Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2018

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

DEMAM TIFOID

Disusun Oleh:

Irna Novianti Irwan

111 2017 2054

Supervisor:

dr. Rusman Rahman, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Irna Novianti Irwan

NIM : 111 2017 2054

Judul Refarat : Demam Tifoid

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, November 2018

Mengetahui,

Supervisor

dr. Rusman Rahman, Sp.PD


BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu penyakit infeksi sistemik akut yang banyak dijumpai di berbagai

belahan dunia saat ini adalah demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri gram

negatif Salmonella typhi. Di Indonesia demam tifoid lebih dikenal oleh masyarakat

dengan istilah penyakit tifus. Dalam 4 dekade terakhir demam tifoid menjadi

masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan insidensi penyakit

ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka mortalitas mencapai

600 ribu jiwa per tahun. Daerah endemik demam tifoid tersebar di berbagai benua

mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga Oceania. Sebagian besar

kasus (80%) ditemukan di negara berkembang seperti Bangladesh, Laos, Nepal,

Pakistan, India, Vietnam, dan Indonesia. Indonesia merupakan wilayah endemik

demam tifoid dengan mayoritas angka insidensi terjadi pada kelompok umur 3-19

tahun (91% kasus). Munculnya daerah endemik demam tifoid dipengaruhi oleh

berbagai faktor seperti laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, peningkatan

urbanisasi, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan, kurangnya suplai air, buruknya

sanitasi, dan tingkat resistensi antibiotik yang sensitif untuk bakteri Salmonella

typhi seperti kloramfenikol, ampisilin, trimetoprim, dan siprofloksasin.1

Patogenesis demam tifoid meliputi beberapa stadium setelah tertelan dan

masuk dalam tubuh mampu bertahan dalam suasana pH asam di lambung S. typhi

akan segera mencapai ileum dan menembus mukosa epitel melalui satu atau dua

mekanisme guna mencapai lamina propria. Pertama Salmonella typhi akan

berinteraksi dengan microfold cells (M cells), dome-like epithelial cells yang


menyelimuti pat dari Peyer’s kemudian mencapai sel – sel limfoid. Mekanisme

Kedua S.typhi mengalami proses internalisasi melalui enterocytes memasuki

membrane bound vacuoles dan masuk kedalam mencapai bagian basal makrofag

terhindar dari proses eliminasi.1

Salmonellae adalah basil gram negatif, non-spora dapat memfermentasi

glukosa, maltosa, dan manitol tetapi biasanya tidak laktosa atau sukrosa. Hampir

semua salmonella menghasilkan asam dan gas dengan fermentasi. Kebanyakan


2
serovar Salmonella tidak dapat dibedakan dengan reaksi biokimia. Manifestasi

klinis dari demam tifoid begitu luas dan bervariasi terutama pada minggu pertama

sehingga sulit dibedakan dengan penyakit demam lainnya, maka untuk menegakkan

diagnosis demam tifoid perlu ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya.

Penatalaksanaan demam tifoid terkadang masih belum tepat karena meluasnya

resistensi. Berbagai cara diusahakan untuk menghindari terjadinya resistensi, antara

lain dengan memperpendek masa pengobatan, pemilihan obat yang mempunyai

konsentrasi tinggi dari kadar hambat minimal kuman, dan mampu beredar lama di

dalam tubuh. 3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang

disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai

negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.4

Demam tifoid merupakan penyakit yang mudah menular dan menyerang

banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Demam tifoid (tifus

abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat

pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada

saluran cerna, dan gangguan kesadaran. 4

B. ETIOLOGI

Salmonella ditularkan melalui konsumsi makanan atau air yang tercemar

fecal; kontak dengan hewan, lingkungan ,dan kontak dekat dengan orang yang

terinfeksi (misalnya, hubungan oral-anal). Sumber utama kontaminasi adalah

manusia atau hewan yang sakit akut atau tanpa gejala.5. Salmonella mempunyai

3 macam antigen.1,6

- Antigen O (somatic), terletak pada lapisan luar yang mempunyai

komponen protein, lipopolisakarida (LPS) dan lipid. Sering disebut

endotoksin.
- Antiegn H (flagella), terdapat pada flagella, fimbriae dan pili dari

kuman , berstruktur kimia protein.

