Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

PADA TN. R DENGAN DIABETES MELLITUS


DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DAU
MALANG

Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu Profesi Ners Departemen Gerontik

Oleh:
ALIF FANHARNITA BRILIANA
170070301111131
KELOMPOK 1

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka kami
dapat menyelesaikan Laporan individu ‘LAPORAN MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK
PADA TN. R DENGAN DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DAU,
MALANG”. Dalam penulisan laporan ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang penulis miliki.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan
pembuatan laporan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan laporan, khususnya kepada :
1. Ns. Setyoadi, S.Kep., Mkep, Sp.Kep.Kom selaku dosen pembimbing akademik
2. Ibu Diyah Nurkhotimah, S.Kep. Ns selaku pembimbing klinik
3. Seluruh petugas Puskesmas Dau
4. Orang tua dan teman-teman anggota kelompok.
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan
dalam penulisan tugas ini.
Sekian penulis sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.

Malang, 16 Maret 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke
atas. Komposisi penduduk tua bertambah dengan pesat baik di negara maju maupun
negara berkembang, hal ini disebabkan oleh penurunan angka fertilitas (kelahiran) dan
mortalitas (kematian), serta peningkatan angka harapan hidup (life expectancy), yang
mengubah struktur penduduk secara keseluruhan. Proses terjadinya penuaan penduduk
dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya: peningkatan gizi, sanitasi, pelayanan
kesehatan, hingga kemajuan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang semakin baik
(KEMENKES, 2017).
Berdasarkan data proyeksi penduduk, diperkirakan tahun 2017 terdapat 23,66 juta
jiwa penduduk lansia di Indonesia (9,03%). Diprediksi jumlah penduduk lansia tahun 2020
(27,08 juta), tahun 2025 (33,69 juta), tahun 2030 (40,95 juta) dan tahun 2035 (48,19 juta).
tiga provinsi dengan persentase lansia terbesar adalah DI Yogyakarta (13,81%), Jawa
Tengah (12,59) dan Jawa Timur (12,25%). Sementara itu, tiga provinsi dengan persentase
lansia terkecil adalah Papua (3,20%), Papua Barat (4,33%) dan Kepulauan Riau (4,35%).
Besarnya jumlah penduduk lansia di Indonesia di masa depan membawa dampak positif
maupun negatif. Berdampak positif, apabila penduduk lansia berada dalam keadaan sehat,
aktif dan produktif. Disisi lain, besarnya jumlah penduduk lansia menjadi beban jika lansia
memiliki masalah penurunan kesehatan yang berakibat pada peningkatan biaya pelayanan
kesehatan, penurunan pendapatan/penghasilan, peningkatan disabilitas, tidak adanya
dukungan sosial dan lingkungan yang tidak ramah terhadap penduduk lansia (KEMENKES,
2017).
Perkembangan Penduduk Lanjut usia (lansia) di Indonesia menarik untuk diamati.
Diperkirakan Tahun 2020-2025 Indonesia akan menduduki peringkat keempat dunia
setelah China, India, dan Amerika Serikat (Nugroho, 2008). Peningkatan penduduk lansia
tersebut menurut Nugroho (1995), disebabkan oleh karena meningkatnya umur harapan
hidup. Peningkatan umur harapan hidup ini disebabkan oleh 3 hal yaitu: (1) kemajuan
dalam bidang kesehatan, (2) meningkatnya sosial ekonomi dan (3) meningkatnya
pengetahuan masyarakat.
Pada lanjut usia terjadi kemunduran sel-sel karena proses penuaan yang dapat
berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik, timbulnya berbagai macam penyakit
terutama penyakit degeneratif. Hal ini akan menimbulkan masalah kesehatan, sosial,
ekonomi dan psikologis (KEMENKES, 2017).
Menurut Bustan (2006), Penyakit atau gangguan yang menonjol pada kelompok
lansia adalah: gangguan pembuluh darah (dari hipertensi sampai stroke), gangguan
metabolik (Diabetes Meletus), gangguan Persendian (arthritis, encok dan terjatuh) dan
gangguan psikososial (kurang penyesuaian diri dan merasa tidak efektif lagi).
Dari hasil studi tentang kondisi sosial ekonomi dan kesehatan lanjut usia yang
dilaksanakan Komnas Lansia di 10 propinsi tahun 2006, diketahui bahwa penyakit
terbanyak yang diderita Lansia adalah penyakit sendi (52,3%), dan hipertensi (38,8%),
anemia (30,7%) dan katarak (23%). Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab utama
disabilitas pada lansia (komnas lansia 2010). Angka kejadian gangguan hipertensi
menunjukkan suatu angka yang tinggi menjadi suatu pertanyaan yang berujung pada “gaya
hidup” lansia itu sendiri (Darmojo 2006).
Pada study penelitian usia lanjut tentang gaya hidup lansia dapat mempengaruhi
kesehatan terutama lansia dengan Hipertensi. Faktor gaya hidup seperti kurang beraktivitas
karena telah lanjut usia dan tidak bekerja lagi, kebiasaan merokok terutama lansia laki-laki,
kebiasaan minum kopi, pengaturan diet yang tidak sesuai, manejemen terapi obat yang
kurang efektif dan stress, merupakan faktor resiko terjadinya hipertensi yang tidak
terkontrol pada lansia (Erda Fitriani, 2005).
Pola-pola perilaku (behavioral patterns) akan selalu berbeda dalam situasi atau
lingkungan sosial yang berbeda, dan senantiasa berubah, tidak ada yang menetap (fixed).
Gaya hidup individu, yang dicirikan dengan pola prilaku individu, akan memberi dampak
pada kesehatan individu dan selanjutnya pada kesehatan orang lain.
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak
pada produktivitas dan dapat menurunkan Sumber Daya Manusia. Penyakit ini tidak hanya
berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan suatu negara. Walaupun belum ada
survei nasional, sejalan dengan perubahan gaya hidup termasuk pola makan masyarakat
Indonesia diperkirakan penderita. DM ini semakin meningkat, terutama pada kelompok
umur dewasa keatas pada seluruh status sosial ekonomi. Saat ini upaya penanggulangan
penyakit DM belum menempati skala prioritas utama dalam pelayanan kesehatan,
walaupun diketahui dampak negatif yang ditimbulkannya cukup besar antara lain komplikasi
kronik pada penyakit jantung kronis, hipertensi, otak, system saraf, hati, mata dan ginjal. DM
atau kencing manis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula
dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif.
Absolut berarti tidak ada insulin sama sekali sedangkan relatif berarti jumlahnya cukup atau
memang sedikit tinggi atau daya kerjanya kurang. Hormon Insulin dibuat dalam pankreas.
Dalam bidang endokrinologi hampir semua produksi dan pengeluaran hormon dipeng
aruhi oleh enzim-enzim yang sangat dipengaruhi oleh proses menjadi tua. Diabetes mellitus
yang terdapat pada usia lanjut gambaran klinisnya bervariasi luas
dari tanpa gejala sampai dengan komplikasi nyata yang kadang
kadang menyerupai penyakit atau perubahan yang biasa ditemui pada usia lanjut.

