Anda di halaman 1dari 42

6

BAB II

TINJAUAN PUSTKA

2.1 Pengertian Geometrik Jalan


Perencanaan geometrik jalan dapat diartikan sebagai bagian dari
perencanaan jalan yang dititik beratkan pada alinyemen horizontal dan alinyemen
vertikal sehingga dapat memenuhi fungsi dasar dari jalan yang memberikan
kenyamanan yang optimal pada arus lalu lintas sesuai dengan kecepatan yang
direncanakan. Secara umum perencanaan geometrik terdiri dari aspek-aspek
perencanaan trase jalan, badan jalan yang terdiri dari bahu jalan dan jalur lalu lintas,
tikungan, drainase, kelandaian jalan serta galian dan timbunan. Tujuan dari
perencanaan geometrik jalan adalah menghasilkan infrastruktur yang aman,
efesiensi pelayanan arus lalu lintas dan maksimalkan ratio tingkat penggunaan atau
biaya pelaksanaan (Sukirman,1999).

2.2 Analisis Topografi


Peta topografi diartikan sebagai satu peta yang menampilkan ciri-ciri fisik
dari permukaan bumi. Peta topografi juga menunjukkan bentang alam yang
menunjukkan perubahan elevasi tanah. Elevasi ditampilkan pada peta topografi
menggunakan garis kontur. Garis kontur ditarik pada peta itu merupakan ketinggian
tertentu. Setiap titik pada peta harus menyentuh garis elevasi yang sama. Garis
kontur yang bersebelahan akan mewakili berbagai ketinggian yang berbeda.
Semakin dekat garis kontur antara satu sama lain, semakin curam kemiringan tanah.
Keadaan topografi dalam penetapan trase jalan memegang peranan penting, karena
akan mempengaruhi penetapan alinyemen, kelandaian jalan, jarak pandang,
penampang melintang, saluran tepi dan lain sebagainya.(Saodang, 2004). Kontur
bisa diperoleh dengan banyak cara, diantaranya adalah dengan menggunkaan
pengukuran manual (theodolit, GPS) dan menggunakan aplikasi Global Mapper.
Prinsip dasar pengukuran topografi untuk pekerjaan jalan dan jembatan meliputi
pengukuran sudut horizontal, pengukuran beda tinggi, pengukuran jarak dan
pengukuran azimut jurusan, hitungan jarak, beda tinggi, perhitungan azimut dan

Teknik Sipil, FST, UNDANA


7

perhitungan metode poligon, konversi data terestris ke sistem proyeksi peta UTM,
dan Penggambaran. Pengukuran perencanaan jalan dan jembatan dimulai dari
pekerjaan persiapan yang terdiri dari persiapan personil, persiapan bahan dan
peralatan; survey pendahuluan (reconnaissance)/ kaji lapangan; pemasangan
monumen untuk menyimpan data koordinat titik kontrol horizontal dan vertikal;
pengukuran kerangka kontrol vertikal dan pengukuran kerangka kontrol horizontal;
pengukuran situasi sepanjang trase jalan; pengukuran penampang memanjang dan
pengukuran penampang melintang jalan; pengikatan titik referensi; pengolahan
data dan penggambaran baik secara manual maupun secara digital. Hasil akhir dari
kegiatan pengukuran topografi adalah peta situasi daerah sekitar rencana trase jalan
yang akan digunakan sebagai peta dasar kerja untuk pembuatan gambar rencana
(design drawing) jalan dan jembatan.
Pekerjaan pengukuran topografi untuk perencanaan jalan terdiri dari
beberapa tahapan antara lain persiapan, survey pendahuluan, pemasangan
monumen, pengukuran kerangka kontrol vertikal, pengukuran kerangka kontrol
horisontal, pengukuran penampang memanjang jalan, pengukuran penampang
melintang jalan, pengukuran detail situasi, pengukuran azimut awal dan akhir,
pengukuran titik-titik referensi, pengolahan data dan penggambaran. Pada
pekerjaan pengukuran jalan produk yang dihasilkan adalah:
a. Peta situasi sepanjang rencana trase jalan dengan skala 1:1000, peta situasi
khusus (bila ada) dengan skala 1:500
b. Gambar penampang melintang jalan skala horizontal 1:200 dan skala
vertikal 1:100
c. Gambar penampang memanjang jalan skala horizontal 1:1000 dan skala
vertikal 1:100
d. Dokumen laporan yang meliputi data kalibrasi alat, data ukur dan hasil
pengolahan data/hitungan, daftar dan diskripsi titik-titik kontrol, buku
laporan pelaksanaan yang memuat kegiatan pelaksanaan, kendala dan
tingkat ketelitian yang diperoleh pada setiap jenis kegiatan lengkap dengan
dokumentasinya.

Teknik Sipil, FST, UNDANA


8

2.2.1 Pengukuran Penampang Memanjang

Pengukuran penampang memanjang dalam pelaksanaanya dilakukan bersamaan


dengan pengukuran sipat datar kerangka kontrol vertikal. Pengukuran penampang
memanjang dilakukan pada setiap perubahan muka tanah di sepanjang trase jalan.
Pembacaan rambu harus dilakukan pada ketiga benang silang mendatar yaitu
benang atas (ba), benang tengah (bt) dan benang bawah (bb) sebagai kontrol bacaan.
Setiap detail data yang diambil harus dibuat sketsanya.

2.2.2 Pengukuran Penampang Melintang


Pengukuran penampang melintang ruas jalan dilakukan dengan alat ukur
sipat datar untuk daerah datar dan dengan menggunakan teodolit dengan metode
tachimetri untuk daerah dengan perbedaan topografi yang cukup besar. Pengukuran
penampang melintang ruas jalan harus tegak lurus dengan ruas jalan. Pengambilan
data dilakukan pada setiap perubahan muka tanah dan sesuai dengan kerapatan
detail yang ada (Gambar 2.1). Sketsa penampang melintang tidak boleh terbalik
antara sisi kiri dengan sisi kanan. Pembacaan rambu harus dilakukan pada ketiga
benang silang mendatar yaitu benang atas (ba), benang tengah (bt) dan benang
bawah (bb). Setiap rinci data yang diambil harus dibuat sketsanya. Pengukuran
penampang melintang harus dilakukan dengan persyaratan:
a. Kondisi datar, landai dan lurus dilakukan pada interval tiap 50 m dengan
lebar koridor 75 m ke kiri dan 75 m ke kanan.
b. Kondisi pegunungan dilakukan pada interval tiap 25 m dengan lebar koridor
75 m ke kiri dan 75 m ke kanan
c. Kondisi tikungan dilakukan pada interval tiap 25 m dengan lebar koridor 75
m ke arah luar dan 125 m ke arah dalam.

Gambar 2.1 Penampang melintang jalan

Teknik Sipil, FST, UNDANA


9

2.2.3 Pengukuran Detail Situasi


Pengukuran detail situasi dilakukan dengan memakai alat ukur teodolit
kompas dengan ketelitian pembacaan terkecil 20“, dengan metode tachimetri,
mencakup semua obyek bentukan alam dan buatan manusia yang ada disepanjang
ruas jalan, seperti alur, sungai, bukit, jembatan, gedung, rumah, batas ROW. Dalam
pengambilan data harus diperhatikan kerapatan detail yang diambil sehingga cukup
mewakili kondisi sebenarnya. Pada pengukuran situasi khusus seperti sungai dan
persimpangan jalan pengambilan titik detail harus lebih rapat. Pembacaan rambu
harus dilakukan pada ketiga benang silang mendatar yaitu benang atas (ba), benang
tengah (bt) dan benang bawah (bb) sebagai kontrol. Semua pengukuran titik detail
harus dibuat sketsa (arah utara dan sketsa situasi). Pengukuran situasi jalan pada
daerah perkotaan yang cukup padat lalu-lintas dan detail/obyeknya, penggunaan
alat ukur ETS sangat dianjurkan, hal ini untuk mempercepat pengukuran serta
akurasi data yang diperoleh. Tahapan yang dilakukan pada pengukuran situasi
adalah sebagai berikut:
1. siapkan formulir pengukuran situasi.
2. pasang alat ukur teodolit tepat diatas patok poligon yang diketahui
koordinatnya (P1).
3. atur sumbu I vertikal
4. ukur tinggi alat dan catat pada formulir pengukuran
5. arahkan teropong ke titik poligon lain yang diketahui koordinatnya sebagai
acuan P2, kemudian tepatkan pada target, baca dan catat bacaan sudut
horisontalnya.
6. tempatkan rambu ukur/prisma secara vertikal pada titik detail yang akan
diukur.
7. arahkan teropong pada rambu/prisma tersebut kuatkan klem vertikal dan
horisontal, tepatkan dengan penggerak halus verikal dan horisontal. Baca
dan catat bacaan rambu meliputi benang atas benang tengah dan benang
bawah. Baca dan catat juga bacaan sudut vertikal dan horisontalnya.
8. pindahkan rambu ke titik detail lain yang akan diukur.
9. lepas klem vertikal dan horizontal, arahkan teodolit ke rambu.