- Antigen Vi (antigen permukaan), pada selaput dinding kuman untuk

melindungi fagositosis dan berstruktur kimia protein.

Gambar2.1 Mikroskopik Salmonellatyphi5


C. EPIDEMIOLOGI

Salmonella Typhi, Salmonella Paratyphi A, Salmonella Paratyphi B,

Salmonella Paratyphi C, dan Salmonella Sendai adalah patogen manusia yang

menyebabkan demam enterik serta diare, dan penularan antara manusia biasanya

melalui air atau makanan. Pengolahan air limbah, air bersih dan kebersihan

makanan yang terkendali membuat penyakit demam tifoid dan demam paratifoid

telah menjadi langka di negara-negara maju tetapi tetap menjadi masalah di

negara-negara yang tidak memiliki sanitasi yang memadai dan pasokan air yang

baik. Biasanya ada kurang dari 500 kasus demam tifoid setiap tahun di Amerika

Serikat, sebaliknya di negara lain diperkirakan 26,9 juta kasus terjadi secara

global pada tahun 2010. Infeksi Salmonella diperkirakan mencapai sekitar 1,0

juta penyakit yang didapat di dalam negeri dan 378 kematian di Amerika Serikat
pada tahun 2006. Jumlah infeksi yang tidak proporsional terjadi pada bulan Juli

hingga Oktober, mungkin terkait dengan cuaca hangat. Infeksi salmonella paling

umum terjadi pada bayi dan anak-anak di bawah 5 tahun.5

Surveilans Departemen Kesehatan RI. Frekuensi kejadian demam tifoid di

Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 peningkatan

frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit

di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan

jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. 7

Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari

seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei

Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun

1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas

tertinggi.7

D. PATOGENESIS

Kuman Salmonella typhi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan

yang tecemar. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung dan sebagian

kuman menembus mukosa usus untuk berkembang biak. Bila respons imunitas

humoral mukosa (Ig A) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel

epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria

kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh

makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan

kemudian kelenjar getah bening mesenterika, kemudian melalui duktus torasikus


kuman masuk ke dalam peredaran darah menuju sistem retikuloendotelial seperti

hati, limfa dan sumsusm tulang. Ini merupakan bakteremia yang pertama terjadi

dalam 24-72 jam setelah kuman masuk dan biasanya jarang terdiagnosis oleh

karena penderita belum menunjukkan gejala klinis.

Gambar 2.2 Patofisiologi Demam Tifoid


Bakteremia yang pertama yang hanya sementara dan segera berakhir

setelah kuman ini tidak hancur oleh fagositosis oleh karena terlindung oleh

kapsul Vi. Di dalam organ-organ ini kuman masih terus berkembang biak dengan

pesat, proses ini berlangsung selama 7 sampai 10 hari. Selanjutnya kuman masuk

kembali kedalam peredaran darah dan menimbulkan bakteremia yang kedua. 1,4

Adanya antigen dari kuman ini akan merangsang limfosit T mengeluarkan

suatu zat machrophag activating factor (MAF) yang mempengaruhi perubahan

morfologi pada makrofag dan mengakibatkan metabolisme yang sangat aktif,

lebih giat mematikan dan mencernakan bakteri. Makrofag pada keadaan ini

disebut angry macrofag. Pada mulanya kuman Salmonella typhi sangat sukar

difagositosis karena melindungi kapsel Vi, baru setelah beberapa lama kuman

berada didalam tubuh penderita terjadi perubahan pada kapsel Vi, (tidak

diketahui sebabnya) sehingga kuman sekarang berhasil difagositosis (dicerna)

oleh makrofag.2, 4

Pada stadium bakteremia yang kedua ini kuman yang hancur akan

melepaskan endotoksin yaitu suatu kompleks lipopolisaksarida yang selanjutnya

akan mengaktifkan komplemen dan merangsang pelepasan pirogen endogen dari

sel PMN, makrofag dan sel sistem retikuloendotelial lainnya. Pirogen endogen

ini akan mempengaruhi pusat pengaturan suhu tubuh di hipotalamus dan

menimbulkan gejala demam. 1

Kuman dapat masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan

bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usu.


Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam

sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena

makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif, maka saat fagositosis kuman

Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan

menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, myalgia,

sakit kepala, sakit perut, gangguan vascular, mental dan koagulasi. 4

Makrofag yang telah aktif memfagosit kuman akan mengeluarkan

interleukin-1 (IL-1 ; Limphocyte activating factor) yang akan merangsang T

helper cell dan menghasilkan menghasilkan interleukin-2 (IL-2 ; T cell growth

factor) yang selanjutnya akan menstimulasi limfosit T untuk lebih giat

berproliferasi dan berdiferensiasi. IL-1 mempunyai efek biologis sebagai bahan

pirogen sehingga dapat pula menimbulkan demam. 1,2,3

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia

jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe

lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat

terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak peyeri yang sedang mengalami

nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel sel mononuclear di dinding usus.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,

serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. 4

Sebagai reaksi pertahanan tubuh terhadap endotoksin selanjutnya adalah

timbulnya sistem imunitas sistemik, baik melalui aktivasi komplemen juga

melalui sel limfosit B yang oleh rangsangan endotoksin akan berubah menjadi
sel plasma dan membuat agglutinin O. Seperti diketahui lipopolisakarida

(endotoksin) merupakan antigen yang “T-cell independent” sehingga O antigen

ini setelah diproses oleh makrofag dapat langsung merangsang limfosit B

menjadi sel plasma yang selanjutnya menghasilkan agglutinin O tanpa melalui

limfosit T, sebaliknya antigen Vi dan antigen H yang merupakan antigen yang T

cell independent harus merangsang limfosit T dahulu sebelum merangsang

limfosit B untuk berubah menjadi sel plasma dan membuat agglutinin H dan

agglutinin Vi. Dengan demikian maka agglutinin O terbentuk lebih dahulu

daripada agglutinin H dan agglutinin Vi. Agglutinin O cepat menghilang dalam

beberapa tahun. Sedangkan agglutinin Vi menghilang setelah penderita sembuh

tetapi cenderung menetap pada karier. 1,3

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat

timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,

pernapasan, dan gangguan organ lainnya. 4

E. MANIFESTASI KLINIS

Masa inkubasi demam tifoid sekitar 10-14 hari, rata-rata 2 minggu.


Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dari asimtomatik atau ringan seperti
panas disertai diare sampai dengan klinis yang berat seperti panas tinggi, gejala
septik, ensefalopati, atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perdarahan
dan perforasi usus. Hal ini mempersulit penegakkan diagnosis jika hanya
4
berdasarkan gambaran klinisnya. Demam merupakan gejala klinis terpenting
yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul tiba-tiba,
dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia karena
Streptococcus atau Pneumococcus daripada Salmonella typhi. Menggigil tidak
biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada malaria. Namun, demam tifoid
dan malaria dapat timbul bersamaan pada 1 penderita. Sakit kepala hebat yang
menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis. Nyeri perut kadang
tidak dapat dibedakan dengan apendiksitis.4,8
Pada tahap lanjut dapat muncul gejala peritonitis akibat perforasi usus. 4
Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar 39-40oC), nyeri
kepala, epistaksis, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri perut,
nyeri otot, dan malaise. Minggu ke-2 pasien mengalami demam, lidah khas
berwarna putih (lidah kotor), bradikardia relatif, hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, dan bahkan gangguan kesadaran (delirium, stupor, koma, atau
psikosis). 4,8
Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama
minggu ke-1, terutama sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu ke-2
dan ke-3 demam terus-menerus tinggi (febris kontinyu) kemudian turun secara
lisis. Demam tidak hilang dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat,
dan kadang disertai epistaksis. Gangguan gastrointestinal meliputi bibir kering
dan pecah-pecah disertai lidah kotor, berselaput putih, dan tepi hiperemis. Perut
agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Lien membesar, lunak, dan nyeri tekan.
Pada awal penyakit umumnya terjadi diare kemudian menjadi obstipasi.4

