutin sesuai dengan aturan.

Konsunsi secara baik ini memberikan peluang terhindarnya ibu hamil dari

anemia. Agar TTD tersebut diminum secara rutin sesuai aturan, sangan

dibutuhkan kesadaran dan kepatuhan dari ibu hamil dalam

mengkonsumsinya. Kesadaran ini akan menjadi faktor pendukung bagi ibu


untuk patuh mengkonsumsinya secara baik. Namun demikian kepatuhan juga

dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu diantaranya bentuk obat yang besar,

warna obat, rasa dan efek samping dari tablet ini antara lain mengakibatkan

nyeri lambung, mual, muntah, konstipasi dan diare (WHO, 1999).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Akromah di kabupaten Bogor

masih ditemukan keluhan terhadap efek samping TTD yaitu sebesar

17,65%. Walaupun keluhan efek samping telah menurun, namun

pemanfaatan TTD ternyata belum maksimal, dimana sebanyak 47,05% ibu

hamil belum teratur minum TTD, dengan alasan malas dan lupa.

Fenomena ini menunjukan bahwa mereka yang malas dan lupa dapat

disebabkan masih rendahnya kesadaran ibu hamil untuk meningkatkan

kesehatannya serta kesehatan janin yang dikandungnya. Rendahnya

kesadaran ini dapat disebabkan oleh rendahnya pengetahuan tentang anemia

dan dampaknya. Oleh karena itu selain pemberian tablet suplemen besi,

kegiatan KIA harus dilakukan beriringan dengan lintas sektoral.

7. Pendapatan Keluarga

Pekerjaan berhubungan denganpendapatan dimana pendapatan

merupakan faktor yang mempunyai peranan besar dalam persoalan gizi dan

kebiasaan pangan masyarakat. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan

yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan, memilih jenis

pangan yang baik mutu gizi dan keragamannya. Jumlah dan jenis pangan

suatu keluarga dipengaruhi oleh satatus ekonomi. Salah satu ukuran ekonomi

adalah tingkat pendapatan total keluarga atau pengeluaran total keluarga.


Menurut Soehardjo (1999), meningkatnya pendapatan sesesorang

dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam susunan makanan, akan

tetapi pengeluaran-pengeluaran yang banyak untuk pangan tidak menjamin

oleh beragamnya konsumsi makan. Karena belum ada batas ambang resiko

pendapatan keluarga per bulan terhadap kejadian anemia pada ibu hamil

baik untuk daerah perkotaan maupun daerah pedesaan yang ditetapkan

oleh Pemda menyapaikan bahwa upah minimum naik 8% sekitar satu juta

per bulan (http.//www.triweda.com/okusharian/Ftt02//07PDf).

Pada penelitian ini ditetapkan penilaian untuk ukuran baik yaitu

apabila pendapatan keluarga per bulan lebih dari 1 (satu) juta dan ukuran

kurang apabila pendapatan keluarga per bulan kurang dari 1 (satu) juta,

setelah semua responden mengisi pertanyaan tentang pendapatan keluarga

per bulan pada lampiran kuesioner (lampiran 1).

8. Jumlah anggota Keluarga.

Banyaknya anggota keluarga dalam sebuah keluarga merupakan

salah satu faktor yang juga diasumsikan mempunyai hubungan dengan

risiko anemia pada ibu hamil, hal ini menyebabkan terjadinya

pendistribusian makanan yang tidak merata bagi setiap anggota keluarga,

dan kelompok yang paling terkena akibatnya adalah ibu hamil. Ibu hamil

biasanya mengutamakan makanan untuk anak-anak dahulu dan suaminya.

Bila kesediaan makanan terbatas sementara jumlah anggota keluarga

banyak dengan sistim prioritas seperti ini maka yang akan mendapatkan

makanan seadanya (sisa) adalah ibu hamil. Dengan jumlah makanan yang
seadanya, intake zat gizi yang serba terbatas, dan bila terjadi terus

menerus dalam kurun waktu yang lama, kemungkinan terjadinya anemia

juga sangat karena kebutuhan zat besi (Fe) tidak terpenuhi.

Jumlah keluarga kecil ini juga merupakan satu upaya untuk

terwujudnya apa yang dikenal dengan Norma Keluarga Kecil Bahagia

Sejahtera yang disingkat NKKBS (BKKBN, 1994). Jumlah anggota

keluarga < 4 orang, sebuah keluarga dengan 2 orang anak), akan memberi

kesempatan yang luas kepada ibu hamil untuk mengkonsumsi makanan

dalam jumlah yang cukup sehingga memungkinkan mendapatkan zat gizi

(Fe) dalam jumlah yang cukup pula, dan risiko anemi dapat dihindari.

Berdasarkan uraian di atas maka kerangka teori dapat digambarkan

sebagai berikut :

- Pengetahuan tentang
gizi
- Keteraturan
mengkomsumsi TTD
- Pendapatan keluarga
- Jumlah anggota
keluarga
Anemi Gizi pada ibu
hamil

- Umur
- Umur kehamilan
- Paritas
- Pendidikan

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran


Teori: L. Green

Anda mungkin juga menyukai