1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan pada klien lansia dengan diabetes mellitus.
b. Tujuan Khusus
1) Mengetahui definisi diabetes mellitus
2) Mengetahui etiologi diabetes mellitus
3) Mengetahui gambaran klinis diabetes mellitus
4) Melakukan pengkajian pada klien dengan diabetes mellitus
5) Menyusun intervensi pada klien dengan diabetes mellitus

1.3 Manfaat
a. Lansia
Lansia dapat melakukan managemen diet dan gaya hidup diabetes melitus secara
mandiri. Selain itu dapat mengontrol gula darahnya.
b. Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengaplikasikan teori yang didapatkan dalam bentuk tindakan kepada
pasien yang membutuhkan asuhan keperawatan yang komprehensif. Asuhan
keperawatan yang dimaksud disini adalah asuhan keperawatan yang sesuai standar
mulai dari pengkajian hingga evaluasi. Intervensi yang diberikan kepada klien juga
intervensi yang berdasarkan pada evidence based sehingga asuhan yang diberikan
adalah asuhan keperawatan yang bermutu.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia
2.1.1 Definisi
Pengertian lanjut usia (lansia) ialah manusia yang berumur di atas usia 60 tahun dan
masih hidup. Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke
atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999 dalam Wijayanti, 2008). Menurut WHO, batas usia
untuk kategori lanjut usia berdasarkan tingkat usia yaitu:
1. Usia pertengahan “middleage” 45-59 tahun,
2. Lanjut usia (lansia)“elderly”60-74 tahun,
3. Lansia tua “old” 75-90tahun,
4. Dan usia sangat tua “very old” diatas 90 tahun