F. DIAGNOSIS

Anamnesis

a) Riwayat demam terus – menerus selama 7 hari atau lebih, tinggi pada sore /

malam daripada pagi / siang. Demam naik secara bertahap tiap hari,

mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam

terus menerus tinggi.

b) Delirium, malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau

konstipasi, muntah, perut kembung.


c) Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan

ikterus.

Pemeriksaan Fisis

Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.

Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid,

meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali.

Kadang – kadang terdengar ronkhi pada pemeriksaan paru.

Pemeriksaan fisis dapat ditemukan kesan tifosa atau status tifosa yaitu :

kesadaran menurun, rambut kering, kulit kering, bibir kering / terbelah – belah

/ terkupas / berdarah, lidah kotor (yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir

hiperemis), dan pucat.6

Tabel 1. Keluhan dan Gejala demam tifoid

Keluhan dan Gejala Demam Tifoid

Periode Keluhan Gejala Patologi


Penyakit

Minggu I Demam remitten, Gangguan saluran Bacteremia


tipe demam cerna
stepladder,
mengigil, nyeri
kepala

Minggu II Rash, nyeri Rose spots, Vaskulitis, hyperplasia


abdomen, diare, splenomegaly, pada peyer patches,
konstipasi hepatomegali nodul tifoid pada limpa
dan hati
Minggu III Komplikasi : Melena, ileus Ulserasi pada peyer
perdarahan patches, peritonitis
saluran cerna,
perforasi, syok

Minggu IV, dst. Keluhan Tampak sakit Carrier kronik


menurun, relaps, berat
penurun BB

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis tifoid dapat di tegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan

fisis/jasmani, pemeriksaan bekteriologi/ pemeriksaan laboratorium, radiologi. 4

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan:

1). Pemeriksaan Darah Rutin

Pada pemeriksaan darah rutin sering ditemukan Leukopenia, namun

dapat pula ditemukan normal atau sampai leukositosis. Leukositosis dapat

terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat

ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. SGOT dan SGPT serigkali

meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT

dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.

2). Uji widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman s.tiphi.

pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.tiphy

dengan antibodi yang di sebut agglutinin. Antigen yang di gunakan pada


uji widal adalah suspense salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di

laboratrium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutini

dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: Aglutini O (dari

tubuh kuman), Aglutini H(flagel kuman), Aglutinin Vi (simpai kuman).4

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutini O dan H yang

digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin

besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Hasil dari tes widal dapat

diinterpretasikan sebagai berikut, 5

- Titer “O” yang tinggi atau kenaikan titer (1:160 atau lebih)

menunjukkan adanya infeksi aktif. Titer “H” yang tinggi (1:160 atau

lebih) menunjukkan bahwa penderita pernah divaksinasi atau pernah

terkena infeksi

- Titer “Vi” yang tinggi tedapat pada carrier

Pembentuk aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama

demam, kemudian meningkat secara cepat pada minggu ke empat, dan

tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul

agglutinin O, kemudian di ikuti dengan agglutinin H. pada orang yang

telah sembuh agglutinin O masih tetap di jumpai setelah 4-6 bulan,

sedangkan agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh

karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.4

Adanya beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu:

 Pengobatan dini dengan antibiotic,

 Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian


kortikosteroid,

 Waktu pengambilan darah,

 Daerah endemic atau non endemic,

 Riwayat vaksinasi,

 Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada

infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu

atau vaksinasi,

 Faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium, akibat

aglutinasi silang, dan strain salmonella yang digunakan untuk

suspense antigen.

