Anda di halaman 1dari 27

KAJIAN KUALITAS AIR DAN KEANEKARAGAMAN JENIS

FITOPLANKTON DI PERAIRAN WADUK PLUIT JAKARTA BARAT

Oleh :
Dyah Puri Hayaah Handayani
B1A015123

TUGAS TERSTRUKTUR MATA KULIAH LIMNOLOGI

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2018
I. PENDAHULUAN

Waduk merupakan suatu perairan menggenang atau badan air yang memiliki
ceruk, saluran masuk (inlet), saluran pengeluaran (outlet) dan berhubungan langsung
dengan sungai utama yang mengairinya. Waduk umumnya memiliki kedalaman 16
sampai 23 kaki (5-7 m) (Shaw et al., 2004). Waduk disebut juga sebagai badan air
menggenang yang dibuat dengan cara membendung sungai, umumnya berbentuk
memanjang mengikuti bentuk awal dasar sungai. Berdasarkan pada tipe sungai yang
dibendung dan fungsinya, dikenal tiga tipe waduk, yaitu waduk irigasi, waduk
lapangan dan waduk serbaguna. Waduk irigasi berasal dari pembendungan sungai
yang memiliki luas antara 10–500 ha dan difungsikan untuk kebutuhan irigasi.
Waduk lapangan berasal dari pembendungan sungai episodik dengan luas kurang
dari 10 ha, dan difungsikan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat di sekitar
waduk.
Waduk pluit secara umum diketahui memiliki luasan sebesar 80 hektar . Pada
mulanya daerah ini merupakan ruang terbuka hijau, kemudian banyak ditempati oleh
permukiman penduduk. Saat ini sekitar 20 hektar areal sekitar Waduk Pluit sudah
terbebas dari bangunan liar dan 5 hektar diantaranya dijadikan taman. Namun, masih
terlihat pada sebagian badan air waduk tertutup oleh Enceng Gondok atau Water
Hyacinth (Eichhornia crassipes) dan juga sampah, kondisi ini mengindikasikan
adanya pencemaran perairan (Fachrul et al., 2016).
Waduk pluit ini semula memiliki kedalaman ± 10 - 12 meter, akibat terjadi
pendangkalan, maka kini kedalaman waduk hanya berkisar antara ± 2 - 6 meter.
Dengan luasan yang ada, waduk ini dapat menampung ±17 juta m3 air yang
merupakan aliran dari Kali Ciliwung, Kali Cideng, dan Kali Angke. Waduk Pluit
memiliki ketinggian permukaan air yang fluktuatif, pada keadaan normal tinggi
permukaan air Waduk Pluit ±1,4 m – 1,5 m dari permukaan tanah, pada musim
kemarau permukaan Waduk Pluit menurun sampain ±90 cm dari batas normal
(Fachrul et al., 2016).
Pada saat ini, waduk banyak digunakan sebagai sumber air dan juga sebagai
tempat pembuangan bahan-bahan sisa kegiatan penduduk. Akibat dari adanya
kebiasaan dan kegiatan tersdebut menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air
pada waduk pluit di jakarta, yang selanjutnya akan menurunkan fungsi, produktivitas
perairan.
II. DISKUSI
Penurunan produktivitas perairan akan berdampak pula pada penurunan
berbagai macam biota maupun inidividu yang berada dan tinggal di waduk tersebut.
Berbagai jenis biota termasuk plankton memiliki habitat pada suatu perairan, jika
perairan tercemar maka hal yang akan terjadi adalah berkurangnya keanekaragaman
plankton di waduk maupun perairan tersebut.
Keankearagaman plankton dapat dilihat dari berbagai parameter kualitas air
atau kesuburan perairan. Pengambilan sampel fitoplankton dilakukan pada 11 titik
sampel yang tersebar pada bagian inlet, tengah dan outlet perairan waduk yang dapat
mewakili luasan dari perairan tersebut. Pengambilan sampel fitoplankton mengikuti
metode yang digunakan oleh Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta (BPPL) Tahun
1989, dimana sampel diambil pada lapisan permukaan air secara mendatar
(horizontal) dengan kedalaman ± 1-2 meter, dimana pada kedalaman ini fotosintesis
masih dapat berlangsung. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan jaring
fitoplankton (Plankton Net), dengan cara menyaring sebanyak 100 liter air waduk,
selanjutnya air yang tersaring dimasukan dalam botol sampel ukuran 10 ml dan
diberi pengawet berupa larutan Lugol dan kemudian sampel dibawa ke laboratorium