2.1.2 Kesehatan Lansia


Faktor kesehatan meliputi keadaan fisik dan keadaan psikis lanjut usia. Keadaan fisik
merupakan faktor utama dari kegelisahan manusia. Kekuatan fisik, pancaindera, potensi
dan kapasitas intelektual mulai menurun pada tahap-tahap tertentu (Prasetyo,1998 dalam
Wijayanti 2008). Dengan demikian orang lanjut usia harus menyesuaikan diri kembali
dengan ketidak berdayaannya. Kemunduran fisik ditandai dengan beberapa serangan
penyakit seperti gangguan pada sirkulasi darah, persendian, sistem pernafasan,
neurologik, metabolik, neoplasma dan mental. Sehingga keluhan yang sering terjadi adalah
mudah letih, mudah lupa, gangguan saluran pencernaan, saluran kencing, fungsi indra dan
menurunnya konsentrasi.
Pada umumnya pada masa lanjut usia ini orang mengalami penurunan fungsi kognitif
dan psikomotorik. Menurut Zainudin (2002) fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi
pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain yang menyebabkan reaksi dan perilaku
lanjut usia menjadi semakin lambat. Fungsi psikomotorik meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi yang
berakibat bahwa lanjut usia kurang cekatan.
Seseorang yang berusia lanjut akan mengalami perubahan-perubahan akibat
penurunan fungsi sistem tubuh. Salah satu perubahan tersebut adalah perubahan kejiwaan
dan fisik. Masalah kesehatan jiwa lansia yang sering muncul adalah gangguan proses pikir
yang ditandai dengan lupa, pikun, bingung, dan curiga, dan gangguan perasaan ditandai
dengan perasaan kelelahan, acuh tak acuh, tersinggung, sedangkan gangguan
fisik/somatik meliputi gangguan pola tidur, gangguan makan dan minum, gangguan perilaku
yang ditandai dengan enggan berhubungan dengan orang lain, dan ketidakmampuan
merawat diri sendiri.
Badan manusia menua kurang lebih 1% setiap tahun. Meskipun orang yang segar
jasmaninya,akan menua pula. Untungnya orang-orang yang kesegaran jasmaninya baik,
proses menuanya lebih lambat. Bila seseorang menjadi lebih segar jasmaninya,maka
fungsi badannya akan lebih baik
Menurut (Hardianto Wibowo, 2003 dalam Sriwahyuniati, 2008) secara ringkas dapat
dikatakan:
1. Kulit tubuh dapat menjadi lebih tipis, kering dan tidak elastis lagi.
2. Rambut rontok warnanya berubah menjadi putih, kering dantidak mengkilat.
3. Jumlah otot berkurang, ukuran juga mengecil, volume otot secara keseluruhan
menyusut dan fungsinya menurun.
4. Otot-otot jantung mengalami perubahan degeneratif, ukuran jantung mengecil,
kekuatan memompa darah berkurang.
5. Pembuluh darah mengalami kekakuan (Arteriosklerosis).
6. Terjadinya degenerasi selaput lendir dan bulu getar saluran pemapasan, alveolus
menjadi kurang elastis.
7. Tulang-tulang menjadi keropos (osteoporosis).
8. Akibat degenerasi di persendian, permukaan tulang rawan menjadi kasar.
9. Karena proses degenerasi maka jumlah nefron (satuan fungsional di ginjal yang
bertugas membersihkan darah) menurun. Yang berakibat kemampuan mengeluarkan
sisa metabolisme melalui urin berkurang pula.
10. Proses penuaan dianggap sebagai peristiwa fisiologik yang memang harus dialami
oleh semua makluk hidup.
Kemunduran fungsi organ-organ akibat terjadinya proses penuaan terlihat pada:
1. Kardiovaskuler(Jantung dan pembuluh darah)
a. Volume sekuncup menurun hingga menyebabkan terjadinya penurunan isi
sekuncup (stroke volume) dan curah jantung (cardiac output).
b. Elastisitas`pembuluh darah menurun sehingga menyebabkan terjadinya
peningkatan tahanan perifer dan peningkatan tekanan darah.
2. Respirasi
a. Elastisitas paru-paru menurun sehingga pernafasan harus bekerja lebih keras
dan kembang kempis paru tidak maksimal.
b. Kapiler paru-paru menurun sehingga ventilasi juga menurun.
3. Otot dan persendian
a. Jumlah motor unit menurun
b. Jumlah mitokondria menurun
c. Otot dan memudahkan terjadinya kelelahan, karena fungsi Mitokondria adalah
memproduksi adenosin triphospat (ATP).
d. Kekakuan jaringan otot dan persendian meningkat sehingga menyebabkan
turunnya stabilitas dan mobilitas.
4. Tulang
a. Mineral tulang menurun sehingga terjadi osteoporosis dan akan meningkatkan
resiko patah tulang.
b. Kiposis
5. Peningkatan lemak tubuh.
Hal ini menyebabkan gerakan menjadi lamban dan peningkatan resiko terserang
penyakit.

2.2. DIABETES MELLITUS


2.2.1. DEFINISI
Diabetes mellitus adalah penyakit metabolik yang kebanyakan hereditas
dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria , disertai dengan atau tidak
adanya gejala klinik akut maupun kronik, sebagai akibat dari kurangnya insulin
efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat
yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein
(Askandar, 2007).

2.2.2. KLASIFIKASI
1. DM tipe 1 (tergantung pada Insulin)
- Adanya kerusakan pada pankreas sehingga tidak mampu memproduksi insulin
- biasanya timbul pada masa kanak – kanak dan puncaknya pada masa akil balig
- Biasanya kurus karena terjadi lipolisis
2. DM tipe II (tidak tergantung pada insulin)
- Terjadi karena adanya resistensi insulin dan diferensiasi insulin
- Reseptor insulin tidak bekerja dengan baik  Pankreas meningkatkan sekresi insulin
agar bekerja  defisiensi insulin
3. Gestasional Diabetes
Disebabkan oleh hormon yang disekresi plasenta (GH dan estrogen).
- Kelas I: GD, Diabetes yang timbul pada waktu hamil dan menghilang setelah
melahirkan
- Kelas II: Pre GD, Diabetes mulai sejak sebelum hamil dan berlanjut setelah hamil
- Kelas III: Pre GD yang disertai penyakit Pembuluh darah seperti retinopati, nefropati,
Penyakit Pembuluh darah panggul dan pembuluh darah perifer.