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglitinin yang

bermakna diagtnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai

hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan

dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat. 4

3). Uji Typhidot

Uji tyhphidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat

pada protein membrane luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji

typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dam dapat mengidentifikasi

secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen s.typhi seberat 50

kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa. 4

Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifitas sebesar 76,6%

dan efisiansi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid.

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan

sensitifitas dan spesifitas uji ini hamper sama dengan uji tubex yaitu 79%

dan 89% degan 78% dan 89%.4

Pada kasus reinfeksi, respons imun skunder (IgG) terinveksi secara

berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2

tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk

membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen

pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini

kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel

serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan

ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien.

Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997

terhadap uji Typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih

sensitive (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3jam) dilakukan

bila dibandingkan dengan kultur. 4

4). Uji Tubex

Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat

(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi

anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara

IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan

lipopolisakarida s.typhi yang terkinjugasi pada partikel megnetiklatex.

Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi salmonella


serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. infeksi

oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negative. 4

Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga

dapat merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan

merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. karena sifat-sifat

tersebut, respon terhadap anti-gen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi

terhadap anti-O9 dapat dilakuakn lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk

infeksi primer dan hari 3-2 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa

uji tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG

sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi

infeksi lampau. 4

Pemeriksaan ini dilakkukan dengan menggunakan 3 macam

komponen, meliputi: 1). Tabung berbentuk V, yang juga berfungi untuk

meningkatkan sensitivitas, 2). Reagen A, yang mengandung partikel

magnetic yang diselubungi dengan antigen S.typhi O9, 3). Reagen B yang

mengandung partikel lateks berwarna biru yang mengandung partikel

lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoclonal

spesifik untuk antigen O9. Untuk melakuakan prosedur pemeriksaan ini,

satu tetes serum (25 µL) dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes

(25 µL) reagen A. setelah itu reagen B (50 µL) di tambahkan kedalam

tabung. Hal tersebut di lakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-

tabung tersebut kemudian di letakkan pada rak tabung yang mengandung

magnet dan di putar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm.


Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang

dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna

larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan.4

Table 2. interpretasi hasil uji tubex

Skor Interpretasi

<2 Negative Tidak menunjuk


infeksi tifoid aktif

3 borderline Pengukuran
tidak dapat
disimpulkan. Ulangi
pengujian, apabila
masih meragukan
lakukan pengulangan
beberapa hari
kemudian.

4-5 Posotif Menunjukkan


infeksi tifoid aktif

>6 Positif Indikasi kuat


infeksi tifoid

Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum

tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen

A. jika diletakkan pada daerah mengandung medan magnet (magnet rak),

komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak,

dengan membawa sserta pewarna yang dikandung oleh reagen B. sebagai

akibatnya terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan

gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi

terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan

reagen B tidak tertarik pada megnet rak dan memberikan warna biru pada

larutan. 4
4). Uji IgM dipstick

Uji ini secara khusus mendeteksi sntibodi IgM spesifik terhadap S.typhi

pada specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang

mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S.typhi dan anti IgM (sebagai

kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati

dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum di inkubasi dengan

reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk

di simpanselama 2 tahun pada suhu 4-25º C di tempat kering tanpa paparan sinar

matahari. Pemeriksaan di muali dengan inkubasi strip pada larutan campuran

reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi,

strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif,

diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan

reference stri. Garis control harus terwarna dengan baik.4

House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai

penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia

dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%.