untuk didentifikasi dan dianalisis.
Parameter-parameter kualitas fisik maupun kimia perairan sangat
mempengaruhi struktur dan komunitas kelimpahan fitoplankton dianataranya yaitu
suhu, suhu yang tinggi akan mengakibatkan metabolisme dan pernafasan meningkat
sehingga konsumsi oksigen juga akan mengalami suatu peningkatan, maka perairan
dengan suhu tinggi miskin akan oksigen. Suhu merupakan salah satu faktor pembatas
bagi organisme air, karena adanya suhu tinggi maka mendorong fitoplankton
melakukan migrasi pada tempat yang kaya akan oksigen. Parameter kedua yaitu
Intensitas Cahaya. Fitoplankton yang hidup menyebar di perairan akan memerlukan
cahaya matahari untuk melakukan proses fotosintesis. Apabila proses ini terganggu
maka akan mempengaruhi ketersediaan oksigen didalam perairan yang selanjutnya
akan menyebabkan gangguan terhadap kehidupan fitoplankton. Parameter yang
ketiga yaitu kekeruhan. Intensitas kekeruhan yang cukup tinggi pada suatu perairan
akan menghambat laju fotosintesis, sehingga akan menyebabkan berkurangnya
oksigen diperairan. Wijaya (2009), menyatakan bahwa kekeruhan menggambarkan
sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan
dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan
oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya
lumpur dan pasir halus), atau berupa fitoplankton dan organisme lainnya. Nilai
kekeruhan di perairan alami merupakan salah satu faktor terpenting untuk
mengontrol produktivitas perairan salah satunya kenakearagaman fitoplankton.
Intensitas Cahaya. Parameter selanjutnya ialah Derajat keasaman (pH). Derajat
keasaman suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang cukup penting
dalam memantau kestabilan perairan. Perubahan nilai pH suatu perairan terhadap
organisme dipengaruhi oleh adanya senyawa -senyawa yang masuk ke dalam
lingkungan perairan. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi tergantung
suhu, oksigen terlarut dan kandungan garam–garam ionik suatu perairan. Pada
umumnya perairan alami memiliki pH berkisar antara 6 – 9. Nilai pH sangat
menentukan dominansi fitoplankton, namun kondisi perairan yang bersifat sangat
asam maupun sangat basa akan mengganggu kelangsungan hidup organisme air,
termasuk fitoplankton, hal ini dikarenakan dapat menyebabkan gangguan proses
metabolisme dan respirasi.
Parameter selanjutnya yaitu Dissolved Oxygen (DO). Dissolved Oxygen (DO)
pada suatu kedalaman perairan berkaitan dengan suhu yang berpengaruh pada
oksigen terlarut, sehingga pada kedalaman berbeda dan suhu berbeda maka tingkat
oksigen terlarut dibutuhkan oleh fitoplankton juga berbeda. Parameter selanjutnya
ialah Biological Oxygen Demand (BOD5) yang merupakan jumlah oksigen yang
diperlukan oleh mikroorganisme di dalam perairan Waduk Pluit untuk mendegradasi
bahan buangan organik yang ada di dalam perairan waduk.
Indeks Keragaman menunjukan pola sebaran biota apakah merata atau tidak di
dalam perairan. Pada perairan Waduk Pluit, nilai indeks keseragaman berkisar antara
0,39– 0,95. Indeks keragaman akan berubah setiap bulannya. Oleh karena itu,
perubahan komposisi dan kelimpahan plankton berjalan seiring dengan waktu
(Sastranegara & Sri Lestari, 2009). Nilai terendah terlihat pada Bulan Mei, nilai
yang rendah, disebabkan karena kelimpahan fitoplankton yang tidak merata,
sehingga adanya spesies yang lebih mendominasi dalam perairan. Semakin kecil nilai
indeks keseragaman maka menunjukkan semakin kecil pula keseragaman populasi
fitoplankton,
Dengan berbagai kondisi yang sudah tidak normal karena banyakanya
paramter yang tidak sesuai, diketahui keanekaragaman fitoplankton yang dimiliki
Waduk Pluit yaitu sebanyak 75 genus dalam 6 kelas (Bacillariphyceae,
Chlorophyeceae, Cyanophyceae, Chrysophyceae. Dinophyceae, Euglenophyceae).
Kelas Chorophyceae yang paling banyak ditemukan yakni dengan jumlah 26 genus.
KESIMPULAN