2.2.3. EPIDEMIOLOGI
a. DM merupakan penyakit kronis yang menyerang kurang lebih 12 juta orang. Di
Amerika Serikat kurang lebih 650.000 kasus DM baru didiagnosa setiap tahunnya
b. DM pravelen diantara kaum lanjut usia
c. Di (AS) orang hispanik . negro dan sebagian penduduk asli Amerika memiliki insiden
DM lebih besar dari penduduk berkulit putih.
d. Di Indonesia , pada tahun 2000 terdapat 5,6 juta penduduk penderita DM dan
diperkirakan tahun 2020 terdapat 8,2 juta penderita DM.

2.2.4. ETIOLOGI
a. Diabetes Mellitus tipe I
Diperkirakan terjadi akibat destruksi autoimun sel sel beta langerhans . Individu yang
memiliki kencenderungan genetik penyakit ini tampaknya menerima faktor pemicu dari
lingkungan , antara infeksi virs seperti gondongan (mumps) , rubella atau
cytamegalovirus kronis. Pajanan terhadap obat atau toksin tertentu juga diduga memicu
serangan autoimun ini. Mengapa individu membentuk antibodi terhadap sel sel pulau
langerhans sebagai respon terhadap faktor pencetus tidak diketahui . Salah satu
mekanisme yang kemungkinan adalah bahwa terdapat agens lingkungan yang secara
antigenik mengubah sel sel pankreas sehingga menstimulasi pembentukan
autoantibodi . Kemungkinan lain bahwa individu memiliki kesamaan antigen antara sel
sel beta pankreas mereka dan mikroorganisme tertentu atau obat tertentu. Sewaktu
berespon terhadap virus atau obat , sistem imun mungkin gagal mengenali bahwa sel
pankreas adalah diri mereka sendiri.
b. Diabetes Mellitus tipe II
Diperkirakan bahwa terdapat sifat genetik yang belum teridentifikasi yang dapat
menyebabkan pankreas mengeluarkan insulin yang berbeda atau menyebabkan
reseptor insuklin atau perantara kedua tidak berespons secara adekuat terhadap insulin
. Terdapat kemungkinan lain bahwa kaitan rangkai genetik antara yang dihubungkan
dengan kegemukan ada rangsangan berkepanjangan reseptor – reseptor insulin . Hal
ini menyebabkan penurunan jumlah reseptor insulin yang terdapat di sel tubuh .
Mungkin Pula individu menghasilkan autoantibodi insulin yang berkaitan dengan
reseptor insulin , menghambat akses insulin ke reseptor , tetapi tidak merangsang
aktivitas pembawa carrier.
c. Diabetes mellitus Gestasional
Diabetes Mellitus gestasional berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi dan
kadar estrogen dan hormon pertumbuhan . Kedua hormon ini menstimulasi pelepasan
insulin yang berlebihan mengakibatkan penurunan responsivitas seluler.

2.2.5. FAKTOR RESIKO


1. Riwayat Keluarga (saudara atau keluarga dengan diabetes)
2. Obesitas ( > 20 % , BMI > 27 kg/m)
3. Ras / etnik ( afro-amerika, hispanic, native american, kepulauan pasifik)
4. Usia >45 tahun
5. Gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa
6. Hipertensi ( >140/90 mmhg)
7. Kolesterol (HDL < 35 mg/dl (0.90 mmol/l) dan atau TG >250 mg/dl (28 mmol/L))
8. Riwayat diabetes gestasional (Brunner and suddarth, 2009)
9. Kaffein karena mengurangi toleransi glukosa
10. Kurang Olah raga
11. Diet tinggi kalori , rendah serat , tinggi lemak