Pemeriksaan ini mudah da cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan

khusus apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1

minggu setelah timbulnya gejala.4


5). Kultur darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi

hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan

beberapa hal :

1). Telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah

telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat

dan hasil mungkin negative

2). Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah

yang dibiakkan terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil

sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan kedalam media cair empedu

(oxgall) untuk pertumbuhan kuman

3). Riwayat vaksinisasi. Vaksinisasi di masa yang lampau menimbulkan

antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia

hingga biakan darah dapat negative

4). Saat pengambilan darah setekah minggu pertama, pada saat agglutinin

semakin meningkat.4

G. PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam tifoid yaitu:

1. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat

penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti

makan, minum, mandi, BAK dan BAB akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian,

dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah

decubitus dan pneumonia ortostatik serta hegiene perorangan.Mobilisasi pada

pasien tifoid adalah 4

- Hari 1  duduk 2 x 15 menit

- Hari 2  duduk 2 x 30 menit

- Hari 3  jalan

- Hari 4  pulang

2. Diet dan terapi penunjang, dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan

kesehatan pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting

dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang

kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin

turun dan proses penyembuhan menjadi lama. Di masa lampau penderita tifoid

diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan

akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan

tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk

menghindari perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. 4

3. Pemberian Antibiotik, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran

kuman. Obat – obat anti mikroba yang sering digunakan untuk mengobati tifoid

antaralain adalah sebagai berikut4

 Klomrafenikol. di indonesia kloramfenikol masih merupakan obat

pilihan utama untuk memgobati demam tifoid dengan dosis yang


diberikan adalah 4x500mg secara per oral atau IV. Diberikan sampai

dengan 7 hari bebas demam.

 Tiamfenikol : dosis dan efektivitas dari timafenikol pada demam tifoid

hampir sama dengan kloramfenikol akan tetapi komplikasi

hematologinya lebih rendah, dosis tiamfenikol adalah 4x500mg.

 Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan sama dengan

klomrafenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet

mengandung sulfametoksazol 400mg dan 80 mg trimethoprim)

diberikan selama 2 minggu

 Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan

demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang

dianjurkan adalah 50-150mg/kgBB digunakan selama 2 minggu

 Sefalosporin generasi ketiga hingga saat ini golongan sefalosporin

generasi ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah

seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah 3-4 gr dalam dekstrosa 100cc

diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari diberikan selama 3 – 5

hari.