Teknik Sipil, FST, UNDANA


10

10. arahkan teropong pada rambu tersebut kuatkan klem vertikal dan horizontal,
tepatkan dengan penggerak halus verikal dan horizontal. Baca dan catat
bacaan rambu meliputi benang atas benang tengah dan benang bawah. Baca
dan catat juga bacaan sudut vertikal dan horizontalnya.
11. ulangi untuk titik detail yang lain, setiap mengukur titik detai harus dibuat
sketsanya.

Gambar 2.2 Pengukuran detail situasi

2.2.4 Prosedur Pengolahan Data


Pengolahan data dilakukan setelah data hasil pengukuran terbebas dari
pengaruh kesalahan kasar, baik karena kesalahan pengamatan (human eror)
maupun kesalahan yang disebabkan alat tidak dalam kondisi baik.
Penggambaran dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penggambaran secara
manual dan penggambaran secara digital. Penggambaran secara manual dilakukan
berdasarkan hasil ukuran lapangan yang dilakukan dengan cara manual diatas
kertas milimeter dengan masukan data dari hitungan manual. Penggambaran secara
digital dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer dan plotter
dengan data masukan dari hasil hitungan dari spreadsheet ataupun download data
dari pengukuran digital yang kemudian diproses dengan perangkat lunak topografi.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses penggambaran antara lain:
a. Pemilihan skala peta yaitu 1:1000 untuk peta situasi dan 1:500 untuk situasi
khusus
b. Grid koordinat pada umumnya dilakukan setiap 10 cm
c. Garis kontur normal yaitu 1/2000 X skala peta dan kontur indeks setiap
kelipatan 5 dari kontur normal

Teknik Sipil, FST, UNDANA


11

d. Gambar dan cara penulisan kontur index, penggambaran legenda, penulisan


huruf tegak dan huruf miring dan ukuran huruf.

Penggambaran secara digital adalah suatu rangkaian proses penggambaran


yang dimulai dari proses inputing data, penggambaran situasi dari titik-titik
koordinat yang ada, pembentukan digital terrain model, pembuatan garis kontur,
pembuatan grid dan legenda serta pencetakan. penggambaran situasi, digital terrain
model, penggambaran garis grid, arah utara peta serta legenda yang digambar
dengan cara digital.

2.3 Analisis Geometrik Jalan


Untuk mengetahui kondisi dari satu geometrik jalan sejauh mana tingkat
pencapaian dari ruas jalan itu sendiri perlu dicari ratsio antara kapasitas dan arus
lalu lintas yang ada sehingga diketahui derajat kejenuhan pada tiap-tiap ruas jalan
yang akan di analisis. Pada penelitian dalam kawasan Undana ini, peneliti
menggunakan metode MKJI 1997.Kinerja dari tiap ruas jalan dapat dilihat dari nilai
derajat kejenuhannya. Berdasarkan MKJI nilai derajat kejenuhannya (DS) tidak
boleh melewati 0.75. Berdasarkan pertimbangan ekonomi asumsi perencanaan
jalan dengan konstruksi baru menggunakan umur rencana 25 tahun sedangkan
pelebaran jalan (peningkatan jalan) menggunakan umur rencana 10 tahun. Jika
standar pencanaan Indonesia diikuti jalan yang aman dan efisien biasanya
diperoleh, sebagai rekomendasi umum kondisi berikut sebaiknya dipenuhi:

1. Standar jalan sebaiknya sejauh mungkin tetap sepanjang rute


2. Dipusat kota selokan sepanjang jalan sebaiknya ditutup, dan trotoar serta
kereb disediakan.
3. Bahu jalan sebaiknya rata dan sama tinggi dengan jalur lalu lintas untuk
dapat digunakan kendaraan berhenti
4. Penghalang seperti tiang listrik, pohon dan sebagainya tidak menggangu
bahu jalan, jarak antara bahu dan penghalang diharapkan sejauh mungkin
karena pertimbangan keselamatan lalu lintas.

Teknik Sipil, FST, UNDANA


12

5. Simpang jalan minor dan jalan keluar/masuk lahan samping jalan sebaiknya
dibuat tegak lurus terhadap jalan utama dan lokasinya menghindari jarak
pandang yang pendek.

Arus lalu lintas merupakan pergerakan yang dilakukan oleh pengendara


kendaraan yang berinteraksi antara satu dengan yang lainnya pada satu ruas jalan.
Pergerakan tersebut berbeda satu dengan yang lainnya pada satu ruas jalan.
Pergerakan yang berbeda ini menyebabkan perbedaan karateristik arus lalu lintas.
Hal ini disebabkan karena perbedaan presepsi dan kemampuan individual
pengemudi
Kendaraan digolongkan menjadi 4 jenis kendaraan (Manual Kapasitas Jalan
Indonesia 1997) yaitu:

a. Kendaraan ringan / Light Vehicle (LV)


Kendaraan ringan / Light Vehicle merupakan kendaraan bermotor dengan 4
roda dan dengan jarak as 2,0 – 3,0 m. Yang termasuk dalam klasifikasi
kendaraan ringan yaitu mobil penumpang, oplet, angkot, mikro bis, pick-up,
dan truk kecil.
b. Kendaraan berat / Heavy Vehicle (HV)
Kendaraan berat / Heavy Vehicle merupakan kendaraan bermotor dengan lebih
dari 4 roda dan dengan jarak as lebih dari 3,50 m. Yang termasuk dalam
klasifikasi kendaraan berat yaitu bis, truk 2 as, truk 3 as, dan truk kombinasi
sesuai sistem klasifikasi Bina Marga.
c. Sepeda motor / Motor Cycle (MC)
Sepeda motor / Motor Cycle merupakan kendaraan bermotor dengan 2 atau 3
roda. Yang termasuk dalam klasifikasi kendaraan ini adalah sepeda motor dan
kendaraan roda 3 sesuai sistem klasifikasi Bina Marga.
d. Kendaraan tak bermotor / Unmotorized (UM)
Kendaraan tak bermotor / Unmotorized merupakan kendaraan dengan roda
yang digerakan oleh orang atau hewan. Yang termasuk dalam klasifikasi
kendaraan tak bermotor adalah sepeda, becak, kereta kuda, dan kereta dorong
sesuai dengan klasifikasi Bina marga.