2.2.6. MANIFESTASI KLINIS


1. Poliuri
Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi.
Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa akan sampai ke air
kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk
mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air
kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah
yang banyak (poliuri).
2. Polidipsi
Akibat poliuri maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak
minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita
mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita
seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi).
3. Polifagi
Banyak makan, akibat gangguan penyimpanan glikogen dan deposit lemak.
4. Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan
selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka
terhadap infeksi.
5. penurunan berat badan
Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan penderita
diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan. Sebagian besar
penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan berat badan.
6. Ketoasidosis
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang
dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum.
Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat
menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang
lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia
beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari
ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual,
muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam
dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas
penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa
berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah
mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis
jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat
infeksi, kecelakann atau penyakit yang serius.
7. Hiperglikemik
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama beberapa
tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa
sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula
darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres,
misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat,
yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang
disebut koma hiperglikemik - hiperosmolar non-ketotik.
8. Sering kesemutan, gejala ini disebut neuropati. Hal ini karena kandungan gula dalam
darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan system saraf. Dapat juga terjadi
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
9. Tanda penting lainnya yang perlu dicermati adalah apabila penderita diabetes
mendapat luka ditubuh cenderung membutuhkan waktu lama dalam penyembuhannya.
Selain itu ada pula tanda berupa Letih dan lesu. Kondisi ini disebabkan karena
produksi gula dalam darah terhambat, sehingga pembuatan energi menjadi ikut
terganggu. Pandangan kabur atau tidak jelas juga bisa jadi merupakan gejala diabetes
melitus yang perlu diwaspadai.
Manifestasi klinik berdasarkan tipe penyakit diabetes mellitus yaitu:
1. Diabetes mellitus tipe I yaitu : hiperglikemia post prandial (peningkatan kadar glukosa
dalam darah sesudah makan, glukosuria (glukosa muncul dalam urine), diuretik
osmosis (pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan), poliuria (peningkatan rasa
haus), penurunan berat badan, kelelahan dan kelemahan, nafas bau keton serta
hiperventilasi, nyeri abdomen, mual, muntah, perubahan kesadaran, koma.
2. Diabetes mellitus tipe II yaitu kelelahan, iritabilitas, poliuria (peningkatan dalam
berkemih), polidipsi (peningkatan rasa haus), bila terjadi luka pada kulit, lama
sembuhnya.

2.2.7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu,
kadar glukosa darah puasa, kemudian diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral standar.
Untuk kelompok resiko tinggi DM, seperti usia dewasa tua, tekanan darah tinggi, obesitas,
dan adanya riwayat keluarga, dan menghasilkan hasil pemeriksaan negatif, perlu
pemeriksaan penyaring setiap tahun. Bagi beberapa pasien yang berusia tua tanpa faktor
resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
1. Tes Toleransi Glukosa Oral/TTGO
Tes ini telah digunakan untuk mendiagnosis diabetes awal secara pasti, namun tidak
dibutuhkan untuk penapisan dan tidak sebaiknya dilakukan pada pasien dengan
manifestasi klinis diabetes dan hiperglikemia Cara pemeriksaannya adalah :
a. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien makan seperti biasa
b. Kegiatan jasmani cukup
c. Pasien puasa selama 10 – 12 jam
d. Periksa kadar glukosa darah puasa
e. Berikan glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam waktu 5
menit
f. Periksa kadar glukosa darah saat ½, 1, dan 2 jam setelah diberi glukosa
g. Saat pemeriksaan, pasien harus istirahat, dan tidak boleh merokok
Pada keadaan sehat, kadar glukosa darah puasa individu yang dirawat jalan dengan
toleransi glukosa normal adalah 70 – 110 mg/dl. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa
akan meningkat, namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam. Kadar
glukosa serum yang < 200 mg/dl setelah ½. 1, dan 1 ½ jam setelah pemberian glukosa,
dan <140 mg/dl setelah 2 jam setelah pemberian glukosa, ditetapkan sebagai nilai TTGO
normal.
2. Tes Benedict
Pada tes ini, digunakan reagen Benedict, dan urin sebagai specimen Cara kerja :
a. Masukkan 1 – 2 ml urin spesimen ke dalam tabung reaksi
b. Masukkan 1 ml reagen Benedict ke dalam urin tersebut, lalu dikocok
c. Panaskan selama kurang lebih 2-3 menit
d. Perhatikan jika adanya perubahan warna
Tes ini lebih bermakna ke arah kinerja dan kondisi ginjal, karena pada keadaan DM, kadar
glukosa darah amat tinggi, sehingga dapat merusak kapiler dan glomerulus ginjal, sehingga
pada akhirnya, ginjal mengalami ”kebocoran” dan dapat berakibat terjadinya Renal Failure,
atau Gagal Ginjal. Jika keadaan ini dibiarkan tanpa adanya penanganan yang benar untuk
mengurangi kandungan glukosa darah yang tinggi, maka akan terjadi berbagai komplikasi
sistemik yang pada akhirnya menyebabkan kematian karena Gagal Ginjal Kronik. Hasil dari
Benedic Test. Interpretasi :
a. 0 = Berwarna Biru. Negatif. Tidak ada Glukosa.. Bukan DM
b. +1 = Berwarna Hijau . Ada sedikit Glukosa. Belum pasti DM, atau DM stadium dini/awal
c. +2 = Berwarna Orange. Ada Glukosa. Jika pemeriksaan kadar glukosa darah
mendukung/sinergis, maka termasuk DM
d. +3 = Berwarna Orange tua. Ada Glukosa. Positif DM
e. +4 = Berwarna Merah pekat. Banyak Glukosa. DM kronik
3. Rothera test
Pada tes ini, digunakan urin sebagai spesimen, sebagai reagen dipakai, Rothera agents,
dan amonium hidroxida pekat. Test ini untuk berguna untuk mendeteksi adanya aceton dan
asam asetat dalam urin, yang mengindikasikan adanya kemungkinan dari ketoasidosis
akibat DM kronik yang tidak ditangani. Zat – zat tersebut terbentuk dari hasil pemecahan
lipid secara masif oleh tubuh karena glukosa tidak dapat digunakan sebagai sumber energi
dalam keadaan DM, sehingga tubuh melakukan mekanisme glukoneogenesis untuk
menghasilkan energi. Zat awal dari aceton dan asam asetat tersebut adalah Trigliseric
Acid/TGA, yang merupakan hasil pemecahan dari lemak.
Cara kerja :
a. Masukkan 5 ml urin ke dalam tabung reaksi
b. Masukkan 1 gram reagens Rothera dan kocok hingga larut
c. Pegang tabung dalam keadaan miring, lalu 1 - 2 mlmasukkan amonium hidroxida secara
perlahan – lahan melalui dinding tabung
d. Taruh tabung dalam keadaan tegak
e. Baca hasil dalam setelah 3 menit
f. Adanya warna ungu kemerahan pada perbatasan kedua lapisan cairan menandakan
adanya zat – zat keton