Kondisi kualitas air Waduk Pluit berdasarkan waktu lokasi titik sampling
pada umumnya tidak sesuai dengan baku mutu Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air & Pengendalian Pencemaran Air. Hasil
pencacahan teridentifikasi fitoplankton sebanyak 75 genus yang berada dalam 6
kelas (Bacillariphyceae, Chlorophyeceae, Cyanophyceae, Chrysophyceae.
Dinophyceae, Euglenophyceae), nilai Indeks
Keanekaragaman berada dalam kategori sedang sampai tinggi (H’=0,12–
3,47), nilai Indeks Keseragaman berkisar antara 0,39– 0,95, sedangkan nilai Indeks
Dominansi cenderung rendah mendekati 0 (nol). Nilai-nilai tersebut memperlihatkan
keberadaan fitoplankton yang fluktuatif di dalam perairan Waduk Pluit yang
disebabkan kondisi lingkungan yang bervariasi pula pada setiap kolom air. Dengan
demikian dikatakan bahwa perairan Waduk Pluit berada dalam kategori tercemar
sedang.
DAFTAR REFERENSI

Fachrul,M, F., Astr R., Diana H dan Aidian S. 2016. Kajian Kualitas Air Dan
Keankekaragaman Jenis Fitoplankton Di Perairan Waduk Pluit Jakarta
Barat. Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Lemlit.1(2): 109-120.

Sastranegara M, H & Sri Lestari. 2009. Kualitas Air Pasca Pengerukan Alur
Transportasi Batu Kapur di Sungai Donan Cilacap Biosfera 26(1): 14-22.
A. Latar Belakang