Teknik Sipil, FST, UNDANA


13

Data jumlah kendaraan kemudian dihitung dalam kendaraan/jam untuk


setiap kendaraan. Nilai tersebut kemudian dikonversikan ke dalam smp/jam dengan
cara mengalikan jumlah kendaraan tersebut dengan nilai ekivalensi kendaraan pada
Tabel 2.1. Nilai ekivalensi kendaraan tak bermotor adalah sebesar 1,0.
Tabel 2.1 Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang (emp) Untuk Masing-Masing Jenis
Kendaraan Bermotor
Tipe Jalan: Jalan tak emp
Arus Lalu-lintas
terbagi MC
total dua arah
HV Lebar jalur lalu lintas Wc (m)
(Kend/jam)
≤6 >6
Dua lajur tak-terbagi 0 1.3 0.5 0.4
(2/2 UD) ≥ 1050 1.2 0.35 0.25
Empat lajur tak 0 1.3 0.4
terbagi (4/2 UD) ≥ 1100 1.2 0.25

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

Arus lalu-lintas total dalam smp/jam (MKJI,1997) dapat dihitung dengan


rumus sebagai berikut:

Q = QLV + QHV x empHV + QMC x empMC ........................................................ .(2.1)


Dimana:
Q = jumlah arus lalu-lintas total (smp/jam)
QLV = jumlah arus lalu-lintas kendaraan ringan (kend/jam)
QHV = jumlah arus lalu-lintas kendaraan berat (kend/jam)
QMC = jumlah arus lalu-lintas sepeda motor (kend/jam)
empHV = nilai ekivalensi kendaraan berat
empMC = nilai ekivalensi kendaraan berat

2.3.1 Prosedur Perencanaan jalan perkotaan


Menurut MKJI 1997, prosedur perhitungan perencanaan jalan perkotaan
menggunakan ukuran-ukuran kinerja seperti kondisi geometrik, kondisi
lingkungan, dan kondisi lalu-lintas (kapasitas, derajat kejenuhan, tundaan dan
peluang antrian).
1. Data Masukan

Teknik Sipil, FST, UNDANA


14

Data yang dimaksudkan yaitu data yang diperoleh dari hasil survei di lapangan
(geometrik jalan, arus lalu-lintas, dan kondisi lingkungan), dan data lainnya yang
diperlukan.
a) Kondisi geometrik
Kondisi geometrik dijelaskan secara rinci dan jelas mengenai informasi tentang
kerb, lebar jalan, lebar bahu jalan, median dan data lain yang dibutuhkan mengenai
kondisi geometrik pada ruas jalan yang ditinjau.

b) Kondisi lalu-lintas
Kondisi lalu-lintas yang akan dianalisis yaitu arus kendaraan dimana
perhitungannya atas dasar periode 15 menit dan kemudian akan dikonversikan ke
dalam satuan smp/ jam.

c) Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan disini, dapat diperoleh data-data seperti ukuran kota, tipe
lingkungan dan kelas hambatan samping yang akan digunakan untuk perhitungan
kinerja simpang.
1) Ukuran kota
Tolak ukur ukuran kota yaitu berdasarkan jumlah penduduk dapat dilihat
pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kelas Ukuran Kota
Ukuran Kota Jumlah Penduduk (juta)
Sangat kecil < 0,1
Kecil ≥ 0,1 - 0,5 <
Sedang ≥ 0,5 - 1,0 <
Besar ≥ 1,0 - 3.0 <
Sangat besar ≥ 3,0
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

2) Tipe lingkungan
Untuk tipe lingkungan menurut MKJI 1997, diklasifikasikan dalam kelas
menurut tata guna lahan dan aksebilitas jalan tersebut dari aktivitas sekitarnya.
Tipe lingkungan jalan tersebut dapat diperoleh dari Tabel 2.3.

Teknik Sipil, FST, UNDANA


15

Tabel 2.3 Tipe Lingkungan Jalan


Tata guna lahan komersial (misalnya pertokoan, rumah
Komersial makan, perkantoran) dengan jalan masuk langsung bagi
pejalan kaki dan kendaraan.
Tata guna lahan tempat tinggal dan jalan masuk langsung
Pemukiman
bagi pejalan kaki dan kendaraan.
Tanpa jalan masuk atau jalan masuk terbatas (misalnya
Akses terbatas
karena adanya penghalang fisik, jalan samping, dsb)
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

3) Kelas hambatan samping


Hambatan samping menunjukkan pengaruh aktivitas samping jalan di
daerah simpang pada arus berangkat lalu-lintas, misalnya pejalan kaki berjalan
atau menyeberangi jalur, angkutan kota, dan bis berhenti untuk menaikkan dan
menurunkan penumpang, kendaraan masuk dan keluar halaman dan tempat
parkir di luar jalur. Hambatan samping ditentukan secara kuantitatif dengan
pertimbangan teknik lalu-lintas sebagai tinggi, sedang, atau rendah (MKJI,
1997). Penentuan kelas hambatan samping dapat menggunakan Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Penentuan Kelas Hambatan Samping
Jumlah berbobot
Kelas Hambatan
kejadian per 200 m Kondisi Khusus
Samping (SFC)
per jam (dua sisi)
Daerah permukiman: jalan samping
Sangat Rendah < 100
tersedia
Daerah permukiman: beberapa
Rendah 100 – 299
angkutan umum
Daerah industri: beberapa tokoh
Sedang 300 – 499
pada sisi jalan
Daerah komersial: aktivitas sisi
Tinggi 500 – 899
jalan tiggi
Daerah komersial: aktivitas pasar
Tinggi sekali >900
sisi jalan
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

Teknik Sipil, FST, UNDANA


16

2. Analisis Kecepatan Arus Bebas


Analisis kecepatan arus bebas yang dihitung adalah kecepatan arus bebas untuk
kendaraan ringan. Untuk jalan tak terbagi analisis kecepatan arus bebas dilakukan
pada kedua arah lalu lintas, sedangkan untuk jalan terbagi analisis dilakukan pada
masing-masing arah merupakan jalan satu arah yang terpisah Analisis kecepatan
arus bebas dapat dihitung dengan menggunkan rumus berikut:
FV=(FVo+FVw) x FFVSF x FFVCS …………………………………………………….. (2.2)
Dimana
FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan (km/jam)
Fvo = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam)
FVw = Penyesuaian lebar jalur lalu lintas efektif
FFVsf = Faktor penyesuaian kondisi hambatan samping
FFVcs = Faktor penyesuaian ukuran kota
Penentuan kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan dapat menggunakan Tabel
2.5 berikut.
Tabel 2.5. Penentuan kecepatan dasar kendaraan ringan

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

a) Penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas Efektif (FVw)


Penyesuaian untuk lebar jalu lalu-lintas dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Penentuan lebar jalur lalu lintas efektif didasarkan pada penentuan tipe jalan serta

Teknik Sipil, FST, UNDANA


17

lebar jalur lalu -lintas efektif. Untuk kondisi analisis kapasitas jalan lebar jalur
efektif menggunakan lebar jalur eksisting pada ruas jalan yang di tinjau.
Tabel 2.6. Peyesuaian lebar jalur lalu-lintas efektif (FVw)

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

b) Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas untuk Hambatan Samping (FFVSF)


Penentuan faktor penyesuaian untuk hambatan samping berdasarkan lebar
bahu efektif dapat dilihat pada Tabel 2.7. Penyesuaian hambatan samping
ditentukan berdasarkan tipe jalan serta kelas hambatan samping.
Tabel 2.7. Penyesuaian hambatan samping berdasarkan lebar bahu efektif

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

Teknik Sipil, FST, UNDANA


18

c) Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Ukuran Kota (FFVCS)


Penentuan faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota dapat
dilihat pada Tabel 2.8. Penentuan kecepatan arus bebas berdasarkan ukuran kota
didasarkan pada kelas ukuran kota.
Tabel 2.8. Faktor penyesuain kecepatan arus bebas untuk ukuran kota

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

3. Analisis Kapasitas
Kapasitas dapat didefinisikan sebagai arus maksimum yang melalui suatu titik
di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Kapasitas
berdasarkan MKJI 1997 adalah hasil perkalian antara kapasitas dasar (C0) dan
faktor-faktor penyesuaian (F), dengan memperhitungkan pengaruh kondisi
lapangan terhadap kapasitas. Kapasitas jalan dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝐶 = 𝐶0 𝑥 𝐹𝐶𝑊 𝑥 𝐹𝐶𝑆𝑃 𝑥 𝐹𝐶𝑆𝐹 𝑥 𝐹𝐶𝐶𝑆 … … … … … … … … … … … … … … .. (2.3)

Dimana:
C = Kapasitas
Co = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lau-lintas
FCsp = Faktor penyesuaian pemisahan arah
FCsf = Faktor penyesuaian hambatan samping
FCcs = Faktor penyesuaian ukuran kota

a) Kapasitas Dasar
Penentuan kapasitas dasar dapat menggunakan Tabel 2.9. Kapasitas dasar
ditentukaan berdasarkan tipe jalan serta catatan mengenai per lajur atau total dua
arah.