2.2.8. PENATALAKSANAAN
Non-farmakologi
Dalam mengelola DM untuk jangka pendek tujuannya adalah menghilangkan
keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat. Untuk jangka
panjangnya lebih jauh lagi, yaitu mencegah penyulit, baik makroangipati, mikroangiopati
maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbidilitas dan mortalitas DM.
Lima pilar utama pengelolaan DM
1. Perencanaan makanan
2. Latihan jasmani
3. Obat berkhasiat hipoglikemik
4. Penyuluhan (edukasi)
5. Pemeriksaan glukosa mandiri

1. Perencanaan makan  yang dianjurkan untuk dikonsumsi adalah:


Karbohidrat
a. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
b. Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
c. Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
d. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain
e. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
f. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
g. Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau
diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
a. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
b. Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
c. Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
d. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
e. Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.
Protein
a. Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
b. Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe.
c. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/Kg BB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
Natrium
a. Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok
teh) garam dapur.
b. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.
c. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
a. Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup
serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi
serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk
kesehatan.
b. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
Pemanis alternatif
a. Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
b. Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
c. Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
d. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping
pada lemak darah.
e. Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
f. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake /
ADI)
2. Latihan Jasmani
Manfaat :
a. menurunkan kadar glukosa darah (mengurangi resistensi insulin ,meningkatkan
sensitivitas insulin)
b. menurunkan berat badan
c. mencegah kegemukan
d. mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi aterogenik , gangguan
e. lipid darah , peningkatan tekanan darah,hiperkoagulasi darah.
Prinsip : Continuous , Rhytmic , Interval , Progressive , Endurance
Continuous adalah latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terusmenerus tanpa
henti. Contoh : bila dipilih jogging 30 menit , maka selama 30 menit pasien melakukan
jogging tanpa istirahat.
Rhytmic adalah latihan olah raga harus dipilih yang berirama,yaitu otot-otot berkontraksi
dan relaksasi secara teratur.Contoh: jalan kaki, jogging, berlari, berenang, bersepeda,
mendayung.
Interval adalah latihan dilakukan selang seling antara gerak cepat dan lambat.Contoh:
jalan cepat diselingi jalan lambat, jogging diselingi jalan, dan lainlain.
Progressive adalah latihan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan dari
intensitas ringan sampai sedang hingga mencapai 30-60 menit.
Endurance adalah latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi,
seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur ), jogging, berenang, dan bersepeda.

Dalam latihan jasmani ada hal-hal yang perlu dihindari sebagai berikut:
- Hindari berlatih pada suhu terlalu panas/dingin
- Bila kadar glukosa darah > 250 mg/dl . Jangan melakukan latihan jasmani berat
(misalnya bulu tangkis , sepak bola , dan olah raga permainan lain)
- Jangan teruskan bila ada gejala hipoglikemia