Bioaerosol adalah aerosol yang berisi materi biologis. Bioaerosol dapat terdiri
dari virus, organisme hidup, seperti bakteri bakteri dan fungi, serta produk hasil dari
organisme seperti spora dan alergen. Bioaerosol termasuk kategori aerosol yang
spesial karena properti biologis mereka dapat memberikan pengaruh terhadap
kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan (Hinds, 1999).
Sumber bioaerosol ada dua macam, yakni yang berasal dari luar ruangan dan
dari manusia atau perkembangbiakan di dalam ruangan, terutama bila kondisi terlalu
berdesakan. Keberadaan manusia merupakan sumber penting mikroba di dalam
ruangan. Level mikroba udara meningkat ketika ruangan dihuni jika dibandingkan
dengan kondisi tidak dihuni (Adams et al., 2015). Menurut Khawcharoenporn et al.
(2013), karakteristik atau faktor yang mempengaruhi keberadaan mikroorganisme
udara, antara lain laju ventilasi, temperatur, kelembapan, kehadiran manusia saat
dilakukan sampling, kepadatan manusia, rasio manusia. Menurut Tarigan (1988),
semakin lembap suatu lingkungan, maka kemungkinan banyak kandungan mikroba
di udara akan semakin banyak, karena partikel air dapat memindahkan sel-sel yang
berada di permukaan. Begitu juga partikel debu, semakin tinggi konsentrasinya dan
semakin kecil ukuran partikel debu, maka semakin banyak mikroba di udara.
Mikroba penyusun bioaerosol diantaranya adalah bakteri, jamur, dan virus.
Flora bakteri utama yang mendominasi yaitu bakteri gram positif batang dan kokus
yang sering menjadi pengontaminasi udara yang berasal dari binatang, manusia, atau
lingkungan air. Dari bakteri gram positif tersebut terdapat beberapa jenis yang sering
dijumpai, yaitu Micrococci, Corynebacteria yang dapat menyebabkan penyakit
difteri, Bacillus, Streptomyces. Fungi dan yeast juga merupakan faktor
pengontaminasi yang penting. Beberapa jenis umum jamur yang sering ditemukan
dan yang bertanggung jawab terhadap pembusukan adalah Aspergillus dan
Penicilium. Jenis ini tidak memiliki mekanisme penyebaran spora secara aktif, tetapi
mereka memproduksi banyak spora kecil yang kering sehingga bertahan lama dari
kekeringan dan radiasi (Waluyo, 2005). Pemaparan terhadap konsentrasi spora jamur
diudara dapat mengakibatkan penyakit-penyakit menular, alergi, penyakit
kardiovaskular dan kematian. Pemaparan secara langsung terhadap spesies, seperti
Aspergillus fumigatus, Coccidioides immitis, atau Cryptococcus neoformans dapat
menyebabkan penyakit yang diakibatkan oleh jamur, di antaranya Aspergillosis,
Coccidioidomycosis, dan Cryptococcosis (Pakpour & Klironomos, 2015).
Metode penamgkapan mikroba di udara dapat dilakukan dengan beberapa
cara. Pertama, dengan metode non kultur, yakni menjebak mikroba dengan suatu alat
kemudian mikroba yang terjebak tersebut dihitung secara langsung (tanpa inkubasi)
dengan mikroskop. Kedua, sedimentasi, yakni memaparkan cawan petri berisi media
pertumbuhan ke udara terbuka selama waktu tertentu. Ketiga, impigpment, yakni
dengan menjebak partikel udara saat gelembung udara dilewatkan dalam cairan.
Metode Andersen air sampler, yakni menyedot udara dengan pipa sehingga udara
mengalir dari atas ke bawah. Alat ini menggunakan enam tingkatan tumbukan yang
bisa memisahkan partikel berdasarkan ukurannya (Corden & Millington, 2001).

B. Tujuan

Tujuan praktikum kali ini adalah untuk mengetahui pengaruh aktifitas dalam
suatu ruang terhadap kepadatan populasi mikroba dan keragamannya.
II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi

Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah cawan petri, stopwatch,
inkubator, jarum ose, object glass, pipet tetes, pembakar bunsen.
Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah medium NA dan PDA,
Gram A, B, C, dan D.

B. Cara Kerja

1. Pengambilan Sampel Mikroba Udara


Cawan petri berisi medium pertumbuhan NA dan PDA masing-masing tiga
disiapkan. Cawan petri masing-masing diberi label waktu, 5, 10, dan 15 menit.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara sedimentasi di dalam ruangan.
Cawan petri berisi medium dimasukkan ke dalam ruangan. Ruangan berisi
cawan petri ditinggal kosong sesuai dengan waktu yang ditentukan. Cawan
petri diambil, kemudian diinkubasi selama 2x24 jam.
2. Pewarnaan Gram
Isolat bakteri diulas pada object glass kemudian ditetesi akuades, setelah itu
dilakukan fiksasi 2-3 kali pengulangan. Ditetesi Gram A dan ditunggu selama
60 detik. Dicuci kering anginkan (CKA). Ditetesi Gram B dan ditunggu selama
60 detik. Dicuci kering anginkan (CKA). Ditetesi Gram C hingga jernih.
Dicuci kering anginkan. Ditetesi Gram D dan ditunggu selama 45 detik. Dicuci
kering anginkan. Diamati di bawah mikroskop.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 3.1 Pengamatan Bioaerosol Bakteri

