Anda di halaman 1dari 7

1. Bagaimana mekanisme proteksi lambung?

2. Bagaimana produksi HCl dalam lambung?

Pada saat apa saja HCl dikeluarkan?

3. Mengapa penderita merasa nyeri ulu hati seperti terbakar?

4. Mengapa keluhan disertai mual, muntah tiap habis makan, perut terasa sebah dan sering
bersendawa?

Sel yang mempengaruhi perubahan epitel di esofagus?

5. Mengapa pada perkusi didapatkan hipertimpani, dan auskultasinya hiperperistaltik?


Hipertimpani dan Hiperperistaltik
Karena banyaknya sekresi asam gerakan peristaltic menuju gaster juga meningkat. Sekresi
asam dipengaruhi juga oleh pelepasan asetilkolin dari serabut pascaganglion n.vagus atas
pengaruh reseptor muskarinik yang mempengaruhi juga gerakan peristaltic.

Sumber : Price S. A, Wilson L. M. 1995. Patofisiologi Konsep klinis Proses-Proses


penyakit Edisi 4. Jakarta : EGC.

6. Mengapa terdapat nyeri tekan pada saat palpasi di epigastrium?


Karena adanya iritasi akibat peningkatan sekresi asam lambung. Hal itu dikerenakan
pengkonsumsian obat – obat seperti OAINS. OAINS menimbulkan iritasi yang bersifat lokal
yang mengakibatkan terjadinya difusi kembali asam lambung ke dalam mukosa dan
menyebabkan kerusakan jaringan. Selain itu OAINS juga menghambat sintesa prostaglandin
yang merupakan salah satu aspek pertahanan mukosa lambung disamping mukus, bikarbonat,
resistensi mukosa, dan aliran darah mukosa. Dengan terhambatnya pembentukan prostaglandin,
maka akan terjadi gangguan barier mukosa lambung, berkurangnya sekresi mukus dan
bikarbonat, berkurangnya aliran darah mukosa, dan terhambatnya proses regenerasi epitel
mukosa lambung sehingga tukak lambung akan mudah terjadi dan timbul nyeri pada ulu hati.

7. Apa hubungannya penderita terdapat riwayat meminum obat sakit rematik?


Obat antirematik merupakan OAINS, obat tersebut mempunyai efek analgesik, antipiretik, dan
antiinflamasi
a. Analgesik
Sebagai analgesik, OAINS hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai
sedang, misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia, dismenorea dan juga efektif terhadap
nyeri yang berkaitan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan. Efek analgesiknya jauh
lebih lemah daripada efek analgesik opioat, tetapi OAINS tidak menimbulkan ketagihan
dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Untuk menimbulkan efek
analgesik, OAINS bekerja pada hipotalamus, menghambat pembentukan prostaglandin
ditempat terjadinya radang, dan mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsang
mekanik atau kimiawi.
b. Antipiretik
Temperatur tubuh secara normal diregulasi oleh hipotalamus. Demam terjadi bila terdapat
gangguan pada sistem “thermostat” hipotalamus. Sebagai antipiretik, OAINS akan
menurunkan suhu badan hanya dalam keadaan demam. Penurunan suhu badan
berhubungan dengan peningkatan pengeluaran panas karena pelebaran pembuluh darah
superfisial. Antipiresis mungkin disertai dengan pembentukan banyak keringat. Demam
yang menyertai infeksi dianggap timbul akibat dua mekanisme kerja, yaitu pembentukan
prostaglandin di dalam susunan syaraf pusat sebagai respon terhadap bakteri pirogen dan
adanya efek interleukin-1 pada hipotalamus. Aspirin dan OAINS lainnya menghambat baik
pirogen yang diinduksi oleh pembentukan prostaglandin maupun respon susunan syaraf
pusat terhadap interleukin-1 sehingga dapat mengatur kembali “thermostat” di hipotalamus
dan memudahkan pelepasan panas dengan jalan vasodilatasi.
c. Antiinflamasi
Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang
merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin,
serotonin, bradikinin, prostaglandin dan lainnya yang menimbulkan reaksi radang berupa
panas, nyeri, merah, bengkak, dan disertai gangguan fungsi. Kebanyakan OAINS lebih
dimanfaatkan pada pengobatan muskuloskeletal seperti artritis rheumatoid, osteoartritis,
dan spondilitis ankilosa. Namun, OAINS hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi
yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki,
atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan muskuloskeletal.