3. Obat-obatan
a. Sulfonil urea
Obat golongan ini sudah dipakai pada pengelolaan diabetes sejak 1957. Berbagai
macam obat golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa,
demikian juga efek klinis dan mekanisme kerjanya. Beberapa informasi baru mengenai
obat golongan ini ada, terutama mengenai efek farmakologis pada pemakaian jangka
lama dan pemakaiannya secara kombinasi dengan insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel-β pankreas untuk melepaskan
insulin yang tersimpan. Karena itu tentu saja hanya dapat bermanfaat pada pasien yang
masih mempunyai kemampuan untuk mensekresikan insulin.
Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada DM tipe 1. Efek ekstra prankreas yaitu
memperbaiki sensitivitas insulin ada, tetapi tidak penting karena ternyata obat ini tidak
bermanfaat pada pasien yang insulinopenik.
Mekanisme kerja obat golongan sulfonilurea:
- Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan (stored insulin)
- Menurunkan ambang sekresi insulin
- Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa
Obat golongan ini semuanya mempunyai cara kerja yang serupa, berbeda dalam hal
masa kerja, degradasi dan aktivitas metabolitnya. Semuanya dapat menyebabkan
hipoglikemia yang mungkin dapat fatal. Untuk mengurangi kemungkinan hipoglikemia,
apalagi pada orang tua dipilih obat yang masa kerjanya paling pendek. Obat sulfonilurea
dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak dipakai pada usia lanjut
b. Kombinasi Sulfonilurea dengan Insulin
Pemakaian kombinasi kedua obat ini didasarkan bahwa rerata kadar glukosa
darah sepanjangn hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa darah puasnya.
Umumnya kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan kurang lebih sama, tidak
tergantung dari kadar glukosa darah puasanya. Dengan memberikan dosis insulin kerja
sedang malam hari, produksi glukosa hati malam hari dapat dikurangi sehingga kadar
glukosa darah puasa dapat menjadi lebih rendah. Selanjutnya kadar glukosa darah
siang hari dapat diatur dengan pemberian sulfonilurea seperti biasanya Kombinasi
sulfonilurea dan insulin ini ternyata lebih baik daripada insulin saja dan dosis insulin
yang diperlukan pun ternyata lebih rendah. Selain itu pasien lebih bisa menerima cara
pengelolaan kombinasi daripada pengelolaan dengan suntikan yang lebih sering.
c. Glinid
Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjnya sama dengan sulfonilurea,
dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat
ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati.
d. Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin. Metformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat
selular, distal dari reseptor insulin serta juga pada efeknya menurunkan produksi
glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga
menurunkan glukosa darah dan juga disangka menghambat absorbsi glukosa dari usus
pada keadaan sesudah makan.
Metformin menurunkan kadar glukosa darah tetapi tidak menyebabkan
penurunan sampai di bawah normal. Karena itu tidak disebut sebagai obat hipoglikemik,
tetapi obat antihiperglikemik. Pada pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea,
hipoglikemia dapat terjadi akibat pengaruh sulfonilureanya. Pada pemakaian tunggal,
metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah sampai 20%. Kadar insulin plasma
basal juga turun. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada
pemakaian sulfonilurea.
e. Tiazolidindion
adalah golongan obat baru yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan
sensitivitas insulin. dapat diberikan secara oral. Golongan obat ini bekerja meningkatkan
glukosa disposal pada sel dan mengurangi produksi glukosa dihati.
Golongan obat baru ini diharapkan dapat lebih tepat kerjanya pada sasaran
kelainan yaitu resistensi insulin dan dapat pula dipakai untuk mengatasi berbagai
manifestasi resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak
menyebabkan kelelahan sel-β pankreas.
f. Penghambat Glukosidase Alfa
obat ini bekerja secara kompetitif megnhambat kerja enzim kosidase alfa di
dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia postprandial. obat ini bekerja di dalam lumen usus dan tidak
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Efek
samping akibat maldigestif karbohidrat berupa gejala gastrointestinal seperti
meteorismus, flatus dan diare.
g. Insulin
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan
memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien yang
sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi sulfonilurea
dan metformin, langkah berikut yang mungkindiberikan adalah insulin Disamping
pemberian insulin secara konvensional 3 kali sehari dengan memakai insulin kerja
cepat, insulin dapat pula diberikan dengan dosis terbagi insulin kerja menengah dua kali
sehari dan kemudian diberikan campuran insulin kerja cepat dimana perlu sesuai
dengan respons kadar glukosa darahnya. Umumnya dapat juga pasien langsung
diberikan insulin campuran kerja cepat dan menengah dua kali sehari.
Kombinasi insulin kerja sedang yang diberikan malam hari sebelum tidur dengan
sulfonilurea tampaknya memberikan hasil yang lebih baik daripada dengan insulin saja,
baik satu kali ataupun dengan insulin campuran. Keuntungannya pasien tidak harus
dirawat dan kepatuhan pasien tentu lebih besar
h. Kombinasi Obat Hipoglikemia Oral
Kombinasi obat hipoglikemik oral (OHO) dan isulin dapat dimulai jika dengan
OHO dosis hampir maksimal, baik sendiri-sendiri ataupun secara kombinasi namun
kadar glukosa darah belum tercapai. Pada keadaan ini dipikirkan adanya kegagalan
pamakaian OHO. Untuk kombinasi ini, insulin kerja sedang dapat diberikan pada pagi
atau malam hari.
Indikasi Pemakaian Obat Hipoglikemia Oral:
1. Diabetes sesudah umur 40 tahun
2. Diabetes kurang dari 5 tahun
3. Memerlukan insulin dengan dosis kurang dari 40 unit perhari
4. DM tipe 2, berat normal atau lebih