Kelompok/ Lokasi Waktu Densitas Diversitas Diversitas


Rombongan Samplin (CFU’s/m3) Bakteri Jamur
g
I/1 Lab Pagi 5’ = 579,48 A= 1 A= 26
Pengajar 10’ = Mikromorfolo Makromorfolog
an II 1158,96 gi= Gram +, i=
15’ = Basil E= Konveks
2152,35 Makromorfolo W= Abu (atas)
gi= hitam (bawah)
E= - M= Entire
W= putih U= Sedang
M= Lobate P= Kasar
U= Small B= Circular
P= Mengkilap
B= Bulat B= 5
Makromorfolog
B= 2 i=
Mikromorfolo E= Konveks
gi= Gram -, W= Putih
Coccus kekuningan
Makromorfolo (atas), Coklat
gi= (bawah).
E= Flat M= Entire
W= kuning U= Sedang
M= entire P= Kasar
U= small B= Circular
P= Mengkilap
B= Bulat C= 3
Makromorfolog
C= 25 i=
Mikromorfolo E= Konveks
gi= Gram - , W= Putih
Filamentous kusam (atas),
Makromorfolo Kekuningan
gi= (bawah)
E= - M=
W= putih Filamentous
M= U= Besar
Filamentous P= Kasar
U= Sedang B= irregular
P= kasar
B= D= 6
Filamentous Makromorfolog
i=
D= 10 E= Konveks
Mikromorfolo W= Putih
gi= Gram + , - (atas), Putih
Makromorfolo kekuningan
gi= (bawah).
E= Flat M= Entire
W= Putih susu U= Sedang
M= Entire P= Kusam
U= Small B= Sirkular
P= Mengkilap
B= Circular E= 3
Makromorfolog
E= 1 i=
Mikromorfolo E= Konveks
gi= Gram -, W= Coklat
basil muda (atas),
Makromorfolo coklat tua
gi= (bawah).
E= Flat M=
W= Kusam Filamentous
M= Entire U= besar
U= Sedang P= kasar
P= B= Circular
kusam/kasar
B= Circular F= 2
Makromorfolog
i=
E= konveks
W= hitam
M=
Filamentous
U= Besar
P= Kasar
B= Irregular