 Golongan fluorokuinolon

o Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari

o Levofloksasin 500 mg/hari selama 7 hari

o Ofloksasin 2 x 400 mg selama 7 hari

o Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari


Selain memberikan terapi dengan antibiotic kita juga perlu memperhatikan

tuntutan tubuh lainnya yaitu

a) Kondisi hipermetabolik selama infeksi dengan pemenuhan nutrisi yang

adekuat, tinggi kalori dan protein serta memperhatikan keseimbangan

elektrolit

b) Suplemen yang mengandung beta karoten, vitamin C, E serta trace elemen

(misal Zn) guna mendongkrak kinerja seperoksidase dismutase (SOD),

katalase, dan gluthatione (GSH) di sitosol dan meredam peran TNF

sehingga dapat menghadang laju proses kematian sel patologis dipercepat

akibat dampak negative dari ROS. ROS dapat mencetuskan timbulnya

krisis scavenger enzyme akibat defist berbagai komponen micronutrient

seperti Fe, Zn, selenium, vitamin C, vitamin B6, vitamin E atau

ketidakseimbangan beberapa zat makanan, seperti asam amino esensial

dapat pula menyebabkan rusaknya komponen system kekebalan tubuh

H. KOMPLIKASI

Komplikasi terjadi pada sekitar 10-15% pasien terutama dalam minggu ke-

2 atau lebih . Komplikasi utama adalah perdarahan saluran cerna, perforasi usus,

dan ensefalopati tifoid. Relaps dialami oleh 5 – 10% pasien dan terjadi 2 – 3

minggu steralah demam turun. Komplikasi demam tifoid1,4

 Abdomen : Perforasi usus terutama ileum, perdarahan saluran cerna,

Hepatitis, kholestitis

 Kardiovaskuler : Miokarditis Syok


 Neuropskiatri: ensefalopati, delirium, psikotik, meningitis, gangguan

koordinasi

 Respirasi : Bronchitis, Pneumonia

 Hematologi: Anemia dan koagulasi intravascular diseminata KID

 Komplikasi ginjal : glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis

 Komplikasi tulang : osteomyelitis, periostitis, atritis

 Lain – lain abses fokal, Faringitis, Relaps , karier kronik

I. PENCEGAHAN

Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan

karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian

akibat demam tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun Negara,

mendatangkan devisa Negara yang bersal dari wisatawan mancanegara karena

telah hilangnya predikat Negara endemic dan hiperendemik sehingga mereka

tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata. 4

Preventing dan control penularan, tindakan preventif sebagai upaya

penularan dan peledakan kasus luar biasa ( KLB ) demam tifoid mencakup

banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit

dan factor penjamu ( host ) serta lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi

pokok untuk memutuskan transmisi tifoid yaitu:4

1. Identifikasi dan eredikasi salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid

maupun kasus karier tifoid.


2. pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S.typhi akut

maupun karier

3. Proteksi pada orang yang beseiko terinfeksi

Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier dan

akut. Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S.typhi ini cukup

sulit dan memerlukan biaya yang cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun

skala nasional. Cara pelaksanaanya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran

maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instasi atau

swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi –populasi tertentu seperti

pengelola sarana makanan – minuman baik tingkat usaha rumah tangga,

restoran, hotel sampai pabrik serta distributornya.

Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan pelayanan

masyarakat yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana

umum lainnya. 4

Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut

maupun karier dapat dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan

lingkingan sekita orang yang telah diketahui mengidap kuman S. typhi.4

Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi.Sarana

proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah

endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya

endemis atau non endemis, tingkat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat

hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu


beresiko yaitu golongan imunokompromais maupun golongan rentan.4 Tindakan

preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:4

Daerah non endemic. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic

 Sanitasi air dan kebersihan lingkungan

 Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjual makanan –

minuman

 Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier

Bila ada kejadian epidemic tifoid

 Pencarian dan eliminasi sumber penularan

 Pemeriksaan air minum dan mandi cuci kakus

 Penyuluhan higien dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut

Daerah endemic

 Memasyarkatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang

memenuhi standar prosedur kesehatan

 Pengunjung kedaerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,

menjauhi makanan segar.4,9


DAFTAR PUSTAKA

1. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 9 Volume 1. EGC. Jakarta. 2015. H.343
2. Imanishi M, Newton AE, Vieira AR, et al: Typhoid fever acquired in the
United States, 1999-2010: epidemiology, microbiology, and use of a
space-time scan statistic for outbreak detection. Epidemiology Infect
2014
3. David A.Pegues, Samuel I. Miller, 2014. Salmonellosis. Harrison’s
Principles of Internal Medicine (19th ed), 1849-1852.
4. Widodo Djoko, 2014, Demam Tifoid, Ilmu Penyakit Dalam, Edisi VI,.Jilid
III. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Interna
Publishing:549-557
5. Medalla F, Hoekstra RM, Whichard JM, et al: Increase in resistance to
ceftriaxone and nonsusceptibility to ciprofloxacin and decrease in
multidrug resistance among . Foodborne Pathog Dis 2013; 10: pp.
302-309
6. E.jawetz, Jl.meknick. Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Jilid 1, Edisi 27.
Jakarta: EGC; 2014
7. Thriemer K., Ley B., Menten J., et. al.: A systematic review and meta-
analysis of the performance of two point of care typhoid fever
tests, Tubex TF and Typhidot, in endemic countries. PLoS One
2013; 8: pp. e81263.
8. Department Of Health, 2016. Typhoid Enteric Fever, Washington:
Washington State Department of Health
9. Wain J., Hendriksen R.S., Mikoleit M.L., et. al.: Typhoid fever. Lancet
2015; 385: pp. 1136.

Anda mungkin juga menyukai