Teknik Sipil, FST, UNDANA


19

Tabel 2.9 Kapasitas dasar jalan perkotaan

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

b) Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Lebar Jalur Lalu Lintas (FCw)


Penentuan penyesuaian kapasitas untuk lebar jalur lalu lintas didasarkan pada
tipe jaln serta lebar jalur efektif. Penentuan faktor penyesuaian kapasitas jalan untuk
lebar jalur lalu lintas efektif dapat dilihat pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10 Penyesuaian kapasitas jalan untuk lebar jalur lalu lintas efektif

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

Teknik Sipil, FST, UNDANA


20

c) Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Pemisahan Arah (FCWB)


Penentuan faktor penyesuaian kapasitas untuk pemisahan arah untuk jalan dua-
lajur-dua-arah (2/2) dan empat-lajur-dua-arah (4/2) tak terabagi dapat dilihat pada
Tabel 2.11.
Tabel 2.11 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pemisahan arah (FCSP)

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

d) Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Hambatan Samping (FCSF)


Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping untuk jalan dengan
bahu dapat dilihat pada Tabel 2.12. Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan
samping di tentukan berdasarkan tipe jalan serta golongan kelas hamatan samping
yang nantinya disesuaikan dengan lebar bahu.
Tabel 2.12 Penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan
lebar bahu ( FCSF)

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

Teknik Sipil, FST, UNDANA


21

e) Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Ukuran Kota (FCcs)


Faktor penyesuaian kapasitas untuk ukuran kota dapat ditentukan dengan
menggunakan Tabel 2.13.
Tabel 2.13 Faktor penyesuaian kapasitas untuk ukuran kota (FCCS) pada jalan
perkotaan

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

4. Perilaku Lalu-Lintas
Analisis perilaku lalu-lintas untuk jalan tak terbagi dilalukan pada kedua arah
lalu lintas. Untuk jalan terbagi analisis perilaku lalu-lintas dilakukan terpisah pada
masing-masing arah dengan asumsi jalan merupakan satu arah yang terpisah.
Menurut MKJI 1997, derajat kejenuhan merupakan rasio arus lalu lintas terhadap
kapasitas, dimana biasanya dihitung per jam. MKJI 1997 menetapkan nilai derajat
kejenuhan ≤ 0.75. Derajat kejenuhan dapat dihitung berdasarkan rumus:
𝑄𝑡𝑜𝑡
𝐷𝑆 = … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (2.4)
𝐶
Dimana:
DS = Derajat kejenuhan
Qtot = Arus Total (smp/jam)
C = Kapasitas (smp/jam)

2.3.2 Parameter Perencanaan Geometrik Jalan


1. Bagian-bagian jalan
Daerah pada jalan yang termasuk dalam bagian-bagian jalan terdiri atas tiga,
yaitu daerah manfaat jalan, daerah milik jalan, dan daerah pengawasan jalan
(Saodang, 2004). Menurut peraturan pemerintah no. 34 tahun 2006 tentang jalan,
bagian-bagian jalan terdiri atas:

Teknik Sipil, FST, UNDANA


22

a) Ruang Manfaat Jalan (Rumaja)


Ruang manfaat jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasai oleh
lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu. Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan,
median, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang
pengaman, gorong-gorong, dan bangunan pelengkap lainnya.
Dalam rangka menunjang pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan serta
pengamanan konstruksi jalan, badan jalan dilengkapi dengan ruang bebas. Lebar
ruang bebas yang dimaksud sesuai dengan lebar badan jalan. Tinggi ruang bebas
bagi jalan arteri dan jalan kolektor paling rendah 5 meter. Kedalaman ruang bebas
paling rendah 1,5 meter dari permukaan jalan. Saluran tepi jalan adalah saluran
yang diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air agar badan jalan bebas
dari pengaruh air. Ukuran saluran tepi jalan ditetapkan sesuai dengan lebar
permukaan jalan dan keadaaan lingkungan. Saluran tepi jalan juga dapat
diperuntukkan sebagai saluran lingkungan.
Ambang pengaman jalan dapat berupa bidang tanah dan/atau konstruksi
bangunan pengaman yang berada di antara tepi badan jalan dan batas ruang manfaat
jalan yang hanya diperuntukkan bagi pengamanan konstruksi jalan.

b) Ruang Milik Jalan (Rumija)


Ruang milik jalan terdiri dari ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di
luar ruang manfaat jalan. Ruang milik jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang
diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan, dan penambahan jalur lalu
lintas di masa akan datang serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan.
Adapun sejalur tanah tertentu yang dimaksud dapat dimanfaatkan sebagai ruang
terbuka hijau yang berfungsi sebagai lansekap jalan.
Ruang milik jalan paling sedikit memiliki lebar sebagai berikut : a) jalan
bebahambatan 30 m; b) jalan raya 25 m; c) jalan sedang 15 m; d) jalan kecil 11 m.

c) Ruang Pengawasan Jalan (Ruwasja)


Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan
yang penggunaanya ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan yang
diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan

Teknik Sipil, FST, UNDANA


23

serta pengamanan fungsi jalan yang di batasi oleh lebar dan tinggi tertentu. Jika
ruang milik jalan tidak cukup luas, lebar luar pengawasan jalan ditentukan dari tepi
badan jalan paling sedikit dengan ukuran sebagai berikut :
a. Jalan arteri primer 15 m
b. Jalan kolektor primer 10 m
c. Jalan lokal primer 7 m
d. Jalan lingkungan primer 5 m
e. Jalan arteri sekunder 15 m
f. Jalan kolektor sekunder 5 m
g. Jalan lokal sekunder 3 m
h. Jalan lingkungan sekunder 2 m
i. Jembatan 100 m ke arah hilir dan hulu
Posisi Ruang Manfaat Jalan, Ruang Milik Jalan, dan Ruang Pengawasan Jalan
dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Hubungan antara Rumaja, Rumija dan Ruwasja


Sumber : TPGJK No 038/TBM/1997

2. Klasifikasi jalan
Klasifikasi jalan dikelompokkan dalam empat bagian, yaitu klasifikasi jalan
menurut fungsi jalan, kelas jalan, medan jalan, dan wewenang pembinaan jalan.
a. Klasifikasi menurut fungsi jalan
Menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK), 1997,
klasifikasi jalan terbagi atas :

Teknik Sipil, FST, UNDANA


24

1) Jalan arteri
Jalan arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara efisien.
2) Jalan kolektor
Jalan kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan
jumlah jalan masuk dibatasi.
3) Jalan lokal
Jalan lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.

b. Klasifikasi menurut kelas jalan


Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam
satuan ton (TPGJAK, 1997). Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta
kaitannya dengan klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat pada Tabel 2.14.
Tabel 2.14 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan

Muatan Sumbu
Fungsi Kelas
Terberat MST (ton)
Arteri I > 10
II 10
III A 8
Kolektor III A
8
III B

Sumber : TPGJAK,1997.

c. Klasifikasi menurut medan jalan


Klasifikasi menurut medan jalan didasarkan pada kondisi sebagian besar
kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman kondisi
medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman kondisi medan
menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada

Teknik Sipil, FST, UNDANA


25

bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut (TPGJAK, 1997). Klasifikasi
menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat pada Tabel 2.15.
Tabel 2.15 Klasifikasi Menurut Medan Jalan

Kemiringan
No Jenis Medan Notasi
Medan (%)
1 Datar D <3
2 Perbukitan B 3 - 25
3 Pegunungan G > 25

Sumber : TPGJAK, 1997

d. Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan


Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai PP No. 26/1985
adalah jalan nasional, jalan propinsi, jalan kabupaten/kotamadya, jalan desa, dan
jalan khusus (TPGJAK, 1997).

