Kualitas pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah. Sebagai bukti
pendidikan di Indonesia meduduki peringkat 112 dari 172 negara di Asia. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, di sini kita akan menyoroti dua faktor utama yang kita anggap paling urgen, yaitu (1) kurangnya sarana dan prasarana pendidikan (2) sumber daya manusia yang berkualitas rendah. Kurangnya sarana dan prasarana pendidikan1, baik secara kualitas maupun kuantitas sangat berpengaruh pada proses belajar mengajar di sekolah yang akhirnya berpengaruh pula pada prestasi siswa. Secara kualitas sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia dapat dikatakan masih sangat rendah. Kita tilik saja dari hal yang paling terlihat, yaitu pada gadung-gedung sekolah. Gedung- gedung sekolah2 di Indonesia jauh di bawah kata layak. Bagaimana mungkin kita dapat melakukan proses belajar mengajar dengan khidmat di bawah atap yang lapuk dan hampir roboh. Bagaimana mungkin kita dapat konsentrasi menerima materi dari guru jika pikiran kita di selimuti ketakutan akan robohnya gedung? Secara kuantitas sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia terbilang kurang. Apalagi masih ditambah dengan kasus penggusuran gedung-gedung sekolah yang notabene justru akan lebih menurunkan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan itu sendiri. Sudah kurang masih juga digusur untuk pembangunan mall dan area bisnis lain yang lebih menjanjikan dari hanya sekadar pendidikan. Sungguh mengherankan! Itulah sedikit kenyataan yang melanda dunia pendidikan di Indonesia dan masih banyak lagi fenomena-fenomena 3 memelas lainnya dari gubuk yang bernama pendidikan. Apa kita akan terus diam dan tidak bertindak apa-apa? Selain itu faktor penting lainnya yang mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia adalah sumber daya manusia baik guru maupun murid. Guru merupakan tulang punggung pendidikan. Tanpa guru mustahil pendidikan akan 1 Rudi Susilana dan Cepi Riyana, Media Pembelajaran, (Bandung: Angkasa, 2008) Hal. 46. 2 Putri Nursalim, Potret Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2014) Hal. 67. 3 Difta, dkk., Potret Penerapan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) Hal. 34. berjalan. Sama halnya dengan tanpa adanya guru yang berkualitas, maka tidak mungkin kita dapat menciptakan pendidikan dengan kualitas tinggi. Seperti pungguk merindukan bulan. Menyelesaikan suatu masalah harus sampai pada akarnya. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia dipengaruhi oleh rendahnya kualitas guru, mungkin memang benar adanya. Tetapi kita perlu merunut lagi dengan pertanyaan “Mengapa kualitas guru di Indonesia rendah? Dan hal itu pasti ada faktor penyebabnya. Realitas itulah yang barangkali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi objek maupun subjek pendidikan di Indonesia. Pendidikan di negara ini sepertinya lahir untuk dijadikan alat oleh para oknum. Pendidikan dijadikan sebagai instrumen, alat, dan sarana untuk hegemonisasi 4 dan dominasi serta marginalisasi kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks itu, kita sudah mengetahui bersama bahwa profesi guru merupakan profesi yang sangat jarang diminati oleh generasi muda. Mereka biasanya mengambil profesi guru atau sekolah keguruan sebagai pilihan kedua atau bahkan ketiga dan kesekian, setelah profesi-profesi lain yang lebih menjanjikan seperti dokter, akuntan, insinyur, dan lain-lain. Jarangnya generasi muda yang berminat untuk menjadi guru disebabkan oleh rendahnya gaji guru di Indonesia. Kita bandingkan saja dengan negara- negara tetangga, gaji guru di Indonesia pasti paling rendah. Sehingga generasi muda Indonesia yang memiliki kecerdasan tinggi lebih memilih bidang pfrofesi selain guru. Mereka mengambil jurusan yang lebih menjanjikan sewaktu memasuki bangku kuliah. Akhirnya hanya mereka yang tidak diterima di jurusan yang diinginkannya yang memasuki sekolah keguruan. Jadi, bisa dikatakan sumber daya manusia yang kurang berkualitas yang menjadi calon guru sehingga, outputnya juga kurang berkualitas. Itu merupakan fenomena sebelum menjadi seorang guru.
4 Sony Hidayat, Blog yang Baik dan Benar, dari http://sonnyhidayat.net/200802/09/blog-
yang-baik-dan-benar/, 2009, diakses pada 2 Januari 2017. Setelah menjadi seorang guru, mereka juga banyak yang bermalas-malasan dalam memberikan materi. Hal ini pun dikarenakan gaji yang diterima guru kurang, dan tidak sebanding dengan kerja kerasnya. Alhasil, banyak guru yang mengajar semaunya sendiri. Sering memberi tugas, dan jarang masuk kelas untuk memberi materi. Meraka melepas tanggungjawabnya untuk mencerdaskan bangsa. Dari fenomena itu, siswalah yang paling dirugikan. Mereka sudah membayar biaya sekolah yang mahal, tetapi tanpa mendapat hasil yang sebanding dengan biaya yang mereka keluarkan. Siswa yang rajin datang ke sekolah untuk mencari ilmu justru tidak mendapat apa-apa. Namun, keluar dari semua ini, ada juga guru yang penuh keikhlasan mengabdi pada profesinya dan berusaha mencerdaskan anak didiknya walaupun dengan gaji sedikit. Itulah guru yang sebenar-benarnya guru, dengan keihklasan dan ketulusan mengabdi untuk mencerdaskan bangsa. Seperti yang diungkapkan oleh Serli Ambarwati (kedaulatan Rakyat, Selasa 8 Februari 2005) bahwa guru di Indonesia bermutu rendah. Guru di Indonesia kurang memiliki dedikasi dalam mengajar. Banyak guru yang hanya “asal-asalan” dalam mengajar. Mereka tidak memperhatikan apakah siswa tahu dan paham terhadap materi yang disampaikan. Hal itu masih dapat dikatakan untung karena banyak juga guru yang sangat malas mengajar sampai-sampai masuk kelas pun enggan. Sulit rasanya jika kita menginginkan kualitas pendidikan yang tinggi dengan kenyataan sumber daya manusianya (guru) yang sepertinya itu. Apalagi hal itu hampir terjadi di seluruh di Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan pembenahan dari akar-akarnya agar kualitas pendidikan di Indonesia dapat berdiri tidak tiarap lagi.*Nr*