A. KOMPLIKASI
Komplikasi akut
Keadaan yang termasuk dalam komplikasi akut DM adalah ketoasidosis diabetik
(KAD) dan Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH). Pada dua keadaan ini kadar glukosa
darah sangat tinggi (pada KAD 300-600 mg/dL, pada SHH 600-1200 mg/dL), dan pasien
biasanya tidak sadarkan diri. Karena angka kematiannya tinggi, pasien harus segera
dibawa ke rumah sakit untuk penanganan yang memadai.
Keadaan hipoglikemia juga termasuk dalam komplikasi akut DM, di mana terjadi
penurunan kadar glukosa darah sampai < 60 mg/dL. Pasien DM yang tidak sadarkan diri
harus dipikirkan mengalami keadaan hipoglikemia. Hal-hal yang dapat menyebabkan
terjadinya hipoglikemia misalnya pasien meminum obat terlalu banyak (paling sering
golongan sulfonilurea) atau menyuntik insulin terlalu banyak, atau pasien tidak makan
setelah minum obat atau menyuntik insulin.
Gejala hipoglikemia antara lain banyak berkeringat, berdebar-debar, gemetar, rasa
lapar, pusing, gelisah, dan jika berat, dapat hilang kesadaran sampai koma. Jika pasien
sadar, dapat segera diberikan minuman manis yang mengandung glukosa. Jika keadaan
pasien tidak membaik atau pasien tidak sadarkan diri harus segera dibawa ke rumah sakit
untuk penanganan dan pemantauan selanjutnya.
Komplikasi kronik
Penyakit diabetes melitus yang tidak terkontrol dalam waktu lama akan
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah dan saraf. Pembuluh darah yang dapat
mengalami kerusakan dibagi menjadi dua jenis, yakni pembuluh darah besar dan kecil.
Kerusakan pembuluh darah kecil (mikroangiopati) misalnya mengenai pembuluh
darah retina dan dapat menyebabkan kebutaan. Selain itu, dapat terjadi kerusakan pada
pembuluh darah ginjal yang akan menyebabkan nefropati diabetikum.
Saraf yang paling sering rusak adalah saraf perifer, yang menyebabkan perasaan
kebas atau baal pada ujung-ujung jari. Karena rasa kebas, terutama pada kakinya, maka
pasien DM sering kali tidak menyadari adanya luka pada kaki, sehingga meningkatkan
risiko menjadi luka yang lebih dalam (ulkus kaki) dan perlunya melakukan tindakan
amputasi. Selain kebas, pasien mungkin juga mengalami kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri, lebih terasa sakit di malam hari serta kelemahan pada tangan dan kaki. Pada
pasien yang mengalami kerusakan saraf perifer, maka harus diajarkan mengenai
perawatan kaki yang memadai sehingga mengurangi risiko luka dan amputasi
(KEMENKES, 2017).
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Alasan

Berdasarkan hasil intervensi selama 1 minggu dengan dilakukan tiga kali kunjungan
rumah menunjukkan bahwa intervensi yang dilakukan berhasil. Hal ini tampak dengan
outcome masalah yang ditemukan pada saat pengkajian dapat teratasi setelah intervensi
dijalankan. gula darah klien menunjukkan penurunan dibandingkan sejak awal pengkajian.
Selain itu klien juga mulai menerapkan pendidikan kesehatan yang disampaikan oleh
mahasiswa keperawatan. Diantaranya adalah diet sesuai dengan penyakit, minum obat
rutin, aktifitas fisik mulai dilakukan setiap harinya sedikit demi sedikit.
Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan klien terjadi karena kurangnya
pengetahuan tentang penatalaksanaan penyakit yang dialaminya. Keadaan klien yang
semakin parah akhirnya membuat klien dan keluarga sadar akan pentingnya mengontrol
keadaan klien karena klien sudah dalam tahap yang parah dan harus dirujuk ke rumah
sakit.
Berdasarkan hasil evaluasi dalam tiap pertemuan, gula darah Tn. R cenderung
mengalami penurunan. Selain itu, dalam hal ini perawat pengelola memberikan KIE yang
tepat kepada klien diantaranya KIE diabetes mellitus dan tanda gejalanya, KIE
penatalaksanaan diabetes mellitus dengan farmakologi, dan KIE terapi non farmakologi
dalam mengontrol gula darah klien.
4.2 Hambatan

Hambatan yang paling sering ditemukan oleh perawat pengelola selama 3 kali
kunjungan kerumah adalah sering terjadi kesalahapahaman antara perawat dan klien.
Pertanyaan dan pernyataan perawat kurang dipahami oleh klien sehingga perawat sering
mengulang dan mengonfirmasi kembali apakah klien sudah sepaham dengan apa yang
dimaksud oleh perawat.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pengetahuan Tn.R dan keluarga tentang penyakit dan penatalaksaannya masih
kurang. Hasil intervensi yang diberikan menunjukkan output yang baik dimana
meningkatnya pengetahuan lansia tentang penyakitnya serta adanya penurunan gula
darah klien.

5.2 Saran
Penyakit diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan
dan hanya dapat dikontrol. Sehingga perlunya peran serta dari orang – orang sekitar
klien seperti keluarga, dan masyarakat disekitarnya untuk mengontrol gula darah klien
dan mempertahankan keadaan klien agar tidak semakin parah.

Anda mungkin juga menyukai