1. Jalan Nasional
Jalan nasional adalah jalan yang menghubungkan antar ibukota provinsi,
yang memiliki kepentingan strategis terhadap kepentingan nasional di
bawah pembinaan menteri atau pejabat yang ditunjuk, diantaranya :
a). Jalan arteri primer, berfungsi melayani angkutan utama yang
merupakan tulang punggung transportasi nasional dan menghubungkan
pintu gerbang utama (Pelabuhan utama dan Bandar utama kelas utama).
b). Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar provinsi.
c). Jalan primer yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan
nasional.
2. Jalan Propinsi
Jalan propinsi adalah jalan di bawah pembinaan provinsi atau instansi yang
ditunjuk, diantaranya jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota
propinsi dengan ibukota kabupaten/kotamadya dan antar ibukota
kabupaten/kotamadya yang mempunyai nilai strategis terhadap
kepentingan propinsi.

Teknik Sipil, FST, UNDANA


26

3. Jalan Kabupaten
Jalan Kabupaten adalah jalan dibawah pembinaan kabupaten atau instansi
yang ditunjuk, diantaranya :
a). Jalan kolektor primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional atau
provinsi.
b). Jalan lokal primer.
c). Jalan yang memiliki strategis untuk kepentingan kabupaten.
4. Jalan Kotamadya
Jalan kotamadya adalah jalan dibawah pembinaan kotamadya, diantaranya
jalan kota dan sekunder dalam kota.
5. Jalan Desa
Jalan desa adalah jalan dibawah pembinaan desa, yaitu jalan sekunder
yang ada di desa.
6. Jalan Khusus
Jalan khusus adalah jalan dibawah pembinaan pejabat atau instansi yang
ditunjuk, yaitu jalan yang dibangun secara khusus oleh instansi atau
kelompok.

2.4 Ketentuan Teknis Geometrik Jalan


Menurut Saodang, 2004, beberapa parameter perencanaan geometrik dari
unsur karakteristik kendaraan antara lain dimensi kendaraan rencana dan jarak
putaran kendaraan (Saodang, 2004).
a. Volume Lalu Lintas Harian Rencana (VLHR)
Data masukan lalu lintas yang diperlukan terdiridari dua, yaitu pertama data
arus lalu lintas eksisting dan kedua data arus lalu lintas rencana. Data lalu lintas
eksisting digunakan untuk melakukan evaluasi kinerja lalu lintas, berupa arus lalu
lintas per jam eksisting pada jam-jam tertentu yang dievaluasi.
LHRT merupakan volume lalu lintas rata-rata tahunan yang ditetapkan dari
survei perhitungan lalu lintas selama satu tahun penuh dibagi jumlah hari dalam
tahunan tersebut,dinyatakan dalam skr/hari. K (disebut faktor K), adalah faktor jam
rencana, ditetapkan dari kajian fluktuasi arus lalu lintas jam-jaman selama satu han.
Nilai k yang dapat digunakan untuk jalan perkotaan berkisar antara 7% - 12%. qjp

Teknik Sipil, FST, UNDANA


27

digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu lintas lainnya yang
diperlukan.
Penentuan lebar jalur dan bahu jalan yang merupakan bagian-bagian jalan
dapat dilihat pada Tabel 2.16.
Tabel 2.16 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan (meter)

ARTERI KOLEKTOR LOKAL


VLHR smp/hari
Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum
Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu
< 3000 6,00 1,50 4,50 1,00 6,00 1,50 4,50 1,00 6,00 1,00 4,50 1,00
3000 – 10000 7,00 2,00 6,00 1,50 7,00 1,50 6,00 1,50 7,00 1,50 6,00 1,00
10001 – 25000 7,00 2,00 7,00 2,00 7,00 2,00
> 25000 2n x 3,5 2,5 2 x 7,0 2 2n x 3,5 2 MENGACU PADA
PERSYARATAN IDEAL TIDAK DITENTUKAN
2n x 3,5 → 2 = 2 jalur; n = jumlah-lajur per jalur; n x 3,5 = lebar per jalur

Sumber : Hendarsin, 2000.

b. Dimensi kendaraan rencana


Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya
dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Kendaraan rencana
dikelompokkan dalam lima kategori (Saodang ,2004), yaitu :
1. Kendaraan Ringan/kecil, yaitu kendaraan yang mempunyai 2 as dengan 4
roda dengan jarak as 2-3 meter.
Meliputi : mobil penumpang, mikrobus, pick-up, dan truk kecil sesuai
dengan sistem klasifikasi Bina Marga.
2. Kendaraan Sedang, yaitu kendaraan yang mempunyai 2 as gandar, dengan
jarak as 3,5-5,0 meter.
Meliputi : bus kecil, truk 2 as dengan 6 roda.
3. Kendaraan Berat/Besar, yaitu kendaraan dengan dua atau tiga gandar
dengan jarak as 5,00-6,00 meter.
Meliputi : bus besar
4. Truk Besar, yaitu truk dengan tiga gandar dan truk kombinasi tiga, dengan
jarak gandar (gandar pertama ke gandar kedua) < 3,50 meter.
5. Sepeda motor, yaitu kendaraan bermotor dengan dua atau tiga roda.
Meliputi : sepeda motor dan kendaraan roda tiga.
c. Jarak putaran (manuver kendaraan)

Teknik Sipil, FST, UNDANA


28

Setiap kendaraan mempunyai jangkauan putaran, pada saat kendaraan yang


bersangkutan menikung atau memutar pada suatu tikungan jalan (Saodang ,2004).
Dimensi dan jarak putaran dari setiap kategori kendaraan rencana dapat dilihat pada
Tabel 2.17 di bawah ini.
Tabel 2.17 Dimensi Kendaraan Rencana
Kategori Dimensi Radius
Tonjolan Radius Putar
Kendaraan Kendaraan Tonjolan
(cm) (cm)
rencana (cm) (cm)
T L P depan belakang Min mak
Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780
Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410
Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370
Sumber : Hendarsin, 2000.

d. Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana (VR) adalah kecepatan rencana pada suatu ruas jalan yang
dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-
kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu
lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti. V R untuk
masing-masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel 2.18.
Tabel 2.18 Kecepatan Rencana (VR), Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Klasifikasi
Medan Jalan
Kecepatan Rencana, VR (km/jam)
Fungsi Jalan
Datar Bukit Gunung
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 - 30
Catatan : untuk kondisi medan yang sulit, VR sesuai segmen jalan dapat
diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari
20 km/jam.
Sumber : Hendarsin, 2000

Teknik Sipil, FST, UNDANA


29

2.5 Alinyemen Horisontal


Alinyemen Horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal,
yang dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”. Alinyemen
Horizontal terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-garis
lengkung yang terdiri dari busur lingkaran ditambah busur peralihan, busur
peralihan saja atau busur lingkaran saja. Perencanaan geometrik pada bagian
lengkung bertujuan untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh
kendaraan yang berjalan pada kecepatan VR dengan membentuk superelevasi. Gaya
sentrifugal merupakan gaya yang mendorong kendaraan secara radial keluar dari
jalur jalannya. Gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan ini akan diimbangi
dengan suatu kemiringan melintang pada tikungan yang biasa disebut dengan
superelevasi. Hal-hal yang mempengaruhi perencanaan alinyemen horisontal antara
lain:
1. Jarak Pandang
a. Jarak Pandang Henti (Jh)
Jh adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk
menghentikan kendaraannya dengan aman begitu ia melihat adanya halangan di
depan. Setiap titik di sepanjang jalan harus memenuhi Jh. Jh diukur berdasarkan
asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm
diukur dari permukaan jalan. Jh terdiri atas 2 elemen jarak, yaitu:
1) jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti
sampai saat pengemudi menginjak rem; dan
2) jarak pengereman (Jh,) adalah jarak yang dibutuhkan untuk
menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai
kendaraan berhenti. Jarak Pandang henti minimum disajikan pada Tabel
2.19. Jh, dalam satuan meter, dapat dihitung dengan rumus:
Vr
Vr ( )²
3.6
Jh= xT+ ............................................................................... (2.5)
3.6 2gf

Dimana:

T = Waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik


g = Percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det

Teknik Sipil, FST, UNDANA


30

f = Koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal


diteapkan 0.35-0.55
Vr = Kecepatan Rencana (Km/Jam)

Tabel 2.19 Jarak Pandang Henti Minimum (Jhmin)

Vr
120 100 80 60 50 40 30 20
(km/jam)

Jhmin (m) 250 175 120 75 55 40 27 16

Sumber: TPGJAK No.038/TBM/1997

b. Jarak Pandang Mendahului (Jd)


Jarak pandang mendahului memungkinkan suatu kendaraan mendahului
kendaraan lain di depannya dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke
jalur semula. Jarak pandang mendahului diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi
mata pengemudi 105 cm dan tinggi halangan adalah 105 cm. Jarak pandang
mendahului (Jd) dalam satuan meter
Jd=d1+d2+d3+d4……………………………………………………. (2.6)
Dimana:

d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m)


d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului samapai dengan kemali ke lajur
semula (m)
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahui dengan kendaraan yang datang dari arah
berlawanan setelah proses mndahui selesai (m)
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan, yang
besarnya diambil sama dengan 213.d2 (m)
Daerah mendahului harus disebar di sepanjang jalan dengan jumlah panjang
minimum 30% dari panjang total ruas jalan tersebut.

c. Daerah bebas samping di tikungan


Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan
pandang di tikungan sehingga Jh dipenuhi. Daerah bebas samping dimaksudkan
untuk memberikan kemudahan pandangan ditikungan dengan membebaskan
obyek-obyek penghalang sejauh E (m), diukur dari garis tengah lajur dalam sampai

Teknik Sipil, FST, UNDANA


31

obyek penghalang pandangan sehingga persyaratan Jh dipenuhi dan daerah bebas


samping di tikungan dihitung berdasarkan rumus-rumus sebagai berikut:
1. Jika Jh<Lt :
28,65 x Jh
Tc= R { 1 − cos ( ) } …………………………………...… (2.7)
R

2. Jika Jh>Lt
28,65Jh 2,85 x Jh
E = R { 1 − cos ( ) } + 1/2 (Jh - Lt) sin ( )………… (2.8)
R R

Dimana:

R = Jari jari tikungan (m)


Jh = Jarak pandang henti (m)
Lt = Panjang total tikungan (m)

Tabel 2.20-22. memuat nilai E dalam satuan meter, yang dihitung


menggunakan persamaan 2.7 dengan pembulatan-pembulatan untuk Jh<Lt. Tabel
tersebut dapat dipakai untuk menetapkan nilai E.
Tabel 2.20.E (m) untuk Jh<Lt, VR (km/jam) dan Jh (m).

Sumber: TPGJK No.038/TBM/1997

Teknik Sipil, FST, UNDANA


32

Tabel 2.21. E (m) untuk Jh>Lt, VR (km/jam) dan Jh (m), di mana Jh-Lt = 25 m.

Sumber: TPGJK No.038/TBM/1997


Tabel 2.22. E (m) untuk Jh>Lt, VR (km/jam) dan Jh (m), di mana Jh.-Lt =50 m.

Sumber: TPGJK No.038/TBM/1997

Teknik Sipil, FST, UNDANA


33

2. Panjang bagian lurus


Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari
segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus
ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit (sesuai VR). Panjang bagian lurus
dapat ditetapkan dari Tabel 2.23

Tabel 2.23. Panjang Bagian Lurus Maximum

Panjang Bagian Lurus Maximum


Fungsi
Datar Perbukitan Pegunungan
Arteri 3,000 2,500 2,000
Kolektor 2,000 1,750 1,500

Sumber: TPGJK No.038/TBM/1997


3. Tikungan
Bagian yang sangat kritis pada alinyemen horizontal adalah bagian tikungan,
dimana terdapat gaya yang dapat m\elempar kendaraan-kendaraan yang disebut
gaya sentrifugal. Gaya sentrifugal ini mendorong kendaraan secara radial keluar
jalur.Di Indonesia yang sesuai standar Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga
tikungan terbagi tiga jenis.Macam-macam jenis tikungan adalah :
1) Full Circle (FC)
Full Circle (FC) merupakan tikungan yang berbentuk busur lingkaran
secara penuh. Tikungan ini memiliki satu titik pusat lingkarn dengan jari-
jari yang seragam. Tikungan Full Circle hanya digunakan untuk R (jari-jari
tikungan) yang besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan jari-jari
tikungan yang kecil maka diperlukan superelevasi yang besar. Bentuk dari
tikungan Full Circle (FC) dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Teknik Sipil, FST, UNDANA


34

Gambar 2.4. Tikungan Full Circle (FC)


Dimana:

∆ = Sudut tikungan
O = Titik pusat lingkaran
Tc = panjang tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT
Rc = Jari-jari lingkaran
Lc = Panjang busur lingkaran
Ec = Jarak luar PI ke busur lingkaran

Tikungan Full Circle dihitung menggunakan persamaan- persamaaan


berikut:
1
Tc=Rd tan 2 β ……………………………………………… (2.9)

1
Ec=Tc tan 4 β ………………………………………………. (2.10)
β 2 π Rd
Lc= ……………………………………………….... (2.11)
360°

2) Spiral Circle Spiral (SCS)


Spiral Circle Spiral (SCS) merupakan tikungan yang terdiri dari satu
lengkung circle dan dua lengkung spiral. Lengkung SCS dibuat untuk
menghindari terjadinya perubahan alinyemen yang tiba-tiba berbentuk
lingkaran, jadilengkung ini diletakan antara bagian lurus dan bagian lingkaran
(circle) yaitu pada sebelum dan sesudah tikungan berbentuk busur lingkaran.
Bentuk dari tikungan Spiral Circle Spiral (SCS) dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Teknik Sipil, FST, UNDANA


35

Gambar 2.5 Tikungan Spiral Circle Spiral (SCS)


Dimana:

Xc= Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS ke SC


(jarak lurus lengkung peralihan)
YS= Ordinat tiitk SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak
tegak lurus ke titik SC pada lengkung
Ls= Panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke SC
atau CS ke ST)
Lc= Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS)
Ts= Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST
TS= Titik dari tangen ke spiral
SC= Titik dari tangen ke Spiral
Es= Jarak dari PI ke busur lingkaran
ɵs= Sudut lengkung spiral
Rc= Jari-jari lingkaran
P= Pergeseran tangen terhadap spiral
k= absis dari p pada garis tangen spiral

Tikungan Spiral Circle Spiral (SCS) dihitung menggunakan persamaan-


persamaaan berikut:

Teknik Sipil, FST, UNDANA


36

360 xLs
θs = ………………………………………………… (2.12)
4 π Rd

ß𝑐 = ß − 2𝜃𝑠 …………………………………………… (2.13)


ßc x π x Rd
Lc = ………………..…………………………… (2.14)
180

Ls²
p = -Rd (1- cos θs) …………………………..….. (2.15)
40 x Rd²

Ls 2
k = Ls - - Rd sin θs …..…………………………….. (2.16)
40 Rd²

𝐿𝑠3
Ts =(Rd+p) tan 40 x 𝑅𝑑2 - Rd x sin θs .……………………… (2.18)
( Rd+p)
Es = 1 -Rd …………………………………………….. (2.19)
cos

(∆ -2ɵs)
Lc = πRc …………………………………………….. (2.20)
180
θs x π x Rd
Ls = ……………………………………………….. (2.21)
90

Ltot = Lc + 2Ls ……………………………………………. (2.22)

Jika diperoleh Lc< 20 m, maka sebaiknya tidak digunakan lengkung SCS


tetapi digunakan lengkung Spiral-Spiral (SS), yaitu lengkung yang terdiri
dari dua lengkung spiral.
3) Spiral-Spiral (SS)
Spiral-Spiral (SS) merupakan tikungan yang terdiri dari dua lengkung
spiral. Bentuk dari tikungan Spiral-Spiral (SCS) dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Tikungan Spiral-Spiral