G= 12
Makromorfolog
i=
E= Flat
W= putih
M= filamentous
U= besar
P= kasar
B= irregular
I/2 Lab Sore 5’ = 496,7 A= 24 A= 7
Pengajar 10’ = 220,8 Mikromorfolo Makromorfolog
an II 15’ = gi= Gram - , i=
1076,2 basil E= flat
Makromorfolo W= putih
gi= M= filamentous
E= flat U= pointed
W= putih susu P= kering
M= entire seperti bubuk
U= sedang B= filamentous
P= halus
mengkilap B= 1
B= sirkular Makromorfolog
i=
B= 9 E= raised
Mikromorfolo W= putih (atas),
gi= Gram -, abu-abu
coccus (bawah).
Makromorfolo M= filamentous
gi= U= kecil
E= flat P= kasar
W= putih susu B= filamentous
M= undulate
U= sedang C= 1
P= halus Makromorfolog
mengkilap i=
B= irregular E= raised
W= putih bintik
C= 1 biru (atas),
Mikromorfolo putih kusam
gi= Gram +, (bawah).
basil M= filamentous
Makromorfolo U= pointed
gi= P= kering
E= Raised seperti bubuk
W= putih susu B= sirkular
M= entire
U= kecil
P= halus
mengkilap
B= sirkular
D= 1
Mikromorfolo
gi= Gram +,
coccus
Makromorfolo
gi=
E= flat
W= kuning
kusam
M= lobate
U= besar
P= halus
B= irregular
II/1 Lab Pagi 5’ = 42,45 A= 3 A=
Mikolog 10’ = Mikromorfolo Makromorfolog
i 311,32 gi= Gram +, i=
Fitopato 15’ = Makromorfolo E= raised
logi 1358,49 gi= W= semu ungu
E= flat (atas), hitam
W= krem (bawah).
M= lobate M= filamentous
U= besar U= sedang
P= halus P= kasar
mengkilap B= sirkular
B= irregular
B=
B= 32 Makromorfolog
Mikromorfolo i=
gi= Gram +, E= raised
Makromorfolo W= hitam
gi= M= filamentous
E= konveks U= kecil
W= kuning P= kasar
M= entire B= irregular
U= kecil
P= mengkilap C=
B= sirkular Makromorfolog
i=
C= 11 E= umbonate
Mikromorfolo W= kuning
gi= Gram -, (atas), coklat
Makromorfolo (bawah)
gi= M= filamentous
E= umbonate U= kecil
W= putih P= kasar
kusam B= Sirkular
M= lobate
U= sedang D=
P= kusam Makromorfolog
B= irregular i=
E= raised
D= 11 W= kuning
Mikromorfolo kecoklatan
gi= Gram -, (atas), orange
Makromorfolo (bawah).
gi= M= filamentous
E= flat U= besar
W= putih P= kasar
kekuningan B= irregular
M= entire
U= sedang E=
P= halus Makromorfolog
kusam i=
B= sirkular E= raised
W= putih
E= 11 M= filamentous
Mikromorfolo U= sedang
gi= Gram - , P= kasar
Makromorfolo B= sirkular
gi=
E= flat
W= Putih susu
M= entire
U= kecil
P= halus
mengkilap
B= sirkular
II/2 Lab Sore 5’ = 141,5 A= 1 A=
Mikolog 10’ = 84,9 Mikromorfolo Makromorfolog
i 15’ = gi= Gram -, i=
Fitopato 6367,9 Makromorfolo E= raised
logi gi= W= putih kapas
E= raised (atas), putih
W= bening (bawah)
M= M= entire
filamentous U=
U= large P= seperti kapas
P= halus B= filamentous
mengkilap
B= irregular B=
Makromorfolog
B= 4 i=
Mikromorfolo E= raised
gi= Gram +, W= putih kapas
Makromorfolo (atas), putih
gi= (bawah)
E= konveks M= Curled
W= putih U=
M= entired P= seperti kapas
U= kecil B= filamentous
P= halus
mengkilap C=
B= sirkular Makromorfolog
i=
C= 5 E= umbonate
Mikromorfolo W= putih kapas
gi= Gram +, (atas), putih
Makromorfolo (bawah)
gi= M= serrate
E= raised U=
W= putih P= seperti kapas
kekuningan B= filamentous
M= entired
U= pinpointed D=
P= mengkilap Makromorfolog
B= sirkular i=
E= Konveks
D= 4 W= Putih kapas
Mikromorfolo M= Serrate
gi= Gram +, U=
Makromorfolo P= seperti kapas
gi= B= filamentous
E= raised
W= putih E=
M= entired Makromorfolog
U= pinpointed i=
P= mengkilap E= flat
B= sirkular W= putih kapas
transparan
E= 3 M= serrate
Mikromorfolo U=
gi= Gram +, P= seperti kapas
Makromorfolo B= filamentous
gi=
E= raised
W= putih
M= rata
U= kecil
P= mengkilap
B= sirkular
III/1 Taman Pagi 5’ = 17,29 B= 4 A= 6
Tengah 10’ = Mikromorfolo Makromorfolog
144,65 gi= Gram -, i=
15’ = Makromorfolo E= raised
174,52 gi= W=
E= raised merah(atas),
W= krem merah
M= entired kecoklatan
U= kecil (bawah)
P= mengkilap M= filamentous
B= sirkular U= sedang
P= seperti kapas
D= 13 B= filamentous
Mikromorfolo
gi= Gram -, B= 4
Makromorfolo Makromorfolog
gi= i=
E= konveks E= raised
W= opaque W= biru (atas),
M= entired merah(bawah)
U= kecil M= filamentous
P= halus U= kecil
mengkilap P=seperti kapas
B= sirkular B= filamentous
E= 33 C= 40
Mikromorfolo Makromorfolog
gi= Gram , i=
Makromorfolo E= konveks
gi= W= abu-abu
E= konveks coklat
W= kuning kehitaman
keputihan M= filamentous
opaque U= sedang
M= entired P=seperti kapas
U= kecil B= filamentous
P= halus
mengkilap D= 18
B= sirkular Makromorfolog
i=
H= 18 E= konveks
Mikromorfolo W= putih (atas),
gi= Gram -, putih
Makromorfolo kekuningan(ba
gi= wah)
E= konveks M= filamentous
W= putih U= besar
M= entired P= seperti kapas
U= sedang B= filamentous
P= halus
mengkilap E= 40
B= sirkular Makromorfolog
i=
I=9 E= raised
Mikromorfolo W= putih (atas),
gi= Gram , putih
Makromorfolo kekuningan
gi= (bawah)
E= raised M= filamentous
W= putih U= kecil
kekuningan P= seperti kapas
M= entired B= filamentous
U= sedang
P= halus
mengkilap
B= sirkular
III/2 Taman Sore 5’ = 4,72 A= 5 A= 33
Tengah 10’ = 9,43 Mikromorfolo Makromorfolog
15’ = 80,19 gi= Gram +/- i=
,basil E= raised
Makromorfolo W= putih
gi= M= filamentous
E= flat U= besar
W= kuning P= kasar
M= entired B= Irregular
U= sedang
P= halus B= 1
mengkilap Makromorfolog
B=sirkular i=
E= raised
B= 1 W= putih(atas),
Mikromorfolo kuning
gi= Gram -, keputihan
basil (bawah)
Makromorfolo M= filamentous
gi= U= sedang
E= raised P=kasar
W= putih B= sirkular
M=
filamentous C= 1
U= besar Makromorfolog
P= kasar i=
B= filamen E= flat
W= putih (atas),
C= 12 kuning (bawah)
Mikromorfolo M= filamentous
gi= Gram -, U= besar
basil P= kasar
Makromorfolo B= sirkular
gi=
E= konveks D= 3
W= putih Makromorfolog
M= entired i=
U= kecil E= konveks
P= halus W= putih
mengkilap kecoklatan
B= sirkular (atas), krem
(bawah)
D= 1 M= filamentous
Mikromorfolo U= kecil
gi= Gram -, P= kasar
basil B= sirkular
Makromorfolo
gi= E= 2
E= konveks Makromorfolog
W= kusam i=
M= entired E= konveks
U= sedang W= putih
P= halus kecoklatan
mengkilap (atas), coklat
B= sirkular (bawah)
M= filamentous
E= 4 U= kecil- besar
Mikromorfolo P= kasar
gi= Gram -, B=sirkular
basil
Makromorfolo
gi=
E= flat
W= transparan
M= entired
U= kecil
P= halus
mengkilap
B= sirkular