OAINS mempunyai kemampuan untuk menghambat siklooksigenase (COX) dan inhibisi


sintesis prostaglandin. Dan inhibisi sintesis prostaglandin dalam mukosa gaster sering
menyebabkan kerusakan GIT (dyspepsia, mual, gastritis). Efek samping yang paling serius
adalah perdarahan GIT dan perforasi. COX terdapat pada jaringan sebagai suatu isoform
konstitusif (COX-1), tetapi sitokin pada lokasi inflamasi menstimulasi induksi isoform kedua
(COX-2). Inhibisi COX-2 diduga bertanggung jawab untuk efek antiinflamasi OAINS,
sementara inhibisi COX-1 bertanggung jawab untuk toksisistas gastrointestinal

Efek samping OAINS pada GIT. Dalam lambung, COX-1 menghasilkan prostaglandin (PGE₂
dan PGI₂) yang menstimulasi mucus, sekresi bikarbonat, dan menyebabkan vasodilatasi
(kesemuanya menjaga mukosa lambung, lihat atas). OAINS nonselektif menghambat COX-1
sehingga mengurangi efek sitoprotektif prostaglandin (menyebabkan efek serius pada GIT
bagian atas, termasuk perdarahan dan ulserasi). OAINS COX -2 selektif yang baru (colecoxib)
mempunyai efek toksisitas GIT yang jauh lebih sedikit. Selain itu OAINS merusak mukosa
secara local melalui difusi non-ionik ke dalam sel mukosa. Efek obat ini juga terhadap agregasi
trombosit akan meningkatkan bahaya perdarahan ulkus.

Sumber : Neal M. J. 2005. At a Glance Farmakologi Medis Edisi 5. Jakarta : Erlangga.

8. Bagaimana alur diagnosa dari skenario?

9. Apa saja pemeriksaan penunjang yang disarankan dokter?


Prosedur diagnostik untuk membantu mengenali penyakib pada lambung dan duodenum adalah
pemeriksaan radiologis dengan barium, uji napas, dan uji serologis analisis lambung, dan
endoskopi menggunakan gastroskop serat optik fleksibel. Foto, biopsi, dan sitologi eksfoliatif
dapat dilakukan melalui gastroskop. Sitologi eksfoliatif atau pengumpulan sel-sel dengan cara
bilas lambung menggunakan larutan garam untuk mengetahui keganasan yang tidak dapat
langsung dilihat melalui gastroskop. Larutan yang terkumpul disimpan dalam es dan segera
dibawa ke lab untuk diamati. Apabila proses terlambat akan menyebabkan kerusakan sel oleh
enzim pencernaan. Bilasan sitologik memiliki keakuratan untuk menegakkan diagnosis kanker
lambung.
Diagnosis patogen-patogen lambung, seperti Helicobacter pylori (H.pylori), dapat ditegakkan
dengan menggunakan uji napas urea, serologi, dan endoskopi. Uji napas urea adalah suatu
metode diagnostik berdasarkan prinsip bahwa urea diubah oleh urease H. Pylori dalam lambung
menjadi amoniak dan CO2. CO2 cepat diabsorbsi melalui dinding lambung dan dapat terdeteksi
dalam udara ekspirasi. Uji serologis untuk mendiagnosis adanya infeksi H.pylori namun hasil
tetap positif selama beberapa bulan setelah infeksi. Sehigga uji napas urea merupakan uji
noninvasif yang paling efisien.
Endoskopi saluran GIT bagian atas merupakan evaluasi lambung dengan lapangan pandang
samping. Lesi dapat dievaluasi dengan USG endoskopi, yaitu teknik yang menggabungkan
pemeriksaan USG dengan endoskopi. Pada tumor sekunder yang tidak dapat terdiagnosis
dengan px mukosal, dapat dilengkapi dengan px USG atau CT scan. Px MRI untuk pencitraan
massa abdomen.
Analisis lambung untuk mengetahui sekresi asam. Tabung nasogastrik dimasukkan ke dalam
lambung dan dilakukan aspirasi isi lambung puasa untuk dianalisis. Uji ini untuk menegakkan
sindrom Zolinger Ellison (tumor pankreas yang mensekresi gastrin dalam jumlah besar,
sehingga menyebabkan hiperasiditas dan ulkus peptikum multipel rekuren). Ulkus duodenum
dikaitkan dengan BAO (basal acid output) yang tinggi, sedangakn BAO pada ulkus peptikum
dan karsinoma lambung adalah normal sampai rendah.
Analisis stimulasi dilakukan dengan mengukur pengeluaran asam maksimal (MAO) setelah
pemberian obat yang merangsang sekresi asam, seperti histamin, betazol hidroklorida atau
pentagastrin (peptida sintetik mirip gastrin). Aklorhidria didefinisikan sebagai tidak adanya
sekresi asam setelah pengobatan dengan salah satu obat perangsang dalam dosis maksimal
asalkan tersebut tepat dan tidak ada refluks isi duodenum ke dalam lambung, yang akan
menetralkan asam. Penderita aklorhidria memiliki ullkus peptikum.

Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Sylvia A.Price. EDISI 6 VOLUME I


Penerbit buku kedokteran EGC. 2006

10. Apa diagnosa dan diagnosa banding dari skenario?


PENYAKIT PERADANGAN LAMBUNG
GASTRITIS AKUT

Proses peradangan mukosa sementara, yanng mungkin tidak menimbulkan gejala atau
menyebabkan berbagai derajat nyeri epigastrium, mual dan muntah. Pada kasus yang lebih
parah, mungkin dapat terjadi erosi mukosa, ulkus, perdarahan, hematemesis, melena, atau
kehilangan darah masif.

PATOGENESIS. Lumen lambung sangat asam. Suasana ini berperan untuk pencernaan namun
berpotensi merusak mukosa. Musin disekresikan oleh sel foveolar permukaan, membentuk
lapisan mukus tipis yang mencegah partikel makanan yang besar untuk menyentuh epitel.
Lapisan mukus juga melindungi mukosa dan mempunyai ph netral karena sekresi ion
bikarbonat oleh sel epitel permukaan. Sehingga jaringan yang kaya akan pembuluh darah
masuk ke mukosa lambung membawa oksigen, bikarbonat, dan nutrisi sambil membersihkan
asam, yang berdifusi kembali ke lamina propria. Gastritis kronik atau akut terjadi ketika salah
satu mekanisme pelindung terganggu. Sebagai contoh, pengurangan sintesis musin karena
usia tua. Penggunaan obat NSAIDs bisa mengganggu proses sitoproteksi yang biasa dilakukan
oleh sekresi prostaglandin atau pengurangan bikarbonat, kedua bahan ini meningkatkan
kerentanan mukosa lambung terhadap cedera. Kondisi bahan kimia keras, terutama asam
atau basa juga mengakibatkan cedera lambung.

ULSERASI PEPTIK AKUT

Cedera peptik akut fokal adalah komplikasi yang sering terjadi pada terapi dengan NSAIDs, lesi
berupa:

 Ulkus stres, mengenai pasien yang sakit parah dengan syok, sepsis atau trauma berat
 Ulkus curling, di duodenum proksimal dan berasosiasi dengan luka bakar atau trauma
yang berat.
 Ulkus cushing, terjadi di lambung, duodenum atau esofagus, dengan penyakit
intrakranial dan terjadi perforasi.

PATOGENESIS. Ulkus akibat NSAIDs disebabkan iritasi bahan kimia langsung atau bisa juga
inhibisi cyclooxygenase yang mencegah sintesis prostaglandin. Hal ini menghilangkan efek
proteksi prostaglandin yaitu meningkatkan sekresi bikarbonat dan meningkatkan perfusi
vaskular. Lesi yang berasosiasi dengan cedera intrakranial disebabkan oleh stimulasi langsung
nukleus vagus, yang menyebabkan hipersekresi asam lambung. Asidosis sistemik,
berkontribusi pada cedera mukosa dengan menurunkan ph intrasel dari sel mukosa. Hipoksia
dan aliran darah berkurang disebabkan oleh vasokontriksi splanchnic akibat stres.

GAMBARAN KLINIS. Mual, muntahm dan hematemesis berwarna seperti kopi. Perdarahan
dari ulkus atau erosi lambung superfisial.

GASTRITIS KRONIK

Gejala dan ciri yang berasosiasi dengan gastritis kronik biasanya kurang parah, tapi lebih lama
daripada gejala atau ciri dari gastritis akut. Mual dan rasa tidak enak di abdomen atas kadang-
kadang dengan muntah tetapi hematemesis jarang. Penyebab tersering adalah infeksi bakteri
Helicobacter pylori. Penyebab lain adalah cedera radiasi dan refluks empedu kronis

PATOGENESIS. Infeksi H. Pylori sering bermanifestasi sebagai gastritis predominan antral


dengan produksi asam yang tinggi, meskipun hipogastrinemia. Risiko ulkus duodenum
meningkat dan kebanyakan kasus gastritis terbatas pada antrum. Virulesi H.pylori:

 Flagela, bakteri bergerak dalam mukus kental


 Urease, menghasilkan amonia dari urea endogen, sehingga meninggikan ph lambung
lokal sekeliling organisme dan melindungi bakteri dari ph asam lambung
 Adhesin, meningkatkan perlekatan bakteri ke sel permukaan foveola
 Toksin, dikodekan oleh cytotoxin associated gene A (CogA), terlibat dalam ulkus atau
kanker

H.pylori menciptakan ketidakseimbangan mukosa gastroduodenum.