Teknik Sipil, FST, UNDANA


37

Dimana:
Xc= Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS ke SC
(jarak lurus lengkung peralihan)
Yc= Ordinat tiitk SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak
tegak lurus ke titik SC pada lengkung
Ls= Panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke SCS
atau SCS ke ST)
SCS= Panjang busur lingkaran (panjang dari titik Ls ke SCS)
Ts= Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST
TS= Titik dari tangen ke spiral
SC= Titik dari tangen ke Spiral
Es= Jarak dari PI ke busur lingkaran
ɵs= Sudut lengkung spiral
Rc= Jari-jari lingkaran
P= Pergeseran tangen terhadap spiral
k= absis dari p pada garis tangen spiral

Tikungan Spiral Circle Spiral (SCS) dihitung menggunakan persamaan-


persamaaan berikut:

Lc = 0 ……………………………………………………… (2.23)
1
ɵs = ∆ ……………………………………………………... (2.24)
2

Ltot = 2 Ls ………………………………………………….... (2.25)


Ls²
p = -Rd (1- cos θs) ……………………………….. (2.26)
40 x Rd²

Ls 2
k = Ls - - Rd sin θs …..………………………………. (2.27)
40 Rd²

𝐿𝑠3
Ts =(Rd+p) tan 40 x 𝑅𝑑2 - Rd x sin θs .……………………… (2.28)
( Rd+p)
Es = 1 -Rd …………………………………………….. (2.29)
cos

θs x π x Rd
Ls = ………………………………………………… (2.30)
90

Teknik Sipil, FST, UNDANA


38

4. Kemiringan Melintang (Superelevasi)


Ketajaman lengkung horizontal dapat disebut dengan jari-jari lengkung
atau dengan derajat kelengkungan. Derajat lengkung, D merupakan besarnya
sudut lengkung yang menghasilkan panjang busur lingkaran sebesar 25 m
berdasarkan Bina Marga dan 100 ft berdasarkan AASHTO 2004.

Gambar 2.7 Koreksi antar derajat lengkung D dan radius lengkung R


Sumber : Sukirman, 1999

Superelevasi merupakan suatu kemiringan melintang di tikungan yang


berfungasi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan saat berjalan
melalu tikungan. Nilai superelevasi maksimum ditetapkan 10%. Jari-jari tikungan
minimum (Rmin) dihitung menggunakan rumus :

R VR ² ………………………………………………………. (2.31)
min=
127 (emax . f)

Dimana: :
Rmin = Jari-jari tikungan minimum (m)
VR = Kecepatan Rencana (km/jam)
emax = Superelevasi maksimum (%)
F = Koefisien gesek, untuk perkerasan aspal f = 0,14-0,24
Tabel 2.24. dapat digunakan untuk menetapkan Rmin.
Tabel 2.24 Panjang Jari-jari Minimum (dibulatkan)

Vr (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20


Jari-jari Minimum,
600 370 210 110 80 50 30 15
Rmin (m)

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum No. 038/TBM/1997.

Teknik Sipil, FST, UNDANA


39

Besarnya nilai super-elevasi jalan di Indonesia baik untuk luar kota


maupun dalam kota bervariasi menurut A Policy on Geometric Design of
Highways and Streets, AASHTO, 2004 nilai e maksimum untuk semua jenis
jalan adalah 4%, 6%, 8%, 10% dan 12%.
5. Jarak Kebebasan Samping
Pada saat kendaraan melintasi alinyemen horizontal membutuhkan
kebebasan pandangan, untuk mendahului kendaraan yang ada di depannya.
Kebebasan samping ini diperhitungkan jika pada arah dalam lengkung horizontal
terdapat rintangan yang menghalangi pandangan pengemudi. Besarnya jarak
kebebasan samping terlihat pada persamaan berikut :

a) Jika jarak pandangan, S lebih kecil daripada panjang total lengkung, Lt

Gambar 2.8 Jarak Pandangan Pengemudi S < Lt


Sumber: Sukirman,1999
28.65 𝑠
𝐸 = 𝑅 ′ [1 − cos ( )]………………………………………………… (2.32)
𝑅′

Dimana: :
E = Kebebasan Samping (m)
R = Jari-Jari Tikungan (m)
R’ = Jari-Jari Sumbu Lajur Dalam (m)
S = Jarak Pandangan (m)
Lt = Panjang Total Lengkung (m)
b) Jarak pandangan,S lebih besar daripada panjang total lengkung,Lt
28.65 𝑠 𝑆−𝐿𝑡 28.65 𝑠
𝐸 = 𝑅 ′ [1 − cos( )] + [ x sin( )]………………………… (2.33)
𝑅′ 2 𝑅′

Dimana:
E = Kebebasan Samping (m)

Teknik Sipil, FST, UNDANA


40

R’ = Jari-Jari Sumbu Lajur Dalam (m)


S = Jarak Pandangan (m)
Lt = Panjang Total Lengkung (m)
Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal pada
bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh (superelevasi) pada bagian
lengkung. Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara
linear.diawali dari bentuk normal sampai awal lengkung peralihan (TS) yang
berbentuk pada bagian lurus jalan, 'lalu dilanjutkan sampai superelevasi penuh pada
akhir bagian lengkung peralihan (SC). Pada tikungan fC, pencapaian superelevasi
dilakukan secara linear, diawali dari bagian lurus sepanjang 213 LS sampai dengan
bagianlingkaran penuh sepanjang 113 bagian panjang LS. Tikungan S-S
pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan pada bagian Spiral.

Gambar 2.9. Metode pencapaian superelevasi pada tikungan SCS

Gambar 2.10. Metode pencapaian superelevasi pada tikungan SCS

Teknik Sipil, FST, UNDANA


41

6. Lengkung Peralihan
Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara bagian lurus
jalandan bagian lengkung jalan berjari jari tetap R; berfungsi mengantisipasi
perubahan alinemen jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai bagian
lengkung jalan berjari jari tetap R sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada
kendaraan saat berjalan di tikungan berubah secara berangsur-angsur, baik ketika
kendaraan mendekati tikungan maupun meninggalkan tikungan. Bentuk lengkung
peralihan dapat berupa parabola atau spiral (clothoid). Dalam tata cara ini
digunakan bentuk spiral. Panjang lengkung peralihan (L) ditetapkan atas
pertimbangan bahwa:

a) lama waktu perjalanan di lengkung peralihan perlu dibatasi untuk


menghindarkan kesan perubahan alinemen yang mendadak, ditetapkan 3
detik (pada kecepatan VR);
b) gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat diantisipasi berangsur-
angsur pada lengkung peralihan dengan aman; dan
c) tingkat perubahan kelandaian melintang jalan (re) dari bentuk kelandaian
normal ke kelandaian superelevasi penuh tidak boleh melampaui re-max
yang ditetapkan sebagai berikut:

untuk VR =70 km/jam, re-max =0.035 m/m/detik,

untuk VR = 80km/jam, re-maz =0.025 m/m/detik.

Bentuk lengkung peralihan dapat berupa parabola atau spiral (clothoid).


Dalam tata cara ini digunakan bentuk spiral. LS ditentukan dari 3 rumus di bawah
ini dan diambil nilai yang terbesar:

1) Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan,


𝑉𝑅
𝐿𝑠 = 3 𝑥 6 𝑇 ………………………………………………… ( 2.34)

Dimana:
T = waktu tempuh pada lengkung peralihan, ditetapkan 3
detik.
VR = kecepatan rencana (km/jam).

Teknik Sipil, FST, UNDANA


42

2) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal,


VR3 VR e
Ls=0.022 R C -2.727 …………………………… (2.35)
C

3) Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian,


(em-en) VR
Ls= ……………………………………… . (2.36)
3,6 re

Dimana:
VR = Kecepatan rencana (km/jam),

Em = Superelevasi maximum,

en = Superelevasi normal,

re = Tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang


jalan (m/detik)

Selain menggunakan rumus persamaan, untuk tujuan praktis LS dapat


ditetapkan dengan menggunakan Tabel 2.25. Lengkung dengan R lebih besar atau
sama dengan yang ditunjukkan pada Tabel 2.26.