Berdasarkan Tabel 3.1, densitas bakteri tinggi berada di Lab Pengajaran II


dan Lab Mikologi dan Fitopatologi, sedangkan lokasi Taman Tengah memiliki
densitas bakteri yang rendah. Jumlah densitas yang berbeda pada lokasi-lokasi ini
secara garis besar disebabkan oleh perbedaan tipe lokasi ruangan, di mana Lab
merupakan ruangan tertutup yang sering ditempati manusia dan Taman tengah yang
merupakan lokasi terbuka, yang jarang dihuni manusia. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Adams et al. (2015), yang menyatakan bahwa terdapatnya manusia
berkorelasi dengan jumlah mikroba di udara. Kadar densitas mikroorganisme diudara
menurut Pearson et al. (2015) adalah 1000 cfu/m3 untuk total bakteri, 300 cfu/m3
untuk bakteri gram negatif, dan 500 cfu/m3 untuk jamur.

Gambar 3.1 Mikroorganisme yang Tumbuh pada Medium NA/PDA dengan


Waktu dan Lokasi Sampling yang Berbeda
Perbedaan waktu pengambilan juga memiliki pengaruh terhadap densitas
mikroorganisme. Pengambilan sampel yang dilakukan pagi hari cenderung memiliki
densitas yang tinggi karena suhu yang sejuk dan kelembapan tinggi jika
dibandingkan dengan waktu sore hari, di mana suhu cenderung panas dan
kelembapan yang rendah. Waktu setelah hujan memiliki pengaruh yang besar
terhadap kelembapan yang terjadi pada waktu pagi hari (Gosselin et al., 2016).
Lokasi sampling dalam ruangan juga mempengaruhi densitas bakteri. Contoh,
sampling yang dilakukan di Lab Mikologi Fitopatologi di waktu sore hari
menunjukkan hasil yang berbeda. Cawan petri yang diletakan di atas lemari memiliki
densitas bakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang hanya ditaruh di atas
meja. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kelembapan, ventilasi, dan kepadatan
ruangan. Ruangan dengan kelembapan dan kepadatan tinggi, cenderung akan
memiliki jumlah mikroba yang tinggi (Tarigan, 1988).