PENYAKIT ULKUS PEPTIK

Berkaitan dengan infeksi H.pylori atau penggunaan NSAIDs. PUP terjadi di setiap bagian
saluran cerna, yang terpajan cairan asam lambung, tetapi paling sering pada antrum lambung
dan bagian pertama duodenum. Juga mungkin terjadi di esofagus sebagai akibat GERD atau
karena sekresi asam oleh mukosa ektopik lambung dan usus halus.

PATOGENESIS. Infeksi H.pylori dan penggunaan NSAIDs merupakan penyebab utama PUP.
Ketidakseimbangan mukosa dan daya rusak, yang menyebabkan gastritis kronik juga
menyababkan PUP. Dengan demikian, PUP umumnya terjadi dengan latar belakang gastritis
kronik.

Hiperasiditas lambung. Asiditas yang mendorong PUP, disebabkan oleh infeksi H.pylori,
hiperplasia sel parietal, respons sekresi yang berlebihan atau rusaknya inhibisi dari
mekanisme stimulasi seperti pelepasan gastrin. Kofaktor dalam ulserogenesis peptik, antara
lain penggunaan NSAIDs

GAMBARAN KLINIS. Lesi kronik, berulang, terjadi pada usia pertengahan sampai dewasa tua.
Keluhan berupa rasa nyeri terbakar atau nyeri epigastrium, juga dapat bermanifestasi dengan
komplikasi anemia defisiensi besi, perdarahan nyata atau perforasi. Nyeri tersebut cenderung
terjadi pada 1 sampai 3 jam setelah makan siang, lebih nyeri pada malam hari. Mual, muntah,
kembung dan bersendawa juga mungkin terjadi

Buku Ajar Patologi Robbins. Kumar, Abbas, Aster. EDISI 9. Elsevier

11. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi?

12. Bagaimana tatalaksana dari diagnosis di skenario?


Prinsip penatalaksanaan:
 Modifikasi gaya hidup
 Terapi medikamentosa
 Terapi bedah
 Terapi endoskopik
Target penatalaksanaan:
 Menyembuhkan lesi esofagus
 Menghilangkan gejala/keluhan
 Mencegah kekambuhan
 Memperbaiki kualitas hidup
 Mencegah timbulnya komplikasi
MODIFIKASI GAYA HIDUP
Bukan pengobatan primer, tujuannya untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah
kekambuhan. Hal-hal modifikasi gaya hidup:
 Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur
dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks
asam dari lambung ke esofagus
 Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan
tonus LES
 Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena
keduanya dapat menimbulkan distensi lambung
 Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat
sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen
 Menghindari makanan/minuman yang dapat menstimulasi asam
 Menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES, seperti anti kolinergik,
teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonist beta adrenergik, progesteron.

Pengobatan
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.Target
penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan,
mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
Non Medikamentosa
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD, namun bukan
merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya,
namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah
kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup, yaitu :
Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan
untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke
esophagus. Makan makanan terakhir 3-4 jam sebelum tidur
Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES
sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel
Mengurangi konsumsi lemak serta Mengurangi jumlah
makanan yang dimakan karena keduanya dapat
menimbulkan distensi lambung
Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan
Menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi
tekanan intraabdomen
Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh,
peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat
menstimulasi sekresi asam
Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat
menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin,
diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta
adrenergic, progesterone.
Medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi
medikamentosa pada penatalaksanaan GERD ini. Dimulai
dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau
termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam
perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian
obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan
sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan
penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI).
Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat
dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis
reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan
GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan
digunakan pendekatan terapi step down.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD :
Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak
menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat
tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang
menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi
terutama antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal.
Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin.
Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat
ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini lebih
condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat
bergantung pada penekanan sekresi asam.
Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah dalam
mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam
kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar
darah otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi,
tremor, dan diskinesia.
Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang lebih jarang
dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.Walaupun efektivitasnya dalam
mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat
ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.
Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan lambung
serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta
penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung
terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esophagus,
sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu.
Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-obatan
ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase
yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-demand therapy, tergantung
dari derajat esofagitisnya.
Pencegahan
Beberapa peralatan kemungkinan digunakan untuk meringankan gastroesophageal reflux.
Mengangkat kepala pada tempat tidur kira-kira 6 inci mencegah asam mengalir dari kerongkongan
sebagaimana seseorang tidur. Makanan dan obat-obatan yang menjadi penyebab harus dihindari, sama
seperti merokok. Pemberian obat bethanechol atau metoclopramide juga biasa digunakan untuk
membuat sphincter bagian bawah lebih ketat. Makanan dan minuman yang secara kuat merangsang
perut untuk menghasilkan asam atau yang menghambat pengosongan perut harus dihindari sebaiknya.

Anda mungkin juga menyukai