Tabel 2.25 Panjang Lengkung Peralihan (L,) dan panjang pencapaian superelevasi
(Le) untuk jalan ljalur-2lajur-2arah.

Teknik Sipil, FST, UNDANA


43

Tabel 2.26. Jari-jari tikungan yang tidak memerlukan lengkungan peralihan

VR (Km/Jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

50 25 13
Rmin (m) 25000 150 0 900 350 60
0 0 0

Jika lengkung peralihan digunakan, posisi lintasan tikungan bergeser dari


bagian jalan yang lurus ke arah sebelah dalam sebesar p. Nilai p (m) dihitung
berdasarkan rumus berikut:
𝐿𝑠2
p= ……………………………………………………...……… (2.37)
24 Rc

Dimana:

LS = panjang lengkung peralihan (m)

R = jari jari lengkung (m)

Apabila nilai p kurang dari 0,25 meter, maka lengkung peralihan tidak
diperlukan sehingga tipe tikungan menjadi fC. Superelevasi tidak diperlukan
apabila nilai R lebih besar atau sama dengan yang ditunjukkan dalam Tabel 2.27.

Tabel 2.27. Jari-jari yang diijinkan tanpa lengkung peralihan

Kecepatam rencana R
(km/jam) (m)
60 700.000

80 1.250

100 2.000

120 5.000

Sumber: TPGJK No.038/TBM/1997

7. Pelebaran Jalur Lalu Lintas di Tikungan


Dilakukan pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan
keadaan geometrik jalan agar kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama
dengan bagian lurus. Hal ini mempertimbangkan :

Teknik Sipil, FST, UNDANA


44

1) Pengemudi merasa kesulitan menempatkan kendaraan untuk tetap pada


lajunya;
2) Penambahan lebar lajur yang dipakai kendaraan bergerak melingkar. Pelebaran
di tikungan harus memenuhi gerak putaran kendaraan rencana hal ini bertujuan
agar proyeksi kendaraan tetap pada lajunya
3) Pelebaran di tikungan ditentukan oleh radius belok kendaraan rencana,
pelebaran yang lebih kecil dari 0,6 diabaikan.
4) Untuk jalan 1 jalur 3 lajur, nilai-nilai dalam Tabel 2.29 harus dikalikan dengan
1,5.
Tabel 2.29. Pelebaran di Tikungan
Lebar jalur 2 x 3,00 m, 2 arah atau 1 arah

R Kecepatan Rencana, VR (km/jam)


(m) 50 60 70 80 90 100 110
1500 0,3 0,4 0,4 0,4 0,4 0,5 0,6
1000 0,4 0,4 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6
750 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,8 0,8
500 0,8 0,9 0,9 1,0 1,0 1,1 0,1
400 0,9 0,9 1,0 1,0 1,1 1,1
300 0,9 1,0 1,0 1,1
250 1,0 1,1 1,1 1,2
200 1,2 1,3 1,3 1,3
150 1,3 1,4
140 1,3 1,4
130 1,3 1,4
120 1,3 1,4
110 1,3
100 1,4
90 1,4
80 1,4
70 1,4

Sumber: TPGJK No.038/TBM/1997

8. Tikungan Gabungan
Pada perencanaan alinyemen horisontal, kemungkinan akan ditemui
perencanaan tikungan gabungan karena kondisi topografi pada rute jalan yang akan
direncanakan sedemikian rupa sehingga harus direncanakan tikungan gabungan.
Ada 2 jenis tikungan gabungan alinyemen horizontal antara lain:

Teknik Sipil, FST, UNDANA


45

1) Tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua atau lebih tikungan dengan
arah putaran yang sama, namun dengan jari-jari yang berbeda.
2) Tikungan gabungan terbalik, yaitu gabungan dua tikungan dengan arah
putaran yang berbeda.
Penggunaan tikungan gabungan tergantung perbandingan R1 dan R2 :
𝑅1 2
> 3, tikungan gabungan searah harus dihindari.
𝑅2
𝑅1 2
< 3, tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau
𝑅2

clothoide sepanjang minimum 20 meter.

Gambar 2.11. Gabungan Lengkung Horisontal.


Sumber: Sukirman,1999

2.6 Penelitian Sebelumnya

Banu Matelda tahun 2017 dengan judul Analisis Kinerja Lalu-Lintas


Simpang Tak Bersinyal Pada Komplek Kampus Universitas Nusa Cendana Kupang
yang melakukan penelitian tentang kinerja lalu-lintas simpang tak bersinyal pada
komplek Universitas Nusa Cendana Kupang dengan tinjauan penelitian:

Teknik Sipil, FST, UNDANA


46

a. Volume lalu-lintas kendaraan pada simpang di dalam kampus Undana


b. Kinerja lalu-lintas pada simpang di dalam kampus Undana

Hasil dari penelitian ini adalah:


1) Volume kendaraan simpang I pada jam puncak pagi hari yaitu sebesar
2698 smp/jam, volume kendaraan pada jam puncak siang hari yaitu
sebesar 2218 smp/jam, dan volume kendaraan pada jam puncak sore hari
yaitu sebesar 1665 smp/jam. Volume kendaraan simpang II pada jam
puncak pagi hari yaitu sebesar 2638 smp/jam, volume kendaraan pada jam
puncak siang hari yaitu sebesar 2119 smp/jam, dan volume kendaraan pada
jam puncak sore hari yaitu sebesar 1596 smp/jam. Volume kendaraan
simpang III pada jam puncak pagi hari yaitu sebesar 378 smp/jam, volume
kendaraan pada jam puncak siang hari yaitu sebesar 389 smp/jam, dan
volume kendaraan pada jam puncak sore hari yaitu sebesar 288 smp/jam.
Volume kendaraan simpang IV pada jam puncak pagi hari yaitu sebesar
516 smp/jam, volume kendaraan pada jam puncak siang hari yaitu sebesar
533 smp/jam, dan volume kendaraan pada jam puncak sore hari yaitu
sebesar 389 smp/jam. Volume kendaraan simpang V pada jam puncak pagi
hari yaitu sebesar 333 smp/jam, volume kendaraan pada jam puncak siang
hari yaitu sebesar 330 smp/jam, dan volume kendaraan pada jam puncak
sore hari yaitu sebesar 193 smp/jam.
2) Kinerja dari kelima simpang yang menjadi perwakilan dari simpang-
simpang di dalam kampus diperoleh dari hasil analisis. Kinerja simpang I
yang sudah dalam keadaan jenuh yaitu pada pagi hari yang terdiri dari
kapasitas sebesar 3037 smp/jam, derajat kejenuhan sebesar 0,89, tundaan
sebesar 11,10 det/smp dan peluang antrian sebesar 32% - 101%. Kinerja
simpang II yang sudah dalam keadaan jenuh yaitu pada pagi hari yang
terdiri dari kapasitas sebesar 2465 smp/jam, derajat kejenuhan sebesar
1,07, tundaan sebesar 25,13 det/smp dan peluang antrian sebesar 46% -
149%. Kinerja simpang III masih dalam keadaan stabil/baik dan kinerja
yang nilainya terbesar yaitu pada siang hari yang terdiri dari kapasitas
sebesar 2225 smp/jam, derajat kejenuhan sebesar 0,17, tundaan sebesar
6,20 det/smp dan peluang antrian sebesar 2% - 9%. Kinerja simpang IV

Teknik Sipil, FST, UNDANA


47

masih dalam keadaan stabil/baik dan kinerja yang nilainya terbesar yaitu
pada pagi hari yang terdiri dari kapasitas sebesar 1670 smp/jam, derajat
kejenuhan sebesar 0,31, tundaan sebesar 8,06 det/smp dan peluang antrian
sebesar 5% - 19%. Kinerja simpang V masih dalam keadaan stabil/baik
dan kinerja yang nilainya terbesar yaitu pada siang hari yang terdiri dari
kapasitas sebesar 2858 smp/jam, derajat kejenuhan sebesar 0,12, tundaan
sebesar 5,97 det/smp dan peluang antrian sebesar 1% - 6%.

Teknik Sipil, FST, UNDANA

Anda mungkin juga menyukai