Gambar 3.2 Perbedaan Lokasi Pengambilan Sampel dalam Ruangan


Mikroorganisme yang tumbuh pada praktikum kali ini bermacam-macam
menurut lokasi dan medium yang digunakan. Medium NA sebagian besar ditumbuhi
oleh bakteri, sedangkan medium PDA ditumbuhi oleh jamur. Mikroorganisme yang
bermacam-macam ini bervariasi sesuai dengan lokasi, kondisi cuaca, dan aktivitas
yang ada. Daerah yang berdebu hampir selalu memiliki populasi mikroorganisme
yang tinggi. Hujan, salju, atau hujan es cenderung akan mengurangi jumlah
mikroorganisme di udara dengan cara membasuh partikel udara sehingga menjadi
berat dan mengendapkan debu (Dwijoseputro, 2005).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dan praktikum acara Bioaerosol, maka dapat


disimpulkan bahwa:
1. Populasi mikroba di udara di dalam ruangan dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti laju ventilasi, padatnya orang, dan sifat taraf kegiatan orang-orang yang
menempati ruangan tersebut.
2. Jumlah dan macam mikroba di udara bervariasi sesuai dengan lokasi, kondisi
cuaca, aktivitas yang ada.

B. SARAN

Sebaiknya acara pengamatan tidak dilakukan pagi hari, jam 6, berkaca dari
banyaknya praktikan yang datang telat hingga 30 menit.
DAFTAR REFERENSI

Adams, R. I., Bhangar, S., Pasut, W., Arens, E. A., Taylor, J. W., Lindow, S. E., ... &
Bruns, T. D. 2015. Chamber bioaerosol study: outdoor air and human
occupants as sources of indoor airborne microbes. PLoS One, 10(5),
e0128022.
Corden, J. M., & Millington, W. M. 2001. The long-term trends and seasonal
variation of the aeroallergen Alternaria in Derby, UK. Aerobiologia, 17(2)
: pp. 127-136.
Dwidjoseputro, D. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta : Imagraph.
Gosselin, M. I., Rathnayake, C. M., Crawford, I., Pöhlker, C., Fröhlich-Nowoisky, J.,
Schmer, B., ... & Pöschl, U. 2016. Fluorescent bioaerosol particle,
molecular tracer, and fungal spore concentrations during dry and rainy
periods in a semi-arid forest. Atmospheric Chemistry and Physics, 16(23) :
pp. 15165-15184.
Hinds, C. W. 1999. Aerosol Technology : properties, behavior, and measurement of
airborne particles. California : John Wiley & Sons, Inc.
Khawcharoenporn, T., Apisarnthanarak, A., Thongphubeth, K., Yuekyen, C.,
Damnin, S., Hayden, M. K., & Weinstein, R. A. 2013. Post-flood
measurement of fungal bio-aerosol in a resource-limited hospital: can the
settle plate method be used?. Journal of Hospital Infection, 83(2) : pp.150-
152.
Pakpour, S., Li, D. W., & Klironomos, J. 2015. Relationships of fungal spore
concentrations in the air and meteorological factors. Fungal Ecology, 13 :
pp. 130-134.
Pearson, C., Littlewood, E., Douglas, P., Robertson, S., Gant, T. W., & Hansell, A.
L. 2015. Exposures and health outcomes in relation to bioaerosol
emissions from composting facilities: a systematic review of occupational
and community studies. Journal of Toxicology and Environmental Health,
Part B, 18(1) : pp. 43-69.
Tarigan, J. 1988. Pengantar Mikrobiologi. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Waluyo, L. 2005. Mikrobiologi Lingkungan. Malang : Universitas Muhammadiyah
Malang Press.

Anda mungkin juga menyukai